Home / Young Adult / Bayang di Balik Kabut / BAB 6: Luka Yang Tidak Berdarah

Share

BAB 6: Luka Yang Tidak Berdarah

Author: khobir
last update Last Updated: 2025-09-20 16:55:35

Sudah dua hari sejak Laras kembali dari gerbang darah.

Tubuhnya tampak sehat, tapi jiwanya seperti retak. Ia sering diam, tatapannya kosong menembus dinding, dan malam-malamnya diisi mimpi-mimpi aneh yang tidak bisa ia ceritakan, bahkan pada Alric.

“Laras, aku di sini,” ucap Alric lembut, duduk di sampingnya. Tapi Laras tak menoleh.

“Aku mendengar suara-suara bahkan saat aku terjaga,” bisik Laras. “Mereka memanggilku… dengan nama yang bukan namaku.”

Alric meraih tangannya. “Itu luka. Tapi bukan di tubuhmu. Luka yang tidak berdarah.”

Laras mengangguk pelan. “Aku melihat ayah kita, Ric. Tapi dia… dia bukan sosok yang bisa dipeluk. Dia dingin. Penuh kehendak. Dan yang paling mengerikan, aku bisa… memahami dia.”

Alric menunduk. “Apa kau mulai percaya… bahwa jalan darahmu lebih kuat daripada jalan cintamu?”

Laras tak menjawab. Tapi air matanya turun diam-diam.

Di luar rumah, kabut tipis mulai turun. Angin membawa bisikan asing lagi. Tapi kali ini bukan dari bayangan…

…melainkan dari *orang-orang desa*.

Desas-desus mulai menyebar. Tentang Laras. Tentang keanehan. Tentang darah.

Malam itu, seseorang melemparkan batu ke jendela rumah Laras. Di atasnya, kertas lusuh dengan tulisan:

*"Pergi dari desa ini. Kau bukan lagi salah satu dari kami."*

Sudah dua hari sejak Laras kembali dari gerbang darah.

Tubuhnya masih terasa lemas, tapi bukan karena luka fisik. Yang berubah adalah dalam dirinya — seperti ada ruang baru yang terbuka, tapi tak bisa ia pahami.

Setiap malam, ia bermimpi tentang mata besar yang menatapnya dari balik kabut. Mata itu tak bicara, hanya mengamati… menunggu. Dan ketika Laras terbangun, ia selalu menemukan *bekas simbol merah* di kulitnya. Berubah-ubah bentuk setiap hari.

Alric mulai gelisah.

“Kau belum makan sejak kemarin,” katanya sambil membawa semangkuk sup. “Dan tubuhmu makin dingin.”

Laras memandang tangannya sendiri. Jari-jarinya kini lebih pucat, dan nadinya tampak berdenyut lebih cepat.

“Aku rasa... darahku berubah,” bisiknya.

Alric mendekat. “Maksudmu?”

“Aku nggak lapar. Tapi aku haus. Tapi bukan haus air... bukan makanan.”

Alric menegang. “Kau haus emosi.”

Laras mengangguk pelan. “Setiap kali kau menyentuhku… aku bisa hidup lagi. Tapi kalau tidak… rasanya seperti mati perlahan.”

Alric menatapnya, lalu duduk di sampingnya. “Itu artinya ikatan kita berkembang. Tapi ini juga artinya… kau makin dekat dengan dunia yang dulu ingin kuhindari.”

Laras menggenggam tangannya. “Aku takut, Ric. Takut suatu saat… aku bukan aku lagi.”

Alric menarik napas dalam. “Kalau sampai itu terjadi… aku yang akan mengingatkan siapa dirimu.”

Tiba-tiba, pintu rumah mereka diketuk keras.

*DUK DUK DUK!*

Suara di luar terdengar panik. “LARAS! KELUAR! ADA SERANGAN! MEREKA DATANG DARI UTARA!”

Laras dan Alric saling pandang.

*Mereka.*

Yang selama ini hanya mengintai dalam bayangan.

Kini… muncul terang-terangan.

Dan untuk pertama kalinya, desa yang damai mulai mencium bau *perang*.

