Rae masih saja sibuk dengan beberapa buku yang ada di meja tersebut. Ia sama sekali tidak mendengar siapapun, namun telinganya sensitif pada satu kata ‘pembunuh’.
“Pembunuh!!” teriak seseorang pria dengan keras di ruang perpustakaan itu.
“Kamu!! Jangan berteriak, ini perpustakaan bukan lapangan bola,” tegas penjaga tempat keramat itu.
“Rae, lo baca buku ini! Ada hewan kecil, tapi ternyata hewan itu pembunuh berdarah dingin. Gue yakin lo suka sama buku ini...” bisik Antony dan memberikan buku tebal yang ada ditangannya itu.
“Thanks... Kalau gitu gue baca dulu.”
Rae adalah gadis sederhana dan begitu suka membaca. Namun sayangnya tidak ada yang tahu apa yang ada dibalik kesedehanaan, tompel dan kaca mata besarnya itu. Hanya segelintir orang yang dekat dengannya, namun hanya sebatas teman dan mereka sama sekali tidak pernah tahu dimana dan bersama siapa gadis itu tinggal.
Tapi Rae sama sekali tidak pernah menutup diri dari lingkungannya. Ia berteman dengan siapa saja dan juga bisa menghabisi siapa saja yang menjadi ancaman terbesar baginya—sama seperti pria hidung belang yang sudah ia habisi malam tadi.
“Gue duluan, Ton,” gadis itu menepuk pundak Antony dan bergegas pergi dengan membawa beberapa buku ditangannya.
Untuk beberapa saat, Rae berbicara dengan penjaga perpustakaan dan mengisi data sebagai peminjam buku. Setelah itu Rae keluar dan pergi menjauh dari ruangan tersebut, dengan suatu alasan yang tidak pernah bisa ia katakan.
Gadis itu duduk menyendiri di sebuah taman. Membuka dan mencatat apa saja yang ingin ia ketahui. Zaman yang semakin berkembang sama sekali tidak menjadikan gadis itu menjadi seorang pemalas dan hanya menggunakan laman pencarian. Rae sengaja melakukan hal itu, karena jika ia menggunakan media sosial dalam sekejap mata, wajahnya akan terlihat nyata dan ia tidak menginginkan hal itu terjadi.
Ponsel dalam gengganmannya bergetar, dan tidak lama ia melihat sebuah notifikasi khusus yang diberikan dari ayahnya.
‘Papi? Kenapa tiba-tiba saja...’ batin Rae bertanya. Selama ini Papinya sama sekali tidak pernah menghubunginya secara langsung, dan Rae sudah menebak ada hal penting yang ingin di sampaikan Papinya.
“Hallo, ada apa?” todong Rae cepat. Tidak ada salam sayang ataupun salam kerinduan dari gadis itu. Yang terlihat saat ini hanyalah wajah masam.
“Pulang!! Ada misi penting untuk mu.”
“Oke.”
Panggilan itu terputus. Rae segera membereskan buku-bukunya dan langsung meninggalkan universitas tersebut. Ia hanya mengirimkan sebuah pesan pada Antony jika ia tidak akan mengikuti perkuliahan hari ini.
***
Disebuah wilayah terpencil, rumah mewah itu terlihat sangat sepi, hanya ada dua orang penjaga yang selalu berdiam diri di pos kecil. Hanya sekedar untuk membuka dan menutup gerbang yang menjulang tinggi itu.
Suara klakson mobil keluaran Eropa itu dengan cepat membuat dua penjaga itu membuka pintu, sedikit membungkuk saat kendaraan roda empat itu melewati mereka. Tapi sayangnya seseorang yang ada di dalamnya sama sekali tidak melirik pada dua orang penjaga itu.
Akhirya seorang gadis muda keluar dari dalam mobil tersebut, berjalan dengan anggun dan penuh ketegasan menuju pintu utama yang sudah terbuka lebar saat mengetahui kedatangannya.
“Selamat datang Nona Rae...” sambut kepala maid di rumah tersebut.
“Hmmm... Dimana Papi?”
“Tuan ada di ruang kerja bersama dengan Tuan muda, dan mereka sedang menunggu anda, Nona.”
Rae dengan cepat berjalan menuju ruang kerja yang ada di lantai atas. Hentakan hells yang menggema membuat siapa saja tahu jika Nona muda mereka baru saja tiba.
Rae Catalina adalah satu-satunya gadis dari keturunan Eduardo. Tapi hal itu membuat Rae sama sekali tidak ingin diremehkan dan menjadi perempuan manja. Gadis itu menunjukan jika dirinya pantas menjadi penerus Venosa—sebuah ikatan Mafia besar yang saat ini kepemimpinannya ada ditangan kakak tertuanya—Aldric Vicente.
Sejak usianya tujuh tahun, Rae mendapatkan pendidikan bela diri dan membuat gadis itu menjadi patut untuk diperhitungkan. Bahkan saat usianya 10 tahun, gadis itu sudah mampu mengalahkan dua pengawal terbaik yang sengaja Eduard kirim untuk mengganggunya.
“Selamat datang Rae...” sambut Eduard saat mendengar pintu ruangan kerjanya terbuka.
“Kenapa Papi memintaku untuk datang?”
“Apa begitu caramu untuk melepas rindu pada pria tua ini?” goda Eduard pada putri sematawanyangnya itu. “Duduklah, kita bicara sebentar.”
Dengan terpaksa Rae duduk di kursi yang berbeda dengan ayah dan kakaknya. Rae dan Aldric sama sekali tidak pernah dekat, layaknya seorang adik dan kakak kandung. Lebih tepatnya mereka bersaing dan menunjukan siapa yang terbaik dari mereka.
“Hello Al... Bagaimana kabar mu?” Rae tersenyum, meskipun hanya dibalas decakan malas dari kakaknya itu.
“Ck! Jangan sok manis dihadapanku, Rae, karena itu sama sekali tidak cocok untukmu,” jawab Al dingin.
“Papi lihat? Sampai detik ini Al sama sekali tidak baik padaku,” keluh Rae pada Eduard.
Sudut bibir pria tua itu terangkat, meskipun begitu ia tahu bagaimana cara Al menjaga Rae selama ini. Eduard selama ini tidak pernah menyangka jika ia akan memiliki seorang putri yang tangguh seperti Rae. Rasa khawatir selalu saja membuat pria itu gelisah, tapi pada akhirnya ia bisa bernapas dengan lega setelah melihat Rae menjadi gadis tangguh.
Rae selama ini dilatih untuk hidup sederhana dan tidak bergantung pada orang lain. Ia berhasil menyembunyikn rahasianya sebagai keturunan Eduardo, dan berbaur dengan masyarakat tanpa ragu sedikitpun.
“Kenapa kamu menghabisi pria itu?” tanya Eduard.
“Jadi itu masalahnya, sampai Papi harus membuatku datang kemari?”
“Ahahaha... Tentu saja bukan, Rae! Papi hanya ingin tahu, karena anak buah Papi melihat mu bersama pria itu sebelum akhirnya ia ditemukan tewas dengan mengenaskan di kamar hotel.”
Gadis itu tersenyum. Setidaknya kali ini aksinya sama sekali tidak mendapatkan protes dari Eduardo. Rae tidak akan pernah gegabah dalam menghabisi siapapun, kecuali mereka sudah berbuat hal di luar batas kepadanya.
Jiwa pemburu gadis itu sangatlah kuat, bahkan ia bisa menyadari bahaya dalam jarak yang jauh. Instingnya selalu saja benar dan hal itu membuat Eduard tidak mengkhawatirkan kemanapun Rae pergi.
“Pria mata keranjang itu berniat untuk menjebakku! Dia berpikir aku gadis bodoh, tapi nyatanya dia adalah orang bodoh karena berani bermain-main dengan ku.”
“Menjebak mu?”
“Hmmm... Dia berniat untuk membersihkan tangannya dan menjadikan aku umpan,” jelas Rae dengan sorot mata penuh kebencian.
Gadis itu menjelaskan segalanya pada Eduard, dan tentu saja ditanggapi dengan sebuah senyuman. Pria tua itu sudah mengetahui segalanya dan itu cukup membuktikan jika Rae bisa menjalankan tugas yang akan ia berikan.
“Papi sudah tahu semuanya! Dan sekarang Papi yakin jika kamu bisa menjalankan tugas yang akan Papi berikan untuk mu.”
“Tapi Pi, tugas ini terlalu berbahaya untuk Rae!” Aldric akhirnya buka suara. “Pria itu bisa saja menyakiti Rae, jika identitasnya terbongkar.”
Aldric memang selalu bersaing dengan adik perempuannya itu. Tapi dibalik semua itu, rasa sayangnya sangat besar dan selalu saja ia sembunyikan dari Rae.
Rae yang menyukai tantangan tentu saja tidak akan menolak tugas dari Eduardo. Apapun itu, ia tidak akan menyerah sampai tugasnya selesai.
“Apa yang kamu katakan memang benar Al! Tapi semua ini tergantung keputasan adikmu. Jika ia setuju, maka ia harus siap dengan segala kemungkinan yang bisa saja terjadi. Meskipun nyawanya sendiri yang menjadi taruhannya.”
“Katakan! Apa yang harus aku lakukan, Pi?”
Eduardo tidak mengatakan apapun, ia hanya menyodorkan sebuah foto pria dewasa dan cukup menarik perhatian gadis itu. Dengan cepat jemari lentik Rae meraih selembar foto tersebut dan memperhatikan setiap detail dari foto tersebut.
“Habisi pria itu!”
Lagi, lagi dan lagi, Rae dibuat terkejut dengan kenyataan yang ia temukan malam ini. Bukan mengenai kemewahannya, namun karena jarak antara Mansion Gerardo dan kediaman di mana wanita itu berada tidaklah sejauh yang Rae bayangkan.“Jangan berusaha untuk mengecohku! Ini bukanlah tempat yang akan kau datangi bukan?” Rae menekan urat leher pria itu dengan senjata kecil. Sangat kecil, tapi dengan racun yang memastikan.“Ti-tidak! Ini adalah kediaman Nona dan aku memang diminta untuk membawamu ke tempat ini,” jelasnya. Tapi Rae tetap tidak percaya begitu saja.Diam-diam, pria itu meraih ponselnya dan berniat untuk mengabari Nona tetunya, namun Rae bukanlah wanita bodoh yang tidak mengerti mengenai trik murahan seperti ini.“Jadi kau ingin bermain-main denganku? Cepat hubungi dia dan loud speaker!”“Ba-baik …”Sikap pria di hadapannya ini sangat mencurigakan untuk sekelas penjahat. Ya, dia ter
“Gerard! Rae berlari mengejar sebuah mobil,” beritahu Dante.Tanpa berpikir Panjang, Gerardo bergegas keluar menggunakan mobil. Ia melaju dengan kecepatan tinggi dan setelah puluhan meter ia menemukan Rae yang sedang berjalan dengan langkah gontai.“Apa yang kau lakukan di sini, Nona Catalina? Apa kau sudah gila?” Gerardo berteriak, menghakimi Rae tanpa tahu apa yang membuatnya berlari begitu jauh seperti orang bodoh. Gerardo turun dan segera menopang tubuh Rae yang hampir saja jatuh.Rae dibawa ke dalam mobil dengan cepat, napasnya tersengal-sengal, ia lelah. “Kejar dia, Tuan Gerard! Dia orangnya. Wanita itu …”“Rae, tenangkan dirimu!” Gerardo menangkup wajah Rae, membuat istrinya itu sadar di mana mereka berada saat ini. “Tenang! Jangan terpancing,” bisiknya pelan.“Aku melihatnya! Di-dia adalah …”“Sstttt … Aku tahu dia adalah wanita itu.&rd
Dua hari telah berlalu, Rae terus saja mempersiapkan diri dengan segala senjatanya yang mematikan. Ia bahkan kembali melatih tubuhnya saat malam tiba dan terlelap saat menjelang pagi. Gerardo berusaha untuk membuat Rae istirahat, namun istrinya itu tidak pernah ingin diatur.“Jangan seperti ini, Nona Catalina! Kau bisa jatuh sakit,” Gerardo mencekal tangan Rae yang berniat ingin kembali memukul samsak, dan satu tangannya mencegah benda itu agar tidak mengayun pada tubuh Rae.“Cukup! Simpan tenagamu.” Gerardo kembali melunak. “Kita tidak tahu kapan, dari mana dan bagaimana mereka menyerang.”“Itulah alasan kenapa aku tetap seperti ini. Aku harus terjaga!”Gerardo mengerti apa yang Rae maksud, namun jika terus dibiarkan Rae bisa tumbang sebelum berperang.“Pergerakan mereka terhenti! Aku tidak tahu apa yang sedang terjadi, tapi ini begitu mencurigakan,” jelasnya kemudian.Rae terdiam,
Dua pekan kepergian Alex masih menyimpan banyak luka untuk Gerardo dan Kalia. Ada dendam yang belum terbalaskan dan ini begitu menyiksa.Kemana, di mana dan pada siapa mereka harus meluapkan semunya? Tidak ada jawaban pasti.“Jaga Mansion ini, aku mungkin kembali satu pekan lagi,” ujar Gerardo pagi ini.“Tidak! Aku tidak ingin memikul beban yang berat. Jaga sendiri Ibumu!” Rae berkata ketus. Bukan tidak ingin, namun Rae takut jika harus menjaga Kalia. Apapun bisa terjadi dan Rae tidak bisa menduga itu.“Kau tidak ingin menolongku, Nona Catalina?” suara Gerardo terdengar marah, ini bukan masalah besar untuk Rae.“Ya! Aku takut jika terjadi sesuatu dan aku harus kembali kehilangan. Aku tidak bisa!”Gerardo menarik napas dalam, apa yang Rae katakan begitu mengusiknya. Rae Catalina sudah terlalu sering merasa kehilangan dalam hidupnya dan sekarang ia menolak, hatinya takut untuk mengalami hal yang
Panggilan itu terputus, lebih tepatnya Alex yang mengakhiri perbincangan dengan Kalia. Posisinya sudah terlalu terjepit, artinya Alex tidak memiliki banyak waktu sekarang.“Maafkan aku, Kalia, tapi ini yang terbaik untuk menebus semua dosa-dosaku.”Alex menaikan kecepatan mobilnya dan melesat meninggalkan dua mobil yang terus berusaha untuk mencelakainya. Sampai di sebuah jalanan sepi, Alex menghentikan mobilnya. Pria tua itu berdiri di depan mobil dengan membawa senjata laras Panjang. Ia menantang mereka.‘Inilah waktunya. Selamat tinggal, Kalia.’“Kau masih punya nyali yang besar ternyata,” cibir anak buah Nona.“Aku tidak akan pernah takut! Karena ini sudah waktunya bagiku berhenti dan mati.”“Ahaha … Jika itu yang kau mau, aku akan mengabulkannya dengan senang hati pak tua.”“Tunggu! Tanyakan dulu apa keinginan terakhirnya?” ujar salah satu dari anak bu
Gerardo menuruni tangga dengan wajah yang sedikit gelisah. Apa yang Rae katakan mengenai situasi yang tiba-tiba saja berubah sepi. Banyak kemungkinan yang bisa terjadi, termasuk penyerangan lebih besar dan menggila. Namun pikiran itu buyar seketika saat ia mendengar suara yang tidak asing di telinganya.“Apa kabarmu, anakku?” Alex berdiri, ia menatap putranya dengan mata yang berembun.“Aku baik-baik saja,” jawab Gerardo saat mereka berhadapan.“Gerard …” suara Alex tiba-tiba saja tertahan, rasa kecewa pada dirinya sendiri tiba-tiba menyeruak dan membuat pria tua itu sesak. “Maafkan ayah, Gerard.”Untuk pertama kalinya Gerard melihat sikap Alex selemah ini. Pria itu yang sejak lama mengajarkannya untuk selalu bersikap kuat tanpa mengenal kata lelah dan menyerah. Namun hari ini, pria yang sama bahkan mengucapkan kata maaf itu dengan suara begitu pelan.“Kenapa?” tanya Gerardo. &ldquo
“Apa yang kau lakukan pada mereka?” Kalia berdiri dengan wajah penuh amarah. Sejak awal, ia mencurigai jika suaminya terlibat dengan kasus penyerangan yang terjadi pada Gerardo. “Aku sudah memintamu untuk berhenti dan menjauh dari wanita itu, tapi kenapa kau kembali?” Lanjutnya lagi. “Kau tidak akan mengerti!” sahutnya dengan melangkah pergi. Sebagai seorang ibu, Kalia tidak ingin terjadi sesuatu pada putranya, meskipun ia tahu jika Gerardo bisa melindungi dirinya sendiri. Tapi ini sudah keterlaluan, Kalia tidak bisa diam saat melihat suaminya melakukan hal yang bisa menyakiti Gerrado dan menimbulkan perang keluarga. “Tunggu, Alex!” “Apa lagi, Kalia? Apa kau ingin aku berhenti dan membiarkan hidup Gerardo hancur dengan terus bersama wanita itu?” Alex menunjukkan sikapnya saat itu. “Rae bisa saja menghabisi putra kita kapan saja. Apa kau menginginkan itu, Kalia?” “Hah … Apa yang kau ketahui tentang mereka, Alex? Apa kau tahu jika mereka sudah s
Satu pekan telah berlalu dan Rae tetap menyimpan pesan yang tertulis dari surat kaleng itu. Namun tidak dapat dipungkiri jika Rae merasa gelisah. Ini adalah pertama kalinya ia melabuhkan hatinya pada seorang pria dan rintangan sudah lebih dulu datang mengusiknya.Tidak ada penyerangan atau teror apa pun lagi, semua berjalan seperti biasa. Bahkan gerbang utama telah selesai di perbaiki. Gerardo semakin memperketat keamanan dan memastikan jika tidak akan terjadi seperti hari itu. Saat melihat Rae terluka, Gerardo merasa separuh napasnya direnggut secara paksa dan ia tidak ingin melihat hal itu terjadi lagi.“Apa yang kau pikirkan, Nona Catalina?” Rae terkejut saat tangan kekar itu memegang pundaknya.“Kenapa mereka bisa ada di paviliun? Apa mereka pernah menikah denganmu?” Pertanyaan ini adalah hal penting untuknya, meski Rae yakin jika Gerardo sama sekali tidak memikirkan itu.Sudut bibir Gerardo sedikit terangkat, tangan kekarnya m
Gerardo berdiri di ambang pintu, tangannya bergerak menekan saklar dan menyalakan lampu utama kamarnya.“Keluarlah dari kegelapan, Nona Catalina.”“Aku tidak tahu cara untuk keluar dari kegelapan! Dan apa aku pantas memasuki dunia baru yang begitu terang?” Rae menatap nyalang Gerardo. Dia, pria yang ingin Rae habisi saat ini menjadi alasan terbesar baginya untuk tetap bisa bertahan.Dengan bantuan tongkat, Gerardo bisa terlihat lebih normal, meskipun seharusnya ia istirahat agar penyembuhan lukanya lebih cepat. Namun itulah Gerardo, ia tidak akan tennag sebelum memastikan jika Rae baik-baik saja.Gerardo melempar tongkatnya, duduk di tepian ranjang, tepat di samping istrinya. Tanpa memita ijin atau berbasa-basi, Gerardo menyentuh pipi Rae dan menghapus air mata yang tersisa di wajahnya.“Buka dirimu. Buka hatimu dan berdamailah dengan keadaan.”“Aku tidak bisa! A-aku, aku ….”Meli