"Kami akan segera bercerai," ujar Ivana, dengan tangan kanan yang terus memainkan sedotan es teh.
"Kamu ngomong apa sih, nikah juga baru lima bulan sudah bahas cerai aja? Kayak selebartis deh!"Naya, perempuan cantik berambut lurus bagus, sebahu itu, tiba tiba mendelik, menunjukkan wajah tak suka dengan apa yang baru saja sahabatnya katakan."Aku serius, seharusnya selama kami bersama, kami tidak usah memakai perasaan, agar tidak ada kewajiban layaknya suami istri," lanjut Ivana, matanya menatap Naya."Jadi ... kamu terima apa saja yang kakakku katakan? Bantahlah sekali sekali, Va!" sungut Naya, sambil membalas tatapan Ivana dengan kecewa.."Ah ... Aku lupa kalau kamu pasti nggak bakalan mau ngebantah suami, pamali ya, kan?!"Naya menjawab sendiri pertanyaannya tadi. Pandanganya dia alihkan ke tempat lain, petanda dia tak suka pilihan Ivana.Ivana menanggapi Naya dengan senyuman, apa yang dilakukan perempuan yang duduk di hadapannya ini bukanlah yang pertama kali."Kamu inginkan aku bersikap apa, Naya? Aku tak mungkin ngebantah kakakmu, walau sebenarnya yang beneran jadi korban itu adalah aku, bukan dia," kata Ivana, sambil memandang Naya, dengan senyum yang terlihat pasrah."Kamu ingat bukan tentang tantanganku untuk bercerai saat masih baru seminggu menjadi istri kakakmu? Tapi secara diam-diam, agar tak ada yang tahu, tapi kakakmu menolak."Ivana melirik Naya, yang terdiam sambil mengaduk pelan gelas berisi es teh di depannya.Saat ini mereka sedang duduk berdua di taman dekat kantin kampus yang agak sepi, karena masih jam kuliah, membuat dua perempuan yang punya kecantikan di atas rata-rata itu lebih leluasa berbicara dari hati ke hati."Aku yang harusnya minta maaf, bagaimana pun juga sedihmu hari ini karena aku yang meminta kamu untuk menerima permintaan Ayah, agar mau menikah dengan Mas Faris," ucap Naya pelan.Ivana terdiam, melirik ke arah Naya yang menunjukkan wajah sedih walau pun dalam posisi setengah menunduk."Tapi kamu nggak punya perasaan ke kakakku kan, Va?"Pelan nada suara Naya bertanya, takut Ivana tersinggung."Sebenarnya saat mas Faris mengatakan keputusannya untuk bercerai, aku juga ingin memberitahukannya tentang—.""Hai ... Naya, Iva," potong seorang pria yang menghampiri Naya dan Iva."Hai ...," jawab Naya dan Ivana hampir bersamaan, dan menoleh ke arah sosok yang baru saja datang."Dimas mana, Zal? Tumben banget sendirian, biasanya nih, di mana ada Dimas berada, pasti ada Rizal yang nempel," tanya Ivana yang heran melihat kedatangan Rizal sendirian."Kamu ja_hat deh, Va. Masa pacarku dirasukin jin Rizal," sungut Naya, walau tatapan matanya ke arah Rizal yang hanya tersenyum."Maap, rupanya ada yang tersinggung," seru Ivana, yang tersenyum dengan ke dua tangan tertangkup di dada."Makanya jangan mengusikku, karena bakalan ada pengawal yang akan membelaku."Mendengar apa yang di katakan Rizal, Naya dan Ivana seketika memberikannya cibiran dengan tatapan malas pada lelaki yang memilih duduk di samping Ivana."Kalian pada bahas apa sih?" tanya Dimas yang datang sambil membawa beberapa bungkusan roti dan kaleng minuman. Lelaki tampan dengan rahang kokoh itu pun langsung duduk di kursi kosong sebelah Naya.Ivana memandangi wajah Dimas dan Naya, bergantian. Keduanya memang memiliki hubungan kasih