Laras dan Alric berlari ke luar rumah. Di kejauhan, asap mulai naik dari sisi utara desa. Warga berlarian, sebagian mengangkat senjata seadanya — cangkul, kapak kayu, obor.

Di langit, kabut hitam melayang perlahan… tapi bukan kabut biasa. Itu *bayangan hidup* — makhluk-makhluk gelap tak berbentuk yang melayang seperti asap dan menyerap cahaya di sekitarnya.

“Penjaga Gerbang,” gumam Alric. “Tapi mereka tak pernah muncul di siang hari.”

Laras mencengkeram simbol di tangannya. “Berarti segel dunia benar-benar mulai retak.”

Dari tengah kabut, muncul sosok bertudung gelap. Wajahnya tertutup topeng batu. Ia membawa tongkat berujung mata terbuka — satu-satunya benda yang tampak hidup dari tubuhnya.

Ia menunjuk langsung ke arah Laras.

*“Anak darah. Serahkan dirimu, dan desa ini akan selamat.”*

Laras melangkah maju, tapi Alric menahannya. “Jangan. Ini bukan negosiasi. Ini penjebakan.”

Sosok bertopeng berbicara lagi, tapi kali ini bukan dengan suara. Suaranya langsung masuk ke kepala setiap orang di desa.

*“Jika kau menolak, darah orang-orang ini akan menjadi bayaran. Satu jiwa, atau seratus.”*

Angin berdesir kencang saat langit menjadi gelap total, meski matahari belum benar-benar tenggelam. Akar-akar merah dari tanah melingkari Laras, seolah memberi perlindungan, tapi juga menandai bahwa darahnya kini mulai mengendalikan alam.

Senara melompat turun dari atap, mendarat tanpa suara di samping Laras.

“Dengar baik-baik,” bisiknya cepat. “Mereka bukan datang untuk menang sekarang. Mereka datang untuk *mengukurmu*.”

“Uji kekuatan?” tanya Laras.

Senara mengangguk. “Mereka ingin tahu seberapa jauh kamu sudah berkembang. Mereka akan mundur... setelah menghancurkan cukup banyak untuk memperingatkanmu.”

Alric berdiri di sisi lain, matanya sudah berubah merah emas. “Kalau begitu kita beri mereka sesuatu yang tak bisa mereka lupakan.”

Sosok bertopeng mengangkat tongkatnya, dan dari balik kabut, bayangan hidup mulai menjelma jadi sosok-sosok bertaring dan bermata gelap — *Prajurit Bayangan*.

Jumlah mereka puluhan.

Warga mulai panik, tapi sebagian bertahan di balik pagar dan benteng kayu desa.

Laras melangkah maju. “Aku akan menghadapi mereka di luar pagar. Biar warga tetap aman.”

Alric menggenggam tangannya. “Aku ikut.”

Senara mengangkat alis. “Kalau begitu... ayo kita beri sambutan.”

Ketiganya melompat keluar pagar.

Dan di tengah kabut hitam yang mulai merayap, tiga sosok berdiri berseberangan dengan pasukan bayangan.

Satu manusia setengah darah.

Satu vampir keturunan pengkhianat.

Satu pewaris dunia malam.

*Tiga penjaga cahaya terakhir.*

Laras mengepalkan tangan. “Kita mulai.”

Dan dunia... mulai bergetar.

Dari tengah pasukan bayangan, sosok bertopeng mengangkat tongkatnya tinggi. Langit seketika menghitam total, dan di antara celah awan yang berputar, muncul sebuah retakan bercahaya ungu—tanda bahwa mereka memanggil kekuatan dari luar batas dunia.

Laras melangkah maju tanpa ragu. Akar-akar merah terus mengikuti langkahnya, merambat di tanah seperti ular hidup, siap menerkam. Suaranya pelan namun tajam, “Kalau kalian ingin mengukur kekuatanku… jangan salahkan aku kalau hasilnya menghancurkanmu.”

Sosok bertopeng menjawab tanpa membuka mulut, tapi suara itu menggema di udara, menusuk setiap pikiran:

*"Yang lahir dari darah, harus kembali pada darah."*

Dan dalam sekejap, *pertempuran pun pecah*.

