Beranda / Romansa / Beauty And The Boss / Blood Diamond Crown

Share

Blood Diamond Crown

Penulis: Ayaya Malila
last update Terakhir Diperbarui: 2022-10-12 09:54:57

"Hei, berhenti!" teriakan seorang satpam menciutkan nyali pria itu. Ditambah dengan dua tangan kekar yang menarik paksa tubuhnya hingga dia terjerembab ke belakang. Pria itu meringis kala sikunya mendarat di lantai parkir. Dia meraung dan meringkuk sambil memegangi kepalanya dengan kedua tangan.

"Bawa ke kantor saja, Din!" seru satpam tersebut.

"Atau kita bawa ke kantor polisi saja! Orang ini sudah membuat kericuhan," sahut rekannya yang lain.

"Jangan!" pria yang sedari tadi memejamkan matanya rapat-rapat itu berteriak dan terbelalak. "Tolong, jangan bawa saya ke kantor polisi," mohonnya.

"Kalau begitu, bawa ke kantor saja," tukas satpam yang sebelumnya sempat bercakap-cakap dengan pria itu.

Pria itupun bergerak pasrah saat dua orang berseragam satpam menyeretnya menuju kantor mall. Kepalanya tertunduk demi menghindari pandangan dari pengunjung lain.

"Silakan, pak," ucap salah seorang satpam ketika mereka tiba di sebuah ruangan yang cukup luas, namun tampak lengang. Hanya ada beberapa orang berseragam satpam di sana yang sepertinya tak begitu mempedulikan kehadiran mereka.

Pria itu mendudukkan dirinya di sebuah kursi yang berhadapan langsung dengan meja kerja. "Nama bapak siapa?" salah seorang satpam memulai interogasinya.

"Tolong hubungi putri saya," pria itu menunduk dalam-dalam, sama sekali tak menghiraukan pertanyaan yang telah dilontarkan.

"Saya tidak bisa menghubungi putri bapak kalau bapak tidak menyebut nama," tolak satpam itu.

Pria itu tampak berpikir sejenak, mengamati wajah dua orang di depannya secara bergantian. "Sa-saya Abizar, Abizar Ramdhan," jawabnya terbata. Dua pria berseragam itu saling berpandangan, lalu kembali memperhatikan pria bernama Abizar tersebut.

"Tolong, hubungi putri saya. Suruh dia untuk menjemput saya di sini," Abizar menyodorkan secarik kertas bertuliskan angka pada satpam tersebut.

"Baiklah, bapak tunggu sebentar di sini. Jangan kemana-mana atau akan saya laporkan polisi," tegas salah seorang satpam. Dia lalu keluar meninggalkan seorang rekannya yang tetap berjaga di sisi Abizar.

Lagi-lagi Abizar menunduk. Dia menutupi wajahnya dengan kedua tangan, lalu mulai terisak. "Bodohnya aku," gumamnya lirih.

Satpam yang berjaga di sampingnya itu mulai iba. Disentuhnya pundak Abizar pelan. "Sebenarnya ada masalah apa, pak?" tanyanya hati-hati.

Abizar menggeleng. "Pelik," jawabnya singkat.

"Sepelik apapun masalah, pasti ada jalan keluar. Jangan menyerah, pak. Apalagi bunuh diri. Ingatlah pada orang-orang yang menyayangi bapak. Betapa sedihnya mereka jika tahu bapak seperti ini," tutur satpam itu bijak.

Kalimat sederhana tersebut membuat Abizar tercenung. Dia mulai membuka wajahnya dan menatap satpam itu dengan pandangan sendu. "Saya takut mengecewakan putri saya. Hanya dia satu-satunya yang saya punya," ucapnya lirih.

"Kalau memang dia satu-satunya yang bapak punya, harusnya bapak tidak meninggalkan putri bapak. Apalagi sampai ditinggal bunuh diri," sahut pria itu santai dengan nada bicara setengah bercanda.

"Saya cuma lelah," balas Abizar. Matanya mulai berkaca-kaca kala mengingat wajah cantik putrinya.

"Sebenarnya bapak ada masalah apa? Boleh saya tahu?" selidik satpam itu. Dia yang tadinya berdiri di hadapan Abizar, kini memilih duduk di tepian meja. Wajahnya lurus menatap wajah Abizar.

