Sinar mentari sore menyisir lembut rambut gadis itu, menciptakan halo emas di sekeliling wajahnya yang sayu. Pria itu terpaku di tempatnya, jantungnya berdebar kencang seolah hendak keluar dari rongga dada. Sejak pandangan pertama, ia tahu bahwa hidupnya takkan pernah sama lagi.
Gadis itu duduk di bangku taman, sebuah buku terbuka di pangkuannya. Angin sore menghembus lembut, membolak-balik halaman buku itu. Mata pria itu tak berkedip, mengamati setiap gerakan gadis itu. Rambutnya yang terurai bebas tertiup angin, matanya yang berkilau seakan menyimpan sejuta rahasia, dan senyum tipis yang sesekali menghiasi bibirnya membuat pria itu terpukau. Sejak dulu, pria itu bukanlah tipe pria yang mudah jatuh cinta. Namun, ada sesuatu yang berbeda pada gadis ini. Tatapannya yang dalam seolah menembus jiwa, aura misterius yang mengelilinginya, dan kecantikannya yang alami membuatnya merasa tertarik secara mendalam. Dengan hati berdebar, pria itu mendekati gadis itu. Ia ragu-ragu sejenak, lalu memberanikan diri untuk menyapa. "Permisi, bolehkah saya duduk di sini?" tanyanya dengan suara lembut. Gadis itu mengangkat wajahnya, matanya bertemu dengan mata pria itu. Sejenak, waktu seakan berhenti. Ada kejutan dalam tatapan gadis itu, namun kemudian ia mengangguk ramah. "Tentu saja." Pria itu duduk di samping gadis itu, menjaga jarak yang sopan. Ia berusaha memulai percakapan, namun kata-kata seakan tersangkut di tenggorokannya. Akhirnya, ia hanya bisa mengutarakan kekagumannya pada buku yang sedang dibaca gadis itu. Percakapan mereka mengalir begitu lancar, hangat, dan menyenangkan. Pria itu mendengarkan cerita gadis itu dengan penuh perhatian. Ia merasa semakin terpesona dengan gadis itu. Tanpa terasa waktu berlalu begitu cepat. Matahari hampir tenggelam, dan langit semakin gelap. Gadis itu pamit pulang. Sang pria merasa sangat berat hati melepasnya. Pria itu menawarkan untuk mengantarnya pulang. Wanita itu ragu-ragu, karena ia baru mengenal pria itu. Namun, ada sesuatu dalam diri pria itu yang membuatnya merasa nyaman dan aman. Akhirnya, ia menerima tawaran pria itu. Mereka berdua berjalan menuju mobil pria itu. Di tengah perjalanan, tiba-tiba telepon pria itu berdering. Ia mengangkat telepon itu dan berbicara dengan seseorang. Wajahnya berubah menjadi serius, dan ia meminta maaf pada wanita itu karena harus segera pergi. Wanita itu mengerti dan tidak mempermasalahkannya. Ia berkata bahwa ia akan menelepon sopir ayahnya untuk menjemputnya. Pria itu merasa lega dan mengucapkan terima kasih pada wanita itu. "Senang bisa bertemu denganmu," kata pria itu sebelum pergi. Wajah wanita itu merona merah mendengar perkataan pria itu. Ia merasa malu dan salah tingkah. Ia tidak tahu harus berkata apa. Setelah pria itu pergi, wanita itu masih terpaku di tempatnya. Ia tidak bisa melupakan wajah tampan pria itu, suaranya yang lembut, dan tatapannya yang penuh perhatian. Ia merasa seperti mimpi bertemu dengan pria itu. Wanita itu kemudian teringat bahwa ia belum menanyakan nama pria itu. Ia menyesal dan berharap bisa bertemu lagi dengannya. Keesokan harinya, wanita itu tidak bisa melupakan pria yang ditemuinya di taman kota. Ia terus memikirkannya dan berharap bisa bertemu dengannya lagi. Ia bahkan mencari-cari informasi tentang pria itu di media sosial, tetapi tidak menemukan apa-apa. *** Cahaya bulan merembes menembus celah tirai kamar Sagara, menciptakan suasana remang-remang yang menenangkan. Namun, kedamaian itu sirna seketika