Home / Urban / Bekas Bini / 2. Bukan Perebut

Share

2. Bukan Perebut

Author: Jana Indria
last update Last Updated: 2023-10-05 10:28:14

"Ini masih awal, Va. Kamu belum masuk rumah aja, Faris sudah mulai membatasimu," lirih suara Ivana yang tanpa sadar mengelus pelan dadanya sendiri.

"'Bisa bertahan dan sabarkah diriku?" bisik Ivana lagi pada hatinya sendiri.

"Kenapa .... Apa ada yang salah dari ucapanku?" tanya Faris, memandang curiga gerak-gerik Ivana.

"Tidak, Mas. Hanya saja perlakuanmu padaku tadi seolah aku adalah penyebab kamu gagal menikahi pacarmu," jawab Ivana tegas tapi santai dengan mata menatap penuh Faris.

"Jangan lupa, aku adalah korban dari keluargamu. Tolong perlakukan aku seperti sahabat, kalau Mas tidak bisa, setidaknya sebagai teman, karena aku bukan perebut calon suami orang!" tegas Ivana, sedikit sarkas.

Mata wanita cantik itu memandang tajam pada lelaki yang berdiri di depannya, lelaki yang kini dia sebut sebagai 'suami' itu mulai menyakiti perasaan Ivana, dan dia tak ingin membiarkan itu terjadi di awal pernikahan.

"Maap ... aku tak bermaksud seperti itu, hanya saja aku masih belum bisa menerima kenyataan," rintih Faris sesaat. Kepalanya menunduk, entah sedang merasakan apa hatinya saat ini. Tapi itu hanya sesaat, kini dia kembali terlihat tak peduli.

"Sini, aku kenalkan kamu dengan Mak Ijah dan Pak No, mereka berdua adalah orang yang aku percaya untuk menjaga rumah ini," sambung Faris setelah tadi terdiam, sesaat.

"Jika kamu butuh sesuatu, cukup katakan saja pada mereka berdua, biar mereka yang nantinya menyuruh maid yang lain," terang Faris yang langsung melangkah masuk ke dalam rumah tanpa menunggu Ivana yang hanya bisa tersenyum kecut.

Sambil melangkah, mata Ivana terus saja mengamati sudut sudut rumah yang akan ditempatinya mulai hari ini, terlihat begitu tertata rapi dengan nuasa putih biru.

Mungkin bila dengan situasi yang berbeda, pasti Ivana sudah loncat- loncat dan teriak kegirangan saking bahagia.

"Iva ...! Ini mak Ijah dan ini pak No."

Tiba tiba Faris memperkenalkan dua orang yang entah kapan datang dan kini sudah berdiri di samping suaminya.

"Assalamualaikum," salam Ivana sembari menyalami orang yang diperkenalkan Faris.

"Wa alaikum salam, saya Ijah, Nya."

Wanita separuh baya dengan seragam sepanjang lutut kaki, dan rambut yang diikat asal itu tersenyum ramah pada Ivana.

Ivana menyambut tangan mak Ijah, dan menariknya cepat saat mak Ijah hendak mencium tangannya. Mak Ijah yang kaget akhirnya tersenyum pula.

"Saya pak No, Nya," ujar lelaki separuh baya yang berdiri di samping mak Ijah.

Ivana hanya menganggukkan kepala ke arah pak No, sambil menangkupkan ke dua tangannya di depan dada.

Yang di balas Pak No dengan meniru tindakan Nyonya barunya dengan gerakan yang sama.

"Mak sama pak No, di lanjutkan lagi kerjanya," perintah Faris sambil melangkahkan kaki ke arah meja makan.

"Baik, Tuan."

Dengan sedikit membungkukkan badan, Mak Ijah dan Pak No berlalu dari hadapan.

"Duduklah dulu, Va! Ada yang ingin aku bincangkan denganmu, sebelum kita melangkah lebih jauh, nantinya," ucap Faris menyuruh Ivana sembari memberikan isyarat mata.

