Bel pulang sekolah terdengar nyaring. Siska secara tak terduga sudah menunggu di depan ruang kelasku, ia sudah mengenakan sweater panjang berwarna merah muda yang sangat cocok dengan sifatnya yang anggun. Ia segera bangkit ketika aku berdiri tepat di hadapannya.
“Apa tidak ada yang ketinggalan?”
Aku mengangguk.
Pundak kananku dipukul pelan, tampak Riko datang sembari mengedipkan sebelah matanya kepadaku, tanda jika ia menunggu jawaban dari hasil pertemuan dengan Siska sepulang sekolah ini.
“Kalau begitu ayo kita pergi.”
“Kemana?”
“Kemana saja, biar aku nanti yang antar kamu pulang,” ucap Siska, aku mendapatkan jaminan kalau dia akan mengantarkanku pulang. Berkatnya, aku bisa menghemat beberapa uang saku yang biasa kugunakan untuk ongkos pulang pergi.
Kami berjalan berdampingan, ia merangkulkan tangannya di lenganku dengan mesra, seolah-olah menunjukan jika aku memang sudah menjadi milik Siska.
Koridor yang kami lewati t
Malam itu, setelah beradu batin dengan Siska. Ia dengan senang hati mengantarkanku pulang, tak ada raut kesedihan atau kekecewaan dari wajahnya. Yang ada adalah Siska menyemangatiku agar impian cinta yang kuinginkan bisa tercapai, sungguh gadis yang kuat. “Apa dia sedang ada di rumah?” tanya Siska, ia melirik sinis ke rumah besar bak istana di depan rumahku, rumah Sara. “Entahlah, jika dia memang ada di rumah, sudah sewajarnya para wartawan mengerubungi rumah ini sedari tadi, kan?” “Benar juga apa yang kamu bilang.” Sama sekali tidak ada wartawan, rumah besar itu juga cukup redup dan sepi dari orang-orang. Aku berpikir, mungkin saja Sara mengajak keluarganya untuk bertemu sekalian berlibur di suatu tempat, hal itu bisa masuk akal bagiku. “Kalau begitu aku izin pamit. Apa kamu tidak keberatan?” tanya Siska. Aku menggeleng kepala, aku tidak bisa memaksanya menetap di sini lebih lama lagi. Jika itu kulakukan, aku khawatir keluarganya past
*** Selepas kelulusan, semua teman satu kelasku memilih jalan mereka masing-masing. Ada yang memutuskan bekerja di perusahaan ayahnya, ada juga yang memutuskan berkuliah. Contohnya aku. Dengan menggunakan kemampuan dan beasiswa pendidikan yang kudapatkan. Aku bisa dengan mudah masuk ke perguruan tinggi negeri favoritku, dan bergabung dengan jurusan kedokteran seperti keinginanku, entah kenapa semuanya terasa mudah bagiku. Pada saat itu juga, Siska memberitahuku kalau dia juga akan melanjutkan pendidikan di Perguruan Tinggi terkenal di Malang. Dari teman-teman yang kukenal, dialah yang paling “gigih” untuk ikut SBMPTN –Test masuk perguruan tinggi negeri– dibandingkan yang lain. Aku cukup bersyukur, ia berhasil mendapatkan keinginannya meski harus menunggu selama dua tahun. Hari pertama setelah beberapa bulan dari acara kelulusan, seperti biasa, aku dikejutkan oleh sapaan hangat dari Kak Margaret yang mendatangiku di pagi buta. Ia membawa makana
*** “Sudah kubilang, jika kamu berangkat dari stasiun, kamu akan sampai dengan tepat waktu.” “Tidak! Terminal bus lebih baik, lebih murah dan efisien.” Kedua pria kini tengah berunding di depanku, aku mengajak keduanya masuk setelah bertemu dan kebetulan mereka adalah tetangga kontrakanku. Belum satu hari aku menetap di tempat ini, aku sudah menemukan teman baru. “Baiklah, aku akan mencoba keduanya nanti,” ucapku, menyudahi perdebatan tiada akhir di antara mereka. Keadaan mereka sama sepertiku, baru masuk ke dunia perkuliahan tahun ini. Namun, karena mereka sudah mengenyam kehidupan di Jakarta sejak SMA, jadi mereka tidak kesulitan untuk beradaptasi dengan kehidupan kampus. Aku masih memikirkan, apa pendapat orang-orang di kampusku nanti ketika mengetahui aku rantauan dari Bandung. Terbesit di benak pikiran, bagaimana keadaan Sara? Jarak antara aku dengannya tidak terlalu jauh kini, aku bisa bertemu dengannya suatu hari nanti.
*** Perlu beberapa minggu agar aku bisa beradaptasi sepenuhnya dengan lingkungan baru ini, tentang lingkaran pertemanan yang baru, dan tentang tempat tinggal yang baru. Hingga pada akhirnya aku tidak merasa terasingkan oleh lingkungan di sekelilingku. Aku sudah mengenal beberapa orang yang sering mampir ke kontrakanku, dialah Dimas dan Julius. Mereka berdua yang selalu datang kemari untuk sekedar mengobrol atau jika mereka ada tugas, mereka datang meminta bantuanku. “Aku cukup kesulitan untuk menyeimbangkan pemasukan dengan pengeluaran, apa kamu bisa melakukannya, Dimas?” tanya Julius, pria itu menunjuk satu soal yang ada di laptopnya kepada Dimas yang satu fakultas dengannya. “Oh persoalan itu, aku sudah menyelesaikannya,” balas Dimas, dengan kepala terangkat dan menatap Julius angkuh. “Izinkan aku melihatnya.” “Biar aku ajarkan saja padamu, jika kamu hanya modal lihat saja, kamu tidak akan pernah bisa menyelesaikan soal ini,” ucap Di
*** Tak kusangka, kehidupan perkuliahanku berjalan lancar seperti sekolah biasa pada umumnya. Datang, belajar, dan bersosialisasi. Hampir tidak ada kesulitan ketika aku menjalani kegiatan di kampus. Mungkin ada satu atau dua hal yang menggangguku, salah satunya adalah tentang Uang praktik dan laboratorium. Temanku di kelas rata-rata mereka berasal dari keluarga yang mampu dan berada, permasalahan seperti keuangan ini pasti mudah baginya. Aku dan Rotte, yang notabene orang rantauan mau tidak mau harus putar otak untuk mengakali masalah tersebut. Beberapa teman di kontrakanku mengusulkan kepadaku untuk melakukan peminjaman uang dengan cicilan bunga rendah. “Apa itu aman?” tanyaku, tentu ini menjadi hal pertama dalam hidupku, melakukan peminjaman uang untuk pertama kalinya tanpa sepengetahuan kedua orang tuaku atau Kakek dan Nenek. “Tentu saja, biasanya kita akan menandatangi berkas seperti kontrak, kau tahu? Lalu kontrak itu bisa kita gunakan se
Malam itu, angin berhembus sangat kencang di sekitar rumahku. Aku memandang lewat jendela kamar yang terbuka, seorang gadis tengah duduk di atas balkon rumah besar di depan rumahku yang hanya terhalang jalan raya. Ia duduk dengan mengenakan mantel tebal dan tengah memeluk sebuah boneka yang hampir seukuran tubuh mungilnya tersebut.Nama gadis itu Sara, Putri kedua dari orang tua seorang politikus terkenal di Bandung. Tak heran, berkat kekayaan kedua orang tuanya Sara bisa hidup nyaman dan berkecukupan.Aku hampir tidak pernah melihat raut ekspresi kesedihan dari wajah Sara, itulah yang entah kenapa sangat aku sukai, senyumnya, aku bicara soal senyumnya.Lalu aku sendiri? Namaku Rafael, aku hanya anak laki-laki biasa yang tumbuh di keluarga yang sederhana, Ayah seorang guru dan Ibu seorang pedagang. Kesederhanaan ini juga yang membuat aku tersadar, takdir dan alur hidup orang-orang ternyata berbeda.Tak jauh perbandingan tersebut, melihat kehidupan aku dengan
***Lima tahun berlalu.Aku dan Sara masih dekat, seperti tidak ada yang berubah. Kami masih sering bertemu, meskipun aku sudah cukup jarang bermain di rumahnya. Ia lebih sering mengajakku main keluar, baik ke taman bermain atau timezone.“Apa kamu tahu kalau aku ikut lomba menyanyi?” tanya Sara, ia berjalan di dekatku sambil memakan eskrim di dalam cup.“Aku mengetahuinya dari Kak Margaret,” balasku datar.Informasi mengenai lomba menyanyi yang diikuti Sara memang sangat mengejutkan, pasalnya sejak kecil Sara tidak pernah tertarik dengan perlombaan menyanyi, ia hanya ingin menyanyi untuk menghibur dan membuat orang disekitarnya senang.“Benarkah? Lalu bagaimana pendapatmu?” tanya Sara.Dia terlihat lebih cantik dengan senyuman itu, aku ingin mempertahankan senyuman itu lebih lama lagi.“Bagus, itu bisa menjadi kesempatanmu untuk menunjukan kalau kamu yang terbaik,” balasku.Aku bersikap sebagai supporter bagi Sara, apa
***Aku masih teringat dengan perpisahaan waktu itu, ketika Sara pergi ke Jakarta untuk meniti karir, teman semasa kecilku yang pergi dengan raut sayu. Aku penasaran, bagaimana keadaannya di Jakarta sana? Apa dia sudah dapat pekerjaan artis yang sedari dulu ia inginkan?“Rafael,” sapa seorang wanita.Wanita itu menepuk pelan bahuku membuat kepalaku langsung berbalik membalas sapaannya. Wanita itu tak lain adalah Siska, siswi jurusan IPA kelas 2 yang kukenal. Ia teman semasa SMP-ku yang kebetulan masuk SMA ini bersama.“Ada apa?” tanyaku datar.“Apa kamu sedang sibuk?”Seorang siswa laki-laki yang tengah berdiri dengan bertumpu pada tiang lorong, memandangi lapangan di bawah yang penuh dengan siswa yang sedang berolahraga. Tentu saja, aku tidak sibuk sama sekali, terkecuali jika aku pengamat sepakbola, itu beda cerita.Aku menggelengkan kepala dan ia kembali melanjutkan bicara, “Aku ingin memin