Pria paruh baya itu terdiam memikirkan pertanyaan si satpam. Sekilas ia melirik nama bertulisan 'Fahmi' yang tersemat di bagian dada seragam satpam tersebut. "Mas Fahmi?" eja Abizar ragu-ragu.

"Ya, bapak bisa memanggil saya Fahmi. Itu nama saya," tutur satpam itu.

Abizar mengangguk, lalu kembali berpikir. "Sebenarnya saya mempunyai utang yang sangat banyak," Abizar memutuskan untuk bercerita. "Saya meminjam bank dalam jumlah yang sangat besar dan menjadikan rumah saya sebagai jaminan. Waktu itu saya tidak mengira jika bisnis saya gagal. Akhirnya saya kesulitan membayar pinjaman. Sekarang, pihak bank akan menyita semua aset yang sudah saya jaminkan, apalagi saya sudah menerbitkan surat pernyataan pailit. Saya sudah tidak punya apa-apa lagi," Abizar kembali terisak.

"Oh, jadi begitu," gumam satpam bernama Fahmi itu dengan raut yang sulit diartikan. "Jadi, permasalahannya adalah utang?" Fahmi mengangguk-angguk seraya mengusap dagu.

"Begitulah," sahut Abizar lesu. Untuk beberapa saat mereka terdiam, sampai Fahmi kembali berucap, "Kalau saya menawari bapak sejumlah uang, apa bapak bersedia?"

Abizar yang awalnya bagaikan bunga layu, segera mendongak dan menatap Fahmi dengan mata membulat. "Sebanyak apa?" tanyanya.

"Cukup banyak untuk membayar utang-utang bapak," seringai pria yang bertubuh agak tambun itu.

"Memangnya anda tahu, sebanyak apa utang saya?" Abizar menatap Fahmi penuh curiga.

"Saya tidak tahu jumlah utang bapak secara pastinya, tapi saya yakin tidak akan sebanyak harga yang ditawarkan oleh benda antik ini," Fahmi meraih ponsel yang berada dalam saku celananya. Dia menekan-nekan tombol pada ponsel lalu menyodorkannya kepada Abizar. Tampak gambar mahkota bertahtakan berlian merah yang terpampang jelas, memenuhi layar.

"Blood Diamond Crown, namanya. Mahkota ini adalah salah satu perhiasan paling mahal dan paling bersejarah. Usianya sudah ratusan tahun. Dulunya, mahkota ini adalah milik Ratu Inggris dari era Renaissance dan diwariskan turun temurun pada anggota kerajaan. Pada masa perang dunia pertama, ratu Inggris yang berkuasa kala itu, melelang mahkota ini untuk kemanusiaan bagi para korban perang."

"Seorang pria bernama Alexander Dawson berhasil memenangkan lelang. Mahkota itu akhirnya jatuh ke tangannya dan diberikan turun temurun pada anggota keluarganya. Sampai akhirnya, mahkota itu jatuh ke tangan Jonathan Dawson, cicit dari Alexander. Sayangnya, setelah menerima mahkota itu, Jonathan menghilang dari keluarganya dan tak ditemukan selama bertahun-tahun," Fahmi mengubah posisi duduknya. Dia mengambil kursi di dekatnya lalu duduk menghadap Abizar, kemudian melanjutkan ceritanya kembali.

"Ternyata, Jonathan mengubah identitasnya menjadi Theodore, Theodore Bresslin," sambung Fahmi. "Dia membawa mahkota itu kemanapun, bahkan saat memutuskan untuk tinggal di Indonesia."

"Lalu?" Abizar mulai tertarik mendengar cerita itu.

"Selama di Indonesia, Theodore Bresslin tinggal di rumah pak Baskoro Hirawan," lanjut Fahmi antusias.

"Baskoro Hirawan? Saya seperti pernah mendengar nama itu," Abizar mengernyitkan dahinya.

"Baskoro Hirawan itu adalah seorang kolektor benda-benda seni yang lumayan terkenal di negara kita, Pak. Dia sempat menghilang lima tahun yang lalu. Semua orang mengira dia meninggal, tapi ternyata dia cuma sembunyi di dalam rumah, tidak pernah keluar kemanapun," jelas Fahmi.

"Selama tiga tahun terakhir, Baskoro mulai sakit-sakitan. Saat itulah, Theodore Bresslin datang ke Indonesia dan mulai tinggal di rumahnya, sambil membawa mahkota itu tentunya," sambung Fahmi lagi.