ketika pintu kamarnya terbuka dan sosok ibunya muncul di ambang pintu. Wajah wanita paruh baya itu tampak serius, garis-garis kerutan di dahinya semakin dalam. "Sagara, Ibu ingin bicara serius denganmu," ujar Bu Arini, suaranya lembut namun tegas. Sagara yang sedang asyik dengan buku di tangannya, mengangkat wajah. Ia meletakkan buku itu dan menatap ibunya dengan tatapan bertanya. "Ada apa, Bu?" Bu Arini menghela napas panjang. "Ibu tahu ini akan sulit bagimu, tapi Ibu harus memberitahumu tentang ini." Ia duduk di tepi ranjang Sagara, meraih tangan putranya. "Ibu sudah mengatur pertemuanmu dengan putri keluarga Sanjaya besok siang." Sagara terbelalak kaget. "Apa? Pertemuan? Dengan putri keluarga Sanjaya?" suaranya meninggi. "Bu, aku tidak mau dijodohkan!" Bu Arini menggelengkan kepala. "Ibu tahu kamu tidak mau, tapi ini demi kebaikanmu. Keluarga Sanjaya adalah keluarga yang sangat berpengaruh. Pernikahan dengan putri mereka akan sangat menguntungkan kita." "Aku tidak peduli dengan keuntungan! Aku ingin memilih sendiri jodohku!" bantah Sagara dengan keras. Arini menatap putranya dengan sedih. "Ibu mengerti perasaanmu, tapi Ibu mohon kamu bisa mengerti posisi Ibu. Ibu hanya ingin yang terbaik untukmu." "Yang terbaik menurut Ibu, bukan menurutku, Bu!" sahut Sagara. Perdebatan mereka semakin memanas. Sagara terus menolak perjodohan ini, sementara Arini berusaha menyakinkan putranya bahwa ini adalah keputusan yang terbaik. "Ibu, aku tidak bisa mencintai seseorang hanya karena perjodohan!" tegas Sagara. Arini terdiam sejenak. Ia tahu bahwa putranya keras kepala, namun ia tidak bisa menyerah begitu saja. "Ibu tahu kamu mencintai kebebasanmu, tapi pernikahan ini akan memberikanmu banyak keuntungan. Bisnis keluarga akan semakin berkembang." Sagara merasa dilema. Di satu sisi, ia ingin menolak perjodohan ini, karena ia ingin memilih pasangan hidupnya sendiri. Namun, di sisi lain, ia juga tidak ingin mengecewakan ibunya. "Ibu, berikan aku waktu untuk memikirkannya," pinta Sagara. Arini mengangguk. "Baiklah, Nak, tapi ingat, waktu kita terbatas. Pertemuan dengan keluarga Sanjaya sudah dijadwalkan besok siang." Setelah ibunya pergi, Sagara masih terdiam di tempat tidur. Pikirannya kacau. Ia merasa terjebak dalam sebuah dilema yang sulit. Sagara menatap keluar jendela. Langit malam tampak begitu gelap dan sunyi. Pintu kamar terbanting pelan, menyisakan Sagara seorang diri dalam keheningan yang mencekam. Tatapannya mengikuti pintu yang tertutup rapat, seakan masih berharap ibunya akan kembali dan membatalkan semua rencana perjodohan ini. Namun, yang ada hanyalah kehampaan. Di atas meja, sebuah amplop coklat tergeletak mencolok. Di dalamnya, tersimpan foto dan biodata wanita yang akan menjadi pendamping hidupnya. Sagara tahu itu, namun ia enggan menyentuhnya. Amplop itu bagaikan kutukan yang menghantuinya. Ia berjalan mendekati jendela, menatap keluar. Langit malam tampak begitu suram, seakan merefleksikan perasaan gelisahnya. Angin malam menerpa wajahnya, membawa serta hembusan kesedihan yang mendalam. Sagara teringat masa kecilnya, ketika ibunya selalu ada di sisinya. Ibu yang selalu memanjakannya, yang selalu mendukung semua mimpinya. Namun, sekarang, ibunya justru memaksakan kehendaknya padanya. "Kenapa, Bu?" gumam Sagara lirih. Ia terduduk di tepi ranjang, memeluk lututnya erat-erat. Pikirannya melayang pada wanita yang akan dijodohkannya. Ia sama sekali tidak tertarik untuk mengetahuinya. Bahkan, ia tidak pernah bertanya namanya. Baginya, wanita itu hanyalah sebuah nama dalam daftar panjang rencana ibunya. Sagara merasa seperti sebuah pion dalam permainan catur. Hidupnya diatur oleh orang lain, tanpa pernah mempertimbangkan keinginannya sendiri. Ia merasa terjebak dalam sebuah sangkar emas, bebas secara fisik namun terkekang secara emosional. Matanya terpejam perlahan, membayangkan masa depan yang tidak pasti. Masa depan di mana ia harus hidup bersama seorang wanita yang tidak ia cintai. *** Brisa tengah menikmati secangkir teh hangat, pikirannya melayang entah ke mana. Tiba-tiba, suara ayahnya memecah kesunyian. "Brisa," panggil Pak Aryan, suaranya terdengar berat. Brisa menoleh, matanya bertemu dengan tatapan serius ayahnya. Ia tahu apa yang akan dibicarakan ayahnya. Perjodohan. Sebuah topik yang selalu membuatnya merasa tertekan. "Besok siang, kita akan bertemu dengan keluarga Hendratama. Putra mereka akan menjadi calon pendampingmu," lanjut Pak Aryan.Langit Jakarta sore itu ditaburi semburat jingga keemasan. Dari apartemen lantai 12 bergaya minimalis di kawasan Senopati, angin membawa aroma hujan yang belum lama reda. Brisa berdiri di balik jendela besar ruang tamu, memandangi lalu lintas yang bergerak perlahan seperti semut-semut bercahaya. Di tangannya, secangkir teh melati mengepul, menghangatkan telapak tangannya yang dingin. Lima tahun telah berlalu, namun setiap sore seperti ini masih memberinya waktu untuk merenung. Suara tawa kecil terdengar dari ruang keluarga yang hangat, diselingi denting gelas dan suara lagu anak-anak yang mengalun pelan dari speaker di sudut ruangan.Brisa duduk di atas sofa empuk berwarna krem, memangku seorang anak laki-laki berusia lima tahun yang tengah tertawa geli karena digelitik. Wajah anak itu adalah perpaduan manis dari keduanya—mata biru penuh rasa ingin tahu milik Brian, dengan senyum lembut yang mirip Brisa.“Sayang, pelan-pelan ya, mama capek dikejar terus,” ucap Brisa sambil mencium pi
Malam telah larut, namun suasana di rumah Bibi Rika justru semakin hangat. Di ruang keluarga, pelukan, air mata, dan senyum bercampur jadi satu setelah Arsaka kembali dengan selamat ke pelukan Brisa dan Brian. Bu Arini dan Bu Tara tak berhenti berucap syukur dan memastikan bahwa ini bukan mimpi.Pak Raditya, meski masih diliputi rasa bersalah karena pernah memberi alamat kepada Ivana tanpa curiga, kini hanya bisa bersyukur bahwa semuanya berakhir tanpa tragedi. Di sudut ruangan, Brisa duduk bersandar di sofa, memeluk Arsaka yang sudah mulai tertidur dalam dekapannya. Brian duduk di karpet, tepat di depan mereka, memandangi putra kecilnya dengan tatapan tak henti-henti dipenuhi rasa syukur.Namun ada yang belum tuntas. Ada beban yang selama ini Brian simpan, luka dan rasa yang terkunci sejak bertahun-tahun lalu. Dan malam ini, saat semua orang sudah mulai masuk ke kamar masing-masing untuk beristirahat, Brian tahu—ia harus berkata jujur.“Brisa.”Brisa membuka mata, masih duduk dengan
“Ivana?” ulang Bu Arini pelan, seakan tak percaya dengan yang baru didengarnya.Pak Raditya menatap istrinya, lalu menghela napas panjang. “Ivana sempat datang ke rumah beberapa minggu lalu. Dia menanyakan Brian, katanya ingin menyelesaikan sesuatu yang tertunda. Kami... kami bilang kamu ada di Osaka, bahkan kami memberinya alamat rumah ini.”“Apa?!” seru Brian, suaranya naik beberapa oktaf. “Kalian memberinya alamat?!”“Kami tidak tahu dia akan berbuat sejauh ini. Kami tak menduga—” Bu Arini menutup mulutnya, air matanya mulai mengalir. “Maafkan kami!"Brisa menunduk, mencoba menenangkan dirinya. “Yang penting sekarang, kita temukan Arsaka.”Mereka semua duduk di ruang keluarga, masing-masing terdiam dalam pikiran masing-masing. Telepon genggam Brian diletakkan di atas meja, menanti panggilan dari pihak kepolisian. Suara detik jam di dinding terdengar begitu jelas, menciptakan tekanan yang tak kasat mata.Brian berdiri, menghela napas panjang. “Aku keluar sebentar, butuh udara.”Ia m
