Ada banyak hal mengenai akhir dari hubunganku dengan Gani yang masih belum bisa aku ceritakan secara jelas kepada kedua teman baikku saat ini. Bukan karena aku tidak bisa mempercayai Salma dan Kartika, tapi kondisi pikiran dan hatiku sampai detik ini masih berantakan, sampai aku sendiri pun bingung harus menjelaskan kepada mereka dari mana, dan bagaimana aku bisa putus dengan mantan pacarku tersebut.
“Din?” Salma berusaha menyela diamku. “Jadi gimana lo sama Gani?” Dan dia mengulang pertanyaan yang sama untuk yang ketiga kalinya, karena aku belum memberikan jawaban selain ‘ya, gitu’.
“Gue bingung mesti cerita ke kalian dari mana…” Jawabku pelan sambil menatap ke arah langit-langit apartemenku.
“Gimana kalo lo coba ungkapin, apa aja yang sekarang lagi ada di pikiran sama hati lo?” Saran Kartika.
Aku terdiam dan merenung sejenak. Hal pertama yang saat ini bisa aku ungkapkan adalah pikiran dan hatiku yang sedang kacau, terlalu banyak, rancu, dan berdesakkan. Sampai aku sendiri pun bingung untuk memilih bagian mana yang harus aku ungkapkan terlebih dahulu.
Akan tetapi, aku tidak bisa hanya diam saja tanpa penjelasan secara terus-menerus. Salma dan Kartika sudah berusaha meluangkan pagi mereka untuk menemuiku, dan aku tidak ingin membuat usaha dan kehadiran mereka menjadi sia-sia.
“Jadi… gue udah resmi putus sama Gani…” Kataku setelah terdiam selama beberapa menit. Aku menyadari betapa tidak pentingnya pernyataanku barusan. Salma dan Kartika sebelumnya sudah aku kabari secara singkat melalui chat. Dan aku juga terpaksa harus membatalkan rencana kita bertiga untuk pergi bersama, karena aku butuh waktu untuk tenang dan memproses semuanya sendiri terlebih dahulu.
“Oke. Kita berdua udah tau hal itu. Trus, penyebab kalian bisa putus itu apa sebenernya?” Tanya Salma dengan tidak sabar.
Aku memandangi Salma dan Kartika secara bergantian. Entah mengapa, ketika mulutku hendak mengungkapkan penyebabnya, hatiku terasa begitu sesak dan bergetar. Bukan kata-kata yang akhirnya terucap, tetapi malah tangisku yang kemudian pecah.
Aku pikir, aku sudah bisa mengendalikan air mataku, setelah satu minggu aku menghabiskan waktu luangku hanya untuk menangis. Kenyataannya, hatiku masih terasa sakit. Sedihnya bahkan masih terasa sama persis ketika Gani mengucapkan kata putus untuk yang pertama dan yang terakhir kalinya.
Kartika langsung berpindah duduk di sisi kananku sambil menyerahkan tiga lembar tisu kepadaku. “Gue tau, ini pasti nggak mudah buat lo lalui…” Suara Kartika selembut tangan kirinya yang sedang mengelus punggungku ketika aku mengusap air mataku yang mengalir.
“Gue kangen sama Gani, Kar…” Kataku yang masih mengusap sisa tangisku.
“Lo berantem soal apaan sih sama Gani?” Salma berusaha menebak. Pertanyaan Salma tersebut membuatku teringat akan satu hal, bahwa aku dan Gani, bahkan hampir tidak pernah bertengkar. Kalaupun kita berdua punya masalah atau kesal terhadap satu sama lain, pertengkaran kita berdua tidak pernah sampai berlarut-larut atau berlebihan. Itu pun, paling maksimal adalah kita yang hanya saling beradu argumen, dan pasti langsung selesai.