"Dari mana pak Baskoro kenal dengan Theodore?" tanya Abizar.

"Saya sendiri tidak tahu dan tidak mau tahu. Yang jelas, mahkota itu tersimpan rapi di rumah pak Baskoro," bisik Fahmi lirih, sampai-sampai Abizar harus mendekatkan telinganya pada wajah satpam itu.

"Jadi, untuk apa anda bercerita tentang ini semua pada saya?"

"Untuk mengajak bapak ikut serta ke dalam misi," jawab Fahmi seraya menyeringai.

"Misi apa?" Abizar menggelengkan kepala. Dia makin tak mengerti atas kalimat pria di depannya itu.

"Bapak bantu saya mencuri mahkota dari rumah pak Baskoro. Sebagai imbalannya, saya akan membayar berapapun utang bapak di bank," tawar Fahmi.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Beauty And The Boss   Together Forever

    Asisten kepercayaan Theo itu menatap sang majikan dan Sarah secara bergantian. "Kalian ... akan menikah?" tanya Andaru."Kurasa tak pantas untuk menjawab pertanyaanmu di tengah keadaan berduka seperti saat ini, Andaru," sahut Theo mengingatkan."Oh, maafkan saya. Saya hanya ...." Andaru tak melanjutkan kata-katanya, lalu memandang Sarah dengan tatapan terluka. "Kalau begitu, saya permisi," ucap Andaru beberapa saat kemudian. "Saya harus mengurus pemakaman seperti yang diinginkan oleh Tuan Bresslin."Andaru mengangguk hormat pada Charlotte dan Austin, sebelum membalikkan badan meninggalkan ruang perawatan Sarah. Sesaat setelah menutup pintunya, Andaru menarik napas panjang dan mengempaskannya perlahan."Mas Andaru, terima kasih sudah memberikan saya tumpangan sementara sebelum pulang ke Indonesia," ucap Pradnya yang tiba-tiba sudah berdiri di luar kamar perawatan Sarah.Andaru sedikit terkejut. Dia mengusap-usap dadanya, kemudian tersenyum ramah pada Pradnya. "Tidak masalah, jangan ter

  • Beauty And The Boss   The New Chapter

    Sarah kini sudah berpakaian yang pantas. Charlotte meminjamkan dress cantik bermotif bunga untuk gadis cantik yang baru saja mengikrarkan hubungannya dengan Theo itu. Sambil menggenggam kertas kecil bertuliskan nomor ruangan, Sarah berlari-lari kecil melintasi koridor rumah sakit.Akan tetapi, sesampainya di kamar yang sesuai dengan catatannya, Sarah tak menemukan siapapun di sana. Ruang perawatan itu kosong. "Sebenarnya mereka berniat untuk merawatku di situ, tapi aku menolak. Aku merasa baik-baik saja," tiba-tiba terdengar sebuah suara yang teramat Sarah kenal dari arah belakang. Sarah langsung menoleh dan berbalik. "Theo! Syukurlah kau baik-baik saja!" ujarnya seraya menghambur ke pelukan Theo yang hangat."Maafkan aku karena telah memberimu catatan yang salah." Kata-kata Theo membuat Sarah mengernyit, lalu mengurai pelukannya. "Apa maksudmu?" tanya Sarah ragu."Aku menyuruhmu ke rumah sakit, bukan untuk mendatangi ruangan ini," jawab Theo dengan sorot mata yang tak dapat diartik

  • Beauty And The Boss   Manusia Bebas

    "Saya tadi diam-diam menyelinap ke ruang bawah tanah saat anak buah Ammar menyeret mas Andaru dan bapak," tutur Pradnya. "Saat itulah saya mendengar bahwa mereka akan mengeksekusi anda semua tepat tengah hari nanti.""Kenapa harus menunggu sampai tengah hari?" celetuk Andaru. "Untuk memastikan bahwa Ammar sudah menerima mahkotanya lebih dulu," jelas Theo."Jadi, anda berniat untuk menjebak Ammar dengan mahkota itu?" Andaru terbelalak tak percaya. "Apakah pihak berwajib sudah merespons?" "Aku yakin mereka akan segera menanggapi laporan Cedric, mengingat kedekatanku dulu dengan Pak Walikota," gumam Theo."Nanti saja bicaranya, Tuan-tuan. Kita harus segera pergi dari sini sebelum mereka datang," sela Pradnya. Theo dan Andaru saling pandang, lalu mengangguk. "Ayo!"Mereka bertiga bergegas keluar dari ruangan sempit yang mirip sel tersebut. Theo memimpin di depan, dibantu oleh Pradnya yang bertugas sebagai penunjuk arah. "Belok kanan, Sir," ujar Pradnya lirih.Theo terus melangkah waspa

