Home / Romansa / Beautiful Darkness / Chapter 3: Kamera

Share

Chapter 3: Kamera

last update Last Updated: 2021-10-25 11:58:32

“Selamat pagi, Eleanore.”

Pagi berikutnya dan berhari-hari berikutnya Van datang lagi. Sudah 3 hari ini ia memaksakan diri untuk bekerja. Sudah 3 hari pula Eleanore menolaknya mentah-mentah. Walaupun telah ditolak, pria itu hanya menunggu di depan kamar Ele seharian penuh sebelum akhirnya bibi memintanya untuk pulang. Namun kali ini, rupanya ia berinisiatif untuk berusaha lebih. Pria itu masuk ke kamar Ele tanpa mengetuknya terlebih dahulu.

Benar-benar orang yang nekat.

Tidak peduli sudah berapa kali Ele melarangnya untuk bekerja di sini, tidak peduli berapa kali Ele melarangnya untuk dekat-dekat dengannya, ia tidak menghiraukannya sekali pun. Van menganggap segala larangan Ele adalah angin lalu yang tidak perlu diperhatikan. Itu sebabnya kali ini Ele menulikan pendengarannya dan mencoba menetralkan gemuruh di dadanya yang sarat akan emosi saat Van memasuki kamarnya seenak jidat.

Eleanore menyesap teh rosela favoritnya sembari duduk menghadap jendela, total abai akan ocehan perawat barunya yang sok akrab.

Woah ... lihat lah kamar ini. Kenapa begitu suram, ya? Kurasa bibi-bibi itu salah memilihkan warna untukmu, bukan? Warna gorden ini terlihat kusam dan tidak sesuai denganmu.” Ia mengoceh sembari membuka lebar gorden yang sengaja Ele buka sedikit. Di detik berikutnya, pria itu membuka lebar kedua jendela kamar Ele. Ele mengernyit merasakan hangatnya cahaya yang menerpa wajahnya.

“Apa-apaan kau ini?” protes Ele.

Van tidak menjawab gerutuan itu dan menyambar cangkir yang sedang Ele pegang. “Di luar cuaca sedang cerah. Kenapa tidak berjalan-jalan sebentar? Aku akan menemanimu keluar kalau kau mau.”

Ele mendengus. Mau itu cuaca cerah atau hujan badai pun tak akan bisa berpengaruh padanya. Toh ia tidak dapat menikmatinya sedikit pun.

“Ayo kita keluar! Katakan, kau mau pergi kemana hari ini? Taman kota? Kebun binatang? Taman bermain?”

Ele berdiri dari tempat duduknya seketika. Van sepertinya kaget dengan sikap Ele, terdengar dari reaksi tertahannya. Ele berpikir jika pria itu benar-benar orang yang tidak tahu malu. Tidak sadar kah ia kalau Ele tak peduli dengan apa pun?

“Keluar. Aku tak ingin pergi kemana-mana,” jawab Ele dengan nada sedingin mungkin. Ele masih mencoba menetralkan amarahnya yang belum sampai di puncak.

“Oh ayo lah, Eleanore. Kau harus keluar dan jalan-jalan sebentar saja.” Van menarik tangan Ele dan Ele langsung menepisnya.

“Berani-beraninya kau!” teriak Ele. Ele mengambil tongkat dan memukuli pria itu dengan asal menggunakan tongkat di tangannya. Pria itu mengaduh beberapa kali sebelum akhirnya mengambil tongkat tersebut.

“Hentikan, oke? Itu sakit.” Van merengek seperti bayi.

“Kembalikan tongkatku!” teriak Ele marah. Ele benar-benar benci jika harus berdiam tanpa memegang tongkat. Benda itu bagaikan nyawa baginya. Ia terlalu bergantung padanya.

Pemuda itu terkekeh sebentar. “Aku akan mengembalikannya asal kau mau keluar barang sebentar saja.”

“Apakah menyenangkan—“  Ele mengumpulkan suaranya. “Apakah menyenangkan mengerjai orang buta sepertiku? Bagimu itu menyenangkan?”

Van terdiam seketika. Di sisi lain, Ele menahan panas yang menerpa kedua matanya yang menyeruak seketika. Ele sangat benci terlihat lemah di depan orang lain, dan jika ketidaksempurnaannya begitu menyenangkan bagi orang lain, maka ...

“Bukan begitu.” Pria itu mengambil tangan kanan Ele. Ele berjengit sedikit kaget sebelum Van meletakan tongkatnya di antara jemarinya. Ele meremas barang itu dan berbalik memunggunginya.

“Aku hanya mencoba menjadi temanmu, Eleanore. Kau butuh seseorang yang bukan hanya menjadi perawatmu saja melainkan juga menjadi teman. Teman berbicara, bermain, melakukan hal yang kau suka, apapun itu. Aku disini untuk membantumu.” Suaranya lirih namun terdengar tegas. Sebutir air mata Eleanore turun begitu saja. Ele mengusapnya kasar menggunakan lengan bajunya.

“Berhenti lah membuatku terlihat lemah.” Ele menggumamkannya.

Van, di sisi lain, mengembuskan napasnya perlahan. Ia harus ekstra sabar ketika menghadapi Ele. “Aku tidak membuatmu terlihat lemah. Aku hanya ingin kau berbicara dengan seseorang.” Van mencoba meraih tangan kiri Ele sebelum Ele menepisnya lagi dan lagi.

Van mengumpat dalam hati. Tak bisa berbohong, ia cukup kesal dengan sikap Ele yang kerap menolak bantuannya. Ia memejamkan matanya sebentar sebelum kembali berujar dengan nada riang yang dibuat-buat.

“Hari ini, aku mendengarnya dari bibi. Katanya teman satu komunitasmu berulang tahun, ‘kan? Mari datang dan membawakannya kado!”

Ele nyaris melupakannya. Hari ini ulang tahun Yuna, salah satu teman dekatnya. Bagaimana Ele bisa lupa?

Jika diingat-ingat lagi, sudah sebulan ini Ele tidak mengunjungi pusat komunitas. Ele merasa terlalu malas untuk bertemu banyak orang. Ia begitu sungkan melontarkan basa-basi bahkan pada teman dekatnya sendiri, namun ia rasa Yuna benar-benar sudah baik kepadanya selama 10 tahun belakangan ini. Bagaimana bisa ia tega tidak datang?

Akan tetapi, menarik lagi kata-kata yang sudah ia lontarkan ...

“Ayo lah, Eleanore. Aku akan menemanimu mencarikan kado untuknya. Bagaimana? Setuju?”

Eleanore menarik napas dan menghitung sampai 3 sebelum membalikkan tubuhnya dengan gerakan sekaku robot.

“Baiklah,” jawab Ele pada akhirnya.

***

Satu jam kemudian Eleanore telah duduk manis di dalam mobil Van. Ele meletakkan benda keramatnya di dashboard dan mengenakan sunglasses kesayangannya. Tangan kanannya meraba-raba hoodie putih yang ia kenakan, takut kalau-kalau ia salah memakainya.

Ia rasa tidak.

Ia memalingkan wajahnya ketika Van masuk dan duduk di kursi kemudi.

“Jadi kado apa yang ingin kau berikan pada temanmu?” tanya Van membuka percakapan. “Coba pikirkan benda kesukaannya.” Ia menyalakan mesin. Dengan perlahan mobil melaju menembus jalanan ibukota.

“Tak perlu diberi tahu. Aku sedang memikirkannya,” jawab Ele ketus. Ele menggerutu sendiri di samping Van.

Pria itu terkekeh. Ele menoleh ke arah Van sambal bertanya-tanya apakah nada bicaranya kurang tajam? Ele heran, bagaimana bisa perawat itu malah tertawa mendengar suaranya yang sama sekali tidak bisa disebut ramah. Sepertinya Ele harus melancarkan aksi lain yang membuat perawatnya tidak betah berlama-lama berada di dekatnya.

“Kata bibi, temanmu itu—“

“Yuna,” koreksi Ele. “Dia punya nama.” Ele tak suka jika ada orang yang tidak memanggil nama orang dengan benar.

“Ah iya. Yuna.” Van melanjutkan “Kata bibi, dia adalah orang yang suka jalan-jalan, ya?”

Ele mendengus pelan. Membayangkan Yuna memiliki hobi jalan-jalan benar-benar terasa konyol menurutnya. Yang Ele tahu, Yuna begitu mencintai kasurnya sebesar ia mencintai nyawanya. Bagaimana bisa hobinya jalan-jalan jika Yuna saja tipikal orang yang malas bergerak.

“Jangan sok tahu,” jawab Ele galak. “Yuna bukan tipe orang yang suka bepergian.” Ele memalingkan wajahnya menghadap lurus ke depan. Gadis itu bisa merasakan mobil perlahan-lahan berhenti. Lampu merah, ia rasa.

“Benarkah? Ah bibi! Kenapa dia salah memberikan informasi, sih,” ujar Van. “Katanya dia suka mengumpulkan foto pemandangan. Bukankah dia suka jalan-jalan?”

“Dia memang suka memoto pemandangan. Tapi jalan-jalan bukanlah hobinya. Dia akan memotret pemandangan saat dia diajak pergi oleh temannya saja. Kalau tidak ada yang mengajaknya pergi, ya dia lebih suka berdiam diri di rumah,” jelas Ele.

“Kalau begitu belikan saja dia kamera!”

Kamera.

Ingatan Ele kembali melayang setelah mendengarkan kata kamera.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Beautiful Darkness   Chapter 50: Pertanyaan Mendadak dari Nick

    “Bilang saja.”Ele mengernyitkan keningnya seiring dengan berhentinya lagu yang diputar Van. Lagu selanjutnya tak kunjung bisa Ele dengar. Mungkin Van sengaja menekan tombol pause karena katanya perawatnya ingin mengatakan sesuatu. Ele menunggu dalam diam, tapi tak ada satu patah kata pun yang terucap dari bibir Van.“Mau bilang apa?” tanya Ele.Van masih tak mau menjawabnya. Pria itu, tanpa sepengetahuan Ele, malah duduk gelisah sambil meracau dalam diam. Van menjambak rambutnya sendiri dan ia mengumpat tanpa suara. Ia dalam kebimbangan luar biasa karena separuh hatinya ingin mengatakan kebenaran, namun separuh lainnya merasa masih belum siap. Tapi sialnya ia sudah terlanjur mengatakan akan memberitahu Ele.“Van? Jangan diam saja!”Ele mulai kesal. Perawatnya seolah berubah menjadi orang gagu karena tak menyahut sedari tadi. Ia mulai memandang curiga ke arah Van.“Apa kau menyembunyikan sesuatu dari

  • Beautiful Darkness   Chapter 49: Teh yang Akan Tumpah

    “Sewaktu aku SMA, ayah memberikan banyak uang pada Kak Rey untuk merintis start up. Ayah tadinya akan memberikan salah satu anak perusahaannya pada Kak Rey namun kakakku menolaknya. Ia bilang jika ia ingin berusaha membangun sendiri perusahaannya tanpa campur tangan ayah. Akan tetapi, ayah tak tega. Ia akhirnya memberikan suntikan dana dan membiarkan Kak Rey menjalankan sendiri usahanya. Ia lalu pernah berkata padaku bahwa perusahaan yang seharusnya diberikan pada Kak Rey, kelak akan diberikan padaku jika aku sudah lulus kuliah. Sekarang perusahaan itu dikelola atas nama Agatha. Wanita itu merampasnya dariku.” “Sejak kapan Agatha menjalankan perusahaan itu?” “Setelah ia menikahi ayahku sepuluh tahun yang lalu,” jawab Ele. “Semua mimpi burukku terjadi sepuluh tahun yang lalu.” “Apa saja yang terjadi sepuluh tahun yang lalu?” Van mencoba memancing Ele. Kendati ia tahu betul situasi sepuluh tahun silam yang dimaksud Ele, namun ia ingin mendengar sendiri secara langsung dari Ele. “Kau

  • Beautiful Darkness   Chapter 48: Rencana Pertemuan yang Sulit

    Ele dan Van berhasil kembali ke rumah sebelum petang. Satu jam setelahnya, Agatha dan Damian pulang ke rumah setelah menjalani perjalanan bisnis sekaligus liburan di Maldives. Kedua orang tua Ele itu tiba dengan membawa berbagai macam buah tangan baik berupa makanan atau pun barang. Ele yang kala itu tengah menyantap makan malamnya bersama Van buru-buru menghabiskan makanan di piringnya. Ia mencoba menghindari bertemu dengan orang tuanya sebisa mungkin. Sayangnya, ketika di suapan terakhir, Damian dan Agatha datang ke ruang makan untuk menahan Ele. Dengan wajah sumringah, Damian memberikan sebuah kotak yang dihiasi dengan pita berwarna putih di bagian atasnya. Ia meletakkan kotak itu di pangkuan anaknya. “Buka lah,” ujar Damian. Tanpa bergairah Eleanore membuka kotak itu. Rupanya Damian memberikan sebuah clutch berwarna marun yang terlihat elegan. Ele meraba-raba bentuk clutch itu lalu meletakkan kembali pemberian ayahnya ke dalam boks. Ia jelas tak tertarik sama sekali. “Kau suka

  • Beautiful Darkness   Chapter 47: Semesta Berpihak Padanya

    Selepas bertemu dengan Reynold, Van bergegas memesan tiket pulang. Ia berpacu dengan waktu. Setelahnya, pria itu langsung ngebut gila-gilaan menuju ke Pusat Komunitas untuk menjemput Ele. Beruntung baginya ia bisa mengandalkan Ghani, sahabatnya yang juga diundang ke Pusat Komunitas, untuk mengulur waktu. Dengan bantuan Ghani, Ele bisa sedikit lebih sibuk sehingga gadis itu baru minta dijemput pada pukul tujuh malam. Sesampainya di rumah, rupanya gadis itu kelelahan. Ele melewatkan makan malam dan memilih tidur lebih awal. Beruntung sekali lagi bagi Van, karena dengan begitu ia bisa mengistirahatkan tubuhnya yang terasa pegal akibat perjalanan luar pulau yang mendadak ia lakukan dalam satu hari. Ia tidur dengan meminum obat pereda nyeri untuk meredakan rasa sakit akibat pukulan dan tendangan yang dilayangkan Reynold. Di pagi harinya, ia bangun dan menyiapkan segala keperluan Ele untuk ke rumah sakit. Agatha dan Damian yang masih belum pulang ke rumah menjadi salah satu hal baik yang m

  • Beautiful Darkness   Chapter 46: Perjanjian Reynold dan Agatha

    Kalimat yang keluar dari bibir Reynold membuat Van terhenyak. Ia kesulitan bernapas dan hanya mematung menatap kosong pada Reynold. Tubuhnya terasa luar biasa lemas. Bahkan saat dirinya dibawa keluar oleh beberapa waiter, dirinya hanya bisa pasrah. Van kehilangan kalimat yang sudah ia rangkai di kepala. Yang ada di kepalanya saat ini praktis tak ada. Ia terlampau terkejut setelah mendengar ucapan Reynold. Setelah mencari-cari alasan mengapa semua orang menyalahkannya atas kondisi Ele, akhirnya ia tahu juga penyebabnya. Penyebabnya tak lain dan tak bukan adalah karena Ele yang mengalami kecelakaan akibat mengejar mobilnya sepuluh tahun silam. Kecelakaan yang sama sekali tak ia ketahui. Tak ada satu pun orang yang memberitahu tentang kecelakaan itu. Ia merasa seperti idiot yang tak tahu menahu. “Brengsek Sialan! Kau membuatnya buta!” “Kak—" “Keluar kalian berdua!” Van merasakan tangannya diseret oleh seorang pria bertangan kekar. Tangan itu mencengkeram erat lengan atasnya. Saat ia

  • Beautiful Darkness   Chapter 45: Jawaban yang Dicari Selama Ini

    “Tora?”Sosok yang tengah duduk di tengah-tengah keramaian itu memanggil sebuah nama yang tentu tak asing di telinganya.Sosok yang selama ini dicari mati-matian oleh gadis yang ia kasihi memanggil nama itu dengan nada yang terlewat tenang. Akan tetapi, nada tenang yang mengalun dari bibir itu menyiratkan sesuatu yang lebih besar. Seolah-olah ia tengah menahan sesuatu yang telah lama ia pendam. Seperti akan ada badai yang datang setelah ketenangan tak menenangkan yang didengar itu menyapa gendang telinga Van.Yang dipanggil Tora lalu mengamati balik orang itu dengan pandangan menelisik. Terima kasih pada sekretarisnya yang telah berusaha keras untuk menemukan Reynold. Berkat kemampuan handal dan koneksi yang tersedia, sekretarisnya berhasil menemukan keberadaan Reynold yang ternyata tinggal di Bali selama pelariannya sepuluh tahun ini.Terima kasih pula pada Yuna yang mendadak mengajak Ele untuk datang ke Pusat Komunitas hari ini. Yuna bilang

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status