Ivana mengikuti ajakan suaminya, melangkah ke arah sebuah ruangan dengan meja panjang dan beberapa kursi yang mengitarinya. Ivana mengulurkan tangan kanan, memundurkan kursi dan duduk dengan posisi berhadapan.

"Ada apa, Mas?" tanya Ivana, datar.

"Kamu paham bukan, kalau kita ini adalah dua orang yang tak pernah dekat, Namun di paksa untuk bersama, dan itu masih terasa aneh bagiku—"

"Bisa langsung ke permasalahannya kan, Mas?" potong Ivana yang mulai tak sabar.

Faris terlihat menarik nafas panjang, perempuan di depannya ini ternyata bukan perempuan berhati lemah, tidak seperti yang dia duga.

"Maksudku begini ... selama pernikahan, kamar kita berbeda, aku yang sebelah kanan dan kau tidur di kamar sebelah kiri," ujar Faris yang sengaja menjeda ucapannya, hanya untuk melihat ekspresi Ivana.

"Aku ingin kita bersama hanya untuk waktu satu tahun saja, karena aku tidak ingin mengikatmu lebih lama lagi dengan tali perkawinan, dan selama kita bersama, tidak usah memakai perasaan, tidak berkewajiban berhubungan layaknya suami istri, dan yang terakhir adalah ... masing masing dari kita tidak boleh ikut campur dalam urusan pribadi."

Faris kembali meneruskan ucapannya, sembari terus mengamati air muka Ivana, yang masih terlihat datar dan lempeng saja.

"Kita akan bersikap layaknya suami istri hanya saat kita berada dalam lingkungan keluargaku saja, kuharap kau mengerti dan menerima keputusan ini."

Faris meneruskan ucapannya walau tak ada tanggapan dari istrinya, sedikit pun.

"Selama setahun kita menikah nanti, aku yang akan bertanggung jawab memberimu nafkah, membiayai kuliahmu dan bila kita sudah berpisah pun, aku akan memberikanmu uang sebesar satu milyar. Dan kamu harus setuju!"

Di liriknya wajah tenang Ivana yang masih diam.

"Ya, anggaplah sebagai harta gono gini kita."

Kening Faris mengerut sesaat ketika tiba tiba melihat ada senyuman tipis yang dia lihat di bibir Ivana. Lalu kembali tak peduli.

"Ini kartu ATM yang bisa kamu gunakan untuk keperluan pribadi dan biaya kuliahmu. Password -nya adalah tujuh angka berurutan yang di mulai dari angka satu, nanti bisa kau ubah sesukamu," ujar Faris, tangannya menggeser kartu ATM berwarna gold ke arah Ivana. Kartu yang baru di ambil dari saku kemeja yang dia pakai.

"Ambil dan simpan baik- baik!"

Faris berkata sambil berdiri dan melangkah menjauh, menaiki tangga.

Ivana mengulurkan tangan mengambil kartu itu, bibirnya masih terlihat tersenyum tipis, apa yang dia duga kini menjadi kenyataan.

"Ambil sisi baiknya, Va. Setidaknya kau tidak perlu merepotkan Umi lagi untuk urusan kuliah dan makan. Ini hanya setahun, tidak lama bukan,' desis Ivana menenangkan diri sendiri.

"Pak No!" panggil Faris saat tiba di pertengahan undakan tangga.

Ivana yang semula sibuk dengan hatinya, terjengkit mendengar suara keras Faris memanggil Pak No.

"Ya, Tuan!" jawab Pak No, sambil berlari dari arah dapur menuju Faris berdiri.

"Ada yang bisa saya bantu, Tuan?" tanya pria setengah baya itu, setelah berdiri di depan Faris, dengan sedikit membungkukkan badannya.

"Antar Nyonya Ivana keliling rumah, lalu tunjukkan di mana letak kamarnya!" titah Faris tanpa menoleh, lalu kembali melangkah naik menuju lantai atas.

Pak No menoleh ke arah Ivana yang mencibir ke arah Faris, sambil tersenyum.

"Mari Nya, saya antar keliling rumah?!" ajak Pak No dengan ramah.

"Tidak usah, Pak, saya mau istirahat saja, bisa tolong antarkan saya ke kamar?"

"Baik, Nya .... Langsung ke kamar saja," balas Pak No mengulang apa yang di katakan oleh Ivana tadi.

Sambil membungkukkan sedikit punggungnya, pak No melangkah lebih dulu menaiki tangga.

Ivana berjalan perlahan membuntuti Pak No, matanya terus memperhatikan setiap sudut rumah yang akan dia tempati.

"Nya ... silahkan masuk, ini kamarnya."

Ivana sedikit tersentak, saat mendengar suara pak No. Akibat terlalu fokus dengan apa yang dia lihat.

"Iya, Pak. Makasih." jawab Ivana,

"Kalau ada yang Nyonya butuhkan, saya dan Mak Ijah siap kapan saja, jangan sungkan, tinggal panggil."

Pak No berkata sambil tersenyum, hormat.

"Makasih, Pak No," ujar Ivana sambil mengangguk, ramah kepada pembantu separuh baya itu.

****

Ivana memandangi kamar barunya, menyentuh tempat tidur ukuran tanggung yang terasa lembut dan empuk. Satu lemari dua pintu, dengan ukuran tanggung. Meja hias lengkap dengan lampu di sekitar cermin.

Di depan tempat tidur ada dua pintu tertutup, Ivana melangkahkan kaki mendekati pintu yang sebelah barat.

"Astaga ...!"

Ivana tanpa sadar memekik gembira, ada balkon di kamarnya, lengkap dengan kursi panjang yang empuk serta sebuah meja. Pikiran Ivana langsung berangan untuk menikmati malam ini dengan bahagia di balkon sambil menghitung bintang.

"Luar biasa hidupku saat ini?!" seru

Ivana yang kemudian berbalik membuka pintu yang satunya lagi, ternyata isinya kamar mandi, lengkap dengan handuk dan peralatannya.

"Wooow ...!"

Dunia Ivana seketika berubah, kamar yang biasanya dia tempati, harus rela berbagi dengan teman panti lainnya, sekarang hanya untuk dirinya seorang.

"Andai ini bukan hanya setahun dan ... ah, sudahlaah, tak perlu berangan," tegurnya pada dirinya sendiri.

Ivana berjalan menuju tas besar miliknya yang di bawa Pak No tadi.

Segera membuka, memindahkan dan menata isinya ke dalam lemari, barulah kemudian meletakkan tas yang sudah kosong itu ke atas lemari.

Menata alat kosmetik yang sekedarnya di atas meja hias. Menata buku-buku diktat dan beberapa buku tebal kuliahnya, ke atas nakas di sebelah tempat tidur.

"Selesai," ucapnya sambil merebahkan badan ke arah tempat tidur.

"Harusnya aku mandi dulu, biar segar," lirih Ivana sambil menguap, dan berakhir dengan dengkuran halus.

Flash back off

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Bekas Bini   100. Aku Cemburu

    “Sebelum kamu tanyakan itu pada Ivana, kita berandai andai dulu, apa jawabanmu kalau kamu berada di posisi Ivana?" Faris terdiam saat mendengar apa yang di katakan oleh mama, pertanyaan yang di balik kini ke dirinya sendiri."Aku memilih tidak mau berhenti?!" jawab Faris, terdengar lemah tak bersemangat.Bukan tanpa alasan Faris memilih tidak menerima, karena dia sendiri tahu bagaimana keras dan gigihnya Ivana saat berusaha menyelesaikan kuliah yang pada saat itu dalam kondisi sakit hati, karena proses bercerai dengan dirinya dan dalam kondisi hamil."Lalu apa yang membuatmu hingga bisa yakin atau berharap Ivana mau menuruti ucapanmu untuk berhenti menjadi Dokter? Apakah karena kamu sekarang mempunyai status sebagai CA-LON suami?!" tanya mama Via, terdengar penuh dengan tekanan."Aku -""Ada apa denganmu? Kenapa tiba tiba menjadi seorang lelaki yang suka mengikat istrimu? