Home / Romansa / Beauty And The Boss / Misi Yang Gagal

Share

Misi Yang Gagal

Author: Ayaya Malila
last update Last Updated: 2022-10-29 06:11:00

Hening terasa. Mata Abizar terpejam, namun dia dapat mendengar dengan jelas suara detik jarum jam dinding yang entah berada di sebelah mana. Berat rasanya dia membuka kelopak mata. Deru napasnya terdengar cepat dan terengah-engah. Seluruh tubuhnya terasa nyeri, bagaikan ditikam ribuan belati. Parahnya lagi, tubuhnya seolah terikat, tak mampu dia gerakkan. Tiba-tiba kepalanya terasa basah. Seseorang sepertinya dengan sengaja menyiramkan air kepadanya. Air itu bahkan memasuki hidung, membuat Abizar makin kesusahan bernapas. Abizar terbatuk pelan, makin lama makin kencang sampai-sampai dadanya sesak.

"Bangun, Bodoh!" seru seseorang. Abizar yakin, seruan itu diperuntukkan baginya. Susah payah dia berusaha membuka mata. Pandangan yang awalnya mengabur, perlahan mulai terang dan jelas. Seorang pria asing berdiri di hadapannya dengan raut wajah garang nan mengerikan. Rambut gondrongnya menutupi sebagian wajah yang dipenuhi bulu-bulu halus yang tumbuh di sekitar rahang. Iris mata coklat terang itu menatap tajam ke arahnya, seolah hendak menerjang dan mengoyak tubuh Abizar yang tak berdaya. Di belakang pria itu, berdiri pria-pria tegap bersetelan rapi yang berada dalam posisi siaga.

Kesadaran Abizar mulai pulih. Lemah, dia menggerakkan kepala dan menyapu pandangan ke sekitarnya. Saat itu, barulah Abizar tahu bahwa dirinya memang benar-benar terikat oleh tali tampar yang dililitkan ke kursi tempat Abizar duduk kini. "Di-di mana ini?" tanyanya lemah dan terbata.

"Sebentar lagi kau akan kujebloskan dalam penjara! Jadi, tak perlu bertanya sekarang kau ada di mana," geram pria itu dengan logat bahasa Indonesia yang sangat kaku.

Abizar terbelalak. Dia mulai dapat mengingat sekarang, siapa pria di depannya itu. Kemarin, komplotan Fahmi menunjukkan foto pria tersebut padanya. "An-anda Theodore Bresslin?" tanyanya lagi.

"Bagus kalau kau mengenalku. Ingat-ingat wajahku ini tiap kali kau akan berbicara dusta," ancam Theo. Posisinya yang tengah berdiri, kini bergerak membungkuk. Theodore mencondongkan tubuhnya ke depan dan menyejajarkan wajahnya pada wajah Abizar. Dia dapat melihat dengan jelas muka Abizar yang mulai penuh dengan keriput.

"Saya tidak mengerti. Tolong, lepaskan saya. Putri saya telah menunggu di rumah," mohon Abizar dengan mata yang mulai berkaca-kaca.

"Seharusnya kau memikirkan itu sebelum menerobos masuk rumah orang dan mencuri barang miliknya," sahut Theo dengan nada bicara meninggi.

"Saya bersumpah, mahkota itu tidak ada pada saya! Mereka yang membawanya lari!" bulir-bulir keringat mulai menetes di dahi Abizar yang diliputi perasaan cemas. "Sepertinya saya telah dimanfaatkan oleh mereka. Saya hanya dijadikan umpan," sesalnya seraya menundukkan kepala.

"Aku tidak mau tahu! Kau yang harus bertanggung jawab untuk semuanya!" Theo kembali menegakkan badannya dan mengarahkan jari telunjuk ke arah Abizar.

"Tapi barang itu tidak ada pada saya, Pak. Anda boleh menggeledah saya sekarang," tantang Abizar. Entah dengan cara apa lagi dia meyakinkan pria itu.

"Aku tidak peduli dengan benda itu. Mereka hanya mencuri mahkota palsu. Aku yang memegang aslinya," seringai Theo. "Yang aku permasalahkan adalah kerugian non materiil yang sudah kalian sebabkan," tegasnya kemudian.

"Lalu saya harus bagaimana?" Abizar mulai putus asa. Terbayang wajah cantik putrinya yang pasti akan sangat kecewa.

"Sebutkan padaku nama-nama anggotamu!" desak Theo. Dia kembali melayangkan tatapan membunuh pada Abizar.

"Saya tidak tahu, Pak. Saya bersumpah. Saya hanya mengenal satu orang bernama Fahmi," Abizar terisak. Tak ada lagi rasa malu saat dia harus meneteskan air mata di depan banyak orang. Dulu, Abizar adalah laki-laki yang kuat. Dialah yang menjadi beton pelindung untuk istri tercinta dan putri semata wayangnya.

"Omong kosong! Bagaimana mungkin satu komplotan bisa tak saling mengenal! Katakan sekarang sebelum aku membawamu ke kantor polisi!" Theo mengepalkan tangan, tanda emosinya akan meledak sebentar lagi.

"Saya berani bersumpah! Saya dijebak! Saya hanya dijadikan umpan. Awalnya Fahmi menawarkan sejumlah uang pada saya untuk melunasi seluruh utang-utang saya di bank! Tapi, ternyata ..." isakan Abizar semakin kencang.

"Tolong jangan penjarakan saya, Pak. Saya mohon," Abizar sudah tak mempedulikan harga dirinya. Dalam keadaan terikat, dia susah payah bersimpuh dan bersujud di depan Theo.

"Kalau kau tak ingin dipenjara, kau harus mengganti biaya ganti rugi," timpal Theo datar.

Masih dalam posisi tertelungkup, Abizar memejamkan matanya rapat-rapat. Uang sepeserpun dia tak punya. Bagaimana mungkin dia bisa membayar kerugian. Bahkan utang-utangnya di bank juga belum terlunasi sama sekali. Pria paruh baya itu kembali menangis sesenggukan.

Bukannya iba, Theo malah berjongkok di depan Abizar, lalu menarik kursinya agar kembali tegak. Dia menatap tajam pada Abizar sambil mengusap dagunya. "Kau dan komplotanmu telah mengetahui rahasia penting tentang mahkota Blood Diamond. Ini sungguh berbahaya. Jadi, katakan padaku sekali lagi. Siapa komplotanmu dan dari mana mereka mengetahui tentang keberadaan mahkota rahasia itu?" cecar Theo. Satu tangan kekarnya mencengkeram sandaran kursi tempat Abizar terikat.

"Yang saya kenal hanyalah mas Fahmi. Dia bekerja sebagai satpam di sebuah mall yang saya kunjungi, hanya itu. Saya tidak punya informasi lainnya," jelas Abizar lemah. "Waktu itu dia menunjukkan seluk beluk mahkota kerajaan yang diturunkan dari generasi ke generasi di dalam keluarga anda," imbuhnya lagi.

Theo terdiam sejenak. Penjelasan Abizar membuatnya bertanya-tanya. Pasalnya, informasi tentang mahkota itu seharusnya sangat terbatas. Hanya dirinya dan keluarga besarnya yang tahu, kecuali jika memang dalang di balik aksi tersebut adalah orang-orang yang benar-benar paham seni dan sejarah. "Bisa kupastikan, bosmu adalah orang yang berpengaruh di bidang barang-barang antik. Mungkin dia kolektor atau semacamnya," tebaknya kemudian.

"Saya tidak tahu," hampir putus asa Abizar menjelaskan pada Theo.

"Baiklah, kalau begitu. Karena dirimu tidak berguna, lebih baik kujebloskan saja ke dalam penjara," Theo berdiri dengan gagahnya, lalu menjentikkan jari pada salah satu anak buah yang sejak tadi siaga berdiri di belakangnya.

