Beranda / Urban / Bayangan Pengkhianatan / Bab 4: Luka Lama yang Terbuka

Share

Bab 4: Luka Lama yang Terbuka

Penulis: Sanada
last update Terakhir Diperbarui: 2025-01-02 16:16:15

Malam itu, udara di kawasan kumuh terasa lebih dingin dari biasanya. Alvaro duduk di atas atap sebuah bangunan reyot, menatap bulan yang bersinar redup di langit. Di dalam hatinya, berbagai pertanyaan terus berputar. Siapa dari keluarganya yang tega mengkhianatinya? Apakah mereka benar-benar membenci dirinya atau keluarganya?

Di sisi lain, Dika duduk di dekat api kecil bersama anak-anak jalanan lainnya. Ia melirik ke arah Alvaro, merasa ada sesuatu yang semakin berat membebani pikiran sahabat barunya itu.

“Alvaro, apa kau yakin tidak apa-apa?” tanya Dika saat ia akhirnya bergabung dengan Alvaro di atas atap.

“Aku hanya... merasa lelah,” jawab Alvaro singkat, meskipun matanya penuh dengan kebingungan dan kemarahan yang ia sembunyikan.

“Kau tidak sendirian. Apa pun yang kau hadapi, aku akan ada untukmu,” kata Dika dengan nada tegas.

Kata-kata Dika membuat Alvaro merasa sedikit tenang. Namun, ia tahu bahwa perjalanannya masih panjang dan penuh bahaya.

Keesokan harinya, Alvaro memutuskan untuk kembali ke gudang tua itu, meskipun Dika menentangnya.

“Kau gila! Mereka sudah tahu kita pernah ada di sana. Kalau kau tertangkap, kau bisa mati!” seru Dika dengan nada marah.

“Tapi ini satu-satunya cara untuk menemukan jawaban. Aku tidak bisa berhenti sekarang,” jawab Alvaro dengan penuh tekad.

Akhirnya, setelah perdebatan panjang, Dika memutuskan untuk ikut lagi, meskipun hatinya dipenuhi ketakutan.

Mereka menyelinap ke sekitar gudang dengan lebih hati-hati. Kali ini, mereka melihat lebih banyak orang berkumpul di dalam. Ada sebuah pertemuan yang tampaknya penting.

Dari celah jendela, mereka mendengar salah satu pria berkata, “Kita harus segera menyelesaikan rencana ini sebelum mereka menemukan jejak kita. Harsono sudah kehilangan kesabaran.”

“Bagaimana dengan anak itu?” tanya pria lain.

“Tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Selama dia tetap di tempat itu, dia tidak akan bisa melakukan apa-apa.”

Alvaro mengepalkan tangan. Ia tahu bahwa mereka sedang membicarakannya.

Namun, sebelum mereka bisa mendengar lebih banyak, salah satu pria di dalam gudang mendekati jendela, membuat Alvaro dan Dika segera mundur dan melarikan diri.

---

Setelah berhasil kabur, Alvaro dan Dika beristirahat di sebuah taman kecil yang terlantar. Napas mereka terengah-engah, tetapi pikiran Alvaro dipenuhi dengan kemarahan dan kekecewaan.

“Mereka tahu siapa aku. Mereka sengaja meninggalkanku di sini untuk memastikan aku tidak pernah kembali,” gumam Alvaro.

“Siapa sebenarnya mereka? Dan kenapa kau menjadi target mereka?” tanya Dika, kali ini dengan nada yang lebih lembut.

Akhirnya, Alvaro menceritakan segalanya kepada Dika. Tentang kehidupannya sebagai anak keluarga kaya, tentang penculikan itu, dan tentang kecurigaannya terhadap pengkhianatan dari dalam keluarganya sendiri.

“Aku tidak tahu siapa di keluargaku yang tega melakukan ini, tapi aku akan menemukan mereka. Aku tidak peduli seberapa jauh aku harus pergi,” ujar Alvaro dengan mata yang berkilat penuh tekad.

Dika hanya terdiam, mencoba mencerna semua informasi itu. Ia tidak pernah membayangkan bahwa sahabatnya yang kini hidup di jalanan sebenarnya adalah anak dari keluarga kaya raya.

Setelah mendengar cerita Alvaro, Dika mulai merasa canggung. Meskipun ia tidak mengatakan apa-apa, Alvaro bisa merasakan ada jarak yang mulai tumbuh di antara mereka.

“Aku tahu ini banyak untuk kau cerna. Tapi aku tidak ingin kehilanganmu sebagai teman,” kata Alvaro suatu malam.

“Aku hanya... tidak tahu bagaimana harus bersikap,” jawab Dika jujur. “Aku tidak pernah membayangkan bahwa kau berasal dari dunia yang begitu berbeda.”

Namun, meskipun ada ketegangan di antara mereka, Dika tetap mendukung Alvaro. Mereka tahu bahwa mereka hanya memiliki satu sama lain di tengah kehidupan yang keras ini.

---

Beberapa hari kemudian, saat Alvaro dan Dika sedang mencari makanan di pasar, mereka bertemu dengan seorang pria tua bernama Pak Surya. Pria itu adalah pedagang kecil yang sering membantu anak-anak jalanan dengan memberi mereka makanan atau tempat berlindung.

Pak Surya menatap Alvaro dengan tajam. “Kau bukan anak biasa di sini, ya?” tanyanya tiba-tiba.

Alvaro terkejut, tetapi ia mencoba tetap tenang. “Kenapa Bapak bilang begitu?”

“Aku sudah lama hidup di sini. Aku bisa melihat dari caramu bicara, caramu berjalan. Kau bukan berasal dari tempat ini,” jawab Pak Surya sambil tersenyum tipis.

Meskipun awalnya ragu, Alvaro akhirnya menceritakan sebagian kisahnya kepada Pak Surya. Pria tua itu mendengarkan dengan penuh perhatian, lalu berkata, “Kalau kau ingin kembali ke duniamu, kau harus pintar. Dunia ini keras, tapi dunia di atas sana jauh lebih berbahaya.”

Pak Surya kemudian memberikan Alvaro sebuah alamat. “Datangi tempat ini. Mungkin mereka bisa membantumu.”

---

Alamat yang diberikan Pak Surya mengarah ke sebuah rumah kecil di pinggiran kota. Alvaro dan Dika pergi ke sana dengan penuh harapan, meskipun mereka tidak tahu apa yang akan mereka temui.

Di rumah itu, mereka bertemu dengan seorang wanita bernama Bu Mira, yang ternyata adalah mantan karyawan keluarga Pratama.

“Aku mengenal keluargamu, Alvaro. Aku bekerja untuk mereka selama bertahun-tahun sebelum aku dipecat karena tuduhan yang tidak pernah aku lakukan,” kata Bu Mira dengan nada pahit.

Alvaro terkejut. “Tuduhan apa?”

“Mereka bilang aku mencuri perhiasan Nyonya Veronica. Padahal, aku tahu itu adalah ulah seseorang di dalam keluarga yang ingin menjatuhkanku.”

Kata-kata Bu Mira membuat Alvaro semakin yakin bahwa ada pengkhianat di keluarganya.

Setelah mendengar cerita Bu Mira, Alvaro merasa bahwa ia harus kembali ke kota untuk menyelidiki lebih jauh. Namun, ia tahu bahwa ia membutuhkan lebih banyak kekuatan dan informasi sebelum menghadapi keluarganya.

Dika, meskipun awalnya enggan, akhirnya setuju untuk membantu Alvaro. “Kau tidak bisa melakukannya sendirian. Aku akan mendukungmu, apa pun yang terjadi,” katanya.

Mereka mulai merencanakan langkah-langkah berikutnya, termasuk bagaimana cara mendapatkan informasi lebih lanjut tentang Harsono dan hubungannya dengan keluarga Pratama.

