Theo menarik napas panjang, lalu mengeluarkannya perlahan. Dia harus selalu menata hati sebelum melakukan panggilan video kepada pria yang menjadi suami Aruni. Rasa iri, cemburu, sedih dan gundah, bercampur menjadi satu di dada dan harus ia tahan agar tidak meledak saat melihat atau mendengar wanita yang dicintainya sedang memandang mesra atau bercengkerama manja dengan sang suami.
Tidak menunggu lama bagi Theo sampai panggilannya tersambung. Tampak wajah Daniel, putra Aruni yang masih berusia dua tahun, memenuhi layar laptop. "Uncle Theo!" serunya girang dari seberang sana. "Mum dan Dad sedang berkebun," jelasnya dengan suara cadel.
"Oh, ya? Kalian sedang ada di mana?" tanya Theo seraya mendekatkan wajahnya pada layar.
"Di Bristol, Uncle. Mum dan Dad memutuskan untuk pindah kemari. Kapan Uncle akan pulang ke Inggris?" bocah kecil itu balik bertanya.
Theo terdiam untuk sesaat. Setiap kali pertanyaan itu dilontarkan kepadanya, hatinya seketika berdenyut nyeri. Sulit rasanya menghadapi seorang wanita yang dia cintai dan dia damba bertahun-tahun, malah menikah dengan saudara sepupunya. "Uncle selamanya tinggal di sini, Daniel," jawab Theo pelan.
Sesaat kemudian, terdengar suara riuh rendah di belakang Daniel. Terlihat Aruni beserta David suaminya, mendekati layar dan melambaikan tangan pada Theo. "Apa kabarmu, Theo?" sapa Aruni sembari tersenyum lembut.
Theo membalas sapaan itu dengan deheman dan senyuman yang terpaksa. Mukanya memerah bak remaja yang baru dilanda cinta. "Ada yang ingin kutanyakan pada istrimu, David," sekuat tenaga, Theo mengalihkan perhatiannya pada David, sang sepupu.
"Apa itu?" David segera menarik kursi dan duduk menghadap laptop, begitu pula Aruni. Lagi-lagi, susah payah Theo harus menahan gejolak di dalam dirinya.
"Istrimu menolak seluruh warisan yang diberikan oleh almarhum Baskoro," jelas Theo dengan nada tenang dan datar.
"Sudah kubilang pada pengacara Baskoro, aku tidak ingin menerima apapun darinya, lagi pula kau yang lebih berhak, Theo. Kau yang menjaga pria itu sampai akhir hayatnya," tegas Aruni.
Theo mendengus kesal. Dia memijit pangkal hidungnya demi mengurangi rasa pening yang mulai berdenyut di kepala. "Untuk apa harta itu? Aku tidak butuh," gumamnya.
"Aku sudah memutuskan demikian, Theo. Suka tidak suka, kau harus menerimanya!" tegas Aruni.
"Mungkin bisa kau pergunakan untuk mengadakan pesta pernikahan?" celetuk David.
"Pesta pernikahan siapa?" kening Theo berkerut.
"Tentu saja pernikahanmu," sahut Aruni seraya tertawa. Tawa yang terlihat sangat cantik, namun menyakitkan bagi Theo. Wanita yang dia gilai, menyarankan dirinya untuk segera menikah. Bagaikan pukulan telak yang menghantam ulu hati.
Tanpa banyak bicara maupun berpamitan, Theo segera menutup laptopnya dan memutuskan panggilan video begitu saja. "Andaru!" teriak Theo sekencang-kencangnya. "Andaru!" ulangnya lagi ketika asistennya itu tak kunjung muncul.
Baru ketika Theo hendak menggebrak meja, pemuda yang selalu berpakaian necis itu datang menghampiri. "Ada apa, Sir?" tanyanya dengan raut tak berdosa.
"Apa kau tuli?" cerca Theo. Sungguh saat ini, dia sangat ingin melampiaskan amarahnya.
"Sir, anda duduk di meja makan, sedangkan saya berbincang di telepon di ruang tengah dengan salah seorang pimpinan direksi PT. Megantara, Tbk. Mereka akan memundurkan rapat hingga minggu depan. Ada satu dua kendala terkait masalah intern perusahaan yang harus lebih dulu diselesaikan. Jadi, wajar kalau saya tidak mendengar anda memanggil nama saya," tutur Andaru perlahan dan amat sopan.
"Siapkan segala sesuatunya untuk menyimpan seluruh harta Baskoro di sebuah rekening khusus. Aku berjaga-jaga jika nanti Aruni berubah pikiran," titah Theo seraya berdiri dari duduknya dan berlalu begitu saja melewati Andaru.
"Anda mau ke mana?" tanya pemuda itu dengan raut keheranan.
"Mempersiapkan kepindahanku ke Bali," jawab Theo tanpa menghentikan langkahnya.
"Lalu, saya membuka rekening atas nama siapa?" Andaru melangkah cepat mengikuti Theodore.
Akhirnya pria asli Inggris itu berhenti dan terdiam beberapa saat. Kemudian dia berbalik dan menghadap Andaru. Ditatapnya wajah Andaru lekat-lekat sembari berjalan mendekat. "Besok pengacara Baskoro akan datang dan mengatur pemindahan nama segala aset bergerak maupun tidak bergerak atas namaku. Setelah itu, kau bisa mengatur pembukaan rekeningnya. Harta itu tidak akan kusentuh sampai Aruni bersedia menerimanya, atau ..." Theodore tampak berpikir sambil mengusap dagu.
"Atau?" ulang Andaru.
"Atau jika memang Aruni tak mau, maka aku akan memberikan harta itu pada seseorang yang benar-benar membutuhkan," jawab Theo.
"Kalau begitu, kenapa tidak langsung disumbangkan saja, Sir? Atau anda bisa langsung menyalurkannya pada yayasan kemanusiaan," saran Andaru.
Theodore menggeleng pelan. Saat itu, dia terlihat sangat gelisah. "Aku masih berharap Aruni mau menerimanya suatu saat nanti," ucapnya pelan seraya menyugar rambutnya yang cukup panjang ke arah belakang.
"Baiklah, kalau itu yang anda inginkan, Sir. Saya akan mulai mengatur semuanya," pungkas Andaru sembari mengela napas panjang. Dilihatnya Theo yang kembali berbalik dan berjalan lunglai menuju kamarnya. "Sir?" panggilnya lagi.
"Apalagi?" Theo menoleh dengan raut kesal.
"Saya yakin, anda akan menemukan apa yang anda cari," ujar Andaru setengah berseru.
"Masalahnya aku tak tahu apa yang aku cari," Theo hanya tersenyum getir menanggapi kalimat Andaru.
"Menurut kacamata saya, anda terlalu berharap pada seseorang yang tidak bisa anda miliki," Andaru mulai berpuisi.
"Ikhlaskanlah dirinya, Sir. Terimalah kenyataan bahwa dia memang tercipta bukan untuk anda. Pasrah saja dan yakini bahwa sekarang Tuhan sedang menyiapkan seseorang yang terbaik untuk anda," tutur pemuda itu dengan gaya bijaksana.
Hening sesaat, untuk kemudian Theo tertawa lebar. "Astaga, Andaru. Kau memang hiburan bagiku," pria gondrong itu terbahak sampai menyeka air yang keluar dari sudut matanya akibat tertawa terpingkal-pingkal.
"Sudahlah, lakukan tugasmu. Aku akan berkemas. Telepon saja aku jika ada yang kau butuhkan," kali ini Theo benar-benar meninggalkan Andaru yang termangu di depan meja makan.
