Share

Hidup Dalam Kesendirian

***

Kedua jenazah Ayah dan ibuku segera dibawa ke rumah untuk dikebumikan dan disholatkan. Aku dan Kak Margaret ikut menaiki mobil jenazah yang membawakan kedua orang penting dalam hidupku, mereka berhenti tepat di depan rumah yang sudah terpasang bendera kuning.

Aku melihat dari dalam rumah, Kakek dan Nenek yang keluar dengan wajah terisak. Pertemuan keluarga yang semula dilaksanakan entah kenapa berakhir tragis dengan kematian salah satu anggota keluarga. Mereka memelukku, mencoba berbagi kesedihan bersama.

“Jangan bersedih, Rafa. Masih ada Kakek dan Nenek yang selalu bersamamu, juga dengan keluarga yang lain,” lirih Nenek dengan mata yang sembab dan napas yang tersengal.

Kedua petugas rumah sakit mengangkut satu persatu jenazah yang tersimpan di dalam peti mati kayu yang berbeda. Pertama, mereka mengangkat jenazah ayahku, dan begitu juga dengan Ibu. Mereka berdua kini berada di ruang tengah dengan keadaan yang selalu berdampingan.

Aku, hanya terdiam melihat beberapa orang berbela sungkawa padaku. Beberapa nasihat dari mereka aku ingat dan simpan, sisanya aku hanya terpikirkan bagaimana jadinya jika keramaian ini perlahan mulai menghilang dan aku harus ditinggal sendiri.

Kakek memimpin tahlilan untuk kedua orang tuaku, sedangkan aku langsung beranjak pergi masuk ke kamar dengan alasan mengganti pakaian. Padahal yang sebenarnya terjadi adalah aku hendak mengistirahatkan kepalaku dan berharap ketika aku membuka mata, semua yang terjadi hanyalah mimpi belaka.

Meski suara lantunan ayat suci semakin nyaring terdengar, entah kenapa pikiranku cukup kosong ketika kedua mataku terpejam. Lantunan ayat suci perlahan menghilang bersamaan dengan beban masalah yang semula seperti menumpuk di punggung.

Pintu kamar kukunci, jendela kututup rapat-rapat beserta tirainya. Hanya lampu redup yang menyala dan membuat ruangan itu cukup samar jika dilihat. Kak Margaret, ia sudah kembali ke rumahnya dan mungkin akan datang lagi bersama kedua orang tuanya. Dan Sara, aku tidak bisa berhenti berharap akan kedatangan teman masa kecilku tersebut.

***

Terasa sangat nyenyak sekali tidurku kali ini. Kubuka kedua mata ini dan melirik kearah jam dekker yang berada di atas meja. Waktu sudah menunjukan pukul setengah delapan malam, itu berarti aku sudah tertidur selama sepuluh jam.

Mataku jauh lebih bertenaga dibanding siang tadi, suara dari ruang tengah sudah tak kembali terdengar. Aku juga memeriksa, keadaan sudah cukup sepi, hanya ada beberapa keluarga jauh yang sedang duduk-duduk sambil menghitung uang takziah.

“Rafa? Apa kamu baik-baik saja?” tanya Bibi yang segera melepas uang yang ia pegang dan memelukku dengan hangat.

Aku mengangguk atas pertanyaan tersebut, setidaknya perasaanku jauh lebih baik dari sebelumnya. Aku masih merasa kehilangan dan belum bisa menerima kepergian mereka.

“Apa kamu sudah makan?” tanya Bibi, ia cukup ramah dengan kondisiku saat ini, biasanya ia sangat cuek padaku bahkan kami jarang bertegur sapa ketika kumpul keluarga besar.

Anak Bibi, mereka para saudaraku, mereka tidak datang kemari. Pasti mereka cukup sibuk dengan urusan mereka masing-masing, mengingat umur mereka ada yang sama denganku, bahkan lebih. Hanya para orang tua yang datang membantu dan menemaniku untuk beberapa hari ke depan.

Nenek, kulihat dia sedang berada di dapur, mempersiapkan makan malam yang tentunya spesial karena di antara semua orang di ruang itu. Hanya masakan buatan Nenek yang paling enak di lidah kami, ia memasak dengan tatapan datar, mungkin masih terpikir akan anaknya yang pergi cepat meninggalkannya.

“Dulu, aku pernah bertemu dengan temanmu yang di depan rumah. Kemana dia sekarang?” tanya Bibi.

Apa yang ia maksud adalah Sara, karena ia bertemu dengannya sudah lama sekali jadi ia mungkin tidak tahu kalau Sara sudah lama pergi ke Jakarta. Aku duduk dan meraih beberapa makanan ringan setidaknya untuk mengganjal perutku yang perih.

“Dia sudah di Jakarta, menjadi seorang artis besar,” ucapku.

“Artis?”

“Hmm. Ia berbakat dalam menyanyi, dan tak lama setelah mengikuti lomba, ia terpilih dan pergi ke Jakarta untuk audisi yang sebenarnya.”

Aku bercerita banyak, baik tentang sikap Sara atau tentang audisinya, mereka juga tampak sama penasarannya dengan para wartawan, banyak bertanya mengulik informasi seputar kehidupanku dengan Sara sebelumnya.

Tak lama, Nenek datang membawa panci besar berisi sup daging hangat, selain itu, ia juga sudah mempersiapkan masakan tumis dan beberapa sambal khas yang dijamin pedasnya.

Aku tidak bisa langsung mengambil nasi dan makan, terlebih dahulu aku mempersilakan para orang tua untuk makan, mungkin adab inilah yang diajarkan oleh kedua orang tuaku secara turun temurun.

“Apa kamu tidak makan, Rafa?” tanya Bibi yang sudah mengambil sup begitu juga dengan nasi.

Ponselku bergetar, entah kenapa momen itu sangat pas dengan pertanyaan Bibi. Aku beralasan ingin menjawab telepon dari teman terlebih dahulu sebelum makan. Ia hanya mengangguk pelan.

Kumelangkah keluar bersama tubuhku yang terbalut sweater hangat berwarna biru tua. Aku bisa melihat jalanan di kompleks itu cukup ramai mengingat hari ini adalah hari libur.

Sebenarnya getaran yang ada di ponsel tadi bukanlah sebuah panggilan telepon dari seseorang, itu hanyalah peringatan notifikasi untuk pembaharuan aplikasi di ponselku. Sungguh aneh.

Cukup lama aku berdiam diri di luar rumah hingga salah satu anggota keluarga memanggilku untuk masuk dan ikut makan. Aku hanya mengangguk, aku akan makan ketika mereka sudah makan semua.

“Sedang apa kamu di luar sini, Rafael?”

Sapa pelan dari arah samping kanan, seorang wanita yang turun dari atas motor maticnya seraya melepaskan helm berwarna putih dengan motif garis berwarna merah muda. Ia adalah Siska, tampak berjalan menghampiri dengan terus memerhatikan bendera kuning yang berkibar di depan rumah.

“Rafael, siapa yang meninggal?” tanya Siska, penasaran.

“Kedua orang tuaku.”

Siska terperangah kaget, wajahnya tidak bisa menyembunyikan kesedihan yang sama denganku. Ia memang seseorang yang perasa, bahkan ia mungkin bisa merasakan hal yang sedang kurasa saat ini.

“Kapan kejadiannya? Lalu bagaimana bisa?”

Sembari menghela napas, aku mengajak Siska untuk pergi berkeliling, sekedar berjalan-jalan di alun-alun kota atau pergi ke taman. Wanita itu tentu saja tidak akan menolak apa yang kuinginkan.

Aku berpamitan dan segera pergi berboncengan dengan Siska. Selama di perjalanan, aku menceritakan semua kejadian yang menimpa kedua orang tuaku, mulai dari pemberitaan di tv hingga jasadnya yang hampur hancur akibat kecelakaan fatal.

Siska hanya diam membisu, sembari memerhatikan jalan di depannya. Ia mengangguk di setiap penjelasan yang aku katakan. Malam itu, hanya dialah temanku yang pertama tahu tentang berita duka ini.

Kami berhenti tepat di depan alun-alun kota, sangat ramai oleh orang-orang yang berliburan dan melepas penat. Mungkin dari sekian ratus orang di tempat itu, akulah orang yang sedang berduka tepatnya.

“Duduklah, aku akan membelikanmu makanan,” titah Siska.

Aku mengangguk, aku duduk di atas lantai alun-alun yang terlapisi oleh rumput sintetis yang sangat nyaman dan menenangkan. Dari sudut mata memandang, banyak kuliah anak-anak yang bermain bersama kedua orang tua mereka. Hal itu sontak saja membangkitkan kenangan atas mereka ketika dulu berlibur bersama.

Tak lama, Siska datang membawa dua mangkuk makanan kesukaanku. Namun, mataku masih belum bisa beralih dari keceriaan anak-anak yang begitu mengasyikan.

“Kenangan akan menjadi sangat berharga ketika kita kehilangan seseorang,” ucap Siska.

Ia meletakan dua mangkuk itu tepat di depanku, aku balik melirik Siska yang tersenyum lembut seraya memerhatikan apa yang tadi kuperhatikan.

“Dan dari kenangan itu juga, kita bisa memilih apakah kita akan tetap melanjutkan kenangan yang ada atau menyerah.”

Siska menatapku dalam-dalam.

“Mereka tidak meninggalkanmu, Rafael. Mereka ada di sini, hidup bersama kenangan-kenanganmu yang dulu,” sambung Siska.

Aku mengangguk, ucapannya sangat dalam dan mengena di hatiku. Namun, tetap saja apa yang kulihat itu cukup menyayat hati jika dibandingkan dengan kenangan bersama mereka.

“Peluklah aku, Rafael.”

“Apa?” tanyaku kaget.

“Peluklah aku, maka kamu akan merasa baikan.”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status