Namun, di tengah persiapan mereka, bahaya semakin dekat. Orang-orang yang bekerja untuk Harsono mulai menyadari bahwa Alvaro masih hidup dan berusaha mengungkap kebenaran.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Bayangan Pengkhianatan    Bab 46: Bayangan yang Tersisa

    Alvaro berdiri diam di tengah gudang tua yang kini sunyi mencekam. Tubuh Harsono tergeletak tak berdaya di lantai beton yang dingin, darah mengalir dari luka di wajahnya yang memar dan bengkak. Napasnya lemah, nyaris tak terdengar. Di sekitar mereka, sisa-sisa pertarungan berserakan: pecahan kaca, senjata yang terjatuh, dan bayangan masa lalu yang menghantui Alvaro tanpa henti. Ricardo, Selena, dan Carlos berdiri tak jauh dari sana, wajah mereka dipenuhi kepedihan dan kekecewaan. Mereka menyaksikan dengan mata kepala sendiri bagaimana Alvaro, teman yang dulu mereka kenal, telah berubah menjadi seseorang yang begitu asing—penuh kebencian dan dendam. Mereka tak lagi mengenali sosok yang berdiri di hadapan mereka. “Sudah cukup, Alvaro,” suara Ricardo pecah dalam keheningan, suaranya penuh rasa sakit. “Kau sudah membalas dendammu. Harsono sudah hancur... Apa lagi yang kau inginkan?” Alvaro menoleh perlahan, menatap Ricardo dengan mata tajam yang dipenuhi kekosongan. “Keadilan... untuk

  • Bayangan Pengkhianatan    Bab 45: Pertarungan Tanpa Ampun

    Gudang tua itu berdiri sunyi di tengah kawasan industri yang ditinggalkan, dikelilingi oleh puing-puing bangunan yang runtuh dan jalanan berdebu. Angin malam berhembus pelan, membawa aroma karat dan kelembaban yang menusuk hidung. Di dalam gedung yang gelap dan dingin itu, Alvaro berdiri tegak, menatap Harsono yang terpojok di sudut ruangan. Wajah Harsono memucat. Tubuh tuanya bergetar dalam ketakutan yang tak mampu ia sembunyikan. Mata Alvaro menyala dengan api kebencian yang begitu dalam, mencerminkan amarah yang telah terpendam sejak masa kecilnya yang hancur. Malam ini adalah akhir dari semua dendam yang telah membayangi hidupnya. Malam ini, semuanya akan berakhir. “A-Alvaro...” Suara Harsono gemetar, penuh rasa takut. “K-kita bisa bicarakan ini...” “Bicara?” Alvaro menyeringai sinis, langkah kakinya mantap mendekat. “Apa kau pernah membiarkanku bicara saat kau menculikku? Saat kau membuangku seperti sampah tanpa peduli apa yang terjadi padaku?” Harsono menelan ludah, keringat

  • Bayangan Pengkhianatan    Bab 44: Topeng yang Terkoyak

    Hujan mengguyur kota dengan deras, menambah kelam suasana malam itu. Petir menyambar, menampakkan bayangan gedung megah milik Harsono yang berdiri kokoh di puncak bukit. Dari kejauhan, Alvaro memandangi tempat itu dengan tatapan tajam, wajahnya tak menunjukkan emosi sedikit pun. “Aku sudah sampai di sini... Setelah bertahun-tahun hidup dalam bayangan, saatnya menunjukkan siapa aku sebenarnya,” gumam Alvaro pelan. Langkah kakinya mantap saat dia mendekati gerbang utama. Dengan gerakan cepat, ia melumpuhkan penjaga tanpa suara. Tubuh-tubuh tak berdaya jatuh ke tanah sementara Alvaro terus melangkah, tatapannya lurus ke arah pintu masuk utama. Suara alarm berbunyi nyaring. Harsono sudah menunggunya. Di dalam ruang kerjanya yang mewah, Harsono berdiri menghadap jendela besar. Dia tahu bahwa orang yang menyerang jaringannya selama ini akhirnya datang untuk menemuinya. Dengan tenang, ia menyesap anggur merah dari gelas kristal di tangannya. Langkah kaki terdengar mendekat. Harsono berb

