Eleanore, dengan segala keterbatasan yang dimiliki, mencoba untuk bertahan dan melanjutkan kehidupannya yang telah dihancurkan oleh Tora; sosok yang semula ia kira bisa berjalan bersamanya. Sosok yang telah memberinya kegelapan eternal dan mencuri satu-satunya hal berharga yang ia miliki, yakni hati. Sayangnya Tora tidak berpikiran sama dengannya. Sosok yang ia cintai dengan sepenuh hati itu dengan santainya melangkah pergi dari kehidupannya. Meninggalkan kenangan dan rasa sakit yang sukar disembuhkan. Di saat ia tengah bertahan dalam kegelapan hidupnya, pemuda itu datang kembali dan menawarkan obat untuk lukanya. Akankah kali ini Eleanore dapat menerima pria itu kembali? Ataukah sekali lagi, Tora hanya singgah dan pergi lagi?
Lihat lebih banyak“Namanya Van. Dia akan menggantikan Maria untuk jadi perawatmu. Dan dia laki-laki.”
Seorang gadis yang berada dalam sebuah kamar dengan nuansa golden brown memutar kedua bola mata tanpa ragu. Si Gadis membatin bahwa cepat atau lambat Maria, Sang Perawatnya terdahulu, pasti tidak akan betah menghadapi sikapnya yang sangat menyebalkan. Ia bisa merasakan bahwa perawat itu terpaksa menerima pekerjaan ini, entah apapun alasannya. Mungkin saja karena Maria sangat membutuhkan uang atau mungkin karena wanita itu memaksanya untuk bekerja padanya.
Entahlah, ia tak peduli. Sejujurnya, ia sama sekali tak peduli jika akhirnya memiliki perawat atau tidak. Ia bisa melakukan semuanya sendiri. Ia telah terlatih untuk hal itu.
Sialnya, wanita itu selalu saja bersikeras untuk mencarikan perawat untuknya. Ia sedikit heran Agatha bisa menemukan perawat baru untuknya dalam jangka waktu satu hari. Tapi tenang saja, ia dapat memastikan bahwa perawat baru itu pasti tak akan betah berlama-lama menginjakkan kaki di huniannya.
“Bulan ini laki-laki?” tanyanya acuh tak acuh. “Aku tak butuh perawat, kalau kau lupa. Aku bisa melakukan segalanya sendiri. Pecat saja orang itu dan—”
“Diam lah, Eleanore,” potong wanita yang tengah berkomunikasi dengan Si Gadis. Nada suaranya yang penuh dengan perintah selalu mendominasi setiap kali keduanya berdebat. “Sudah untung aku mau mencarikan perawat untukmu. Itu artinya aku peduli padamu.”
“Berhenti lah mengganggu hidupku!” bentak gadis itu penuh emosi. Napasnya selalu memburu jika sudah berurusan dengan manusia yang satu itu. “Kau tak perlu repot-repot melakukannya. Aku bilang aku tak mau. Apa kau tidak paham? Dan jangan sekali-kali kau bilang kalau kau peduli padaku.”
Wanita itu beranjak dari sofa di sebelah tempat tidur Si Gadis. “Sudah lah. Aku lelah berdebat terus denganmu,” ucap Si Wanita penuh kecongkakan. Si Gadis selalu membenci setiap kata yang keluar dari bibir wanita bernama Agatha itu. Kata-kata tersebut seolah memojokkannya. Membuatnya terlihat sebagai orang yang bersalah.
Padahal seharusnya wanita itu lah yang patut disalahkan.
“Dia sudah menunggu di luar kamar. Aku akan menyuruhnya masuk untuk berkenalan denganmu, tak peduli kau suka dengannya atau tidak.” Agatha membuka tirai jendela kamar Si Gadis dengan kasar. “Dan minum lah cokelat panas itu.” Agatha mengetuk cangkir itu dengan menggunakan kukunya.
“Berhenti bertindak seolah-olah kau adalah ibuku,” ujar gadis itu sinis.
Agatha diam sejenak sebelum dengan tawa pelan menjawab ucapan yang ditujukan kepadanya.
“Memang aku ibumu, Eleanore.” Dengan satu seringai yang tak disadari oleh Si Gadis, Agatha pergi meninggalkan kamar Eleanore.
Eleanore, atau yang kerap dipanggil dengan Ele, meremas seprai kasurnya menahan amarah. Persetan dengan cokelat panas! Minuman itu tak akan pernah ia sentuh semenjak wanita itu membuatkannya sejak 10 tahun yang lalu. Agatha benar-benar merusak mood-nya di pagi hari.
Ele mendengar suara bincangan Agatha dengan seseorang di luar kamar. Beberapa detik setelahnya, pintu kamar Ele terbuka perlahan. Ele menatap kosong ke arah suara tersebut sebelum merasakan seseorang masuk ke dalam kamar. Pasti perawat itu.
Sosok yang ia asumsikan sebagai perawat, berdehem kecil sebelum mengucapkan salam padanya.
“Hai, Eleanore.”
Jantung Eleanore sejenak berhenti berdetak. Suara itu …
Suaranya terdengar begitu dalam dan sedikit serak. Entah itu merupakan suara aslinya atau pun ia hanya gugup semata. Dua kata yang ia dengar membuat Ele seketika lupa cara bernapas. Untuk sejenak kepala Eleanore sedikit berputar setelah mendengar suara husky dari perawat tersebut.
Tidak, bukan, pasti bukan. Itu bukan suaranya. Ele meremat selimut guna menahan kekagetannya. Ele merapal dalam hati sembari menggelengkan kepalanya perlahan.
Eleanore memutuskan untuk tidak membalas sapaan dari Sang Perawat dan hanya terdiam mematung. Ele telah menghadapi hal ini ratusan kali, berkenalan dengan satu perawat ke perawat yang lain. Mulai dari yang muda hingga tua. Rata-rata mereka hanya bertahan dalam jangka waktu 2-3 bulan.
“Boleh aku duduk?”
Eleanore menganggukkan kepalanya kaku. Ia dapat merasakan jika perawat itu menarik sebuah kursi dan duduk di depan Ele.
Hening seketika sesaat setelah ia duduk di depan Sang Gadis.
Kilas Balik 10 Tahun yang Lalu
“Namaku Eleanore.”
Setelah sekian lama, akhirnya gadis itu mau juga menyebutkan namanya. Sudah sepuluh hari ini Sang Lelaki membuntutinya kesana kemari hanya untuk mengetahui namanya. Si Gadis selalu bersikeras tidak mau memberitahu namanya selama ini, entah dengan cara apapun Sang Lelaki membujuknya.
Sayang sekali mereka berbeda sekolah. Sayang sekali Si Lelaki hanya bisa bertemu dengan gadis itu selepas sekolah usai. Pemuda itu merasa kehilangan banyak waktu untuk bisa mengenalnya lebih jauh, namun hari ini ... hari ini Si Gadis mau memberitahukan namanya. Sungguh sebuah keajaiban.
“Eleanore? What a beautiful name of a beautiful soul.”
Si Lelaki bersurai kelabu itu menggodanya. Mendengar godaan dari lawan bicaranya, gadis itu hanya mendengus sambil meminum latte di kedua tangannya. Terlihat seperti bayi yang meminum susu dari dot. Body language tersebut membuat Si Lelaki mau tak mau memperhatikan keseluruhan wajahnya.
Gadis itu memiliki kulit semulus susu dengan kedua pipi chubby yang sedikit menggembung. Sepasang gigi kelinci terbentuk indah di antara gigi-giginya, mengingatkan Si Lelaki akan kelinci yang pernah ia pelihara semasa sekolah dasar. Ia gadis yang sangat manis. Segala pergerakan yang dilakukannya begitu menyenangkan untuk dilihat. Bahkan ia begitu cantik saat sedang diam.
“Kenapa kau begitu ingin tahu namaku?” tanya Si Gadis membuyarkan lamunan orang di hadapannya. Sepasang mata bulatnya menatap Si Lelaki dengan pandangan penasaran.
Puppy eyes, gigi kelinci, wajah imut, badan proporsional. Baik lah, ia akui Eleanore memang makhluk yang indah. Kombinasi yang sangat pas dan sedikit mematikan.
“Well—“ Si surai kelabu membenarkan posisi duduknya yang menyamping menghadap Eleanore. “Sejak pertama kali aku melihatmu, aku begitu penasaran denganmu,” ucapnya sedikit gugup. Ia berdehem sekali sebelum melanjutkan. “Kau ingat 10 hari yang lalu saat kita bertemu di lapangan basket dekat rumahmu?”
Gadis itu menganggukkan kepalanya.
“Kau terlihat sangat manis duduk di sana dengan memegang bola basket. Hanya memegang bola basket tanpa memainkannya. Kurasa sejak saat itu, aku mulai tertarik padamu.” Si Lelaki menarik napas. Perasaannya begitu campur aduk setelah mengatakannya.
Eleanore tertawa setelah mendengar pengakuan itu. Ia meletakkan latte-nya di atas meja.
“Cheesy.” Ele berdiri dari duduknya. Ia tersenyum lebar sebelum mengulurkan tangan kanannya. “Namamu siapa?”
Si Lelaki mengulas senyum simpul sembari menyambut jabatan tangan Ele. “Namaku Tora,” jawabnya penuh percaya diri.
Ele mengangguk singkat dan berjalan meninggalkan Si Lelaki yang masih terpaku melihat senyum cerah gadis cantik yang mampu membuat jantungnya berdetak cepat.
Kilas Balik Selesai
“Bilang saja.”Ele mengernyitkan keningnya seiring dengan berhentinya lagu yang diputar Van. Lagu selanjutnya tak kunjung bisa Ele dengar. Mungkin Van sengaja menekan tombol pause karena katanya perawatnya ingin mengatakan sesuatu. Ele menunggu dalam diam, tapi tak ada satu patah kata pun yang terucap dari bibir Van.“Mau bilang apa?” tanya Ele.Van masih tak mau menjawabnya. Pria itu, tanpa sepengetahuan Ele, malah duduk gelisah sambil meracau dalam diam. Van menjambak rambutnya sendiri dan ia mengumpat tanpa suara. Ia dalam kebimbangan luar biasa karena separuh hatinya ingin mengatakan kebenaran, namun separuh lainnya merasa masih belum siap. Tapi sialnya ia sudah terlanjur mengatakan akan memberitahu Ele.“Van? Jangan diam saja!”Ele mulai kesal. Perawatnya seolah berubah menjadi orang gagu karena tak menyahut sedari tadi. Ia mulai memandang curiga ke arah Van.“Apa kau menyembunyikan sesuatu dari
“Sewaktu aku SMA, ayah memberikan banyak uang pada Kak Rey untuk merintis start up. Ayah tadinya akan memberikan salah satu anak perusahaannya pada Kak Rey namun kakakku menolaknya. Ia bilang jika ia ingin berusaha membangun sendiri perusahaannya tanpa campur tangan ayah. Akan tetapi, ayah tak tega. Ia akhirnya memberikan suntikan dana dan membiarkan Kak Rey menjalankan sendiri usahanya. Ia lalu pernah berkata padaku bahwa perusahaan yang seharusnya diberikan pada Kak Rey, kelak akan diberikan padaku jika aku sudah lulus kuliah. Sekarang perusahaan itu dikelola atas nama Agatha. Wanita itu merampasnya dariku.” “Sejak kapan Agatha menjalankan perusahaan itu?” “Setelah ia menikahi ayahku sepuluh tahun yang lalu,” jawab Ele. “Semua mimpi burukku terjadi sepuluh tahun yang lalu.” “Apa saja yang terjadi sepuluh tahun yang lalu?” Van mencoba memancing Ele. Kendati ia tahu betul situasi sepuluh tahun silam yang dimaksud Ele, namun ia ingin mendengar sendiri secara langsung dari Ele. “Kau
Ele dan Van berhasil kembali ke rumah sebelum petang. Satu jam setelahnya, Agatha dan Damian pulang ke rumah setelah menjalani perjalanan bisnis sekaligus liburan di Maldives. Kedua orang tua Ele itu tiba dengan membawa berbagai macam buah tangan baik berupa makanan atau pun barang. Ele yang kala itu tengah menyantap makan malamnya bersama Van buru-buru menghabiskan makanan di piringnya. Ia mencoba menghindari bertemu dengan orang tuanya sebisa mungkin. Sayangnya, ketika di suapan terakhir, Damian dan Agatha datang ke ruang makan untuk menahan Ele. Dengan wajah sumringah, Damian memberikan sebuah kotak yang dihiasi dengan pita berwarna putih di bagian atasnya. Ia meletakkan kotak itu di pangkuan anaknya. “Buka lah,” ujar Damian. Tanpa bergairah Eleanore membuka kotak itu. Rupanya Damian memberikan sebuah clutch berwarna marun yang terlihat elegan. Ele meraba-raba bentuk clutch itu lalu meletakkan kembali pemberian ayahnya ke dalam boks. Ia jelas tak tertarik sama sekali. “Kau suka
Selepas bertemu dengan Reynold, Van bergegas memesan tiket pulang. Ia berpacu dengan waktu. Setelahnya, pria itu langsung ngebut gila-gilaan menuju ke Pusat Komunitas untuk menjemput Ele. Beruntung baginya ia bisa mengandalkan Ghani, sahabatnya yang juga diundang ke Pusat Komunitas, untuk mengulur waktu. Dengan bantuan Ghani, Ele bisa sedikit lebih sibuk sehingga gadis itu baru minta dijemput pada pukul tujuh malam. Sesampainya di rumah, rupanya gadis itu kelelahan. Ele melewatkan makan malam dan memilih tidur lebih awal. Beruntung sekali lagi bagi Van, karena dengan begitu ia bisa mengistirahatkan tubuhnya yang terasa pegal akibat perjalanan luar pulau yang mendadak ia lakukan dalam satu hari. Ia tidur dengan meminum obat pereda nyeri untuk meredakan rasa sakit akibat pukulan dan tendangan yang dilayangkan Reynold. Di pagi harinya, ia bangun dan menyiapkan segala keperluan Ele untuk ke rumah sakit. Agatha dan Damian yang masih belum pulang ke rumah menjadi salah satu hal baik yang m
Kalimat yang keluar dari bibir Reynold membuat Van terhenyak. Ia kesulitan bernapas dan hanya mematung menatap kosong pada Reynold. Tubuhnya terasa luar biasa lemas. Bahkan saat dirinya dibawa keluar oleh beberapa waiter, dirinya hanya bisa pasrah. Van kehilangan kalimat yang sudah ia rangkai di kepala. Yang ada di kepalanya saat ini praktis tak ada. Ia terlampau terkejut setelah mendengar ucapan Reynold. Setelah mencari-cari alasan mengapa semua orang menyalahkannya atas kondisi Ele, akhirnya ia tahu juga penyebabnya. Penyebabnya tak lain dan tak bukan adalah karena Ele yang mengalami kecelakaan akibat mengejar mobilnya sepuluh tahun silam. Kecelakaan yang sama sekali tak ia ketahui. Tak ada satu pun orang yang memberitahu tentang kecelakaan itu. Ia merasa seperti idiot yang tak tahu menahu. “Brengsek Sialan! Kau membuatnya buta!” “Kak—" “Keluar kalian berdua!” Van merasakan tangannya diseret oleh seorang pria bertangan kekar. Tangan itu mencengkeram erat lengan atasnya. Saat ia
“Tora?”Sosok yang tengah duduk di tengah-tengah keramaian itu memanggil sebuah nama yang tentu tak asing di telinganya.Sosok yang selama ini dicari mati-matian oleh gadis yang ia kasihi memanggil nama itu dengan nada yang terlewat tenang. Akan tetapi, nada tenang yang mengalun dari bibir itu menyiratkan sesuatu yang lebih besar. Seolah-olah ia tengah menahan sesuatu yang telah lama ia pendam. Seperti akan ada badai yang datang setelah ketenangan tak menenangkan yang didengar itu menyapa gendang telinga Van.Yang dipanggil Tora lalu mengamati balik orang itu dengan pandangan menelisik. Terima kasih pada sekretarisnya yang telah berusaha keras untuk menemukan Reynold. Berkat kemampuan handal dan koneksi yang tersedia, sekretarisnya berhasil menemukan keberadaan Reynold yang ternyata tinggal di Bali selama pelariannya sepuluh tahun ini.Terima kasih pula pada Yuna yang mendadak mengajak Ele untuk datang ke Pusat Komunitas hari ini. Yuna bilang
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen