MasukElyssa tak pernah menyangka bahwa setelah setahun menjalani pernikahan yang hampa, kini ia justru terperangkap dalam kehangatan Sean, sahabat suaminya sendiri! "Jangan memikirkan suamimu saat sedang dalam pelukanku, Elyssa."
Lihat lebih banyak“Mas, kamu semalam pulang jam berapa? Aku nungguin sampai jam sebelas, tapi kamu belum pulang.”
Semalam, Elyssa memang menunggu kepulangan Albert, hingga ia ketiduran di sofa. Saat terbangun, ia masih berada di tempat yang sama, sedangkan Albert sudah terlelap di ranjang.
Hati Elyssa terasa perih. Ia teringat saat dulu, di mana Albert akan menggendongnya ke kamar, memindahkannya dengan hati-hati agar tidak terbangun. Tapi semalam, ia diabaikan, dibiarkan sendirian di sofa yang dingin.
"Harusnya kamu bangunin aku, Mas. Gak enak tau tidur di sofa. Badan aku jadi pegel," keluh Elyssa dengan suara manjanya, berharap Albert akan memperhatikannya.
Namun, Albert tidak merespon. Ia terus mengunyah makanannya, berpura-pura tidak mendengar.
"Mas?" panggil Elyssa lagi, suaranya terdengar ragu.
Albert menyahut, tapi dengan topik yang berbeda. “Nanti sore dandan yang cantik! Pakai baju yang paling bagus!”
Elyssa diam sejenak. Lalu ia spontan mengukir senyum. Ia berpikir kalau Albert akan mengajaknya makan malam, menggantikan hari kemarin untuk merayakan ulang tahun pernikahan mereka. Setelah semalam Albert pulang larut karena lembur.
Tak apa kue dengan lilin-lilin kecil yang telah Elyssa siapkan semalam tidak dilirik oleh Albert jika gantinya adalah makan malam berdua di luar.
“Iya, Mas. Aku akan dandan yang cantik,” sahutnya. Senyumnya merekah, dengan mata penuh binar.
Dan sore itu, Elyssa sudah tampil memukau dalam balutan gaun malam. Potongan gaun yang elegan menampilkan lekuk tubuhnya dengan anggun, sementara aroma parfum musk yang memikat menyebar di udara. Ia begitu bahagia.
Setelah sekian lama, akhirnya Albert meluangkan waktu untuknya, dan Elyssa tak ingin menyia-nyiakan kesempatan ini.
Tepat pukul lima sore, suara mobil Albert terdengar. Elyssa bahkan sudah menunggu di depan pintu, bersiap menyambut sang suami.
“Akhirnya kamu pulang, Mas.”
Sejak Albert naik jabatan menjadi Direktur Keuangan di kantornya, sikap lelaki itu memang terasa berubah. Albert semakin sibuk, jarang memberikannya waktu, dan bersikap dingin.
Awalnya Elyssa memaklumi. Ia berpikir mungkin perubahan sikap suaminya itu pengaruh terlalu lelah bekerja. Tapi genap setahun, Albert masih saja bersikap dingin dan seperti menghindarinya. Hal ini membuat Elyssa makin tersiksa oleh rasa sepi.
Namun, hingga kini Elyssa masih terus mencoba memahami. Mungkin ini hanya fase sementara untuk menguji pernikahan mereka.
Ketika sore tiba, Elyssa sudah tampil memukau dalam balutan gaun malam. Potongan gaun yang elegan menampilkan lekuk tubuhnya dengan anggun, sementara aroma parfum musk yang memikat menyebar di udara. Ia begitu bahagia. Setelah sekian lama, akhirnya Albert meluangkan waktu untuknya, dan Elyssa tak ingin menyia-nyiakan kesempatan ini.
Tepat pukul lima sore, suara mobil Albert terdengar. Elyssa bahkan sudah menunggu di depan pintu, bersiap menyambut sang suami.
“Akhirnya kamu pulang, Mas.”
Saat itu juga, Elyssa langsung mematung. Albert ternyata tidak sendirian. Seorang pria ikut bersamanya dengan sebuah koper.
Pria itu menatap Elyssa cukup lama dengan senyum di bibirnya. Senyum yang terasa hangat, berbeda dengan senyum Albert yang terkesan kaku.
“Ayo, silakan masuk!” seru Albert.
Elyssa lalu menarik Albert ke sisi lain, meninggalkan tamu yang masih melihat sekeliling rumah mereka.
“Mas, dia siapa?” bisiknya.
“Dia Sean, temanku waktu kuliah. Dia ini lagi nyari tempat tinggal sementara, jadi aku membawanya ke sini,” jelas Albert.
Elyssa mengernyit, heran. “Maksudmu, dia akan menumpang di sini?”
“Iya. Dia baru pindah ke kota ini karena kerjaan. Dan belum dapat tempat tinggal, makanya aku nawarin dia untuk nginap sementara di sini.”
Elyssa terlihat tidak suka. Ia merasa tidak nyaman jika ada orang asing tinggal bersamanya di rumah. “Harusnya kamu ngomong dulu sama aku, Mas.”
"Gak semuanya harus aku ngomongin sama kamu, Elyssa! Pendapatmu itu gak penting!”
Ucapan Albert terasa seperti pukulan, langsung menusuk hati Elyssa. Ia mematung saat melihat suaminya berbalik dan kembali berbincang dengan temannya.
Albert lalu membawa Sean ke kamar tamu. “Buat dirimu nyaman. Anggap saja rumah sendiri.”
“Terima kasih. Aku tidak akan melupakan kebaikanmu ini. Pasti kubalas suatu hari nanti.”
“Haha. Jangan terlalu sungkan begini! Kau itu temanku!”
Elyssa terus berdiri di samping Albert, mencoba terlibat dalam percakapan mereka, tapi usahanya sia-sia.
Saat Albert dan Sean larut dalam obrolan mereka, perhatian Sean justru diam-diam beralih pada Elyssa. Penampilan wanita itu sungguh memukau, membuat Sean tak bisa menahan diri untuk meliriknya. Ia tersenyum, bukan karena cerita Albert, melainkan karena pemandangan yang ada di depannya: seorang istri yang tampak diabaikan, namun begitu mempesona.
“Oh ya, kamu istirahat aja dulu. Nanti kupanggil lagi kalau makan malam udah siap,” ujar Albert menyudahi percakapan.
Albert langsung menyuruh Elyssa segera menyiapkan makan malam.
Elyssa tak bisa menyembunyikan kekecewaannya. Harapannya untuk makan malam romantis dengan Albert hancur berantakan.
"Kenapa kamu nyuruh aku dandan kalau cuman buat nyambut temenmu?” tanya Elyssa dengan nada suara yang menahan kekecewaan. "Aku pikir kamu mau ngajak aku makan di luar, Mas.”
“Biar temanku tau kalau aku punya istri yang cantik! Oh ya, nanti masaknya yang enak! Jangan malu-maluin aku di depan dia!”
Elyssa hanya menghela napas. Lagi-lagi, Albert hanya ingin pamer.
“Iya, Mas. Tapi aku ganti baju dulu.”
Saat hendak berganti pakaian, Albert melarangnya. “Kamu mau masak pakai daster atau piyama lusuhmu itu? Jangan bodoh, Elyssa! Jangan buat aku malu! Istri seorang direktur keuangan harus selalu rapi dan cantik, terutama saat ada tamu!"
“Tapi kalau pakai gaun ini ribet, Mas.”
Elyssa tetap kekeh berganti pakaian dengan blouse yang tertutup dan celana kain panjang.
“Jangan buang waktu! Sebentar lagi jam makan malam!” tegur Albert, mulai kesal.
Elyssa hanya mengangguk pelan. Riasannya bahkan masih sempurna, tapi ia harus bertempur dengan bahan makanan di dapur.
Satu jam kemudian, Elyssa akhirnya selesai memasak. Ia kembali menemui suaminya di kamar untuk memanggilnya makan.
“Panggilkan Sean juga!”
Elyssa mengomel dalam hati. Tapi ia sudah tak berani membantah. Ia pun berjalan menuju kamar tamu dan mengetuk pintu.