  • Bayangan Pengkhianatan    Bab 43: Jejak Pengkhianatan

    Alvaro berdiri di atas atap gedung tua, menatap hiruk-pikuk kota di bawahnya. Lampu-lampu kota bersinar terang, namun hatinya dipenuhi kegelapan yang pekat. Udara malam berhembus dingin, menggoyangkan ujung jaket hitam yang dikenakannya. Tatapannya tajam dan penuh perhitungan. Dia tahu betul bahwa langkah pertama dalam rencananya adalah menghancurkan jaringan bisnis Harsono. Tapi dia tidak bisa melakukannya sendiri. Untuk itu, dia membutuhkan informasi yang akurat dan bantuan dari orang-orang yang tahu betul kelemahan lawannya. Alvaro mengingat wajah-wajah yang dulu pernah berdiri di sisinya—Ricardo, Selena, dan Carlos. Mereka bertiga pernah menjadi sahabatnya, rekan yang dia percayai sepenuh hati. Namun ketika dia kembali sebagai Alvaro yang berbeda, mereka menolaknya, menganggapnya sebagai musuh. “Itu bukan salah mereka,” pikir Alvaro dalam hati. “Mereka tidak tahu apa yang sudah kulalui... apa yang harus kualami sendirian.” Namun, Alvaro juga tahu bahwa untuk mencapai tujuannya

  • Bayangan Pengkhianatan    Bab 42: Bayangan Balas Dendam

    Alvaro berlari menembus gelapnya malam, nafasnya memburu. Suara langkah kaki terdengar memburu dari arah belakang, menggema di sepanjang lorong sempit yang berliku. Ricardo, Selena, dan Carlos masih mengejarnya dengan gigih, tidak rela melepaskannya begitu saja. Dia menyelinap masuk ke dalam gang sempit, tubuhnya menyatu dengan bayang-bayang gedung tua yang reyot. Keringat dingin mengalir di pelipisnya, namun wajahnya tetap datar, tanpa ekspresi gentar sedikit pun. Di balik matanya, pikiran bergerak cepat, mencari cara untuk menghilang dari kejaran mereka. “Aku tidak akan berhenti sampai kau tertangkap, Alvaro!” teriak Ricardo dengan napas tersengal. Selena dan Carlos berusaha mengepungnya dari dua arah. Mereka tahu betul kemampuan Alvaro dalam melarikan diri, dan tidak ingin memberinya celah sedikit pun. Namun Alvaro sudah memperhitungkan semuanya. Dengan gesit, dia melompat ke atas tumpukan kotak kayu dan naik ke atap bangunan rendah di sampingnya. Dari sana, dia melompat ke ata

  • Bayangan Pengkhianatan    Bab 41: Kebenaran yang Tersembunyi

    Sunyi yang mencekam masih menggantung di udara setelah Ricardo, Selena, dan Carlos menyadari kenyataan pahit itu—ada pengkhianat di antara mereka.Mata mereka saling bertautan, masing-masing mencoba membaca pikiran satu sama lain, mencari tanda-tanda kebohongan.Carlos, yang masih berlumuran darah dan lemah karena luka-lukanya, menarik napas berat. “Kita tidak bisa membiarkan paranoia menghancurkan kita dari dalam.”“Tapi kita juga tidak bisa membiarkan pengkhianat tetap bersama kita,” kata Selena tajam.Ricardo menghela napas. “Tidak ada gunanya saling menuduh tanpa bukti. Yang terpenting sekarang, kita harus keluar dari sini sebelum lebih banyak orang Konstantin datang.”Namun, sebe

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status