Prajurit bayangan meluncur ke arah mereka seperti gelombang hitam yang membelah udara. Laras, Senara, dan Alric bergerak bersamaan — tak satu pun menunggu aba-aba.

Alric menukik lebih dulu, tubuhnya berubah menjadi bayangan kabut vampir, menghantam musuh dengan cakaran tajam dan pukulan energi yang menyambar seperti petir merah.

Senara menggerakkan kedua tangannya, dan dari bawah tanah muncul bilah-bilah tajam berwarna hitam, menusuk pasukan bayangan seperti tombak hidup. Ia bergerak cepat, licin seperti asap, tak tersentuh.

Laras… tidak bergerak secepat mereka. Tapi setiap langkahnya menciptakan gempa kecil, dan setiap ayunan tangannya melepaskan gelombang energi merah yang membakar makhluk-makhluk itu dari dalam.

Satu makhluk bayangan mencoba menyelinap dari sisi kanan, mengarah ke arah pagar desa — tapi Laras menoleh, dan dengan satu tatapan, akar berduri mencuat dari tanah, mencabik tubuh makhluk itu hingga lenyap jadi asap.

“Aku tak akan biarkan satu pun dari kalian menyentuh desaku,” gumamnya.

Tiba-tiba, dari langit, retakan ungu memancarkan cahaya silau, dan dari dalamnya muncul sosok baru — lebih besar, tubuhnya bersayap, bermata enam, dan menggenggam sabit berputar yang tampak seperti terbuat dari bayangan beku.

Senara berseru, “*Itu salah satu Penjaga Tinggi!* Kita harus mundur!”

Tapi Laras melangkah ke depan. Matanya berubah. Kali ini… seluruh bola matanya berwarna merah, tanpa pupil.

“Aku sudah melihat wajah Ayah. Makhluk ini... bukan apa-apa dibanding itu.”

Dengan satu teriakan, ia menghantam tanah dengan tangannya. Dari titik itu, meledak gelombang energi darah berlapis merah dan emas yang menyapu semua arah, menghentikan pergerakan semua makhluk selama beberapa detik.

Penjaga Tinggi mengangkat sabit dan melemparnya ke arah Laras — sabit itu berputar di udara, menembus realitas, seolah melompati ruang.

Tapi tepat sebelum sabit itu menyentuh tubuhnya, Alric muncul di depan Laras, tubuhnya menerima tebasan langsung.

*Darah muncrat.*

Laras menjerit. “ALRIC!”

Alric jatuh ke tanah, sabit menembus bahunya. Tapi ia masih hidup — meski wajahnya pucat, dan napasnya mulai berat.

“Aku bilang... aku akan melindungimu…” gumamnya.

Laras menunduk. Tubuhnya bergetar. Darah Alric merembes di tangannya.

Dan saat itu, kekuatan dalam dirinya *pecah*.

Simbol-simbol merah menyala di sekujur tubuhnya. Rambutnya terangkat perlahan, mata merahnya bersinar begitu terang hingga bayangan di sekitarnya mundur.

Langit kembali bergemuruh.

Dengan satu langkah, Laras melayang naik ke udara. Akar dan darah membentuk sayap di punggungnya. Tangannya terulur, dan Penjaga Tinggi terpaku, tubuhnya dicengkeram oleh kekuatan tak terlihat.

Kata-kata Laras keluar pelan, tapi membawa ancaman:

*“Kau menyakiti orang yang aku cintai. Maka aku… akan mengambil kembali rasa takut kalian.”*

Dengan satu teriakan, tubuh Penjaga Tinggi *terbelah*, lenyap jadi debu hitam yang tertelan langit.

Pasukan bayangan langsung buyar, kabut menarik diri kembali ke utara. Sosok bertopeng memutar tongkatnya sekali, lalu menghilang dalam suara retakan dimensi.

Pertempuran berakhir.

Senara berdiri terdiam, memandang Laras yang kini perlahan kembali ke tanah. Sayap darahnya menyusut, simbol-simbol di tubuhnya menghilang satu per satu.

Laras berlutut di samping Alric, memeluknya. “Kau masih hidup...”

