"Oke, aku nggak akan bahas apapun tentang anak. Aku nggak akan mancing-mancing emosi kamu lagi. Aku yakin, suatu saat kamu akan cerita ke aku dengan sendirinya," ujar Daffa dengan tenang dan tersenyum tulus. Ia telah berjanji tidak akan memancing-mancing emosi istrinya lagi.
"Oke. Terima kasih sudah ngertiin aku." Bulan menjawab sambil menahan senyum lega. Syukurlah kalau Daffa menyadari kesalahannya dan berniat menjadi dewasa. Ia pun tidak mau drama seperti ini kejadian lagi. Malu."Boleh aku peluk kamu?"Belum sempat Bulan menjawab, Daffa sudah memeluk Bulan dengan erat. Tidak ada penolakan dari Bulan. Dengan lembut, Daffa menyesap bibir merah ranum milik istrinya. Manis.Pagi itu, dua insan yang sedang dimabuk kepayang, saling mencumbu satu sama lain. Kamar minimalis dengan nuansa cokelat muda itu menjadi saksi bisu pelepasan gairah penuh cinta keduanya.***"Sayang, rambut kamu wangi," puji Daffa yang sedang membelai rambut Bulan yang ada di dekapannya. Ia mencium rambut istrinya dengan dalam.Bulan menggeliat manja seraya mengecup leher suaminya dengan mesra. "Kamu juga wangi," pujinya.Mendapat rangsangan seperti itu, membuat sesuatu di dalam tubuh Daffa serasa dialiri aliran listrik kecil.Baru akan mulai ke tahapan selanjutnya, tiba-tiba saja keduanya dikejutkan oleh teriakan Shalfa sambil menangis dan membanting-banting barang entah apa.Mereka berdua segera keluar kamar dan melihat apa yang sebenarnya terjadi. Sesampainya di ruang keluarga, mereka mendapati Shalfa dengan penampilan kacau. Seragam sekolahnya kusut dan tidak rapi, serta rambutnya acak-acakan seperti rambut singa. Gadis tujuh belas tahun itu baru saja pulang dari sekolah."Shalfa, kamu kenapa?" tanya Bulan cemas. Ia memeluk adik iparnya dengan khawatir."Kamu kenapa, Shal?" tanya Daffa sambil menahan emosi. Ia khawatir adik semata wayangnya mendapat perlakuan buruk dari orang lain. Pelecehan seksual atau bullying, misalnya."Aku diputusin Radit, Kak. Tadi subuh sudah balikan. Sekali balikan, tadi di sekolah dia mutusin aku. Apa maksudnya coba?" ujar Shalfa sambil terisak."Siapa Radit? Ada apa sih?" tanya Daffa yang masih bingung dan tidak paham atas apa yang terjadi.H+1 pernikahan, Shalfa pernah curhat pada Bulan tentang siapa itu Radit. Bulan lantas menceritakan Pada Daffa tentang siapa Radit, juga tentang semua yang ia tahu tentang Shalfa dan Radit.Saat itu Shalfa dan Bulan sedang tiduran di ruang keluarga sambil bermain smartphone. Sesekali mereka membahas artis Korea yang ganteng dan cantik-cantik. Lantas tiba-tiba saja Shalfa yang random mengeluarkan pertanyaan yang membuat Bulan tidak nyaman."Kata orang-orang, saat pertama kali melakukan hubungan seks, rasanya sakit, ya, Kak? Apa benar?" tanya Shalfa penasaran."Shalfa, Kakak nggak nyaman kamu bahas ini." Bulan menjawab kikuk. Bukan apa, ia memiliki trauma masa lalu tentang seksualitas, sehingga ia tidak suka dengan topik ini."Kalau sakit, aku nggak mau ngeseks, ah! Takut." Shalfa tetap melanjutkan topik tersebut tanpa mengindahkan teguran kakak iparnya.Bulan kehabisan kata-kata meladeni Shalfa. Shalfa memang benar-benar barbar."Radit pernah ngajakin aku untuk melakukan itu, tapi aku tolak. Aku takut hamil," ujar Shalfa dengan lirih."Siapa Radit?""Pacar aku, Kak.""Oh. Bagus itu. Bagus kamu punya ketegasan untuk menolak. Masih pacaran jangan melakukan hal-hal yang kejauhan, takut nantinya jadi penyesalan," nasihat Bulan."Aku keren kan, Kak? Keren karena berhasil menolak ajakan Radit. Kata Radit, cuma aku satu-satunya cewek yang pernah nolak saat dia ajak begituan. Aku benar-benar keren, kan, Kak?" sombongnya."Tunggu!" Bulan langsung bangun dan menatap adik iparnya lekat-lekat. "Cuma kamu satu-satunya cewek yang pernah nolak saat dia ajak begituan?" tanyanya dan di-angguki dengan bangga oleh