Langit malam sudah gelap ketika Anisa kembali ke apartemennya. Namun, hati dan pikirannya masih penuh dengan keraguan dan ketidakpastian. Pertemuan dengan Reza hanya menambah berat beban di dadanya, seolah-olah ada sesuatu yang menggerogoti perasaannya, membuatnya semakin terpuruk dalam kegelapan.
Ketika membuka pintu apartemen, ia mendapati ruangan itu terasa lebih dingin dari biasanya. Anisa menghela napas panjang, mengaktifkan lampu-lampu di sekitarnya dengan tangan gemetar. Ia berjalan menuju dapur, berharap secangkir teh hangat bisa sedikit meredakan ketegangan yang menyelimuti dirinya. Namun, sebelum sempat ia mencapai dapur, sebuah ketukan keras terdengar dari pintu. Anisa terkejut, tubuhnya menegang. Siapa yang datang malam-malam begini? Pikirnya, cemas. Dengan langkah hati-hati, ia menuju pintu, mengintip dari lubang kecil yang terpasang di sana. Di luar, berdiri seorang pria yang tak ia kenali. Wajahnya tirus, dengan tatapan mata tajam yang membuat Anisa merasa tidak nyaman. Jaket hitamnya yang panjang memberikan kesan menakutkan, seolah-olah pria itu baru saja keluar dari bayang-bayang kegelapan. "Siapa ini?" Anisa bergumam pelan, mencoba menenangkan detak jantungnya yang berdegup kencang. Namun, ketika ia hendak mundur, ketukan itu terdengar lagi, lebih keras kali ini, membuat Anisa tersentak. "Aku tahu kau di dalam, Anisa," suara pria itu terdengar dari luar, dalam dan serak. "Aku hanya ingin bicara. Ini penting." Anisa terdiam, merasa bingung dan was-was. Dari mana pria itu tahu namanya? Tanpa alasan yang jelas, pikirannya melayang ke Arya, pria misterius yang ditemuinya di taman malam itu. Apakah pria di luar ini ada hubungannya dengan Arya? Apakah ini jebakan? Setelah beberapa detik penuh keraguan, Anisa akhirnya membuka pintu sedikit, cukup untuk melihat wajah pria itu dengan lebih jelas. "Apa yang kau inginkan?" tanyanya dengan nada tegas, berusaha menyembunyikan rasa takut yang mulai menguasai dirinya. Pria itu menatapnya dengan mata yang dingin, seolah menembus jiwanya. "Namaku adalah Adrian," jawabnya singkat, "dan aku datang untuk memperingatkanmu." "Peringatan? Tentang apa?" Anisa mulai merasa aneh dengan situasi ini. Pria ini jelas bukan orang yang ia kenal, dan perasaan tidak nyaman terus menyelimutinya. Adrian menghela napas berat, seolah apa yang akan ia sampaikan membawa beban besar. "Arya, laki-laki yang kau temui di taman, bukan orang biasa. Dia lebih berbahaya daripada yang bisa kau bayangkan. Jika kau terlibat dengannya, hidupmu tidak akan pernah sama lagi." Kata-kata Adrian membuat Anisa membeku. Bagaimana dia tahu tentang Arya? Apa yang dia maksud dengan 'berbahaya'? Segala hal yang terjadi terasa begitu cepat dan membingungkan. "Aku tidak tahu siapa kau, dan aku tidak paham apa yang kau bicarakan," kata Anisa, berusaha menyembunyikan kegelisahan dalam suaranya. "Tentu saja kau tidak tahu," Adrian berkata dengan nada datar, namun ada sedikit kegeraman di balik kata-katanya. "Tapi dengarkan aku. Arya telah menghancurkan banyak kehidupan, dan jika kau tidak berhati-hati, kau bisa menjadi korban berikutnya." Hati Anisa mulai berpacu dengan cepat. "Menghancurkan hidup orang? Apa maksudmu? Apakah dia seorang kriminal?" Adrian terdiam sejenak, seolah-olah berpikir sebelum menjawab. "Lebih dari sekadar kriminal. Dia memiliki cara untuk mengendalikan orang, membuat mereka melakukan hal-hal yang tak terbayangkan. Dan sekali kau terjebak