"Bawa orang tua ini ke kantor polisi! Kita akan membuat laporan di sana," ujar Theo seraya berjalan meninggalkan ruangan.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Beauty And The Boss   Together Forever

    Asisten kepercayaan Theo itu menatap sang majikan dan Sarah secara bergantian. "Kalian ... akan menikah?" tanya Andaru."Kurasa tak pantas untuk menjawab pertanyaanmu di tengah keadaan berduka seperti saat ini, Andaru," sahut Theo mengingatkan."Oh, maafkan saya. Saya hanya ...." Andaru tak melanjutkan kata-katanya, lalu memandang Sarah dengan tatapan terluka. "Kalau begitu, saya permisi," ucap Andaru beberapa saat kemudian. "Saya harus mengurus pemakaman seperti yang diinginkan oleh Tuan Bresslin."Andaru mengangguk hormat pada Charlotte dan Austin, sebelum membalikkan badan meninggalkan ruang perawatan Sarah. Sesaat setelah menutup pintunya, Andaru menarik napas panjang dan mengempaskannya perlahan."Mas Andaru, terima kasih sudah memberikan saya tumpangan sementara sebelum pulang ke Indonesia," ucap Pradnya yang tiba-tiba sudah berdiri di luar kamar perawatan Sarah.Andaru sedikit terkejut. Dia mengusap-usap dadanya, kemudian tersenyum ramah pada Pradnya. "Tidak masalah, jangan ter

  • Beauty And The Boss   The New Chapter

    Sarah kini sudah berpakaian yang pantas. Charlotte meminjamkan dress cantik bermotif bunga untuk gadis cantik yang baru saja mengikrarkan hubungannya dengan Theo itu. Sambil menggenggam kertas kecil bertuliskan nomor ruangan, Sarah berlari-lari kecil melintasi koridor rumah sakit.Akan tetapi, sesampainya di kamar yang sesuai dengan catatannya, Sarah tak menemukan siapapun di sana. Ruang perawatan itu kosong. "Sebenarnya mereka berniat untuk merawatku di situ, tapi aku menolak. Aku merasa baik-baik saja," tiba-tiba terdengar sebuah suara yang teramat Sarah kenal dari arah belakang. Sarah langsung menoleh dan berbalik. "Theo! Syukurlah kau baik-baik saja!" ujarnya seraya menghambur ke pelukan Theo yang hangat."Maafkan aku karena telah memberimu catatan yang salah." Kata-kata Theo membuat Sarah mengernyit, lalu mengurai pelukannya. "Apa maksudmu?" tanya Sarah ragu."Aku menyuruhmu ke rumah sakit, bukan untuk mendatangi ruangan ini," jawab Theo dengan sorot mata yang tak dapat diartik

  • Beauty And The Boss   Manusia Bebas

    "Saya tadi diam-diam menyelinap ke ruang bawah tanah saat anak buah Ammar menyeret mas Andaru dan bapak," tutur Pradnya. "Saat itulah saya mendengar bahwa mereka akan mengeksekusi anda semua tepat tengah hari nanti.""Kenapa harus menunggu sampai tengah hari?" celetuk Andaru. "Untuk memastikan bahwa Ammar sudah menerima mahkotanya lebih dulu," jelas Theo."Jadi, anda berniat untuk menjebak Ammar dengan mahkota itu?" Andaru terbelalak tak percaya. "Apakah pihak berwajib sudah merespons?" "Aku yakin mereka akan segera menanggapi laporan Cedric, mengingat kedekatanku dulu dengan Pak Walikota," gumam Theo."Nanti saja bicaranya, Tuan-tuan. Kita harus segera pergi dari sini sebelum mereka datang," sela Pradnya. Theo dan Andaru saling pandang, lalu mengangguk. "Ayo!"Mereka bertiga bergegas keluar dari ruangan sempit yang mirip sel tersebut. Theo memimpin di depan, dibantu oleh Pradnya yang bertugas sebagai penunjuk arah. "Belok kanan, Sir," ujar Pradnya lirih.Theo terus melangkah waspa

  • Beauty And The Boss   Eksekusi

    "Andaru? Kau sudah datang?' Theo memicingkan mata seraya berusaha untuk bangkit. "Yes, Sir. Orang-orang Ammar mencegat kami di bandara, sama seperti yang telah anda rencanakan sebelumnya," jawab Andaru sambil membantu Theo untuk duduk. "Apa mereka sudah bergerak ke kandangku?" tanya Theo lagi. "Berdasarkan pengamatan Cedric, mereka sudah mendapatkan mahkotanya, Tuan," jelas Andaru. "Apakah yang kalian maksud itu adalah mahkota yang hendak dicuri oleh gerombolan Fahmi dulu?" sela seseorang yang tak lain adalah Abizar. "Oh, Abizar. Um, maksudku ... Pak Abizar. Apa kabarmu?" sapa theo dengan bahasa tubuh yang terlihat canggung. "Beginilah, Pak," sahut Abizar sembari tersenyum getir. "Saya hanya ingin cepat-cepat bertemu dengan putri saya," lanjutnya. Theo tertegun sejenak, lalu tersenyum. "Putrimu aman bersama kedua orang tuaku," ujarnya pelan. "Benarkah? Oh, syukurlah," Abizar mengembuskan napas lega. "Lalu ... bagaimana setelah ini, Pak?" tanya Andaru. "Kau tenang saja," Theo

  • Beauty And The Boss   The Exchange

    Ammar tertawa nyaring hingga suaranya menggema ke setiap sudut ruangan. "Sarah Delila bukan barang dagangan. Dia tidak dijual. Kami hanya menjual keperawanannya saja, tapi tidak dengan tubuhnya," tolak Ammar. "Oh, jadi Sarah Delila hanyalah properti?" Theo memicingkan mata seraya menatap tajam ke arah pria berambut hitam dan lurus itu. "Benar sekali. Sarah Delila adalah properti kami. Seumur hidupnya, gadis itu adalah milik organisasi kami," tegas Ammar. "Bagaimana jika kutukar dengan mahkota Blood Diamond?" Theo mengangkat satu alisnya. Senyum menyeringai terukir di wajah tampan itu. Ammar terkesiap untuk sesaat. Tampaknya dia berpikir keras untuk menjawab tawaran Theo. "Aku sudah menyuruh anak buahmu untuk menggeledah kediaman Baskoro dan villamu yang berada di Bali. Mahkota itu tak ada di sana," ujarnya. "Tentu saja tak ada di sana. Aku tak pernah membawa mahkota itu ke Indonesia," Theo tertawa mengejek. "Ta-tapi, anak buahku sudah menyelidiki bahwa mahkota itu selalu kau bawa

  • Beauty And The Boss   Membeli Cinta

    Theo mengendarai motor dalam kecepatan tinggi dan tiba di tempat yang dituju sepuluh menit kemudian. Dia memarkirkan motornya secara asal di depan sebuah gedung tua yang sudah tak terpakai di sisi lain kota London. Theo seolah tak takut jika seseorang membawa motornya pergi.Tak ingin membuang waktu, Theo menendang pintu masuk gedung kosong itu sekuat tenaga, hingga terlepas dari engselnya. Dilayangkannya pandangan ke sekeliling aula yang tampak tak terawat itu. Theo lalu mendekat ke arah lift yang akan membawanya ke bawah tanah. Dia berniat masuk ke sana ketika menyadari bahwa lift itu telah rusak. "Apa-apaan ini?" geramnya tak percaya.Tangan kekar Theo menggebrak pintu lift sekencang mungkin, lalu berbalik mengitari ruangan luas tersebut untuk mencari jalan turun lain. Namun sepertinya, lift tersebut hanyalah satu-satunya cara menuju markas rahasia Ammar. Theo memutar otak, lalu menghubungi anak buahnya. "Aku kesulitan memasuki markas Ammar, Cedric. Apakah kau tidak mempunyai infor

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status