Accueil / Urban / Bayangan Pengkhianatan / Bab 3: Jejak Luka dan Langkah Pertama

Share

Bab 3: Jejak Luka dan Langkah Pertama

Auteur: Sanada
last update Dernière mise à jour: 2025-01-02 16:16:02

Alvaro perlahan mulai memahami ritme kehidupan jalanan. Hari-harinya dipenuhi perjuangan untuk bertahan hidup, tetapi ia tidak pernah kehilangan rasa ingin tahu. Dalam setiap langkah, ia memikirkan bagaimana caranya kembali ke kehidupan lamanya dan menemukan siapa yang telah menghancurkan dunianya.

Suatu pagi, Alvaro duduk di sudut gang yang penuh dengan poster usang dan tembok berlumut. Di tangannya, ada roti basi yang dibagi oleh Dika. Meski kecil, persahabatan mereka menjadi salah satu kekuatan terbesar yang membuat Alvaro bertahan.

“Apa kau tidak pernah berpikir untuk pergi dari sini?” tanya Alvaro sambil menggigit rotinya.

Dika menghela napas panjang. “Ke mana aku pergi? Ini rumahku. Semua orang di sini, meskipun keras, adalah keluargaku.”

“Tapi aku tidak bisa tinggal di sini selamanya,” gumam Alvaro.

Dika menatapnya dengan tatapan serius. “Kau berbeda, Alvaro. Aku tidak tahu dari mana asalmu, tapi aku bisa melihat kau punya sesuatu yang tidak dimiliki orang lain di sini. Mungkin kau benar, tempat ini bukan untukmu.”

Perkataan Dika menjadi pemicu bagi Alvaro. Ia merasa semakin yakin bahwa ia harus keluar dari kegelapan ini dan mengambil kembali apa yang telah dirampas darinya.

---

Dalam minggu-minggu berikutnya, Alvaro mulai mencoba mencari cara untuk menggali informasi tentang para penculiknya. Ia memperhatikan setiap orang yang datang dan pergi di kawasan kumuh itu, mencari tanda-tanda yang mungkin menghubungkan mereka dengan peristiwa penculikannya.

Suatu hari, saat ia membantu Dika mengumpulkan barang bekas di pasar malam, ia mendengar percakapan antara dua pria paruh baya yang tampak mencurigakan.

“Bos bilang kita harus tetap diam. Anak itu sudah dibuang ke tempat yang tepat,” kata salah satu pria dengan suara pelan.

“Kalau dia berhasil keluar dari tempat ini, kita yang kena masalah,” jawab pria lainnya.

Alvaro merasa jantungnya berdegup kencang. Ia yakin mereka sedang membicarakannya. Tanpa berpikir panjang, ia mengikuti kedua pria itu dari kejauhan. Mereka berjalan menuju sebuah bangunan tua yang tampak seperti gudang.

Namun, sebelum Alvaro bisa mendekat, sebuah tangan menariknya dari belakang. “Apa yang kau lakukan?” bisik Dika dengan nada khawatir.

“Aku harus tahu siapa mereka,” jawab Alvaro dengan tegas.

“Jangan bodoh! Mereka bisa membunuhmu!”

Dika menarik Alvaro menjauh, tetapi dalam hati, Alvaro berjanji akan kembali ke tempat itu.

Hari berikutnya, Alvaro bertemu kembali dengan Lila di tempat biasa ia membagikan makanan untuk anak-anak jalanan. Wanita muda itu adalah satu-satunya orang dewasa yang Alvaro percaya.

“Lila, aku ingin bertanya sesuatu,” kata Alvaro sambil menggenggam kaleng susu bekas yang telah ia isi air.

“Apa itu, Nak?” Lila tersenyum lembut, tetapi tatapannya langsung berubah serius saat melihat ekspresi Alvaro yang penuh tekad.

“Apa kau tahu ada gudang tua di dekat pasar malam?”

Lila tampak bingung. “Ada banyak gudang tua di daerah itu. Tapi kenapa kau menanyakannya?”

“Tidak ada alasan khusus,” jawab Alvaro cepat, mencoba menyembunyikan niatnya.