dalam permainannya, kau tidak akan pernah bisa keluar." Rasa takut yang menggelayuti hati Anisa semakin kuat. Siapa sebenarnya Arya? Dan mengapa dia merasa begitu tertarik pada pria itu meskipun ada sesuatu yang membuatnya merasa tak nyaman? Kata-kata Adrian seolah memicu serangkaian pertanyaan yang belum bisa ia jawab. "Kenapa kau memperingatkan aku?" tanya Anisa, suaranya sedikit bergetar. "Apa yang membuatmu peduli?" Adrian menatapnya dalam-dalam, dan Anisa merasakan ada sesuatu yang lebih besar di balik mata dingin pria itu. "Karena aku pernah berada di posisimu, Anisa. Aku pernah terjebak dalam jaringannya, dan aku tahu betapa sulitnya keluar. Tapi aku berhasil. Dan aku tidak ingin melihat orang lain mengalami hal yang sama." Anisa merasakan ada sesuatu yang lebih dalam pada cerita Adrian, namun sebelum ia sempat bertanya lebih lanjut, Adrian melangkah mundur, bersiap untuk pergi. "Ingat, Anisa," katanya, dengan nada penuh kewaspadaan, "jika kau merasa sesuatu yang tidak beres, pergilah. Jangan tunggu sampai terlambat." Dengan kalimat terakhir itu, Adrian berbalik dan berjalan menjauh, menghilang di kegelapan malam. Anisa masih berdiri di ambang pintu, terpaku di tempatnya. Pikirannya berputar-putar, mencoba mencerna semua yang baru saja terjadi. Keesokan harinya, Anisa bangun dengan perasaan yang aneh. Mimpi-mimpi buruk menghantui tidurnya, bayang-bayang Adrian dan Arya silih berganti muncul dalam ingatannya. Seolah-olah pikirannya sendiri sedang berperang, mencari kebenaran di tengah-tengah lautan kebingungan. Di tempat kerjanya, Anisa mencoba untuk fokus, tetapi pikirannya terus-menerus terganggu oleh pertemuan dengan Adrian. Siapa pria itu sebenarnya? Dan yang lebih penting, apakah ia harus mempercayai peringatannya? Pikiran tentang Arya kini diliputi oleh kecurigaan dan rasa takut yang tak pernah ia rasakan sebelumnya. Malamnya, saat Anisa sedang duduk di sofa dengan segelas anggur di tangan, ponselnya berdering. Nama Arya muncul di layar, dan jantung Anisa berdetak kencang. Tiba-tiba, semua peringatan Adrian kembali terngiang di kepalanya. Ia ragu-ragu sejenak sebelum akhirnya menjawab panggilan itu. "Anisa," suara Arya terdengar di seberang sana, dalam dan tenang seperti biasa. Namun kali ini, ada sesuatu dalam suaranya yang membuat Anisa merasa tidak nyaman. "Halo, Arya," jawabnya dengan suara yang ia coba buat setenang mungkin. "Ada apa?" "Aku hanya ingin memastikan kau baik-baik saja," kata Arya, dan ada senyum yang bisa Anisa rasakan di balik suaranya. "Aku merasa kita belum selesai berbicara malam itu." Perasaan aneh menjalari tubuh Anisa. "Malam itu? Maksudmu, saat kita bertemu di taman?" "Ya," jawab Arya pelan, "malam itu adalah awal dari sesuatu yang penting, Anisa. Sesuatu yang bisa mengubah segalanya, jika kau memberiku kesempatan." Kata-kata Arya, meskipun terdengar menggoda, kini terasa mengandung ancaman tersembunyi. Anisa terdiam sejenak, memikirkan peringatan Adrian dan kata-kata Arya yang penuh misteri. Dalam hatinya, ia merasa seperti sedang berdiri di tepi jurang, tidak tahu apakah ia harus melangkah maju atau mundur. "Aku tidak tahu, Arya," jawabnya akhirnya, dengan suara yang bergetar. "Aku butuh waktu untuk berpikir." "Ambil waktu yang kau butuhkan," kata Arya dengan nada yang lembut namun tegas. "Tapi ingatlah, Anisa, bahwa kesempatan seperti ini tidak datang dua kali." Panggilan berakhir, meninggalkan Anisa dalam keheningan yang menakutkan. Hatinya berdebar kencang, seolah-olah ia baru saja melangkah lebih dekat ke dalam jebakan yang tak terlihat. Ia tahu bahwa keputusannya selanjutnya bisa mengubah hidupnya selamanya baik atau buruk, ia belum bisa memastikan. Anisa duduk di sofa, memandangi gelas anggur yang ada di tangannya. Hidupnya, yang dulu begitu biasa dan tenang, kini berubah menjadi permainan yang penuh dengan misteri dan bayang-bayang masa lalu yang gelap.Hari yang dinanti-nantikan akhirnya tiba. Anisa berdiri di depan cermin besar, mengenakan gaun pengantin putih yang indah. Semua perhiasan yang dipilihnya dengan hati-hati kini menghiasi tubuhnya, memantulkan cahaya dari lampu yang menyinari ruang rias. Meskipun begitu, perasaan Anisa campur aduk. Ada kegembiraan, ada rasa takut, namun yang paling terasa adalah kekosongan yang mendalam. Rasanya, semuanya seperti sebuah mimpi, dan Anisa tidak tahu apakah dia siap atau tidak untuk melangkah lebih jauh dalam hidupnya.Di luar, para tamu undangan sudah mulai berdatangan, menyapa satu sama lain dengan tawa dan senyum. Suasana di gedung itu penuh dengan kegembiraan. Tidak hanya keluarga dan teman-teman Anisa yang hadir, tetapi juga sejumlah rekan kerja Adrian, termasuk Malik yang telah lama menjadi sahabat Adrian, serta Roy, yang meskipun menjadi bagian dari masa lalu Anisa, masih datang untuk memberi selamat.Namun meskipun semua tamu sudah hadir dan gedung sudah penuh dengan orang-orang,
Hari-hari berlalu setelah lamaran Adrian yang penuh harapan. Anisa mencoba untuk menyibukkan dirinya, berusaha menenangkan pikirannya yang terus dipenuhi oleh perasaan bingung. Namun meskipun dia berusaha mengalihkan perhatian, bayangan Adrian tak bisa hilang begitu saja. Keberadaan pria itu yang tulus, yang tanpa henti berusaha mendekatkan diri, seolah menjadi cahaya yang sulit ia hindari.Anisa menundukkan kepalanya saat bekerja di restoran. Pelanggan datang dan pergi, namun hatinya masih terjebak pada satu hal. Adrian. Meski sudah berulang kali berkata pada dirinya sendiri bahwa ia butuh waktu, ia tahu bahwa perasaannya kepada Adrian tidak semudah itu dilupakan. Perasaan hangat yang diberikan Adrian saat bersama, ketulusan yang ada di mata pria itu, semuanya terasa begitu nyata.Setiap kali Adrian datang menemuinya di restoran, ia tidak bisa menahan senyumnya. Meskipun hanya sesederhana menyapa atau mengobrol ringan di sela-sela kesibukannya, itu cukup membuat hatinya merasa lebih
Malam itu, udara terasa lebih hangat dari biasanya. Anisa baru saja selesai bekerja dan sedang merapikan meja ketika seorang pelayan mendekatinya dengan wajah ceria.“Anisa, kau dipanggil ke halaman belakang restoran,” kata pelayan itu sambil tersenyum penuh arti.Anisa mengerutkan kening. “Siapa yang memanggilku?”Pelayan itu hanya tersenyum misterius sebelum berlalu.Dengan rasa penasaran, Anisa melepas celemeknya dan berjalan menuju halaman belakang restoran. Begitu ia membuka pintu, matanya langsung membelalak.Lampu-lampu kecil tergantung di antara pepohonan, menciptakan suasana hangat dan romantis. Di tengah halaman, sebuah meja kecil dengan dua kursi sudah tertata rapi, lengkap dengan lilin yang menyala lembut.Dan di sana, berdiri seseorang yang sangat dikenalnya.Adrian.Pria itu mengenakan kemeja putih dengan lengan yang tergulung hingga siku. Wajahnya tampak sedikit tegang, tetapi matanya tetap memancarkan ketulusan yang selalu membuat Anisa merasa nyaman.“Adrian, apa ini?