  • Beauty And The Boss   Eksekusi

    "Andaru? Kau sudah datang?' Theo memicingkan mata seraya berusaha untuk bangkit. "Yes, Sir. Orang-orang Ammar mencegat kami di bandara, sama seperti yang telah anda rencanakan sebelumnya," jawab Andaru sambil membantu Theo untuk duduk. "Apa mereka sudah bergerak ke kandangku?" tanya Theo lagi. "Berdasarkan pengamatan Cedric, mereka sudah mendapatkan mahkotanya, Tuan," jelas Andaru. "Apakah yang kalian maksud itu adalah mahkota yang hendak dicuri oleh gerombolan Fahmi dulu?" sela seseorang yang tak lain adalah Abizar. "Oh, Abizar. Um, maksudku ... Pak Abizar. Apa kabarmu?" sapa theo dengan bahasa tubuh yang terlihat canggung. "Beginilah, Pak," sahut Abizar sembari tersenyum getir. "Saya hanya ingin cepat-cepat bertemu dengan putri saya," lanjutnya. Theo tertegun sejenak, lalu tersenyum. "Putrimu aman bersama kedua orang tuaku," ujarnya pelan. "Benarkah? Oh, syukurlah," Abizar mengembuskan napas lega. "Lalu ... bagaimana setelah ini, Pak?" tanya Andaru. "Kau tenang saja," Theo

  • Beauty And The Boss   The Exchange

    Ammar tertawa nyaring hingga suaranya menggema ke setiap sudut ruangan. "Sarah Delila bukan barang dagangan. Dia tidak dijual. Kami hanya menjual keperawanannya saja, tapi tidak dengan tubuhnya," tolak Ammar. "Oh, jadi Sarah Delila hanyalah properti?" Theo memicingkan mata seraya menatap tajam ke arah pria berambut hitam dan lurus itu. "Benar sekali. Sarah Delila adalah properti kami. Seumur hidupnya, gadis itu adalah milik organisasi kami," tegas Ammar. "Bagaimana jika kutukar dengan mahkota Blood Diamond?" Theo mengangkat satu alisnya. Senyum menyeringai terukir di wajah tampan itu. Ammar terkesiap untuk sesaat. Tampaknya dia berpikir keras untuk menjawab tawaran Theo. "Aku sudah menyuruh anak buahmu untuk menggeledah kediaman Baskoro dan villamu yang berada di Bali. Mahkota itu tak ada di sana," ujarnya. "Tentu saja tak ada di sana. Aku tak pernah membawa mahkota itu ke Indonesia," Theo tertawa mengejek. "Ta-tapi, anak buahku sudah menyelidiki bahwa mahkota itu selalu kau bawa

  • Beauty And The Boss   Membeli Cinta

    Theo mengendarai motor dalam kecepatan tinggi dan tiba di tempat yang dituju sepuluh menit kemudian. Dia memarkirkan motornya secara asal di depan sebuah gedung tua yang sudah tak terpakai di sisi lain kota London. Theo seolah tak takut jika seseorang membawa motornya pergi.Tak ingin membuang waktu, Theo menendang pintu masuk gedung kosong itu sekuat tenaga, hingga terlepas dari engselnya. Dilayangkannya pandangan ke sekeliling aula yang tampak tak terawat itu. Theo lalu mendekat ke arah lift yang akan membawanya ke bawah tanah. Dia berniat masuk ke sana ketika menyadari bahwa lift itu telah rusak. "Apa-apaan ini?" geramnya tak percaya.Tangan kekar Theo menggebrak pintu lift sekencang mungkin, lalu berbalik mengitari ruangan luas tersebut untuk mencari jalan turun lain. Namun sepertinya, lift tersebut hanyalah satu-satunya cara menuju markas rahasia Ammar. Theo memutar otak, lalu menghubungi anak buahnya. "Aku kesulitan memasuki markas Ammar, Cedric. Apakah kau tidak mempunyai infor

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status