Namun, Lila tidak mudah dibodohi. Ia meraih bahu Alvaro dan menatapnya tajam. “Kau tidak sedang berusaha melakukan sesuatu yang berbahaya, kan?”

Alvaro menggeleng, tetapi dalam hati, ia tahu bahwa langkah selanjutnya akan semakin berisiko.

---

Malam itu, Alvaro kembali ke gudang tua di pasar malam. Ia membawa sebilah pisau kecil yang ia temukan di tumpukan sampah, hanya untuk berjaga-jaga.

Dengan langkah hati-hati, ia mendekati pintu gudang yang terbuka sedikit. Dari celah pintu, ia bisa melihat dua pria yang ia ikuti sebelumnya sedang berbicara dengan seseorang yang wajahnya tertutup bayangan.

“Kita tidak perlu khawatir. Anak itu tidak akan bertahan lama di tempat seperti ini,” kata suara itu.

“Tapi bagaimana jika keluarga Pratama menemukan jejak kita?” tanya salah satu pria.

“Tidak ada yang akan menemukan kita. Ingat, ini bukan hanya rencana Harsono. Ada seseorang dari keluarga mereka sendiri yang membantu kita.”

Kata-kata itu membuat tubuh Alvaro membeku. Pengkhianatan dari dalam keluarganya? Siapa yang tega melakukan itu?

Namun, sebelum Alvaro bisa mendengar lebih banyak, ia menginjak pecahan kaca yang membuat suara nyaring. Orang-orang di dalam gudang langsung terdiam.

“Siapa di luar sana?” bentak salah satu pria.

Alvaro dengan cepat berlari menjauh, menghilang ke dalam kegelapan malam.

Setelah kejadian di gudang, Alvaro tidak bisa tidur. Kata-kata yang ia dengar terus terngiang di kepalanya. “Seseorang dari keluarga mereka...”

Ia mencoba mengingat semua anggota keluarganya. Siapa yang mungkin tega menghancurkan hidupnya?

Di sisi lain, Dika mulai curiga dengan sikap Alvaro yang semakin aneh. “Kau menyembunyikan sesuatu dariku, kan?” tanyanya suatu malam saat mereka duduk di bawah jembatan.

“Aku tidak bisa memberitahumu, Dika. Tapi aku berjanji, ketika semuanya sudah selesai, kau akan tahu,” jawab Alvaro dengan nada penuh emosi.

Meskipun kecewa, Dika memutuskan untuk mendukung Alvaro, apa pun yang sedang ia rencanakan.

Hubungan antara Alvaro dan Dika semakin erat, meskipun Dika tidak tahu seluruh kebenaran tentang Alvaro. Suatu hari, saat mereka sedang mencari sisa makanan di pasar, Dika membela Alvaro dari seorang preman yang mencoba mencuri roti mereka.

“Kau tidak akan menyentuh temanku!” teriak Dika sambil memukul preman itu dengan sebatang kayu.

Meskipun mereka akhirnya harus melarikan diri, kejadian itu membuat Alvaro semakin menghargai Dika. “Terima kasih, Dika. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi jika kau tidak ada.”

“Kita adalah keluarga sekarang. Kau akan melakukan hal yang sama untukku, kan?” jawab Dika sambil tersenyum.

---

Setelah beberapa hari menyusun rencana, Alvaro memutuskan untuk kembali ke gudang tua, kali ini dengan persiapan lebih baik. Ia membawa Dika bersamanya, meskipun awalnya Dika menolak.

“Jika kau ingin tetap hidup, jangan membuat suara apa pun,” bisik Alvaro.

Mereka mengendap-endap di sekitar gudang, mendengarkan percakapan dari jendela kecil di atas. Kali ini, mereka mendengar lebih banyak tentang rencana Harsono dan bagaimana ia melibatkan seseorang dari dalam keluarga Pratama.

Namun, sebelum mereka bisa kabur, salah satu pria di dalam melihat bayangan mereka. “Hei! Ada orang di sana!”

Alvaro dan Dika langsung berlari, tetapi para pria itu mengejar mereka dengan motor. Dalam keputusasaan, Alvaro dan Dika menyelinap ke dalam pasar yang ramai, mencoba menghilang di antara kerumunan.

Meski berhasil lolos, Alvaro tahu bahwa waktunya semakin sedikit. Ia harus bertindak cepat jika ingin mengungkap kebenaran dan kembali ke keluarganya.

Continuez à lire ce livre gratuitement
Scanner le code pour télécharger l'application

Latest chapter

  • Bayangan Pengkhianatan    Bab 46: Bayangan yang Tersisa

    Alvaro berdiri diam di tengah gudang tua yang kini sunyi mencekam. Tubuh Harsono tergeletak tak berdaya di lantai beton yang dingin, darah mengalir dari luka di wajahnya yang memar dan bengkak. Napasnya lemah, nyaris tak terdengar. Di sekitar mereka, sisa-sisa pertarungan berserakan: pecahan kaca, senjata yang terjatuh, dan bayangan masa lalu yang menghantui Alvaro tanpa henti. Ricardo, Selena, dan Carlos berdiri tak jauh dari sana, wajah mereka dipenuhi kepedihan dan kekecewaan. Mereka menyaksikan dengan mata kepala sendiri bagaimana Alvaro, teman yang dulu mereka kenal, telah berubah menjadi seseorang yang begitu asing—penuh kebencian dan dendam. Mereka tak lagi mengenali sosok yang berdiri di hadapan mereka. “Sudah cukup, Alvaro,” suara Ricardo pecah dalam keheningan, suaranya penuh rasa sakit. “Kau sudah membalas dendammu. Harsono sudah hancur... Apa lagi yang kau inginkan?” Alvaro menoleh perlahan, menatap Ricardo dengan mata tajam yang dipenuhi kekosongan. “Keadilan... untuk

  • Bayangan Pengkhianatan    Bab 45: Pertarungan Tanpa Ampun

    Gudang tua itu berdiri sunyi di tengah kawasan industri yang ditinggalkan, dikelilingi oleh puing-puing bangunan yang runtuh dan jalanan berdebu. Angin malam berhembus pelan, membawa aroma karat dan kelembaban yang menusuk hidung. Di dalam gedung yang gelap dan dingin itu, Alvaro berdiri tegak, menatap Harsono yang terpojok di sudut ruangan. Wajah Harsono memucat. Tubuh tuanya bergetar dalam ketakutan yang tak mampu ia sembunyikan. Mata Alvaro menyala dengan api kebencian yang begitu dalam, mencerminkan amarah yang telah terpendam sejak masa kecilnya yang hancur. Malam ini adalah akhir dari semua dendam yang telah membayangi hidupnya. Malam ini, semuanya akan berakhir. “A-Alvaro...” Suara Harsono gemetar, penuh rasa takut. “K-kita bisa bicarakan ini...” “Bicara?” Alvaro menyeringai sinis, langkah kakinya mantap mendekat. “Apa kau pernah membiarkanku bicara saat kau menculikku? Saat kau membuangku seperti sampah tanpa peduli apa yang terjadi padaku?” Harsono menelan ludah, keringat

  • Bayangan Pengkhianatan    Bab 44: Topeng yang Terkoyak

    Hujan mengguyur kota dengan deras, menambah kelam suasana malam itu. Petir menyambar, menampakkan bayangan gedung megah milik Harsono yang berdiri kokoh di puncak bukit. Dari kejauhan, Alvaro memandangi tempat itu dengan tatapan tajam, wajahnya tak menunjukkan emosi sedikit pun. “Aku sudah sampai di sini... Setelah bertahun-tahun hidup dalam bayangan, saatnya menunjukkan siapa aku sebenarnya,” gumam Alvaro pelan. Langkah kakinya mantap saat dia mendekati gerbang utama. Dengan gerakan cepat, ia melumpuhkan penjaga tanpa suara. Tubuh-tubuh tak berdaya jatuh ke tanah sementara Alvaro terus melangkah, tatapannya lurus ke arah pintu masuk utama. Suara alarm berbunyi nyaring. Harsono sudah menunggunya. Di dalam ruang kerjanya yang mewah, Harsono berdiri menghadap jendela besar. Dia tahu bahwa orang yang menyerang jaringannya selama ini akhirnya datang untuk menemuinya. Dengan tenang, ia menyesap anggur merah dari gelas kristal di tangannya. Langkah kaki terdengar mendekat. Harsono berb

