Share

Chapter 3

Author: Suzy Wiryanty
last update Last Updated: 2021-12-16 15:41:34

Waktu menunjukkan pukul 08.00 WIB tepat, saat aku menghempaskan pinggul di kursi kerjaku. Napasku masih tersengal-sengal dengan bulir-bulir keringat yang masih menempel di dahi. Tidak heran, karena pagi-pagi aku sudah melakukan lari sprint pagi. Aku nyaris saja terlambat. Untuk itu aku berlari kencang saat abang gojek tiba di kantor. 

Baru saja bermaksud duduk dan beristirahat, telingaku mendengar suara ribut-ribut di counter sales depan. Sepertinya akan keributan di sana. Aku mempercepat langkah. Ingin mengetahui masalah apa yang sudah melanda pagi-pagi begini. 

"Kan sudah bilang berkali-kali, jangan kalian menagih cicilan motor ini ke rumahku. Biar saya saja yang menyetor cicilan ke sini. Kau ini mengerti tidak Bahasa Indonesia hah?" 

Kulihat ada seorang bapak-bapak paruh baya yang mengamuk di counter pembayaran kendaraan bermotor. Aku segera menghampiri kerumunan itu. Kulihat mata Mbak Tania sudah memerah menahan tangis, karena terus saja dibentak-bentak oleh customer. Breath in breath out. Bismillah. Dan aku pun segera menghampiri biang masalah. Sesama rekan kerja harus saling menolong bukan? 

"Selamat pagi, Bapak. Maaf sebelumnya, sebenarnya ada masalah apa ya, Pak? Mari silakan ikut ke meja saya. Kita bicarakan baik-baik semua keluhan dan permasalahan Bapak," ucapku ramah kepada si bapak. 

Dari sudut mata aku bisa melihat Mbak Tania menarik napas lega. Ia juga mengelus dada berkali-kali. Sementara Bapak-Bapak tadi dengan semangat empat lima membuntuti langkahku. Namun aku sempat mendengar Mbak Tania mengomel dengan suara rendah. 

"Giliran yang mengajak bicara, jidatnya mulus saja, langsung jinak. Dasar tua-tua keladi. Makin tua makin menjadi." Aku meringis mendengar gerutuan kesal Mbak Tania. Wajar kalau Mbak Tania jengkel. Pagi- pagi ia sudah dihadiahi omelan. 

"Jadi masalahnya apa, Pak Manik?" tanyaku setelah sekilas melihat draft kartu cicilannya, dengan nama Hotman Manik. 

"Jadi begini, 'kan sudah dari dulunya kubilang sama kalian. Jangan kalian tagih-tagih cicilanku ini ke rumahku. 'Kan jadi malu kali aku. Dikira tetangga-tetanggaku, kalau aku ini tidak sanggup bayar membayar cicilan motorku.

makanya sampai kalian kejar-kejar aku ke rumah. Yang macam banyak kali lah utangku ini sama kalian?!" 

Bapak itu pun langsung protes keras. Ia merasa keberatan ditagih cicilan motor oleh debt collector. 

"Maaf sebelumnya atas ketidaknyamanannya ya, Bapak. Tetapi sesuai dengan klausual perjanjian pengajuan kredit sepeda motor Bapak pada leasing kami, 'kan sudah kita sepakati bersama bahwa Bapak harus membayar cicilan sepeda motor Bapak setiap tanggal dua puluh satu, selama tenor dua puluh puluh empat bulan ke depan. Kalau Bapak tidak membayarnya tepat waktu ke sini, maka sudah sepatutnya tim kolektor kami akan menjemput cicilannya ke rumah Bapak. Intinya sangat sederhana. Kalau Bapak tidak mau di tagih ke rumah, bayarlah sesuai tanggal jatuh tempo. Gampang 'kan Bapak?" Jawabanku membuat si bapak terdiam. Si Bapak pasti menyadari kebenaran kalimatku. 

"Kalau pun Bapak mungkin sedikit terlambat membayarnya dikarenakan ada satu dan lain hal, alangkah baiknya kalau Bapak menghubungi kolektor daerah wilayah Bapak. Sehingga tim debt collector tidak akan menjemput angsuran ke rumah Bapak karena sudah ada pemberitahuan sebelumnya. Intinya itikad baik Bapak tetap akan kami apresiasi. Tetapi kalau sudah lewat dari batas waktu yang sudah kita sepati bersama, maka Bapak akan dikenakan sanksi. Sampai di sini penjelasan saya, apakah Bapak sudah mengerti?" 

Si Bapak mengangguk puas oleh jawabanku yang tanpa tedeng aling-aling itu. Syukurlah sepertinya ia sudah memahami dengan baik kata-kataku. Kalau tidak ingin dikejar, maka bayar sesuai tanggal jatuh tempo. Simple. 

"Itulah penjelasan dari saya. Apakah masih ada sekiranya hal lain yang belum Bapak fahami? Biar saja jelaskan semua klausual perjanjian kita," lanjutku seraya tersenyum manis, untuk memperbaiki suhu pembicaraan yang sempat memanas dengan Mbak Tania tadi. 

"Kalau boleh bisa tidak aku meminta nomor handphone kau saja, Dek? Mana tahu sekiranya aku entah mau bercakap apa-apa samamu. Bisa nggak, Dek? Enak kali kurasa bercakap-cakap samamu. Jadi tidak begitu panas lagi hatiku," ujar siBapak sambil mengedipkan sebelah matanya. Astaga si Bapak masih sempat-sempatnya memodusiku. Namun permintaannya aku loloskan. Tidak ada salahnya memberi kartu nama. Siapa tahu besok-besok ia akan mencariku saat hendak membeli motor. Setelah aku memberikan kartu namaku, si bapak beranjak pergi dengan gembira. Ia berjanji akan membayar cicilan motornya besok sore, setelah ia gajian. Akhirnya satu masalahpun terselesaikan. 

*** 

Jam makan siang. Saat makan siang seperti ini sebenarnya adalah moment yang paling tidak aku sukai. Aku sangat gerah bila harus ke kantin dan menjadi pusat perhatian orang banyak. Biasanya setiap aku melangkah, orang-orang akan melirik minimal dua kali padaku. Baik itu laki-laki ataupun perempuan. Hanya saja cara memandang mereka berbeda. Para laki-laki biasanya memandang dengan tatapan kagum. Namun para wanita menatap tidak suka. Dan aku tidak mempedulikan itu semua. 

Aku memang mempunyai paras di atas rata-rata, yang mungkin akan sangat diimpikan oleh sebagian besar wanita. Tetapi tidak denganku. Sejatinya aku ingin diriku, kinerjaku dan loyalitasku terhadap perusahaan ini, dihargai karena kemampuanku. Dan bukan hanya dilihat atas dasar kelebihan fisikku semata. 

Aku terus berjalan mencari tempat yang paling sudut di kantin. Aku suka duduk menyendiri di tempat yang sepi. Rasanya tenang dan damai. Aku kemudian memesan sepiring nasi campur dan segelas es teh manis pada ibu kantin. Dalam hitungan menit makananku pun telah dihidangkan. 

Drttt... drttt... drt.... 

Tiba-tiba saja ponselku bergetar. Aku meletakkan sendok dan garpu saat melihat nama Ibu muncul di layar ponselku. Nah, ibu memerlukan bantuan apalagi sehingga beliau mau bersusah-susah meneleponku. Ibu tidak akan pernah meneleponku untuk hal-hal yang menyenangkan menurut versiku sendiri. Kecuali saat ia membutuhkan bantuanku. 

"Iya Bu. Ada apa?" Aku menjawab dengan takzim, seolah-olah ibu di sana bisa melihat betapa sopannya aku saat mendengar titahnya. 

"Nanti cepat sedikit kamu pulang ke rumah ya? Bantu ibu masak dan beres-beres rumah, karena Keluarga Tjandradinata akan bertamu ke rumah kita malam ini." 

"Baik Bu. Memangnya jam berapa-" 

Tuttt... tut... tutt... 

Ah rupanya Ibu telah memutuskan sambungan telepon, tanpa aku sempat bertanya jam berapa acara dimulai. Seperti itulah ibuku. Ibu cuma memberitahu apa yang dia mau, dan dia tidak mengharapkan jawabanku sama sekali. 

Baiklah Upik Abu. Ayo semangat kerja hari ini. Agar bisa lebih cepat selesai, dan aku bisa membantu ibu. Dengan begitu aku tidak akan mengecewakan baginda ratu yang agung. Aku menyemangati diriku sendiri. 

Aku makan siang sendirian dalan keheningan seperti biasa. Percakapan dan keramaian para karyawan dan karyawati yang sedang makan atau bergosip, pelan-pelan berubah menjadi dengungan pelan dan kemudian menghilang. Sehingga tinggal aku sendiri di sini, hanya aku.

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Putri
ciuman cantik
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Beautiful Hurt   Chapter 24 (end)

    "Ssstt... tidurlah sayang. Tidak akan terjadi apa-apa. Saya akan menjagamu. Saya akan selalu menjagamu..."Aku membuka mataku perlahan. Ah mimpi itu datang lagi. Suara bariton yang berulang kali memanggilku sayang. Siapa dia? Benarkah itu, Eldath?Mendadak aku merasakan lenganku dijalari rasa hangat. Pandanganku jatuh pada sosok gagah Chris yang tertidur dengan posisi duduk di samping bedku. Ia tertidur dalam posisi menggenggam erat tanganku.Untuk pertama kalinya aku bisa menatapi wajahnya sedekat ini. Rahangnya yang kokoh, alis mata yang tebal, hidung yang sangat mancung, terlebih lagi bulu-bulu yang bertebaran di rahangnya. Chris sungguh tampan dan sangat manly."Sudah puas menatapi wajah saya ?" Aku kaget saat tiba-tiba Chris membuka matanya. Aku malu sekali karena ketahuan memandangi wajahnya."Suka dengan yang kamu lihat?" Lagi-lagi Chris membuatku tidak bisa berbicara. Tetapi berbohong

  • Beautiful Hurt   Chapter 23

    Author POVMaddie mulai menyusun barang bawaan sekaligus pakaian dalam untuk Marilyn. Si tuan posesif Chris berulang-ulang kali mengingatkannya bahwa adiknya itu hanya dibalut jas dan selimut, sewaktu dibawa ke rumah sakit, tanpa dalaman sama sekali.Rasanya tidak puas-puasnya dia memaki Albert dalam hati. Ia nyaris tidak percaya, seorang Albert Tjandrawinata yang merupakan incaran para wanita abad ini, bisa melakukan hal keji seperti itu pada adiknya.Ia semakin kesal bila teringat akan kebodohannya hingga sampai mencelakakan adiknya sendiri,ndemi ingin memiliki tangkapan abad ini. Ya itu adalah julukan untuk Albert dari teman-teman kalangan jet setnya.Tapi adiknya itu selain cantiknya warbiasah, lugunya juga nauzubillah. Perpaduan seperti inilah yang membuatnya gampang dimanipulasi oleh orang-orang yang memiliki niat terselubung terhadapnya. Ia tahu, saat pertama kali Albert datang ke rumah untuk

  • Beautiful Hurt   Chapter 22

    "Syukurlah saya belum terlambat untuk menyelamatkanmu. Terima kasih Tuhan! Terima kasih!Kamu tidak apa-apa, sayang?mana yang sakit? Beritahu saya, sayang?"Sebenarnya aku ingin sekali menjawab pertanyaan yang terdengar penuh dengan kecemasan itu. Tapi entah kenapa lidahku terasa kelu. Tubuhku pun tidak bisa aku gerakkan. Aku ingin sekali melihat wajah pemilik suara bariton itu. Entah mengapa mendengar suara itu, aku jadi merasa aman dan... dicintai. Perasaan asing itu menyelinap diam-diam di sudut hatiku. Aku ingin selamanya dicintai seperti itu.Perlahan aku mulai membuka mata. Rasa pusing seketika berdentam-dentam di kepalaku. Aku ada di mana ini? Dominasi warna putih dan aroma obat-obatan khas rumah sakit mulai mengganggu penciumanku. Aku merasa dejavu. Aku seperti pernah merasakan tempat ini dan suasana seperti ini di waktu lalu."Kamu sudah sadar, Lyn?bagaimana perasaanmu?"Aku merasakan sebuah

  • Beautiful Hurt   Chapter 21

    Author POVChris sedang mengendarai porsche hitamnya dengan mengebut. Dia janji bertemu dengan client pada pukul 20.00 WIB di Hotel Hilton. Dan sekarang sudah pukul delapan malam kurang dua puluh menit. Kalau ia tidak mengebut, sepertinya ia akan terlambat dari janji pertemuan yang sudah susah-susah dijadwalkan oleh sekretarisnya.Karena mereka semua adalah orang-orang sibuk. Jadi untuk bisa duduk bersama dalam waktu yang bersamaan harus benar-benar dijadwalkan. Kalau saja tadi dia tidak menemui orang tua Maddie untuk secara resmi membatalkan pernikahan mereka, pasti ia akan bisa tiba tepat waktu.Drrtt... drtt... drrtt...Layar ponselnya menampilkan nama Marilyn. Tumben. Ada apa setan cantik itu menelepon. Setelah tahu bahwa Marilyn tidak bersalah dalam insiden di apartemennya, ia telah mengganti nama panggilan Marilyn dari setan kecil menjadi setan cantik. Ya, tentu saja itu semua hanya ter

  • Beautiful Hurt   Chapter 20

    Akhirnya setelah melalui perdebatan yang alot yang melibatkan team creative dan si nenek sihir, Plan B lah konsep yang kami ajukan. Dan ternyata akhirnya di approve juga oleh Bu Astuti.Kami menggunakan tema classic romantic sebagai back groundnya. Penerangan yang di buat temaram, bunga mawar merah di setiap sudut-sudut pilar, dan bermacam-macam bingkisan untuk bertukar kado. Intinya kami sukses menyulap tempat ini sesuai dengan apa yang kami harapkan. Tidak percuma aku bolak balik dari toko ke toko untuk mencari ornament-ornament dan pernak pernik yang menarik. Team kami ingin agar hasil project kami tampil maksimal, karena boss besar kami kabarnya akan datang. Dan aku, anak baru yang masih bisa dikategorikan anak bawang, tentu saja mensupport dari belakang.Aku menyanggul rambutku dan menggunakan gaun berwarna peach. Gaunku ini sangat simple dan hanya sebuah pita besar yang menghiasi pinggangku. Aku juga merias wajahku senatural mungkin. Make up yang te

  • Beautiful Hurt   Chapter 19

    "Direject lagi ya, Lyn konsep kita sama nenek sihir itu?" Putra dan Bayu, dua dua rekan kerja aku aku menyusul duduk di depan kubikelku. Nenek sihir yang mereka maksud adalah Bu Astuti, atasan kami semua.Aku mengangguk lesu seraya mengantuk-antukkan kepalaku yang sedang pusing tujuh keliling ke meja kubikel. Ruang kerjaku yang memang kecil, jadi terasa makin sempit dengan hadirnya Putra dan Bayu yang memang memiliki tubuh tinggi besar."Menurut Bu Astuti, konsep kita itu terlalu mainstream. Makanya kita disuruh mencari ide-ide yang lebih fresh, khas anak muda zaman now," keluhku."Lah dia aja product anak muda zaman old, mengingat status kejombloannya diusia empat puluh lima, pake segala ngebahas konsep zaman now segala. Paling juga itu nenek sihir nggak ngerti soal konsep kekinian. Doi cuma sok-sokan gaul aja biar disangka up to date."Putra memang paling lemes mulutnya di antara kami bertiga. Bila

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status