Sementara itu, di sudut lain kota Jakarta, seorang pria paruh baya tampak gelisah dan berjalan tak tentu arah. Langkah kakinya cepat membelah kerumunan orang di sebuah mall ternama. Pikirannya kosong sejenak, sebelum ia memutuskan untuk memasuki lift dan memencet tombol menuju lantai teratas.
Sesaat setelah pintu lift terbuka, dia bergegas keluar dan mengedarkan pandangan ke sekeliling. Ekor matanya berhenti pada seorang satpam yang tampak berdiri siaga di sisi pintu keluar. Dia pun menghampiri petugas keamanan itu dengan terburu-buru. "Tangga darurat di sebelah mana?" tanyanya tanpa basa-basi.
"Bapak mau kemana?" satpam itu malah balik bertanya.
"Saya, eh, saya, ingin ke parkiran," kilahnya terbata.
"Bapak tidak perlu melewati tangga darurat, lewat sini saja," tawar satpam itu sambil mengarahkan tangannya ke arah pintu keluar. "Di depan sana sudah masuk ke area parkir, pak. Lantai teratas," jelasnya.
"Baiklah, terima kasih," ucap pria itu, kemudian melangkah tergesa menuju parkiran. Tubuhnya berhenti tepat di depan pagar beton pembatas. Ragu-ragu ia melongok ke bawah. "Cukup tinggi. Kalau kepala yang mendarat terlebih dulu ..." gumamnya pelan.
Beberapa saat kemudian, dia memejamkan mata rapat-rapat. Angin yang berhembus kencang di lantai teratas mall ini menerpa kulit wajahnya yang mulai keriput. "Maafkan papa, Sarah," ucapnya sambil terisak.
Dia membulatkan tekad untuk melompat dari atas sana. Satu kakinya sudah memanjat pagar setinggi pinggang manusia dewasa. Tinggal satu kaki lagi, maka hidupnya akan berakhir saat itu juga.
"Hei, berhenti!" teriakan seorang satpam menciutkan nyali pria itu. Ditambah dengan dua tangan kekar yang menarik paksa tubuhnya hingga dia terjerembab ke belakang. Pria itu meringis kala sikunya mendarat di lantai parkir. Dia meraung dan meringkuk sambil memegangi kepalanya dengan kedua tangan."Bawa ke kantor saja, Din!" seru satpam tersebut."Atau kita bawa ke kantor polisi saja! Orang ini sudah membuat kericuhan," sahut rekannya yang lain."Jangan!" pria yang sedari tadi memejamkan matanya rapat-rapat itu berteriak dan terbelalak. "Tolong, jangan bawa saya ke kantor polisi," mohonnya."Kalau begitu, bawa ke kantor saja," tukas satpam yang sebelumnya sempat bercakap-cakap dengan pria itu.Pria itupun bergerak pasrah saat dua orang berseragam satpam menyeretnya menuju kantor mall. Kepalanya tertunduk demi menghindari pandangan dari pengunjung lain."Silakan, pak," ucap salah seorang satpam ketika mereka tiba di sebuah ruangan yang cukup luas, namun tampak lengang. Hanya ada beberapa
"Papa," panggil seorang gadis. Suaranya terdengar lembut dan merdu.Abizar menoleh dan melihat putrinya datang bersama satpam yang tadi meninggalkan ruangan lebih dulu."Sarah!" Abizar segera berdiri dan menyambut pelukan sang putri."Tolong jaga ayahnya ya, Dik. Jangan biarkan terjadi hal yang tidak diinginkan seperti yang saya ceritakan tadi," tutur satpam tersebut.Wajah gadis itu berubah murung. Dia mengurai pelukan ayahnya, lalu mengangguk pada sang satpam. "Terima kasih untuk semuanya, Pak. Terima kasih sudah menyelamatkan nyawa ayah saya," ucapnya sebelum berlalu dari ruangan itu."Pak, jangan lupa nasihat saya," ujar Fahmi seraya menyodorkan secarik kertas pada Abizar. Sekilas pria itu melirik deretan angka yang tertulis di atasnya.Abizar tersenyum samar pada Fahmi dan salah seorang satpam yang lain. Begitu putrinya yang bernama Sarah. Setelah itu, senyuman si gadis bernama Sarah, mulai memudar. Sejak dia membantu ayahnya memasuki mobil, menyetir mobil, hingga kendaraan yang
Sarah terpaksa menunggui ayahnya di luar rumah dua lantai di kawasan permukiman yang masih terbilang sepi itu. Was-was, dia melemparkan pandangan ke sekitar. Sejak tadi, tak ada satupun kendaraan yang melewati jalan utama perumahan ini. Sarah benar-benar merasa sendiri saat itu.Hingga ekor matanya menangkap sebuah mobil SUV hitam yang terparkir di hadapannya. Sekilas, Sarah melihat sebuah pergerakan seseorang atau sesuatu di dalam mobil itu. Namun, dia tak dapat memastikan bahwa yang dia lihat adalah benar adanya.Di tengah kegamangannya itu, terdengar ketukan kencang di kaca jendela mobilnya. Sarah terkejut sampai berjingkat. Dia mengelus dada, menetralkan debar jantungnya yang bergemuruh tatkala menyadari bahwa ayahnya lah yang telah mengetuk jendela di sampingnya itu."Buka pintunya, Sarah," pinta Abizar.Dengan segera, Sarah membuka pintu mobil dan membiarkan ayahnya duduk di samping kursi kemudi. "Sudah selesai, Pa?" tanyanya."Sudah, kita pulang," jawab Abizar singkat. Setelahn
Hening terasa. Mata Abizar terpejam, namun dia dapat mendengar dengan jelas suara detik jarum jam dinding yang entah berada di sebelah mana. Berat rasanya dia membuka kelopak mata. Deru napasnya terdengar cepat dan terengah-engah. Seluruh tubuhnya terasa nyeri, bagaikan ditikam ribuan belati. Parahnya lagi, tubuhnya seolah terikat, tak mampu dia gerakkan. Tiba-tiba kepalanya terasa basah. Seseorang sepertinya dengan sengaja menyiramkan air kepadanya. Air itu bahkan memasuki hidung, membuat Abizar makin kesusahan bernapas. Abizar terbatuk pelan, makin lama makin kencang sampai-sampai dadanya sesak."Bangun, Bodoh!" seru seseorang. Abizar yakin, seruan itu diperuntukkan baginya. Susah payah dia berusaha membuka mata. Pandangan yang awalnya mengabur, perlahan mulai terang dan jelas. Seorang pria asing berdiri di hadapannya dengan raut wajah garang nan mengerikan. Rambut gondrongnya menutupi sebagian wajah yang dipenuhi bulu-bulu halus yang tumbuh di sekitar rahang. Iris mata coklat teran
Sarah terbangun ketika alarm digitalnya berbunyi nyaring. Sambil memicingkan mata, dia mengulurkan tangan dan memencet tombol di bagian atas alarm. Sekilas dia melihat jam menunjukkan pukul lima pagi. Sebenarnya Sarah masih merasa lelah dan mengantuk, tapi dia tetap memaksakan bangun. Semenjak ibunya meninggal, dialah yang bertugas untuk memasak dan menyiapkan sarapan untuk sang ayah. Apalagi Abizar terbiasa bangun pagi-pagi sekali.Sarah menguap dan meregangkan tubuh di tepi tempat tidur sebelum beranjak keluar kamar dan menuju dapur. Dilihatnya kamar sang ayah masih tertutup rapat. Diapun melanjutkan aktivitasnya menyeduh kopi serta membuat sarapan sederhana. Sampai satu jam kemudian, hidangan untuk dirinya dan papanya sudah tertata rapi di meja makan. Begitu pula secangkir kopi panas dan teh.Sarahpun berlalu ke kamar Abizar. Pria paruh baya itu tak terlihat hendak keluar. Sesuatu yang tak biasa, mengingat sang ayah tak pernah bangun siang. Setitik rasa khawatir kembali muncul di d
"Bisa saya jelaskan sambil jalan?" Andaru mengarahkan Sarah menuju sebuah mobil mewah yang terparkir di sisi pagar."Sa-saya membawa kendaraan sendiri!" tolak Sarah."Tidak apa-apa. Anda tinggalkan kendaraannya di sini. Nanti saya antar kembali kemari," bujuk Andaru.Setelah berpikir agak lama, akhirnya Sarah menyetujui ajakan pria yang masih asing baginya itu. Dia mengikuti langkah Andaru dan memasuki mobil yang posisinya tepat di depan mobilnya. Sarah duduk di samping kursi kemudi.Setelah menyalakan mesin dan menjalankan kendaraannya, Andaru memulai penuturannya, "Ayah anda tertangkap telah memasuki rumah mendiang Pak Baskoro tanpa ijin. Pak Abizar bahkan telah melukai salah seorang penjaga."Bagaikan tersambar petir, Sarah melotot dengan raut yang sarat akan emosi. "Ayah saya tidak mungkin berbuat seperti itu!" tegasnya."Sayangnya, memang iya. Meskipun mereka berhasil merusak beberapa kamera CCTV, tapi sudah banyak saksi mata yang memergoki ayah anda masuk ke ruang tengah," sangg
"Menurut saya, itu bukan keputusan yang bijak," ucap Andaru hati-hati. "Secara hukum, pak Abizar berada pada posisi yang lemah. Dia menerobos masuk ke dalam properti pribadi seseorang tanpa izin. Bahkan pak Abizar juga sempat menyakiti salah seorang satpam rumah dengan menggunakan alat kejut listrik," sambungnya."Astaga," Sarah cukup terkejut mendengar penuturan Andaru. Sama sekali dirinya tak menyangka jika sang ayah sanggup berbuat nekat. Matanya berkaca-kaca menatap wajah tampan di depannya. "Kalaupun papa bersalah setidaknya jangan taruh dia di tempat seperti ini. Kesehatannya sudah menurun, apalagi usianya sudah tidak muda lagi," pinta gadis itu."Sudah saya sarankan, sebelumnya. Nona bisa meminta bantuan pengacara. Saya bisa membantu mencarikan pembela. Namun, syaratnya, anda harus diam dan menunggu," ujar Andaru."Menunggu, diam dan tidak melakukan apa-apa?" Sarah tak terima dengan saran yang diajukan oleh Andaru. "Sebagai seorang anak aku tidak mungkin membiarkan ayahku tersi
"Sekarang?" ulang Sarah yang juga tak percaya. Dia menoleh pada sang ayah yang juga keheranan."Bagaimana? Saya tidak punya banyak waktu," tawar Andaru tak sabar.Sarah mengangguk ragu. Dia tak punya pilihan lain selain mengiyakan. Akhirnya, setelah berpamitan pada Abizar, Sarah mengikuti langkah cepat Andaru menuju area parkir. Pria tampan itu mengemudikan kendaraannya entah kemana. Sedikit was-was, Sarah bertanya padanya, "Kita mau kemana? Terus mobil saya bagaimana?""Gampang. Aku akan menyuruh anak buahku memarkirkan mobil kamu ke dalam garasi pak Baskoro," jawab Andaru tenang. Tak ada lagi gaya bahasa formal dari pria itu. Sejak mendapat telepon dari bosnya, raut Andaru berubah tegang."Lalu, kuncinya?" Sarah menyodorkan kunci mobil, lalu mempermainkannya dengan telunjuk."Tanpa kuncipun sebenarnya mobil tetap bisa menyala," jawab Andaru datar."Maksudnya? Kalian menyabotase mobilku, begitu?" Sarah menautkan alisnya sebagai tanda tak setuju.Andaru melirik sekilas, kemudian terse