  • Bayangan Pengkhianatan    Bab 43: Jejak Pengkhianatan

    Alvaro berdiri di atas atap gedung tua, menatap hiruk-pikuk kota di bawahnya. Lampu-lampu kota bersinar terang, namun hatinya dipenuhi kegelapan yang pekat. Udara malam berhembus dingin, menggoyangkan ujung jaket hitam yang dikenakannya. Tatapannya tajam dan penuh perhitungan. Dia tahu betul bahwa langkah pertama dalam rencananya adalah menghancurkan jaringan bisnis Harsono. Tapi dia tidak bisa melakukannya sendiri. Untuk itu, dia membutuhkan informasi yang akurat dan bantuan dari orang-orang yang tahu betul kelemahan lawannya. Alvaro mengingat wajah-wajah yang dulu pernah berdiri di sisinya—Ricardo, Selena, dan Carlos. Mereka bertiga pernah menjadi sahabatnya, rekan yang dia percayai sepenuh hati. Namun ketika dia kembali sebagai Alvaro yang berbeda, mereka menolaknya, menganggapnya sebagai musuh. “Itu bukan salah mereka,” pikir Alvaro dalam hati. “Mereka tidak tahu apa yang sudah kulalui... apa yang harus kualami sendirian.” Namun, Alvaro juga tahu bahwa untuk mencapai tujuannya

  • Bayangan Pengkhianatan    Bab 42: Bayangan Balas Dendam

    Alvaro berlari menembus gelapnya malam, nafasnya memburu. Suara langkah kaki terdengar memburu dari arah belakang, menggema di sepanjang lorong sempit yang berliku. Ricardo, Selena, dan Carlos masih mengejarnya dengan gigih, tidak rela melepaskannya begitu saja. Dia menyelinap masuk ke dalam gang sempit, tubuhnya menyatu dengan bayang-bayang gedung tua yang reyot. Keringat dingin mengalir di pelipisnya, namun wajahnya tetap datar, tanpa ekspresi gentar sedikit pun. Di balik matanya, pikiran bergerak cepat, mencari cara untuk menghilang dari kejaran mereka. “Aku tidak akan berhenti sampai kau tertangkap, Alvaro!” teriak Ricardo dengan napas tersengal. Selena dan Carlos berusaha mengepungnya dari dua arah. Mereka tahu betul kemampuan Alvaro dalam melarikan diri, dan tidak ingin memberinya celah sedikit pun. Namun Alvaro sudah memperhitungkan semuanya. Dengan gesit, dia melompat ke atas tumpukan kotak kayu dan naik ke atap bangunan rendah di sampingnya. Dari sana, dia melompat ke ata

  • Bayangan Pengkhianatan    Bab 41: Kebenaran yang Tersembunyi

    Sunyi yang mencekam masih menggantung di udara setelah Ricardo, Selena, dan Carlos menyadari kenyataan pahit itu—ada pengkhianat di antara mereka.Mata mereka saling bertautan, masing-masing mencoba membaca pikiran satu sama lain, mencari tanda-tanda kebohongan.Carlos, yang masih berlumuran darah dan lemah karena luka-lukanya, menarik napas berat. “Kita tidak bisa membiarkan paranoia menghancurkan kita dari dalam.”“Tapi kita juga tidak bisa membiarkan pengkhianat tetap bersama kita,” kata Selena tajam.Ricardo menghela napas. “Tidak ada gunanya saling menuduh tanpa bukti. Yang terpenting sekarang, kita harus keluar dari sini sebelum lebih banyak orang Konstantin datang.”Namun, sebe

Plus de chapitres
Découvrez et lisez de bons romans gratuitement
Accédez gratuitement à un grand nombre de bons romans sur GoodNovel. Téléchargez les livres que vous aimez et lisez où et quand vous voulez.
Lisez des livres gratuitement sur l'APP
Scanner le code pour lire sur l'application
DMCA.com Protection Status