Alric tersenyum lemah. “Aku akan tetap hidup. Karena kau... belum selesai berperang.”

Laras menunduk. Hatinya masih bergemuruh. Tapi kali ini, bukan karena takut.

Karena untuk pertama kalinya… ia tahu siapa dirinya.

Dan ia tahu, ini… baru permulaan.

---

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Bayang di Balik Kabut   BAB 12: Malam Yang Dijanjikan

    Hujan turun deras di perbukitan tempat Laras dan yang lain bersembunyi. Tapi bukan hujan biasa—tetesannya berwarna gelap, seperti darah yang menipis di udara. Langit diselimuti awan merah, tanda bahwa *bulan darah* sebentar lagi akan muncul.Laras berdiri di tepi jurang, menatap lembah luas yang akan menjadi medan perang.“Kamu yakin ini tempatnya?” tanya Alric, berdiri di sampingnya.“Kalindra akan buka gerbang penuh di sini,” jawab Laras. “Tempat pertama kali leluhur kita mengikat perjanjian darah.”Senara datang sambil membawa peta kuno. “Ada jalur masuk tersembunyi dari utara. Kita bisa gunakan itu untuk menyusup sebelum ritual dimulai.”Laras menatap ke arah kabut yang menggantung tebal. *Malam ini bukan hanya pertarungan darah—ini pertarungan pilihan.*“Aku tidak akan menyerah, Alric. Meski dia ayahku. Meski yang harus aku lawan adalah bagian dari diriku sendiri.”Alric menggenggam tangannya erat. “Dan aku tidak akan melepaskanmu. Meski dunia memaksa.”Kabut tebal menggulung per

  • Bayang di Balik Kabut   BAB 11: Darah Yang Menuntut

    *Tiga hari setelah kemunculan Kalindra.*Langit tak pernah lagi biru sepenuhnya. Ada semburat merah samar setiap pagi, seolah dunia sedang menahan napas. Desa terdekat mulai merasakan ketegangan: ladang gagal panen, ternak mati tanpa sebab, dan mimpi buruk menjangkiti anak-anak.Laras duduk di tepi danau kecil di dekat hutan. Airnya memantulkan wajahnya—tapi kali ini, bayangannya bukan miliknya sendiri. Itu *Kalindra*, menatap balik dari permukaan air, tersenyum tenang.Laras memukul air itu dengan tangannya, gemetar. “Aku nggak akan kalah... walaupun darah kita sama.”Dari belakang, Alric datang diam-diam dan duduk di sampingnya. “Kalau dia memang bagian dari warisan yang sama, mungkin kita perlu tahu lebih banyak soal masa lalu keluargamu.”Laras menoleh. “Aku nggak tahu siapa ibuku. Ayahku meninggal sebelum sempat cerita.”Alric mengeluarkan sebuah gulungan tua dari jubahnya. “Aku menemukan ini di perpustakaan bawah kuil vampir tua di utara. Isinya... tentang *Perjanjian Da

  • Bayang di Balik Kabut   BAB 10: Bayangan Yang Bangkit

    *Tiga hari berlalu.* Lembah di mana monolit berdiri kini berubah menjadi tanah suci yang tak bisa dimasuki sembarang orang. Sejak Laras dan Alric membuka ingatan masa lalu, langit di atas lembah itu selalu merah saat senja. Tidak gelap… tapi juga tidak damai. Senara duduk di tepi bukit, matanya tak lepas dari awan-awan aneh yang berputar di utara. “Sesaat setelah cinta kalian terbuka, mereka langsung kirim pasukan. Kayak mereka takut sesuatu bangkit.” Laras menatap tanah lembah. “Mereka tahu. Cinta ini bukan cuma kekuatan. Ini kunci.” Alric muncul dari balik pepohonan, wajahnya serius. “Aku baru kembali dari desa sebelah. Mereka juga dapat mimpi buruk.” Laras mengernyit. “Mimpi?” Alric mengangguk. “Tentang sosok tinggi… bermata merah… dan membawa rantai dari tulang.” Senara berdiri cepat. “Itu bukan mimpi. Itu *Bayangan Penjaga*. Dia cuma muncul kalau batas antara dunia lama dan dunia sekarang mulai runtuh.” Laras menatap Alric dengan ngeri. “Maksudmu... kita nggak cuma

  • Bayang di Balik Kabut   BAB 9: Retakan Didalam Cinta

    Desa telah sepi. Bukan karena penduduknya pergi—tapi karena semua orang kini hidup dalam *diam dan ketakutan*. Setelah ledakan energi dari pertarungan kemarin, banyak yang percaya bumi itu sendiri mulai menolak keberadaan Laras dan Alric. Mereka berdua kembali berjalan menyusuri desa, bahu membahu. Tapi tidak semua mata memandang mereka dengan rasa hormat. Beberapa memandang dengan waspada… bahkan curiga. “Aku mulai merasa asing di tempat ini,” kata Alric pelan. Laras menggenggam tangannya. “Kita tak butuh pengakuan mereka. Kita butuh waktu. Dan kamu.” Namun belum sempat langkah mereka jauh, seseorang menghadang mereka di tengah jalan—*kepala penjaga desa*, tua, berjubah coklat tanah, dengan wajah keras. “Kalian membawa kutukan ke tanah ini,” katanya datar. “Langit berubah. Binatang di hutan pergi. Dan orang-orang mulai bermimpi buruk setiap malam.” “Kami sedang melawan kekuatan yang lebih besar,” jawab Laras, menahan emosi. “Masalahnya,” lanjut sang penjaga, “kalian bukan lag

  • Bayang di Balik Kabut   BAB 8 : Api yang diam

    Pagi menyelimuti hutan dengan kabut tipis. Tapi tidak ada damai di dalamnya—*hutan itu sunyi karena takut.* Langkah Laras pelan tapi pasti. Di belakangnya, Senara mengikuti dengan mata penuh tanda tanya. Aura emas darah Laras belum mereda sepenuhnya. Ia seperti menyimpan *api dalam diam*—tidak membakar, tapi siap meledak kapan saja. "Ke mana kita sekarang?" tanya Senara. "Ke Alric," jawab Laras singkat. Mereka melintasi jalur tanah yang telah berubah bentuk. Bekas pertempuran semalam masih terlihat. Pohon-pohon patah, tanah hangus, dan... *darah*. Banyak darah. Tapi tidak ada tubuh. Hanya kehancuran. Laras berhenti di tengah lapangan kecil di tepi sungai. Di sana, berdiri sosok yang dikenalnya.Alric. Ia berdiri diam, punggung menghadap Laras, tubuhnya berlumur luka kering. Tapi ada yang aneh. Aura di sekelilingnya berbeda. Terlalu tenang. Terlalu... kosong. "Alric!" Laras berlari mendekat. Saat pria itu menoleh, Laras langsung terdiam. Mata Alric tak lagi berwarna emas—melai

  • Bayang di Balik Kabut   BAB 7: Bayang yang mengikuti

    Malam itu sunyi, tapi tidak damai.Desa masih berbau asap dan darah. Banyak rumah hancur sebagian, dan tanah di luar pagar penuh bekas luka — bukan luka biasa, tapi *luka yang tidak akan sembuh* karena ditinggalkan oleh makhluk kegelapan.Laras duduk di samping Alric yang masih terbaring. Tubuhnya mulai pulih, tapi napasnya belum stabil.“Kau seharusnya tidak menahan sabit itu sendiri,” bisik Laras.Alric membuka mata pelan. “Kalau bukan aku, siapa lagi? Aku sudah pernah kehilangan orang yang kucintai sekali. Aku tidak akan ulangi itu lagi.”Laras menggenggam tangannya. “Aku juga tidak ingin kehilangan kamu.”Di luar, Senara berdiri menatap langit dari atas menara kayu.“Perang ini belum selesai,” gumamnya. “Mereka mundur bukan karena kalah… tapi karena puas. Sekarang mereka tahu seberapa kuat Laras.”Dari balik pepohonan, bayangan kecil menyelinap, bergerak pelan. Seperti… *mengintai*.Senara menoleh cepat. “Siapa di sana?”Tak ada jawaban. Tapi udara terasa lebih dingin. Dan di atas

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status