Suara burung-burung kecil bersahutan di ranting sakura, angin berembus lembut mengibaskan tirai. Brisa baru saja menyuapi Brian sepotong onigiri buatan ibunya ketika suara tangis kecil Arsaka pecah, lalu berubah menjadi gerutuan halus. “Dia sudah bangun?” tanya Brian sambil bangkit dari duduknya. “Sepertinya belum. Mungkin hanya gelisah.” Brisa tersenyum, mengusap tangannya dengan tisu sebelum bangkit berdiri. Stroller Arsaka berada di pekarangan depan, tepat di bawah pohon sakura. Mereka sengaja meletakkannya di sana agar bayi itu bisa tidur dengan nyaman di bawah semilir angin. Brisa menoleh sebentar dari jendela, melihat tubuh kecil Arsaka masih meringkuk di dalam stroller dengan selimut yang menyelimuti hingga dagu. Ia berpaling sebentar ke dapur, berniat mengambil termos air panas untuk membuat susu cadangan. Dalam waktu yang sama, diam-diam sesosok wanita menyelinap masuk dari gerbang samping rumah—Ivana. Dengan langkah pelan, penuh perhitungan, Ivana mendekati stroller. Ha
Ivana tidak pernah menyangka akan kembali bertemu dengan sosok Brisa dalam hidupnya. Ia pikir, kepergiannya ke Jepang sudah cukup untuk menghapus luka dan rasa tidak adil yang selama ini menggerogoti dirinya, tapi nyatanya, semua itu kembali menyeruak, jauh lebih menyakitkan daripada sebelumnya. Ia berdiri di seberang rumah itu sambil menggenggam sebuah surat yang sudah kusut di tangannya—surat dari Brian untuk Brisa yang tak pernah sampai ke tangan Brisa. Rasa bersalah sempat menghantui, tapi rasa bersalah itu ditelan oleh kebencian yang lama terpendam. Dalam matanya, Brisa adalah wanita yang selalu mendapatkan segalanya. Wajah cantik, keluarga harmonis, karir cemerlang, dan sekarang, dua pria yang sama-sama rela mengorbankan segalanya untuknya—Sagara dan Brian. Ivana menggigit bibirnya hingga nyaris berdarah. “Aku juga cantik. Aku juga pintar, tapi kenapa mereka tak pernah melihatku?” Kilasan masa lalu menyapu pikirannya. Waktu-waktu saat ia diam-diam memendam rasa pada Sagara,
Bu Tara menggenggam tangan putrinya. “Mama mengerti, Nak. Mama cuma ingin kamu bahagia.”Pak Aryan mengangguk pelan. “Kalian sudah jadi orang tua sekarang. Kami percaya, kalian akan tahu kapan waktu yang tepat.”Setelah suasana kembali mencair, Bu Tara tiba-tiba bertanya, “Oh iya, Brian. Orang tuamu nggak datang ke Osaka?”Brian mengangguk. “Sudah aku kabari. Mereka akan ke sini dalam satu minggu. Mereka senang sekali waktu tahu Arsaka lahir. Ayah malah bilang mau jadi guru bahasa Jawa buat cucunya.”Semua tertawa. Udara kembali hangat.***Beberapa hari kemudian, jam menunjukkan pukul delapan pagi. Brian tengah berada di ruang kerja kecil di rumah Brisa, satu tangan mengayun-ayun bouncer tempat Arsaka tidur, tangan lainnya mengetik cepat di laptop. Beberapa berkas terbuka di sekelilingnya—rencana ekspansi perusahaan dan laporan harian dari Deborah.Sejak meninggalkan Indonesia beberapa bulan lalu, Brian mengatur semua pekerjaannya dari Osaka. Sebagai CEO sebuah perusahaan, ia tidak b