yang lumayan lama, mereka sama-sama kaya, dan sepadan cantik tampan, dan saling mencintai."Va ... Kamu nggak iri ya dengan hubungan Naya dan Dimas? Kalau aku sih iri.""Maksud kamu apa sih, Zal? Kenapa tiba tiba nanya seperti itu?" jawab Ivana pada Rizal dengan menunjukkan wajah tak mengerti."Kamu mau nggak jadi pacar aku?!" Dengan tangan memegang roti, Rizal tiba tiba berdiri, lalu berlutut di depan Ivana."Terima kasih Rizal, tapi sayang banget, aku nggak mau jadi pacar kamu, aku maunya pacaran setelah halalan."Dengan wajah yang di buat sedih, Ivana menolak Rizal.Naya dan Dimas hanya tersenyum saja melihat tingkah ke dua sahabatnya sambil menikmati apa yang tadi Dimas bawa."Kalo gitu, kamu mau nikah dengan aku, please," harap Rizal dengan semangat juang."Masih kuliah ngajak nikah, mau di kasih makan apa aku ini?" cibir Ivana dengan wajah lucu."Ok ... selama aku masih ngurus STR, ijinkan aku memperlakukanmu layaknya belahan jiwaku, mau 'kan?" pepet Rizal tetap tak mau kalah."Eh ... Zal,, kamu beneran seriusan ngomongnya ini?" tanya Naya yang mulai penasaran melihat betapa ngototnya Rizal."Yaelah Nay, mana ada Rizal serius, ini becanda aja kali," sahut Ivana yang kemudian menepuk bahu lelaki bermata elang itu, pelan."Rizal serius kok, Va, aku jamin hatinya memang beneran cinta kamu. Sejak kalian masih semester awal malah," jelas Dimas, sambil melirik ke arah Rizal yang masih berlutut di samping Ivana.Rizal dan Dimas memang beda satu tingkat di atas Ivana dan Naya. Namun mereka satu fakultas, fakultas kedokteran."Hanya bedanya ... kalo aku langsung nembak Naya, tapi Rizal ingin sukses dulu baru mau utarain perasaannya ke Ivana," ujar Dimas yang kembali menjelaskan, dengan mata melirik ke arah Rizal yang sudah kembali duduk di kursinya.Ivana dan Naya hanya bisa saling pandang, kaget tak menyangka Rizal menyimpan cintanya selama ini pada Ivana."Kok kalian malah pada diam, kenapa? Masih tidak percaya?" tanya Rizal yang melihat Naya dan Ivana dengan tatapan aneh."Maap ya, Zal ..., aku tuch udah punya suami," jawab Ivana, menatap mata Rizal dengan senyum yang terlihat terpaksa.Melihat pandangan tajam antara Rizal dan Dimas ke arahnya, Ivana hanya bisa mengambil napas panjang."Mmm ... Jangan bohong, Va. Selama kita berteman, aku tidak pernah melihatmu jalan bersama cowok," jawab Rizal sambil tersenyum manis seolah- olah ucapan Ivana hanya candaan semata."Ivana serius kok, Zal. Dia udah punya suami," sahut Naya, ikut menjawab untuk mempertegas."Kok kamu tahu, Sayang. Kalo si Ivana udah punya suami, emang siapa suaminya, kita kenal nggak?" cerocos Dimas, ikut penasaran."Suamiku itu—"Ivana menggantungkan jawabannya, ke dua mata perempuan cantik itu melirik ragu ke arah Naya."Suami Ivana itu kakak aku," ujar Naya sambil melotot ke arah Dimas.Dimas dan Rizal terdiam sambil saling pandang, terlhat keduanya antara percaya nggak percaya, kalau ternyata suami dari Ivana adalah kakaknya Naya."Kapan kamu yang nikah, Va? Kok nggak ngundang-ngundang kita," ujar Rizal sambil tetap tersenyum ke arah Ivana. Namun sangat jelas terlihat gurat kecewa dari wajah dan getar suaranya."Iya, Va, kenapa kok nggak ngundang kita?"Kali ini Dimas bertanya ke arah Naya. Karena keluarga Naya dan keluarga Dimas memang memiliki hubungan yang terjalin sangat baik."Sengaja ... hanya keluarga kita saja, biar lebih khidmad," jawab Ivana yang tiba tiba berdiri dari duduknya."Maap, aku ke perpus dulu," pamit Ivana, yang kemudian segera berlalu dari duduknya.Sedangkan mata Rizal, Dimas dan Naya hanya bisa saling pandang, tanpa ucap. Masing-masing tampak sibuk dengan pikirannya sendiri."Nay ... Bagaimana kabar mbak Be—""Aku tidak tahu, kamu tanya aja sendiri ke orangnya!" potong Naya yang sepertinya sudah mengerti mau ke mana arah pembicaraan Dimas.Naya melirik ke arah dua lelaki yang ada di sekitarnya itu dan dapat melihat jelas dari wajah Rizal dan Dimas yang juga memandangnya, seakan meminta penjelasan apa yang terjadi."Aku harus segera menyusul Ivana, daaah semua ... ."Dengan wajah yang tak bisa di gambarkan, Naya kemudian pamit untuk menghindari Dimas dan Rizal yang masih menatapnya dengan raut mata penasaran."Kuat firasatku, pasti ada yang di sembunyikan oleh mereka berdua, bagaimana menurutmu, Dim?" tanya Rizal setelah meneguk sisa teh di gelas Ivana. Sesaat setelah kepergian Naya."Yups ... aku pun merasakan hal yang sama sepertimu, malah parahnya lagi, aku sampek tidak tahu kalau Mas Faris sudah menikah, rasa-rasanya orang tuaku pun tak pernah membicarakannya."Sambil memegang dagunya, Dimas menjawab."Apa beliau tidak di undang, ya? Aneh! Padahal Papa dan Mamanya Naya biasanya sangat peduli pada keluargaku?" gumam Dimas lagi, masih terlihat bingung."Ada apa, ya?" tanya Rizal, setelah tadi terdiam."Kamu ada ide nggak? Biar kita bisa tahu apa sebenarnya yang terjadi," tanya Rizal, mulai tak sabar."Jujur .... aku sendiri kaget banget mendengar Ivana sudah nikah, tapi kalo dia bahagia, aku dengan senang hati mundur," lanjutnya lagi.Dimas melirik ke arah sahabatnya saat dia mendengar ada nada kecewa di dalam ucapan Rizal barusan."Ikut aku!""Ke mana?" jawab Rizal, matanya menatap Dimas, tak mengerti."Kita nanya langsung aja ke mas Faris," jawab Dimas sambil berdiri dari kursi."Tapi mampir dulu ke rumah sebentar, aku mau ngasih pesanan nyokap tadi pagi, gimana?" sambung Dimas, lagi."Ayo .... Kamu ikut, nggak? Malah ngelamun," desak Dimas, tak sabar."Mmm ... iya deh, aku ikut ...." Rizal berdiri dan melangkah mengikuti arah Dimas berjalan.Dimas tersenyum mendengar keputusan Rizal, dan terus melangkah tanpa menoleh.****"Mau ke mana lagi, Dim? Baru nyampek rumah 'kok sudah mau pergi lagi." Bundanya Dimas mulai ngomel saat melihat gelagat anaknya yang berkemas hendak pergi lagi."Mau ke kantornya mas Faris, Bun." jawab Dimas, sambil terus berkemas."Ngapain ke sana, ada perlu apa?" tanya Bunda dengan kening mengernyit."Denger dari Naya, katanya Mas Faris baru saja nikah dengan —""Terus ... apa hubungannya denganmu?" potong Bunda dengan tatapan tajam ke arah Dimas, sambil duduk di sofa berhadapan dengan posisi duduk