Tak lama, pintu terbuka.
Elyssa sontak mematung. Di hadapannya, Sean berdiri hanya dengan handuk yang melilit pinggangnya. Rambutnya basah, dadanya yang atletis terekspos jelas, dan bulir air masih membasahi kulitnya, membuatnya terlihat seksi dan maskulin.
Pemandangan itu membuat Elyssa merasa canggung dan panas. Seketika darahnya berdesir cepat. Bibirnya dengan kaku berkata, “M-maaf. Aku gak tau kamu baru kelar mandi.”
Elyssa makin salah tingkah karena Sean terus menatapnya tanpa berkedip. Tanpa aba-aba pria itu mengulurkan tangannya, mengusap pipi Elyssa dengan ibu jarinya.
Tepat pukul dua dini hari, Albert terbangun dari tidur panjangnya setelah diberikan obat bius. Seluruh tubuhnya terasa sakit dan kaku, terutama luka di punggungnya yang kini berdenyut kuat. Kepalanya terasa berat dan pusing, namun ia tetap memaksakan membuka matanya perlahan.Hal pertama yang ia lihat adalah langit-langit rendah yang penuh sarang laba-laba dan pipa-pipa berkarat. Ia menyadari dirinya berada di ruangan asing yang kumuh, gelap, dan tampak seperti gudang yang ditinggalkan.Dan saat ini, ia sedang terbaring di atas kasur lipat yang tipis dan keras.Albert seketika panik. Jantungnya bergemuruh hebat, keringat dingin membasahi pelipisnya.“S-Sean...” desisnya pelan, ia langsung mengira dirinya diculik oleh anak buah pria itu.Namun, tak lama kemudian, terdengar langkah kaki anggun dan ritmis dari balik tirai tipis yang menutupi pintu masuk. Albert sontak menoleh ke sumber suara.Pintu yang hanya tertutup tirai itu pun terbuka. Terlihat siluet seorang wanita yang sangat famil
Charlie mempertimbangkan tawaran Sean dengan raut wajah penuh pertimbangan. Kepalanya tertunduk sejenak, mengambil keputusan yang terasa berat. Ia tidak bisa lagi mempertaruhkan keselamatan putrinya pada orang yang baru ia kenal."Ayolah, Pa," bujuk Elyssa lagi, tatapannya memohon.Charlie mendongak, menatap Sean. "Maaf, Nak Sean. Untuk kali ini, biarkan kami sebagai orang tua Elyssa yang bertanggung jawab penuh. Kami tidak ingin merepotkanmu lagi," jawab Charlie, suaranya mengandung nada final yang tidak bisa dibantah.Charlie segera menyuruh Elyssa masuk ke kursi penumpang. “Cepat naik, Ely. Kita tidak punya banyak waktu.”Mau tak mau, suka tak suka, Elyssa pun terpaksa masuk ke dalam mobil.Mobil Charlie pun bergegas keluar dari gerbang utama, meninggalkan halaman mansion Sean yang megah.Elyssa terus berbalik, menatap Sean dari kaca belakang mobil. Matanya sendu dan terlihat genangan air di sana, namun ia berusaha menahan tangisnya sekuat mungkin.“Sean….” Batinnya melirih.Marina
"Kami datang kemari karena Albert kabur, Nak Sean. Begitu mendengar dia lepas, kami langsung panik. Kami harus memastikan Elyssa baik-baik saja.”"Aku mengerti, Pa. Justru itu aku ingin kasih tau ke Papa dan Mama bahwa kami akan terbang ke London malam ini juga,” jelas Sean, suaranya mantap penuh kepastian.Raut wajah Charlie yang semula lega, tiba-tiba menegang. “Malam ini?”Sean mengangguk. “Iya. Aku tidak bisa menunda lagi. Aku akan membawa Elyssa ke tempat yang aman. Dia akan menghilang dari sorotan selama beberapa bulan dan akan kembali lagi ke sini saat semuanya sudah mereda.”Di dalam hati Charlie dan Marina, keraguan itu kembali muncul. Mereka baru saja berdiskusi, mereka tidak boleh lagi salah menilai orang. Siapa Sean sebenarnya, dan mengapa ia begitu terburu-buru membawa putri mereka ke luar negeri tepat setelah Albert kabur?"Tunggu dulu, Nak Sean," potong Charlie cepat, tatapannya kini berubah waspada. "Papa tidak setuju dengan idemu ini."Sean dan Elyssa saling bertatapa
Elyssa sontak terkejut, matanya melebar. Ia sekilas melirik ke jam dinding, waktu menunjukkan pukul sebelas malam.“London? Kenapa tiba-tiba banget, Mas? Kenapa kita harus keluar negeri?” tanyanya bingung.“Kamu juga sudah mendengar kabar kalau Albert kabur dan belum ditemukan sampai detik ini. Aku harus memastikan kamu aman dan tenang. Di Indonesia, koneksinya tak terbatas, tapi di London, Albert tidak punya kekuasaan apa-apa,” jelas Sean, menatap mata Elyssa serius. “Keselamatanmu dan ketenanganmu lebih penting dari segalanya, Sayang.”“T-tapi, bukannya kamu juga punya kekuatan besar di Indonesia, Mas? Bukannya aku akan aman-aman aja selama gak keluar dari mansion ini?” tanya Elyssa.Sean menggenggam tangan Elyssa. “Iya benar, Sayang. Aku bisa saja menjamin keselamatanmu di sini. Tapi, aku sudah terlanjur berjanji kepada Papamu. Aku harus membawamu jauh dari media dan segala ancaman, termasuk Albert.”Elyssa menggeleng keras, menarik tangannya dari Sean. “Gak mau, Mas. Aku gak mau p
"Tapi dia berhasil kabur dari polisi, Pa! Polisi! Itu berarti dia punya koneksi yang sangat kuat. Dia bisa saja menyewa orang untuk mengawasi kita di mana pun! Aku takut, Pa! Aku takut dia akan menemukan Elyssa dan menyakitinya lagi!" Marina menutup wajahnya, isak tangisnya tertahan di tenggorokan.Charlie segera menghampiri Marina dan duduk di sampingnya, memeluk bahu istrinya erat-erat dan menariknya ke dalam dekapan yang menenangkan."Dengar, Ma. Albert memang licik dan berbahaya. Tapi kita punya Sean sekarang, Ma. Sean tidak seperti polisi yang lengah itu. Sean sudah berjanji, dia akan melindungi Elyssa di tempat teraman yang tidak akan pernah Albert temukan."Marina mendongak, matanya mencari kepastian di mata Charlie. "Apa kita harus mendesak Sean untuk berangkat sekarang juga, Pa? Jangan ditunda lagi. Aku ingin Elyssa keluar dari kota ini, secepatnya."Charlie mengangguk cepat. "Tentu, Ma. Papa sudah bicara dengan Sean. Mereka akan berangkat secepatnya. Sekarang, tugas kita han
Di belahan kota lain, di ruang interogasi yang dingin, Howard masih duduk membisu. Ia menanti kedatangan pengacaranya.Detektif Heru sudah meninggalkan ruangan dari beberapa jam yang lalu, dan hanya ada seorang petugas jaga di balik cermin satu arah yang mengawasinya.Howard tampak sangat tenang. Keheningan dan isolasi seolah sudah menjadi teman lamanya. Ia yakin, dalam waktu satu jam, pengacaranya akan tiba membawa perintah penangguhan penahanan atas dirinya.Namun, ketenangan itu tiba-tiba terkoyak oleh keramaian yang mendadak meledak di luar. Suara langkah kaki bergegas, bentakan keras yang tidak jelas, dan bunyi telepon yang diangkat cepat.Howard, yang tadi bersikap datar, langsung menoleh ke arah pintu. Alisnya sedikit terangkat, menunjukkan rasa penasaran yang jarang ia perlihatkan.Tak lama kemudian, pintu ruangan interogasi Howard terbuka dengan gebrakan keras. Detektif Heru masuk kembali, wajahnya merah padam karena marah dan frustrasi."Pak Howard!" Detektif Heru membanting












Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen