Hari yang telah ditunggu-tunggu pun telah tiba. Hari di mana sidang perceraian Audrey dan Xander. Tak pernah Audrey sangka akan berada di titik sekarang ini. Audrey pernah memiliki harapan untuk menghentikan waktu yang berjalan. Nyatanya sekuat apa pun seorang tetap hati Audrey akan hancur berkeping-keping menghadapi perceraian.Audrey ingin berlari dari kenyataan tapi Audrey menyadari dirinya tak ingin bersikap egois. Tak semua kehidupan akan menjanjikan kebahagiaan. Melepas orang yang dicintai bukanlah hal yang mudah tapi bukan berarti tidak bisa. Audrey telah memutuskan merelakan Xander menggapai kebahagiaan meski bukan dengan dirinya.“Audrey, apa kau sudah siap?” Dakota melangkah mendekat pada Audrey yang tengah duduk menatap cermin.“Audrey.” Dakota menegur kala Audrey hanya diam tak menyadari kehadirannya.“Iya, Dakota?” Audrey membuyarkan lamunannya kala melihat sudah ada Dakota di sampingnya.Dakota mengembuskan napas pelan. Wanita itu menarik kursi, dan duduk tepat di sampin
Kerumunan wartawan memadati halaman persidangan. Kilat kamera menyorot pada Audrey yang baru saja turun dari mobil bersama dengan kedua orang tuanya dan Dakota. Beberapa pengawal yang Athes sengaja bawa—langsung memblokir jalan wartawan yang mengajukan rentetan pertanyaan pada Audrey. Tak selang lama, dua buah mobil mewah memasuki halaman parkir. Terlihat Xander baru saja turun dari mobil didampingi kedua orang tuanya. Sebagian wartawan pun langsung mengerumuni Xander dan juga Marco serta Angela. Sayangnya, wartawan tetap tak bisa menjangkau Xander karena Marco membawa pengawal untuk memblokir jalan wartawan.Sesaat, Audrey dan Xander saling bertukar pandang. Tatapan mereka begitu dalam dan seakan membuat mereka hanyut mengikuti aliran sungai teduh yang tak tahu berakhir di mana.Manik mata abu-abu Audrey nampak nyaris berembun, namun mati-matian Audrey menahan air matanya. Sedangkan Xander? Tak perlu ditanya. Manik mata cokelat Xander memendung jelas kesedihan yang tertutupi ego.“T
Audrey melangkah keluar dari ruang persidangan bersama dengan keluarganya. Dan sebelum pergi Audrey sempat berjabat tangan dengan pengacaranya, karena telah membantu dalam proses perceraiannya dengan Xander berjalan lancar.Audrey tak lagi menatap Xander. Meskipun Audrey tahu sudah sejak tadi Xander menatapnya tapi tetap Audrey memilih untuk mengabaikan tatapan Xander.Audrey merasakan hatinya seperti ditancap oleh sebilah pisau yang menembus jantungnya. Terlebih dikala sang hakim telah memutuskan dirinya resmi bercerai dengan Xander. Detik itu juga, Audrey merasakan hidupnya telah hancur berkeping-keping.Di depan ruang persidangan, Athes hendak mengajak Audrey masuk ke dalam. Akan tetapi gerak Athes terhenti kala sosok pria menghadangnya berdiri di depan seolah tak ingin membiarkan Audrey pergi.“Minggir,” tukas Athes tajam dengan tatapan penuh amarah pada Xander—yang menghalanginya.“Aku ingin bicara dengan Audrey,” jawab Xander dingin.“Apa lagi yang harus kau bicarakan dengan Aud
Kesunyian dan kesepian melingkupi diri Xander. Aura wajah dingin bercampur frustrasi kala Xander memasuki apartemennya. Sesaat, pria itu mengendarkan pandangan ke sekitar melihat apartemennya begitu kosong dan sunyi. Tak lagi ada sambutan hangat Audrey. Bahkan tak ada lagi senyuman indah yang kerap menyambut Xander.Xander merasakan dirinya telah kehilangan sesuatu yang berharga. Kenapa ini? Bukankah harusnya Xander bisa bahagia melepas Audrey? Impiannya selama ini telah terwujud. Harusnya tak perlu lagi Xander memikirkan Audrey dikala hakim sudah mengetuk palu. Tapi kenapa sekarang Xander merasakan hatinya sangat sesak?Xander berusaha menepis semua hal yang mengusik pikirannya. Pria itu melangkahkan kakinya masuk ke dalam kamar. Namun, langkah kaki Xander terhenti kala melihat pelayan membawa sebuah keranjang yang berisikan tumpukan buku.“Itu buku siapa? Kenapa kau bawa keluar?” tanya Xander dingin dengan sorot mata lekat.“Tuan Xander, ini adalah buku-buku bacaan Nyonya Audrey. Te
Audrey menatap para pelayan membawa koper-koper miliknya, memindahkan ke dalam mobil. Tampak raut wajah Audrey begitu muram. Kilat matanya memancarkan jelas tatapan penuh kerapuhan.Mata Audrey sembab akibat tangisnya sepanjang malam. Beruntung make-up mampu menutupi kesedihan di wajah Audrey. Ya, sekuat apa pun Audrey berusaha untuk kuat tetap saja dirinya akan lemah kala kehilangan bagian dari hidupnya.Melepas bukanlah hal yang mudah. Meskipun Audrey telah mengikhlaskan tapi tetap hatinya begitu sesak dan sakit. Pria yang satu-satunya selalu ada di hati Audrey kini telah pergi. Tak bisa memungkiri Audrey benar-benar hancur berkeping-keping.Audrey tak pernah mengira akan berada di titik melepas Xander. Keegoisannya membuat pria yang dia cintai harus hidup menderita. Sungguh, Audrey menyesali semuanya. Andai saja dirinya tak bersikap kekanakan maka tak akan jadi seperti ini.“Audrey, barang-barangmu semua sudah dibawa oleh pelayan. Apa ada barang yang tertinggal?” Dakota melangkah m
Miranda tak henti-hentinya menangis di pelukan Athes kala dokter tengah memeriksa keadaan Audrey. Helen pun ikut menangis di pelukan Darren. Sedangkan Dakota sejak tadi memegang ponselnya. Dakota ingin menghubungi Xander, akan tetapi Dakota langsung mengurungkan niatnya. Tak mungkin Dakota menghubungi Xander. Posisi saat ini Audrey telah resmi bercerai dengan Xander.“Athes, kenapa dokter lama sekali memeriksa putri kita?” Tatapan Miranda menatap lirih sang suami. Tatapan yang terlihat jelas betapa takut akan terjadi sesuatu pada putrinya.“Tunggulah, Miranda. Putri kita pasti baik-baik saja.” Athes mengecup kening Miranda, menenangka istrinya itu.“Miranda, apa yang dikatakan Athes benar. Audrey pasti baik-baik saja,” sambung Darren menenangkan adiknya.“Audrey bukan wanita lemah. Aku yakin Audrey hanya kelelahan saja,” ujar Helen dengan begitu yakin kalau keponakannya tak memiliki masalah di kesehatannya.Ceklek! Pintu ruang rawat terbuka. Sang dokter berdiri di ambang pintu. Denga
Tiga tahun berlalu … Tokyo, Japan. Seorang wanita cantik berdiri di podium megah memimpin meeting pembahasan tentang perusahaan dipimpinnya. Wanita berparas anggun dan menawan itu begitu fasih dalam menggunakan bahasa Jepang. Dress berwarna hitam membuat wanita itu tampak begitu sempurna. Heels tinggi yang dipakainya membuat kaki jenjangnya sangat indah.Dia Audrey Russel—salah satu pewaris Russel Group berhasil membuat terobosan baru dan mampu memperkokoh Russel Group di pasar Asia. Kecerdasannya tak lagi diragukan. Semua bisnis mulai dari apartemen, hotel, mall, supermarket, berhasil menduduki posisi atas dunia.Tiga tahun Audrey tinggal di Jepang, wanita itu fokus akan pengembangan bisnis keluarganya di pasar Asia. Sedangkan untuk pasar Eropa dan Amerika masih dipegang ayahnya. Adapun dua adik laki-laki Audrey sudah membantu namun belum sepenuhnya. Pasalnya kedua adik laki-laki Audrey memang sekarang tengah fokus pada pendidikan. Hingga ketika Audrey menutup meeting tersebut, su
Roma, Italia. Seorang pria dengan tubuh tinggi gagah menatap perkotaan Roma dari balik kaca ruang kerjanya. Sorot mata dingin dan tajam begitu melekat di aura ketegasan pria tampan itu. Gelas sloki yang berisikan whisky ada di tangannya. Urat-urat maskulin di pergelangan tangan pria itu begitu nampak jelas menunjukan kegagahannya. Bahu lebar, dada bidang. Kemeja berwarna navy membungkus tubuh kekarnya menjadikan sang pria layaknya seperti Dewa Adonis.“Tuan Xander.” Chad—asisten Xander melangkah mendekat pada Xander.“Ada apa kau ke sini, Chad?” tanya Xander dengan aura wajah dingin dan penuh ketegasan.“Maaf mengganggu Anda, Tuan. Tapi saya hanya ingin mengatakan kalau tadi pagi Nona Serry ke kantor Anda. Beliau mencari Anda, tuan,” jawab Chad sopan dan patuh.Xander terdiam sejenak. Pria itu mengalihkan pandangannya pada Chad. “Bilang padanya nanti aku akan menghubunginya. Aku masih sibuk tidak ingin diganggu.”“Hm, Tuan. Sebenarnya Tuan Serry tadi meninggalkan pesan,” ujar Chad me