"Apa kabar Adik Ipar tersayang, aku harap ... mulai hari ini kamu belajar untuk mulai membiasakan diri menghormati aku yang nantinya akan menjadi istri dari kakakmu."Bella tersenyum sinis saat melihat sosok orang yang tadi berani membantah apa yang dia katakan. "Jangan bermimpi terlalu tinggi, di tabrak pesawat kan nggak lucu?!" Naya menjawab sinis, setelah sebelumnya terlihat mencibir.Dari awal Bella berhubungan kasih dengan Faris, Naya adalah salah satu orang yang berani menampakkan sikap tidak sukanya pada Bella secara terang terangan, selain mamanya Faris. "Sepertinya kamu salah orang, adik kecil, yang bermimpi itu dia! Bukan aku!" jawab Bella dengan tangan kiri menunjuk ke arah Ivana yang masih terlihat sangat tenang."Jangan sok akrab! Aku bukan adikmu!" balas Naya saat mendengar perempuan berbaju kurang bahan itu memanggilnya adik kecil."Faktanya sekarang adalah Ivana memang istri dari kakakku?! Jadi buat apa dia bermimpi, sedangkan kamu, siapa kamu?!" lanjut Naya dengan
"Mmm ... Bella benar, akulah pemimpi itu."Dengan wajah sedih, Ivana melihat ke atas tempat tidur, tempat tadi Faris tidur, sebelum dirinya ke kamar mandi, kini kosong. Hanya ada kotak berbungkus kertas kado dan kotak kain beludru warna merah. Ivana mengunci pintu kamar dan kembali ke ranjang, dengan perlahan dia membuka kotak kain beludru."Sudah aku duga," ujar Ivana, saat dia melihat di dalam kotak itu terdapat satu set perhiasan lengkap dengan surat suratnya. Kotak berisi perhiasan itu dia tutup kembali dan meletakkannya ke atas nakas di samping ranjang. "Terima kasih Naya."Dengan tersenyum, Ivana meletakkan kertas yang baru daja dia baca, lalu membuka bungkusan yang dia yakini telah dititipkan oleh sahabatnya, Naya. Kening Ivana tiba tiba mengerut, saat melihat isi di dalam kotak, ada sebuah jam tangan dan ... permen.Permen yang membuatnya bisa merasakan menjadi seorang istri yang utuh.Ivana teringat lima bulan yabg lalu, tepatnya seminggu setelah dirinya resmi menjadi is
"Papa di mana, Ma?!" tanya Naya, saat dirinya yang baru datang dari rumah sahabatnya, hanya bertemu dengan Mama yang baru saja turun dari lantai dua."Di ruang kerjanya, memangnya ada apa? Kok tumben, baru masuk rumah sudah nanya Papa? Lagi pula kamu dari mana aja, Nay? Kenapa pulangnya malam begini?"Mama menjawab sekaligus bertanya pada anak perempuannya yang baru saja memeluk dan mencium ke dua pipi."Dari rumah Ivana, Ma," jawab Naya, yang melangkah ke arah kamar yang di jadikan sebagai kantor Papa kalau di rumah. "Kamu sudah makan malam? Kalau belum, sini temani mama makan," ajak Mama penuh harap."Masih kenyang, Ma. Di rumah Ivana tadi, aku terlalu banyak makan gorengan." Naya menjawab tanpa menoleh. "Oh iya, sekarang Ivana ulang tahun, ya? mama dan Papa tadinya juga mau ke sana, hanya saja tadi pagi ada insiden tidak mengenakkan sehingga membuat papamu terlupa tentang niatnya tadi."Langkah Naya tiba tiba terhenti, perempuan cantik itu membalikkan badannya kembali ke arah M
"Halo, ada apa Nay?" tanya Ivana, siang itu kepada orang yang sedang menelponnya.[Va, kamu nggak ke kampus?] terdengar suara Naya yang bukannya menjawab, malah balik bertanya."Aku sedang nggak enak badan, Nay." [Kamu kenapa? Sakit?]"Masuk angin mungkin, tadi malam ketiduran di balkon."[Jangan ke mana mana, ya. Setelah dari sini aku bakalan ke sana.]"Sungguh! Kalau bener mau ke sini, boleh nggak aku minta tolong kamu? Tolong ambilkan hasil pemeriksaan yang kemarin di rumah sakit."[Ke Dokter Agustien kan, ya?]"Iya ...."[Ok, aku bakalan ambil.]"Makasih ya, terus kalo udah dalam perjalanan ke sini. tolong belikan ice cream coklat ya, please."[Ok, siap!]"Makasih ya ... Nay," jawab Ivana sambil menutup ponselnya, sesaat setelah mendengar Naya menjawab salam dan menutup pembicaraan lebih dulu.Dari kemarin Ivana merasa kondisi badan tidak enak, Namun suhu badan tidak panas, hanya pusing dan lemas aja, dan ditambah selera makan yang turun drastis.Saat hendak menaruh phone ke temp
"Aku berhak bahagia, Nay. Mas Faris pun juga.""Tapi kondisi---""Aku bahagia, masih ada kamu, Umi. Ada Dimas dan Rizal," ujar Ivana di antara gemetar suaranya. Naya mendekati Ivana dan memeluknya, Namun terlihat raut amat sedih Naya, yang merasa bersalah. Perlakuan kakaknya telah membuat sahabatnya menderita."Aku akan menjagamu, Va. Percayalah.""Makasih, Nay. Kamu tetap adikku, mantan adik ipar, jangan songong loo." Ivana tersenyum mencoba keluar dari zona sedih. Tanpa mereka berdua sadari. Dari arah dapur, tampak Mak Ijah dan Pak No dan empat perempuan berseragam, saling bertatapan karena mendengar pembicaraan itu sejak awal, mereka terdiam sedih."Apakah, kau membawa apa yang aku pesan, Nay?" tanya Ivana."Oiya, ini hasil pemeriksaan yang kau minta, tapi hanya fotokopiannya saja, yang asli dipegang dr. Sinta." Naya memberikan map warna kuning ke Ivana untuk ke dua kalinya."Menurut, dokter Sinta. Laporan itu udah lengkap dengan diagnosa gejala awal, sampai beberapa stadium lan
Akhirnya Ivana mengangguk, lalu kembali duduk sambil memperhatikan Naya dan dr. Agustien yang sedang siap siap."Ada berapa korban, Sus?" tanya Dokter sambil menggunakan jas putih kehormatannya."Dua, Dok. Yang parah satu, korban laki-laki. Sedangkan yang satu lagi, perempuan, hanya luka biasa saja," terang perawat."Satu di antara kalian, ayo ikut!" Menunjuk ke arah Dimas dan Rizal."Siap, Dok!" ujar Dimas, berdiri dan segera melangkah keluar dari kamar pemeriksaan."Zal, kalau mau berangkat ke panti lebih dulu, tak apa, malah menurutku itu lebih baik. Aku dan Naya gampanglah, pulangnya bisa nanti," ujar Dimas sebelum benar benar keluar dari kamar."Aku nunggu Naya dan kamu selesai aja di sini, nggak lama kan?" Ivana menjawab pertanyaan Dimas ke Rizal."Ya udah, terserah." Dimas menjawab dan kemudian berbalik arah kembali keluar dari ruangan. Menyusul Naya dan Dokter Sinta."Kamu yakin mau menunggu Naya dan Dimas, nggak mau balik duluan, mending istirahat di Panti?" Rizal bertanya
Langkah Rizal terhenti, saat menoleh ke belakang dan melihat wajah Ivana yang sudah mengembungkan ke dua pipinya, terlihat menggemaskan."Udah, nggak usah di ambil hati. Kayak anak kecil aja," rayu Rizal yang di balas dengan senyum bahagia Umi. Tak pernah di sangka sebelumnya oleh Rizal jika Ivana yang terlihat anggun, ternyata muncul manjanya jika di depan Umi."Ayo ... makan yang banyak. Biar gemuk!" Umi mengambil piring dan meletakkan nasi di atasnya untuk Ivana dan Rizal."Tak usah repot, Mi. Biar Aku aja yang melayani Rizal. Eh ... Umi nggak makan bareng kita?" tanya Ivana yang kemudian mengambil alih piring di tangan perempuan yang sudah dia anggap seperti ibu kandung."Nggak, tadi sebelum kalian datang aku sudah makan kok, bareng sama yang lain," jawab Umi dengan raut wajah yang masih kelihatan cantik di usia senjanya itu, kini tiba-tiba berubah sedih."Umi, maap ... aku hanya tak ingin merepotkan Umi, itu saja kok," sesal Ivana saat menyadari perubahan raut muka Umi.Perempua