Setelah semua luka yang Anisa alami, ia akhirnya mulai menemukan sedikit ketenangan dalam hidupnya. Pekerjaannya di restoran asing membuatnya sibuk, dan ia menikmati rutinitas baru tanpa harus memikirkan masa lalunya yang kelam.Di tempat kerja, ia bertemu dengan Adrian, seorang kepala koki yang memiliki kepribadian hangat dan perhatian. Awalnya, Anisa tidak terlalu memedulikan kehadiran pria itu. Namun, seiring berjalannya waktu, perhatian kecil yang diberikan Adrian membuat Anisa perlahan membuka hatinya.Adrian selalu memastikan bahwa Anisa tidak bekerja terlalu keras. Ia sering meninggalkan secangkir teh hangat di meja Anisa ketika gadis itu terlihat kelelahan. Kadang-kadang, ia juga menyelipkan cokelat di loker Anisa dengan catatan kecil bertuliskan:“Jangan terlalu serius bekerja. Hidup juga butuh sedikit manis-manis.”Anisa tidak bisa memungkiri bahwa sikap Adrian membuatnya merasa nyaman. Tidak ada paksaan, tidak ada kebohongan, hanya ketulusan.Suatu malam, setelah restoran t
Anisa menghela napas panjang saat melihat pantulan dirinya di cermin apartemen kecilnya. Sudah beberapa minggu sejak ia mulai mengenal Adrian, dan harus diakui, pria itu membawa warna baru dalam hidupnya. Tidak ada kesan terburu-buru atau tekanan dalam hubungan mereka. Adrian tidak pernah memaksanya untuk bercerita tentang masa lalunya, dan itu membuat Anisa merasa nyaman.Ia merapikan rambutnya lalu mengambil tas kecil sebelum keluar dari apartemen. Hari ini adalah hari liburnya, dan ia memutuskan untuk berjalan-jalan ke taman kota. Tidak ada tujuan khusus, hanya ingin menikmati udara segar dan menenangkan pikirannya.Saat sampai di taman, ia memilih duduk di bangku dekat air mancur. Beberapa anak kecil berlarian, bermain bola, sementara pasangan muda duduk berdua di bawah pohon rindang. Anisa mengamati mereka dengan tatapan kosong, bertanya-tanya apakah ia masih bisa merasakan kebahagiaan seperti itu.“Sendirian lagi?”Suara itu membuatnya tersentak. Ia menoleh dan melihat Adrian be
Anisa duduk di tepi tempat tidurnya, menatap langit-langit kamar apartemennya yang sederhana. Setelah pertemuan dengan Roy tadi malam, ia merasa lega, tetapi juga ada sedikit perasaan hampa yang sulit ia jelaskan. Mungkin karena ini pertama kalinya ia benar-benar menutup pintu bagi seseorang yang pernah mengisi hatinya, meskipun kenyataannya pahit.Hari ini, Anisa berencana untuk menghabiskan waktu sendiri. Ia ingin pergi ke tepi pantai yang tidak terlalu jauh dari kota, hanya sekitar satu jam perjalanan dengan bus. Ia butuh udara segar, butuh ketenangan yang hanya bisa ia temukan saat mendengar suara ombak dan angin laut.Setelah bersiap-siap, ia mengenakan dress berwarna krem dan membawa tas kecil berisi buku dan air minum. Anisa selalu merasa nyaman dengan membaca, seolah-olah dunia dalam buku bisa membantunya melupakan kenyataan yang kadang terlalu menyakitkan.Saat tiba di halte bus, ia duduk sambil menunggu kendaraan yang akan membawanya ke pantai. Cuaca hari ini cukup cerah, de