Share

Chapter 3: Kamera

“Selamat pagi, Eleanore.”

Pagi berikutnya dan berhari-hari berikutnya Van datang lagi. Sudah 3 hari ini ia memaksakan diri untuk bekerja. Sudah 3 hari pula Eleanore menolaknya mentah-mentah. Walaupun telah ditolak, pria itu hanya menunggu di depan kamar Ele seharian penuh sebelum akhirnya bibi memintanya untuk pulang. Namun kali ini, rupanya ia berinisiatif untuk berusaha lebih. Pria itu masuk ke kamar Ele tanpa mengetuknya terlebih dahulu.

Benar-benar orang yang nekat.

Tidak peduli sudah berapa kali Ele melarangnya untuk bekerja di sini, tidak peduli berapa kali Ele melarangnya untuk dekat-dekat dengannya, ia tidak menghiraukannya sekali pun. Van menganggap segala larangan Ele adalah angin lalu yang tidak perlu diperhatikan. Itu sebabnya kali ini Ele menulikan pendengarannya dan mencoba menetralkan gemuruh di dadanya yang sarat akan emosi saat Van memasuki kamarnya seenak jidat.

Eleanore menyesap teh rosela favoritnya sembari duduk menghadap jendela, total abai akan ocehan perawat barunya yang sok akrab.

Woah ... lihat lah kamar ini. Kenapa begitu suram, ya? Kurasa bibi-bibi itu salah memilihkan warna untukmu, bukan? Warna gorden ini terlihat kusam dan tidak sesuai denganmu.” Ia mengoceh sembari membuka lebar gorden yang sengaja Ele buka sedikit. Di detik berikutnya, pria itu membuka lebar kedua jendela kamar Ele. Ele mengernyit merasakan hangatnya cahaya yang menerpa wajahnya.

“Apa-apaan kau ini?” protes Ele.

Van tidak menjawab gerutuan itu dan menyambar cangkir yang sedang Ele pegang. “Di luar cuaca sedang cerah. Kenapa tidak berjalan-jalan sebentar? Aku akan menemanimu keluar kalau kau mau.”

Ele mendengus. Mau itu cuaca cerah atau hujan badai pun tak akan bisa berpengaruh padanya. Toh ia tidak dapat menikmatinya sedikit pun.

“Ayo kita keluar! Katakan, kau mau pergi kemana hari ini? Taman kota? Kebun binatang? Taman bermain?”

Ele berdiri dari tempat duduknya seketika. Van sepertinya kaget dengan sikap Ele, terdengar dari reaksi tertahannya. Ele berpikir jika pria itu benar-benar orang yang tidak tahu malu. Tidak sadar kah ia kalau Ele tak peduli dengan apa pun?

“Keluar. Aku tak ingin pergi kemana-mana,” jawab Ele dengan nada sedingin mungkin. Ele masih mencoba menetralkan amarahnya yang belum sampai di puncak.

“Oh ayo lah, Eleanore. Kau harus keluar dan jalan-jalan sebentar saja.” Van menarik tangan Ele dan Ele langsung menepisnya.

“Berani-beraninya kau!” teriak Ele. Ele mengambil tongkat dan memukuli pria itu dengan asal menggunakan tongkat di tangannya. Pria itu mengaduh beberapa kali sebelum akhirnya mengambil tongkat tersebut.

“Hentikan, oke? Itu sakit.” Van merengek seperti bayi.

“Kembalikan tongkatku!” teriak Ele marah. Ele benar-benar benci jika harus berdiam tanpa memegang tongkat. Benda itu bagaikan nyawa baginya. Ia terlalu bergantung padanya.

Pemuda itu terkekeh sebentar. “Aku akan mengembalikannya asal kau mau keluar barang sebentar saja.”

“Apakah menyenangkan—“  Ele mengumpulkan suaranya. “Apakah menyenangkan mengerjai orang buta sepertiku? Bagimu itu menyenangkan?”

Van terdiam seketika. Di sisi lain, Ele menahan panas yang menerpa kedua matanya yang menyeruak seketika. Ele sangat benci terlihat lemah di depan orang lain, dan jika ketidaksempurnaannya begitu menyenangkan bagi orang lain, maka ...

“Bukan begitu.” Pria itu mengambil tangan kanan Ele. Ele berjengit sedikit kaget sebelum Van meletakan tongkatnya di antara jemarinya. Ele meremas barang itu dan berbalik memunggunginya.

“Aku hanya mencoba menjadi temanmu, Eleanore. Kau butuh seseorang yang bukan hanya menjadi perawatmu saja melainkan juga menjadi teman. Teman berbicara, bermain, melakukan hal yang kau suka, apapun itu. Aku disini untuk membantumu.” Suaranya lirih namun terdengar tegas. Sebutir air mata Eleanore turun begitu saja. Ele mengusapnya kasar menggunakan lengan bajunya.

“Berhenti lah membuatku terlihat lemah.” Ele menggumamkannya.

Van, di sisi lain, mengembuskan napasnya perlahan. Ia harus ekstra sabar ketika menghadapi Ele. “Aku tidak membuatmu terlihat lemah. Aku hanya ingin kau berbicara dengan seseorang.” Van mencoba meraih tangan kiri Ele sebelum Ele menepisnya lagi dan lagi.

Van mengumpat dalam hati. Tak bisa berbohong, ia cukup kesal dengan sikap Ele yang kerap menolak bantuannya. Ia memejamkan matanya sebentar sebelum kembali berujar dengan nada riang yang dibuat-buat.

“Hari ini, aku mendengarnya dari bibi. Katanya teman satu komunitasmu berulang tahun, ‘kan? Mari datang dan membawakannya kado!”

Ele nyaris melupakannya. Hari ini ulang tahun Yuna, salah satu teman dekatnya. Bagaimana Ele bisa lupa?

Jika diingat-ingat lagi, sudah sebulan ini Ele tidak mengunjungi pusat komunitas. Ele merasa terlalu malas untuk bertemu banyak orang. Ia begitu sungkan melontarkan basa-basi bahkan pada teman dekatnya sendiri, namun ia rasa Yuna benar-benar sudah baik kepadanya selama 10 tahun belakangan ini. Bagaimana bisa ia tega tidak datang?

Akan tetapi, menarik lagi kata-kata yang sudah ia lontarkan ...

“Ayo lah, Eleanore. Aku akan menemanimu mencarikan kado untuknya. Bagaimana? Setuju?”

Eleanore menarik napas dan menghitung sampai 3 sebelum membalikkan tubuhnya dengan gerakan sekaku robot.

“Baiklah,” jawab Ele pada akhirnya.

***

Satu jam kemudian Eleanore telah duduk manis di dalam mobil Van. Ele meletakkan benda keramatnya di dashboard dan mengenakan sunglasses kesayangannya. Tangan kanannya meraba-raba hoodie putih yang ia kenakan, takut kalau-kalau ia salah memakainya.

Ia rasa tidak.

Ia memalingkan wajahnya ketika Van masuk dan duduk di kursi kemudi.

“Jadi kado apa yang ingin kau berikan pada temanmu?” tanya Van membuka percakapan. “Coba pikirkan benda kesukaannya.” Ia menyalakan mesin. Dengan perlahan mobil melaju menembus jalanan ibukota.

“Tak perlu diberi tahu. Aku sedang memikirkannya,” jawab Ele ketus. Ele menggerutu sendiri di samping Van.

Pria itu terkekeh. Ele menoleh ke arah Van sambal bertanya-tanya apakah nada bicaranya kurang tajam? Ele heran, bagaimana bisa perawat itu malah tertawa mendengar suaranya yang sama sekali tidak bisa disebut ramah. Sepertinya Ele harus melancarkan aksi lain yang membuat perawatnya tidak betah berlama-lama berada di dekatnya.

“Kata bibi, temanmu itu—“

“Yuna,” koreksi Ele. “Dia punya nama.” Ele tak suka jika ada orang yang tidak memanggil nama orang dengan benar.

“Ah iya. Yuna.” Van melanjutkan “Kata bibi, dia adalah orang yang suka jalan-jalan, ya?”

Ele mendengus pelan. Membayangkan Yuna memiliki hobi jalan-jalan benar-benar terasa konyol menurutnya. Yang Ele tahu, Yuna begitu mencintai kasurnya sebesar ia mencintai nyawanya. Bagaimana bisa hobinya jalan-jalan jika Yuna saja tipikal orang yang malas bergerak.

“Jangan sok tahu,” jawab Ele galak. “Yuna bukan tipe orang yang suka bepergian.” Ele memalingkan wajahnya menghadap lurus ke depan. Gadis itu bisa merasakan mobil perlahan-lahan berhenti. Lampu merah, ia rasa.

“Benarkah? Ah bibi! Kenapa dia salah memberikan informasi, sih,” ujar Van. “Katanya dia suka mengumpulkan foto pemandangan. Bukankah dia suka jalan-jalan?”

“Dia memang suka memoto pemandangan. Tapi jalan-jalan bukanlah hobinya. Dia akan memotret pemandangan saat dia diajak pergi oleh temannya saja. Kalau tidak ada yang mengajaknya pergi, ya dia lebih suka berdiam diri di rumah,” jelas Ele.

“Kalau begitu belikan saja dia kamera!”

Kamera.

Ingatan Ele kembali melayang setelah mendengarkan kata kamera.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status