Aku menggelengkan kepalaku secara pelan. “Kita nggak ada berantem sama sekali...”Aku kembali menatap ke arah langit-langit apartemenku. Pikiranku mengingat kembali pada kejadian beberapa hari yang lalu. “Jadi… gue tuh sempet ngebahas soal pernikahan ke Gani. Terus kita berdua ngobrolin tentang hubungan kita, masa depan kita, pokoknya banyak yang kita omongin... Dan sejak saat itu, gue jadi ngerasa Gani mulai jaga jarak aja sama gue...” Aku menghela nafas berat sekali. “Ya, gue sebagai pacar, bisa ngerasain kalo dia perlahan berubah. Gue ngerasa, dia tuh kayak lagi berusaha ngejauhin gue...” Aku kembali menatap Salma dan Kartika secara bergantian. “Terus, ya gitu... Puncaknya itu pas mendadak, Gani udah ngeberesin barang-barangnya tanpa sepengetahuan gue. Pas gue pulang dari kampus, dia ngajak gue bicara tentang banyak hal, yang intinya dia perlu waktu dan... dan akhirnya ya… dia yang minta putus…”
“Ini bukan karena Gani yang nggak mau tanggung jawab sama lo kan?” Salma terdengar sangat kesal, sambil menatapku ke arah perutku. “Lo nggak lagi hamil kan ya ini?” Kedua mata Salma berbolak-balik menatap ke arah wajah dan perutku secara bergantian.
Segala cara aku lakukan untukku bisa mengalihkan perhatianku dari perasaan gelisah yang sejak kemarin menghantuiku. Mendadak selera makanku hilang begitu saja. Aku mencoba untuk bekerja pun juga malah berakhir dengan melamun. Lagu-lagu yang aku dengarkan untuk membuat perasaan cemasku lebih tenang juga sama sekali tidak bekerja. Dinda masih belum pulang, dan belum memberiku kabar, dan rasanya waktu sedang berjalan dengan sangat lambat. + Gue tiduran di kamar aja apa ya? Kali aja gue bisa beneran ketiduran dan berhenti overthinking? + Mencoba untuk tidur adalah cara yang saat ini sedang aku coba untuk membunuh perasaan cemasku. Tubuhku berbaring lurus, kedua mataku terpejam, akan tetapi pikiranku masih saja terus berjalan. Aku lalu mengambil ponselku yang terletak di atas nakas. + Dinda kok lama? Lagi apa ya dia? Gue dengerin lagu lagi aja deh… Gue sambungin speaker aja… Biar kencengnya satu ruangan dan bisa ngalahin kencengnya pikiran gue… + Aku kembali memejamkan kedua m
“Sori ya, aku telat. Macet banget tadi.” Kata Gani yang terdengar seperti habis berlari. “It’s okay. Aku juga baru aja nyampe kok.” Kataku dengan intonasi suara yang santai. “Kita pesen dulu aja ya? Kamu mau makan apa?” “Kamu aja yang pesen, aku nggak usah.” “Yah, jangan kayak gitu dong… Masa aku makan sendiri sih?” “Aku buru-buru soalnya. Tapi kalo kamu mau makan, pesen aja nggak apa-apa.” “Ya udah, aku pesenin makanan sama cemilan buat kita ngobrol dulu ya? Kamu mau apa?” “Es Americano aja.” + Gue bales chat Deo nanti aja deh, kalo udah selesai… Biar gue fokus dulu ngobrolnya sama Gani… Toh, Deo udah gue kasih tau kalo gue udah di kafe… Gila, gue padahal nggak ngapa-ngapain dan Cuma mau nyelesaiin masalah gue sama Gani aja, tapi rasanya kok aneh ya? Berasa kayak gue jahat banget dan udah nyelingkuhin Deo secara halus… Tapi, nggak lah. Gue kan cuma mau ngobrol doang sama Gani. Bukan ngajakin dia balikan… Ini gue yang bayar apa Gani yang bayar ya? Dia sih bilangnya mau
Di saat Gagas, Desi, dan Fatima sedang sibuk membicarakan kemenangan kita di pengadilan tadi pagi, aku sibuk memikirkan Dinda yang malam ini akan bertemu dengan Gani. Sejujurnya aku merasa sangat gelisah sekali dan rasanya aku ingin mempercepat waktu supaya pikiranku bergerak menjadi lebih tenang. “Kevin di mana sih ini? Kok lama bener.” Tanya Fatima sambil mengamati jam tangannya. “Masih bimbingan dia.” Jawab Gagas. “Kita tunggu lima menit lagi aja. Kalo dia nggak dateng, kita pesen dulu berarti.” Kata Desi. “Pesen sekarang aja gimana? Buat makanannya lumayan lama soalnya. Sambil nunggu Kevin, sambil nunggu makanan dateng. Perut gue udah nggak kuat nih.” “Ya udah. Kevin gimana tapi?” Tanya Fatima. “Kita pesenin, atau dia nanti aja pesennya pas udah dateng?” “Pesenin aja. Kan kuahnya dipisah, jadi nggak akan medhok mienya.” “Gue nggak tau ya Kevin sukanya apa…” Kata Desi. “Dia mah apa aja suka. Pesenin komplit aja, kan kita juga belum pada makan dari tadi.” Kata Gagas. “Ya, u
Di rumah, aku lumayan heran dengan Dinda yang baru saja pulang kerja, dan langsung terlihat kebingungan mondar-mandir seperti sedang mencari sesuatu. “Kamu nyari apa sih, sayang?” Tanyaku sambil mengamati Dinda yang membuka beberapa laci di ruang tengah. “Ini…” + Ini? Ada apa ya ini? Dinda keliatan nggak kayak biasanya… + “Ini apa?” “Kamu jangan marah ya tapi?” Dinda menatapku dengan sorot mata yang khawatir. “Aku lagi nyari kalung pemberian. Tapi, aku lupa taruh di mana.” + Kalung? Oh, kalung dari Gani nih pasti… + “Kamu duduk dulu sebentar. Aku ambilin kalungnya.” Kataku yang kemudian bergegas menuju ruang kerjaku terlebih dahulu. + Dinda mendadak sadar kehilangan kalungnya, atau ada apa ya? Gue kirain dia udah lupa sama kalungnya… + “Ini bukan yang kamu cari?” Tanyaku sambil menunjukkan kalung yang pada saat itu tidak sengaja aku temukan. “Iya, ini…” Jawab Dinda sambil mengamati kalungnya yang berwarna rosegold itu. “Dari Gani kan itu?” “Iya… Kalungnya kok bisa
“Yo, besok jam sembilan pagi, lo bisa ngeluangin waktu buat hadir di persidangan nggak?” Tanya Kevin yang baru saja duduk di depanku. “Bisa.” Jawabku sambil tetap fokus dengan pekerjaanku sendiri karena aku sudah tidak terlalu kaget dengan berita ini. “Lo bawa surat panggilannya nggak?” “Bawa, nih. Gue memang mau tunjukin ke lo sekalian.” “Gagas sama yang lainnya udah tau?” Tanyaku sambil membuka amplop coklat dan mengeluarkan satu lembar kertas putih yang berisikan undangan untuk menghadiri pengadilan. “Udah. Ini Gagas lagi nemui Fatima sama Desi… Gue sampe tadi mampir ke pos polisi sebentar buat tanya ini logo suratnya asli atau nggak. Menurut lo asli kan ya ini, Yo? Bukan hoax.” “Iya, ini asli.” Jawabku dengan intonasi suara yang penuh keyakikan. “Lo udah siap buat besok?” “Ya, siap. Hadapi aja besok.” Jawab Kevin sambil mengeluarkan laptopnya. “Nanti gue mau nemuin Bu Dinda dulu. Besok gue pagi ada jadwal konsultasi, semoga dia nggak keberatan kalo gue minta jamnya dimunduri
“Halo, iya, kenapa, Sal?” Tanyaku yang baru saja bangun tidur dan ke luar dari kamar tidur karena aku tidak ingin menganggu Deo yang sedang tertidur nyenyak. “Dinda! Gue ada kabar baik buat lo!” Kata Salma dengan intonasi suara yang penuh dengan semangat. “Sal, ini masih setengah empat dan lo kenapa bisa sesemangat ini?” “Gue baru mau tidur ini. Dengerin gue baik-baik ya. Lo udah bangun kan?” “Udah… Apa buruan? Gue mau balik tidur lagi…” “Jadi, mahasiswa lo yang begajulan dan anarkis keroyokan itu, semuanya, udah berhasil ditangkep dan diamanin di dalem sel. Surat panggilan buat sidang juga udah selesai dibuat, jadi bilangin ke laki lo, dia sama temen-temennya harus siap. Karena hari ini dikirim, dan lusa kalian maju ke persidangan?” “Lusa? Kok bisa cepet banget sih, Sal? Ini gue nggak ngelindur kan ya ngomong sama lo?” “Nggak, Dinda. Ini beneran. Gue tadinya dapet jadwal buat kalian hari Jumat pagi. Tapi, mendadak gue dikabarin dan tanggalnya dipercepat. Gue sendiri juga sempe