Hari ini, Neona bersama dua orang asistennya menyelesaikan agenda mereka dengan lancar. Kini tiba waktunya Neona untuk menyelesaikan agenda terakhir yaitu syuting FTV. Rara tampak sibuk dengan beberapa kostum dari wardrobe dan beberapa aksesoris lainnya.
Neona masih sibuk dengan hafalan naskah dialog. Sementara Tuti sibuk dengan iPad-nya, membaca beberapa trending topik saat itu.
“Gila, nih, penggemar lo hebat banget, Na,” tanggapnya.
“Kenapa, mbak Tut?” tanya Rara menyela.
“Bayangin, dia bisa menutup mulut netizen yang berkomentar negatif soal kejadian kemarin. Gue jadi penasaran siapa, sih, ni orang? Na, lo tau nggak orang ini siapa?” Tuti menatap Neona lekat dengan raut menyidiknya.
“Seseorang….” Neona menjawab, lalu menjeda.
Yang sangat mencintai gue, Mbak dan gue juga mencintainya. Tapi hati gue sudah terlanjur hancur oleh ulah mereka, hingga seumur hidup gue, gue hanya bisa membenci, monolog Neona dalam hati.
“Iya gue juga tahu seseorang, tapi siapa?” tanya Tuti semakin penasaran.
“Aau!?” acuh Neona kembali pada naskahnya.
Mobil Van hitam pun tiba di lokasi syuting. Neona segera melepas kacamata hitam dan berjalan menuju sebuah kursi tempat ia beristirahat.
Siang itu semilir langit puncak sangat bersahabat. Rambut panjang Neona teribak lembut oleh tiupan angin siang itu. Untungnya rasa kantuk tak menyapa sehingga ia bisa melakukan kegiatan syuting dengan sangat lancar.
Neona beringsut ke arah Tuti, ia menyodorkan sebuah benda pipih kecil kepada wanita berkacamata itu. Tuti merengut heran, semakin heran mendengar permintaan aneh Neona siang itu.
“Mbak, nanti pas adegan ciuman lo foto gue ya? Ambil dari posisi belakang aktornya, jadi yang kelihatan muka gue sama punggung tuh laki. Awas lo kalau salah, gue potong gaji lo, Mbak,” pinta Neona sedikit melebarkan pupil.
“Ada apa lagi, nih, anak coba? Aneh-aneh aja permintaannya,” gumam Tuti.
Adegan demi adegan Neona lakukan dengan sangat baik, bahkan sutradara sangat puas dengan hasil kerja Neona hari itu. Ia tak perlu mengulang berkali-kali setiap adegan karena Neona sangat menjiwai tokoh yang ia perankan.
Tuti pun menuruti permintaan Neona beberapa menit lalu. Saat istirahat, Neona meraih ponselnya dan mengirimkan foto yang baru saja diambil Tuti kepada Adnan.
Benar, sejak semalam, laki-laki itu berusaha menghubungi Neona berkali-kali. Namun, sayangnya gadis itu memilih untuk mengacuhkan panggilan Adnan. Tak sampai di situ, ia juga membaca pesan W******p Adnan. Ia pun tak membalas, hingga siang itu ia bisa mengirimkan foto adegan cium yang sebenarnya hanya posisi berjarak namun terlihat seperti adegan asli.
Dari sudut tempat lokasi syuting Neona, seorang wanita berpakaian tank top dengan celana jeans berjalan angkuh mendekati Neona. Tanpa basa-basi, wanita itu langsung menarik pergelangan tangan Neonan dan menyeret tubuh Neona sedikit menjauh.
Rara dan Tuti terkejut melihat peristiwa itu.
“Wah, kayaknya akan ada adegan jambak rambut lagi, nih,” sinis Tuti yang berdiri di sisi Rara seraya melipat kedua tangan di atas dada.
“Ih, Mbak Tuti tahu aja, eke ogah ah, atut kalau ayang bebe ngamuk, ih,” ledek Rara.
Seluruh kru yang berada di lokasi syuting memperhatikan kedua wanita cantik yang kini tengah berdebat keras. Salah seorang kembali berulah memanfaatkan kesempatan untuk merekam percekcokan mereka.
“Jauhi Zenan!” hentak Jesline.
“Nggak!”
“Lo cari mati ya, Cewek Jelek?” ketus Jesline mulai menarik kasar baju yang dikenakan Neona.
“Kalau elo mau Zenan, ambil sendiri. Gue nggak butuh sampah kayak dia. Lo dan Zenan sama persis. Sama-sama menjijikkan,” suara Neona setengah berbisik.
Sorot mata kedua wanita itu tajam, seakan keduanya sudah tak ada lagi dinding perdamaian. Terutama bagi Neona. Bagaimana tidak, gara-gara wanita di depannya ini, Neona harus bertahan dari bullyan orang-orang. Gara-gara wanita ini ia kehilangan cinta yang kini sangat ia benci. Dan kini gara-gara wanita ini, ia tak bisa memiliki cinta yang seharusnya ia miliki.
Rasa benci Neona sudah berlipat ganda pada Jesline. Ingin rasanya ia mencabik-cabik wajah wanita itu, namun jika bukan karena ia di depan orang banyak, ia harus menjaga reputasinya. Ia tak ingin lagi Adnan dan kedua sahabat sejatinya Moly dan Laras tersiksa lagi karena ulahnya. Benar selama ini atas permintaan Adnan, Moly dan Laras berusaha menjadi pembela dan Hacker untuk opini-opini netizen yang negatif terhadap Neona jika berita tentang gadis itu terekspos. Meskipun benar pada kenyataanya, namun tugas Moly dan laras untuk menepis opini netizen.
Neona melepaskan diri dari cengkraman Jesline setelah suara Tuti yang sudah berhasil melerai pertengkaran yang hampir saja akan terjadi.
“Na, ada telepon!” teriak Tuti berbohong.
Rara yang tak mengetahui drama dadakan Tuti hanya merengut heran. Sedari tadi tak ada satupun ponsel Neona ataupun Tuti yang berdering. Jesline menghempaskan tubuh Neona untuk melepaskan cengkramannya, namun nasib sial menimpa Neona. Kakinya terkilir membuat gadis itu tersungkur ke tanah.
Suara jerit kesakitan melengking dari bibir Neona. Sontak para kru yang lain segera menghampiri Neona yang kesakitan di tanah memegangi pergelangan kakinya.
“Na, lo nggak apa-apa?” pekik Tuti berlari menghampiri tubuh Neona.
“Ah, sakit, Mbak Tut!” rintih Neona.
Para kru segera membantu memapah tubuh Neona ke dalam mobil. Tuti segera membawa Neona ke rumah sakit. Sementara Jesline segera melarikan diri, takut jika kejadian itu muncul pada Headline News pagi. Meskipun Tuti dan Rara cukup lama mengenal Neona, namun sampai detik ini, tak satupun kisah asmara Neona yang mereka ketahui kecuali Zenan yang berkali-kali ditolak Neona. Tuti terus berusaha mencari tahu namun setiap kali ia menanyakannya pada Neona, gadis itu hanya menjawabnya dengan dingin dan ketus. Ia pun menyerah dan berusaha memahami sifat Neona perlahan-lahan.
Beberapa perawat sudah bersedia di lobi rumah sakit. Satu orang perawat segera mendorong brankar menyambut sebuah mobil Van hitam yang sudah terparkir sempurna di depan teras rumah sakit. Beberapa kru turun mengangkat tubuh Neona dan perlahan membaringkannya di brankar. Sang perawat segera menggiring brankar tersebut berpacu dengan waktu untuk penanganan pasien. Tuti segera menghubungi Theo, setidaknya hanya dia yang bisa diandalkan Tuti saat ini. Selain itu melalui Theo, Tuti mengenal sosok Neona.
“Pak Theo, nona Neona masuk rumah sakit," lapornya melalui sambungan seluler.
“Apa?! Kok bisa?! Oke saya akan segera ke sana, kirimkan lokasi kalian.” Panggilan terputus.
***
Sesaat pria tampan itu berdiam mematung. Dia sedang menimbang pikirannya untuk menghubungi Adnan dan mengabari lelaki itu tentang kondisi Neona.
“Nan, Neona masuk rumah sakit,” ujarnya.
“Hah? Kok bisa?” suara Adnan terdengar cemas dari seberang.
“Entahlah, saya akan ke sana terus saya kabarin, ok,” pungkas Theo.
Kecelakaan kecil yang terjadi pada pergelangan kaki kirinya cukup membuat gadis itu harus menghabiskan waktu di rumah sakit. Adnan masih berdiam di kantor, ia teringat pada pesan media yang dikirim Neona semalam. Laki-laki itu menghela nafas dalam. Hatinya berperang antara cemburu, benci, dan simpatinya.
Ia pun akhirnya memutuskan untuk tidak menemui Neona dan meminta Moly juga Laras yang sudah berada di Indonesia sejak seminggu lalu. Kedua sahabat Neona yang mengecam pendidikan di luar negeri pasca kelulusan mereka.
“Moly, ajak Laras, jenguk Neona di rumah sakit, dia terkilir,” pinta Adnan melalui telpon.
“Maaf, Kak Adnan, aku nggak bisa. Aku sama Laras udah terlanjur sakit hati sama Neona. Dia sudah memutuskan persahabatan kami seminggu lalu. Biarin aja dia di rumah sakit, toh, ada manajer dia sekarang. Lagian dia, kan, seorang artis papan atas, kami nggak ada apa-apanya di mata Neona.” Suara kesal terdengar Moly dari seberang.
Adnan lagi-lagi menghela napas dalam, ingatannya kembali pada peristiwa, tepat saat Moly dan Laras baru kembali dari luar negeri dan menemui Neona. Bayangan kalimat angkuh yang terlontar dari mulut Neona kepada kedua sahabatnya itu masih melekat dalam ingatan Adnan. Ia tak heran jika Moly dan Laras sangat membencinya saat ini.
“Aku mohon, Ly, please. Hanya kalian sahabat Neona yang lebih memahami Neona dari siapapun,” melas Adnan.
“Tapi, Kak, mau sampai kapan kita mendapat perlakuan kayak gini? Dia harus belajar menerima kenyataan yang pahit, Kak. Jika dia ingin orang lain merasakan kekecewaan hatinya, maka kami juga sama. Kami ingin dia merasakan kekecewaan hati kami,” tandas Moly.
Suara panggilan terputus terdengar di telinga Adnan. Moly sudah benar-benar memutuskan sambungan telpon. Tak lama ia pun menghubungi Laras, ia tau gadis yang satu ini lebih lunak dan perasa dibanding Moly yang sedikit tomboi.
“La, bisa Kakak minta tolong? Bisakah kamu menjenguk Neona di rumah sakit? Dia terkilir. Kasihan dia, nggak ada yang temenin. Bantu Kakak, Kakak nggak bisa temui dia, Kakak sibuk,” alasan Adnan.
“Iya, Kak. Aku akan langsung ke sana. Kebetulan aku lagi di jalan, habis dari rumah Zenan. Ada hal juga yang ingin aku bicarakan dengan Neona,” jelas Laras.
“Ada apa dengan Zenan?” tanya Adnan mulai penasaran.
“Nggak baik, kak. Sejak penghinaan yang dilakukan Neona berkali-kali, Zenan sudah tiga hari mengurung diri di kamar dan mulai mabuk-mabukan. Entah berapa kali ayahnya menemukan ia pulang malam dalam keadaan mabuk. Zenan hancur, Kak.”
Adnan mengakhiri panggilan. Laju napas terdengar semakin cepat. Pandangan kosong berubah menjadi sebuah sorot tajam. Ada rasa kecewa kembali tersirat dalam hati, mendengar apa yang sudah dilakukan Neona kepada semua orang, yang sudah pernah hadir di masa lalu. Masa lalu yang kini membuat ia tampil menjadi sosok yang mengerikan.
Neona, apa kamu harus sekejam ini pada kami? Apa kesalahan kami di masa lalu sangat tidak bisa kamu terima? Berhenti Neona!
Sudah satu bulan, Khadijah dan Buyung menikah dan kembali ke rumah Buyung yang ada di Jakarta. Perlahan Buyung memperkenalkan Khadijah dalam keluarganya. Murni pun akhirnya ikut tinggal bersama mereka. Baik Khadijah maupun Buyung memperlakukan Murni layaknya kerabat sendiri membuat wanita itu tak merasa sungkan sedikitpun pada kedua sahabatnya itu. Kabar pernikahan itu sampai ke telinga Adnan anak sulung Buyung, namun bocah kecil itu memilih untuk tetap tinggal bersama Om dan Tantenya di Lombok.Pagi itu untuk pertama kalinya Murni belum juga menampakkan batang hidungnya di meja makan. Khadijah merasa sangat khawatir, ia pun segera menuju kamar sahabatnya itu. Matanya membulat ketika tidak mendapati tubuh Murni di atas kasur.“Uwek,,Uwek,,Uwek!” suara Murni dari balik kamar mandi.“Kamu kenapa Ni?, kamu masuk angin? Atau salah makan?” tanya Khadijah memberondong.“Entahlah Dj.”
Pak Hasan dan bu Mina duduk mematung di kursi reot mereka. Keduanya membisu dan tenggelam dalam pikiran mereka. Airmata kembali menemani wajah pak Hasan dan bu Mina ketika menemukan putri kesayangan mereka pulang dalam keadaan berantakan. Dari penampilan pakaian Murni yang sudah tak beraturan, kedua orang tua itu sudah bisa menebak apa yang sudah dialami oleh putri mereka.“Kenapa mesti anak kita yang jadi korban, Pak? Kita kan tidak punya hutang sama juragan Minha, kenapa dia mesti menodai Murni, apa salah kita ,Pak?” Keluh bu Mina menyeka airmatanya dengan kain lengan bajunya.Pak Hasan hanya diam, hatinya memberontak. Tubuhnya yang sudah mengeriput dan tenanganya yang sudah tak sekuat muda dulu membuatnya memaki sendiri. Tapi apa dayanya, kemiskinan dan usia, sudah mengekang jiwa pemberontaknya. Lelaki tua itu hanya menunduk dan menumpahkan tangisnya. Murni haya terdiam membisu memeluk guling ranjang kayunya. Padangannya jau
Bandung, 1998.Pondok tengah sawah desa Lebak wangi masih lengang. Semilir angin masih terasa enteng siang itu. Sangat cocok untuk tidur siang terutama bagi seorang Murni. Gadis berseragam putih abu-abu yang berani membolos hanya demi bisa tidur nyenyak di pondok tengah sawah milik pak Mud. Sambil melakukan rutinitas wajibnya yaitu mengupil. Ya, gaya itulah yang sangat lekat pada sosok dara desa yang dijuluki preman kelas dan preman kampong. Lihat saja jika Murni sudah melipat ujung lengan bajunya maka jangan harap akan lolos dari tonjokannya. Tak hanya itu terkadang ia menyuapi musuhnya dengan kotoran upilnya. Itulah senjata paling ampuh yang ia miliki.“Ni, lo mau sampai kapan kayak gini terus? Nggak capek tangan lo luit tu lubang?” protes Khadijah sang Sahabat.“Ah, diem lo, Dj. Lo nggak tau, sih, nikmatnya kayak gini, ahh, dah, gue tidur dulu mata gue berat, nih.” Timpal Murni tanpa rasa bersalah.
Setelah menjalani beberapa rangkain terapi,akhirnya Neona diperbolehkan pulang oleh dokter. Adnan tentu tidak akan pernah mau melewatkan kesempatan berharga ini. Ya meluangkan waktu untuk Neona adalah agenda wajib dalam kegiatannya.“Kamu udah siap, sayang?” tanyanya seraya membawakan satu bucket bunga untuk menyambut kepulangan sang Adik. Khadijah, MOly, dan Laras, hanya terdiam menjadi penonton dram cinta Adnan dan Neona yang terbilang, aneh.Bagaimana tidak, Adnan sudah memproklamirkan kepada semua orang terdekat Neona termasuk Moly dan Laras, jika ia dan Neona adalah sepasang kekasih dan akan segera menikah. Moly dan Laras memang sudah mendengar dari Khadijah jika keduanya memang bukan saudara kandung.“Wellcome home mg girl!” seru Adnan menuntun Neona kembali ke kamarnya.“Lho, kak, bukannya kita sudah tunangan dan akan segera menikah, apa ini kamar kita?” tanya Neona.“Astaga Neona! Lo itu belum
Sudah tiga bulan lamanya Neona hidup bergantung pada alat medis yang menempel di setiap bagian tubuhnya. Dan selama itupula Adnan dan Khadijah bergiliran membagi perhatian mereka pada gadis itu. Tak hanya itu, Moly dan Laras pun turut andil menemani keluarga Neona menjaga gadis itu, dengan sesekali datang untuk menjenguknya. Seperti yang dilakukan hari ini.“Pagi Tante, pagi kak Adnan.” Salam Moly dan Laras.“Eh kalian, yuk, masuk.” titah Khadijah menyambut kedua sahabat Neona.“Gimana keadaan Neona Tante?” tanya Moly.“Masih belum ada reaksi, Ly.” Jawab Khadijah sekenanya.“Karena kalian udah di sini kakak belikan camilan di kantin, ya.” usul Adnan.“Eh, ng-nggak, usah repot-repot, kak, kita Cuma bentar, kok, di sini.” Timpal Laras jengah.Moly dan Laras saling menyiku, kedua mata dara belia itu tak berpaling dari tatapan dingin Adnan. Lelaki sejuta pesona
Kediaman Bagaskoro masih nampak sepi. Halaman depan dan belakang masih nampak lengang. Sekumpulan manusia yang mengenakan pakaian serba hitam sudah meninggalkan jejak mereka dua jam lalu. Seorang lelaki tinggi berusia tiga puluh tahun nampak duduk tertunduk di balik topangan kedua tangannya. Kemeja hitam dan celana Guccinya membuat lelaki itu tak kehilangan pesonanya meskipun tengah berduka.“Papi,maafkan Adnan Pi. Adnan gagal menjadi anak yang baik buat Papi dan kakak yang baik untuk Neona.” Lirihnya meraih satu bingkai foto kecil yang berdiri apik di atas meja kerjanya.Ada senyum ia dan juga Neona yang memeluk kedua orang tua mereka.“Neona, aku mencintaimu. Aku janji jika sebagai kakak aku tidak bisa membahagiakanmu dan melindungimu kini sebagai pasangan hidup aku akan menjagamu dan membahagiakanmu, Neona” janjinya pada diri sendiri.Khadijah masih terisak di