Share

Chapter 4: Gangguan Panik

Kilas Balik 10 Tahun yang Lalu

Klik.

Klik.

Klik.

Eleanore mengecek hasil jepretan di kameranya. Not bad. Sepertinya kemampuannya dalam membidik suatu objek semakin membaik.

Ele tersenyum puas melihat gambar kupu-kupu yang ia tangkap. Ele seketika membayangkan jika dalam 10 tahun ke depan ia bisa membuka exhibition-nya sendiri. Exhibition yang dipenuhi kumpulan foto yang sudah ia abadikan semenjak ia mendapatkan kamera kesayangannya dari Sang Ibunda satu tahun yang lalu.

Ele berjalan lagi menyusuri halaman depan sekolahnya. Sekarang sudah pukul 18.00 tepat. Sekolah ini hampir sunyi di kala sore hari. Apalagi hari ini hari sabtu. Jam belajar pun usai lebih awal, begitu pula dengan jam belajar Ele.

Seharusnya Ele sudah pulang ke rumah. Ia merasa kurang beruntung karena harus bertemu dengan Guru Bahasa Inggris-nya karena beliau memintanya untuk membantu menerjemahkan dokumen berbahasa inggris. Ele heran, kenapa guru itu tidak meminta murid ranking satu saja, sih? Kenapa harus dirinya?

Tapi ya sudahlah. Toh ia selalu memberinya nilai sempurna di setiap quiz.

“Jalan-jalan di sore hari, huh?”

Gadis bersurai hitam itu menjatuhkan kamera yang sedang ia pegang. Sebelum benda itu menyentuh tanah, laki-laki di hadapannya itu sudah menadahkan tangannya dan berhasil menangkapnya. Ele terkesiap, begitu pula dengan laki-laki itu. Ia membuang napas lega.

“Hampir saja,” ucap lelaki itu dengan cengiran. Si Lelaki mengulurkan kamera Ele dan sebelum Ele meraihnya, sosok itu sudah mengalungkan tali yang terhubung di kamera itu ke leher Si Gadis. Napas Ele tercekat saat tubuh tinggi laki-laki itu berdiri tepat di depannya. Ia dapat merasakan embusan napas lelaki itu yang menggelitik poninya.

“Lebih baik kau mengalungkannya seperti ini dari pada harus memegangnya,” ucap Si Lelaki serak. Untuk sejenak Ele lupa apa yang sedang dan akan ia lakukan. Ele tidak dapat menemukan suaranya ketika wajah lawan bicaranya berjarak hanya lima senti di depannya.

Ele kemudian mencubit lengannya sendiri untuk menyadarkannya dari lamunan. Gadis itu mundur satu langkah sebelum memukul bahu lelaki itu pelan. “Kau yang mengagetkanku!” omelnya. Ia menarik napas dan membuangnya perlahan.

Apa-apaan ini? Kenapa orang itu bisa mempengaruhinya seperti ini?

Eleanore mencubit pahanya keras-keras untuk mengembalikan kesadarannya yang nyaris hilang terbawa lamunan.

“Apa yang kau lakukan di sini? Kau 'kan tidak sekolah di sini?” cercar Ele guna menghilangkan kegugupannya. Ia memperhatikan laki-laki itu yang jelas menggunakan seragam yang berbeda dari yang ia kenakan.

Pemuda itu tersenyum. Memperlihatkan senyumnya yang berbentuk kotak. Baru kali ini Ele melihat bentuk senyuman kotak seperti itu. Sosok di hadapannya itu terlihat unik.

Pemuda di depan Ele tersebut menyilangkan kedua tangannya di depan dada. “Aku melihatmu berjalan kemari di jalan utama tadi. Jadi ku putuskan untuk bermain sebentar ke sekolahmu.” Ia tersenyum lagi.

“Oh, jadi kau mengikutiku?” tanya Ele sembari mengangkat kedua alisnya. Laki-laki itu memperlihatkan seringainya yang Ele jamin bisa membuat puluhan gadis di luar sana meleleh.

“Yah, anggap saja begitu. Seharian ini aku belum melihatmu.”

Ele menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Entah mengapa ia merasa salah tingkah mendengarkan jawaban yang terlontar dari bibir pemuda itu.

“Apakah aku artis? Kau fansku? Kenapa juga kau mau mengikutiku?” tanya Ele sembari berlalu. Ele nyaris tersenyum mendengarkan jawabannya. Sekuat tenaga Ele harus mempertahankan kontrol diri agar tidak terlena dengan apa pun jawaban yang akan ia dengar.

Rupanya lelaki itu tidak tinggal diam. Ia mengikuti langkah Ele. Diam-diam dalam hati Ele sedikit senang melihatnya.

“Kau suka memotret?” tanya laki-laki itu tiba-tiba. Ia berjalan dengan langkah panjang. Sekarang ia berjalan di depan Ele dengan keadaan terbalik alias berjalan mundur. Tubuhnya sepenuhnya menghadap tubuh Si Gadis.

Si Lelaki berjalan dengan tenang sembari menyelipkan kedua tangan di saku celananya. Ele memperhatikan tubuh itu dengan saksama. Badan orang itu tergolong kurus dan kakinya jenjang. Tubuhnya jauh lebih tinggi darinya. Biar Ele tebak, mungkin sekitar 178 cm?

Ele juga memperhatikan rambut lurus milik pemuda itu yang berwarna cokelat tua dengan poni yang sebagian menutupi dahinya. Rambut lembut itu melambai-lambai tertiup angin. Memang cuaca saat ini sedikit berangin dari biasanya. Ele merapatkan sweater yang ia kenakan.

Kemudian indera pengelihatan Ele terpatri memperhatikan sepasang piercing hitam bulat yang terpasang di kedua telinga orang itu. Bagaimana bisa seorang siswa SMA mengenakan anting di kedua telinganya tanpa tertangkap Tim Kedisiplinan Sekolah? Brengseknya, dilihat dari jauh maupun dari dekat, ia terlampau menawan.

Ele menelan ludahnya.

“Eleanore?” Tora melambaikan telapak tangannya di depan Ele. Gadis itu mengerjap dan memfokuskan lagi pandangannya pada Tora, sosok yang mengikutinya.

“Ya. Aku suka memotret,” ucap Ele lugas. “Fotografi adalah hobiku.” Ele mengelus kamera dengan sayang ketika menjawabnya.

Tora mengangguk-anggukkan kepalanya mendengarkan jawaban Ele.

“Kalau begitu foto aku!” Tiba-tiba saja ia sudah berpose di depan Ele dengan mengangkat jari telunjuk dan jari tengahnya membentuk huruf V dan meletakkannya diantara mata kirinya. Ele gelagapan menyalakan tombol on sebelum akhirnya memotonya beberapa kali. Ele melihat hasilnya.

“Sempurna. Aku memang tampan,” sahut Tora tanpa melihat hasil jepretan Ele sama sekali.

Dalam hati Ele mengiyakan.

“Astaga, narsisnya,” jawab Ele berkebalikan. Jujur, menurut Ele Tora memang terlihat tampan, baik dalam foto maupun aslinya, namun mana mungkin Ele mau mengakuinya secara langsung? Bisa-bisa ia dicap agresif olehnya.

“Keluar lah denganku besok malam, Eleanore.” Tiba-tiba ia berhenti. Kedua tangannya menyentuh bahu Ele dan memutarnya sehingga menghadap padanya. “Pukul 8 malam. Aku akan menjemputmu di depan rumahmu.”

Tangan kanannya terulur dan menyentuh pipi kiri Ele. Ele menahan napas. Secara mendadak kehilangan kemampuan untuk mengalirkan udara bersih ke paru-paru. Mata cokelat Tora menatapnya tajam. Tatapannya membuat tubuh Ele serasa mengecil. Matanya sangat indah. Binar netranya lebih indah dan lebih jernih dari mata Ele. Bagaimana bisa ada makhluk sesempurna dia?

Kilas Balik Selesai

***

“Tidak.”

Eleanore menjawab penawaran Van dengan tegas. Van dapat merasakan jika Ele sedang memikirkan sesuatu setelah Van mengusulkannya untuk membeli kamera.

Kamera.

Kamera.

Kamera.

Sial. Bodohnya!

Van nyaris membenturkan kepalanya ke atas kemudi.

Eleanore juga suka kamera. Ele suka sekali mengambil gambar. Kenapa dirinya malah mengingatkannya dengan keadaannya yang seperti ini?

Van nyaris membuka kaca dan melemparkan kepalanya keluar. Ia tidak ingin mengungkit lagi masalah kamera itu. Sudah bagus Eleanore mau keluar dari kamarnya. Ia tak ingin membuat mood gadis itu rusak lagi.

Ia bahkan akan berterimakasih pada Yuna dan mengucapkan betapa bahagianya dirinya karena Yuna berulang tahun. Jika Yuna tidak berulang tahun, mungkin Eleanore tidak akan mau keluar dari kamarnya semudah tadi.

Van menjaga nada suaranya supaya tetap normal lagi.

“Bagaimana dengan tas?”

Eleanore terdiam. Ia terlihat seperti sedang memikirkannya. Van memperhatikan wajah cantik Ele yang duduk merenung di sebelahnya.

Mata pria itu masih tertuju pada sepasang mata gadis ini. Memang matanya terlihat normal, senormal biasanya, namun mata itu kosong. Van bertanya-tanya, kebutaan jenis apakah yang dideritanya? Apakah buta permanen atau sebagian? Van harus mencaritahunya.

Ingin rasanya Van mengulurkan tangan, menyentuh wajah Ele, dan mencium kelopak matanya. Hatinya terasa sakit melihat Eleanore begitu kelam.

Earphone,” jawabnya. “Aku mau membelikannya earphone saja.”

Van mengangguk antusias. “Great! Mari kita beli earphone untuk Yuna!” ucap Van kelewat antusias.

Untungnya, lalu lintas hari ini tidak semacet biasanya. Jadi dalam waktu 20 menit, mereka berdua sudah tiba di pusat perbelanjaan elektronik terlengkap di kota. Sebelum Eleanore membuka pintu, Van membuka dashboard dan meletakkan tongkat berwarna putih di tangan Ele.

“Aku bisa melakukannya. Berhenti lah menolongku.”

Nadanya masih sama ketus seperti biasanya. Van mengabaikan keketusan Ele dan memilih bergegas keluar lalu membukakan pintu untuknya. Dengan berbagai macam penolakan dan teriakan yang Eleanore keluarkan, akhirnya mereka memasuki tempat itu.

Sebelum melangkah lebih dalam, Ele sempat menghentikan langkahnya. Dalam sepersekian detik ia terlihat ragu-ragu. Van melihat sekeliling. Beberapa pembeli yang berada di sana berkasak-kusuk sembari melihat ke arah Ele.

“Pegang tanganku,” ucap Van sembari menggenggam tangan kirinya. Secepat kilat Ele menepis tangan Van.

“Tidak mau!” tolaknya dengan kepala menunduk. “Aku bisa jalan sendiri,” kekeuh-nya keras kepala.

Sebelum dapat berjalan lebih jauh Van buru-buru menghentikannya dengan memasukkan tangan kirinya ke dalam saku jaket bomber merah yang Van kenakan. Ia terlihat kaget dan hendak menarik tangannya, namun tangan kanan Van menahannya untuk tetap berada di dalam saku.

“Ku mohon, Pumpkin. Di sini banyak terdapat barang yang mudah pecah. Percaya padaku,” ucap Van perlahan. Tangan Ele yang berada di saku Van menegang. Van menatap wajah Ele yang terlihat sedikit kaget.

“Kenapa kau memanggilku Pumpkin?”

Van menelan ludahnya.

Sial, double sial. Ia kelepasan memanggil Ele dengan panggilan sayang yang dulu sempat ia tujukan untuknya. Van berdehem sejenak.

“Karena kau imut. Sudahlah, ayo pilih earphonenya.” Van membimbing Ele untuk berjalan di sebelahnya guna mengalihkan perhatian. Ele berjalan dengan langkah ragu-ragu. Ele juga menggerutu sepanjang langkahnya namun Van mengabaikannya. Sama halnya seperti ia mengabaikan tatapan orang-orang yang menatap janggal Ele, seolah-olah ia adalah makhluk luar angkasa berkepala empat.

“Sudah tiba. Kau mau earphone warna apa?”

Eleanore memberitahu Van warna kesukaan Yuna. Setelah mempertimbangkan beberapa pilihan, akhirnya mereka memutuskan untuk membeli sebuah earphone berwarna hitam putih dengan motif tengkorak di sisi kanan dan kiri. Menurut Ele, itu akan cocok untuk Yuna.

Setelah menuntaskan pembayaran, mereka kembali ke tempat parkir. Kado untuk Yuna telah terbungkus rapi di tangan Van. Setelah masuk ke dalam mobil,  Ele menghempaskan tubuhnya dengan keras dan duduk di sebelah Van. Pemuda itu menatap Ele khawatir.

Wajah Ele dipenuhi oleh peluh. Kedua tangan yang berada di pangkuannya terlihat bergetar. Benar-benar bergetar bagaikan tersengat arus listrik. Ia bernapas pendek-pendek.

“Eleanore, kau baik-baik saja?” tanya Van panik. Ia terdiam dengan tangan yang masih bergetar. Dengan panik Van mencari botol air mineral dan membukakannya.

“Minumlah, Pumpkin.” Van meletakkan botol itu di kedua tangannya. Dengan hati-hati, Ele menenggaknya dan menyerahkan botol itu pada Van. Tangannya masih bergetar. Keringat pun tak berhenti mengalir di pelipisnya.

“Ele, tenang lah.”

Dengan keberanian ekstra, kedua tangan Van merengkuh tangannya yang berkeringat dingin dan bergetar. Van meremasnya perlahan.

Yang membuat Van kaget, Ele tidak menolaknya. Karena tak ada penolakan, maka Van melanjutkannya selama hampir 5 menit penuh sembari menggumamkan kata-kata yang dapat menenangkannya.

Secara perlahan, getaran di tangan Ele mereda. Ele menolehkan wajahnya pada Van.

“Aku mendengar mereka,” ucap Ele dengan suara kecil. “Mereka mengataiku buta.”

Melihat cara Eleanore mengatakannya dan respon di tubuhnya, hati Van semakin terasa sangat sakit.

“Jangan dengarkan, Pumpkin.” Van meremas tangannya lagi.

“Ada aku di sini.”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status