Shalfa. "Itu artinya ... dia sering dong begituan sama perempuan lain? Kok kamu mau sih pacaran dengan cowok kayak gitu?""Kak! Benar kata Kakak! Kok aku mau sih pacaran dengan Radit? Aarrgghh! Untung ada Kak Bulan yang ngingetin." Shalfa berteriak histeris karena baru sadar akan hal itu."Kamu mau ke mana?" tanya Bulan saat melihat adik iparnya beranjak pergi."Ke kamar, Kak. Mau mutusin Radit.""Dasar, Shalfa." Bulan geleng-geleng karena takjub dengan tingkat Shalfa."Jadi itulah Radit," ujar Bulan setelah ia menceritakan ulang kisah beberapa hari lalu."Kirain ada apaan. Kayak gitu aja kok nangis," ejek Daffa. "Justru bagus kamu putus dari cowok kampret macam Radit itu," ucap Daffa sambil berlalu meninggalkan istri dan adiknya.Daffa sungguh kesal dengan Shalfa yang lebay. Ia pikir ada kejadian mengerikan, ternyata hanya putus cinta. Gara-gara drama Shalfa, ia jadi gagal bermesraan dengan Bulan. Shalfa benar-benar pengganggu."Bang Daffa nggak ngerti aku, Kak. Kesel banget punya kakak kayak dia. Untung aja ada Kak Bulan, kalau nggak ada Kak Bulan aku pasti bunuh diri karena terlalu setres.""Sudah, sudah. Ayo ganti baju, shalat terus makan. Jangan mikirin Radit terus, pikirin juga diri kamu sendiri."Shalfa mengangguk paham. Ia menuruti kata-kata kakak iparnya tanpa protes sedikit pun. Ia sungguh nyaman dengan Bulan. Baginya, hanya Bulan yang bisa mengerti dirinya, yang mau mendengarkan kisahnya."Thanks, Kak Bulan. Pokoknya Kakak jangan kabur-kaburan lagi dari rumah ini, nanti aku sedih karena nggak punya teman curhat lagi," ujar Shalfa dan di-angguki oleh Bulan.***"Daf, menurutku kamu tadi sangat keterlaluan lho. Kasihan Shalfa, kayaknya dia takut banget. Badannya sampai gemetaran." Bulan menegur Daffa dengan nada rendah.Daffa yang berbaring di sebelah Bulan, menghela napas panjang. "Aku kesal aja dengan mereka. Aku ngerasa terganggu," ujarnya.Bulan tidak langsung menjawab pernyataan suaminya. Sebelumnya, Bulan dan Daffa adalah teman biasa saat SMA. Tidak dekat sama sekali, sehingga Bulan tidak tahu bagaimana sifat asli Daffa. Tapi setelah ia hidup beberapa hari dengan Daffa, perlahan-lahan ia mulai bisa mengenali sifat Daffa, bahwasanya Daffa tempramental. Mudah tersulut emosi.Hujan di luar sana sudah mulai reda, hanya tinggal rintik-rintik halus saja. Sonya dan Wisnu sudah kembali ke kamar, sedangkan Sri dan Prabu juga sudah tertidur lagi. Tapi pasangan pengantin baru itu masih terjaga. Jam digital di atas nakas menunjukkan angka 12.35. Mata mereka masih terang benderang, belum mengantuk sama sekali. Sejak tadi mereka hanya saling diam, a
"Bulan, wajahmu seindah bulan purnama. Bersinar cerah, cantik, membuat aku gila," puji Daffa seraya memeluk istrinya dari samping."Kamu apaan sih, Daf? Geli banget, tau," sahut Bulan sambil terkekeh.Saat ini sepasang pengantin baru itu sedang tiduran di atas ranjang. Keduanya baru saja selesai bercengkrama dengan Shalfa dan para orang tua mereka di ruang tamu. Sri dan Prabu menginap di rumah besan, hujan yang sangat deras tidak memungkinkan mereka untuk pulang. Karena kamar di rumah tersebut hanya pas-pasan, maka Sri dan Prabu tidur di ruang tamu. Rumah Wisnu hanyalah rumah minimalis dengan tiga kamar, sehingga tidak ada kamar sisa untuk tamu.Hujan di luar sangat deras. Suara air yang beradu dengan asbes, membuat penghuni rumah itu harus sedikit menaikkan nada suaranya jika ingin berbicara. Jika tidak, maka suara mereka akan tenggelam ditelan suara hujan."Dingin," goda Daffa seraya menggenggam tangan Bulan dan mengecupnya dalam.Mendapat perlakuan seperti itu, Bulan jadi merasa s
"Ealah, kok susah payah bawa oleh-oleh, Bu Sri." Sonya menyambut Sri dan Prabu dengan heboh. Ia senang dibawakan banyak buah tangan oleh besannya itu."Nggak payah kok, Bu Sonya, kebetulan ini ada di rumah," balas Sri dengan ramah.Malam ini Sri dan Prabu berkunjung ke rumah besan sambil membawa banyak oleh-oleh. Ada singkong, pepaya, pisang satu tandan, dan kangkung satu ikat besar. Semua itu ditanam di pekarangan rumah yang memang cukup luas.Sonya dan Wisnu menyambut besan mereka dengan hangat. Membuat Sri dan Prabu nyaman berkunjung ke sana."Anak-anak mana, Bu?" tanya Sri saat tak melihat Bulan, Daffa, dan juga Shalfa."Keluar sebentar katanya, mau nyari martabak," terang Wisnu.Baru saja Sri akan mengeluarkan suaranya lagi, tapi ia diinterupsi oleh kedatangan tamu tak diundang. Sintia. Sri tidak tahu Sintia naksir Daffa, tapi ia tetap tidak menyukai Sintia. Menurutnya, tampang Sintia songong, tidak enak dipandang mata.Sebelumnya Sri sudah pernah bertemu dengan Sintia pada saat
"Eh, ini menantu cantik yang bangun kesiangan, ya?" sapa seorang tetangga yang lewat di depan rumah Daffa. Saat ini Daffa, Bulan dan Shalfa sedang memberikan perawatan untuk tanaman bunga milik Sonya yang ditanam di depan rumah. "Tinggal di rumah mertua jangan suka bangun telat, lho. Untung mertuamu baik, kalau mertuamu Ibu, ugh! Sudah Ibu omeli dari pagi sampai pagi lagi," ujar ibu itu sambil terkekeh."Bu Aufa ngarang, ih! Siapa bilang Kak Bulan bangun kesiangan?" ujar Shalfa yang sedang menyiram bunga mawar."Kata mamamu tadi. Masa sih mamamu bohong?""Ah, Mama mah suka bercanda. Jangan percaya.""Masa sih mamamu bohong, Shal?" goda ibu itu sambil melirik pada Bulan."Sudahlah, Bu Aufa, jangan ngurusin urusan orang. Urusin aja keluarga ibu sendiri," ujar Shalfa dengan malas."Wah, Shalfa kalau ngomong pedas ya? Ya sudah, Ibu mau pulang dulu. Mau masak ayam pop," ujarnya seraya berlalu dengan langkah sok anggun."Mama pasti keceplosan, Kak. Jangan marah sama Mama, ya? Mama baik ko
"Oke, aku nggak akan bahas apapun tentang anak. Aku nggak akan mancing-mancing emosi kamu lagi. Aku yakin, suatu saat kamu akan cerita ke aku dengan sendirinya," ujar Daffa dengan tenang dan tersenyum tulus. Ia telah berjanji tidak akan memancing-mancing emosi istrinya lagi."Oke. Terima kasih sudah ngertiin aku." Bulan menjawab sambil menahan senyum lega. Syukurlah kalau Daffa menyadari kesalahannya dan berniat menjadi dewasa. Ia pun tidak mau drama seperti ini kejadian lagi. Malu."Boleh aku peluk kamu?" Belum sempat Bulan menjawab, Daffa sudah memeluk Bulan dengan erat. Tidak ada penolakan dari Bulan. Dengan lembut, Daffa menyesap bibir merah ranum milik istrinya. Manis. Pagi itu, dua insan yang sedang dimabuk kepayang, saling mencumbu satu sama lain. Kamar minimalis dengan nuansa cokelat muda itu menjadi saksi bisu pelepasan gairah penuh cinta keduanya.***"Sayang, rambut kamu wangi," puji Daffa yang sedang membelai rambut Bulan yang ada di dekapannya. Ia mencium rambut istrinya
"Baru bangun, Lan? Kecapekan banget kayaknya, ya?" tanya Sonya yang sedang mencuci barang pecah belah di wastafel."Maaf, Ma," sesal Bulan. Perempuan yang masih mengenakan piyama itu berdiri salah tingkah di dekat kompor."Santai aja. Rileks, jangan tegang begitu," ujar Sonya sambil terkekeh.Bulan ikut terkekeh paksa. Ia benar-benar canggung berada di posisi ini. Hari ini Bulan bangun kesiangan karena tadi malam ia baru tertidur pukul empat subuh. Ia sangat malu sekali dan merasa tidak memiliki muka untuk muncul di hadapan mertuanya."Mama duluan, ya. Itu sudah ditungguin Papa," kata Sonya yang sudah selesai mencuci barang pecah belah."Iya, Ma, hati-hati," jawab Bulan salah tingkah.Sonya mengangguk singkat dan lantas pergi ke kantor bersama suaminya. Sedangkan Shalfa sudah berangkat sejak jam enam tadi. Adik Daffa itu sengaja datang pagi karena ingin mencontek PR dari temannya.Tiba-tiba saja Bulan ingat dengan ibunya. Dulu saat dirinya belum menikah, ibunya selalu menerornya untuk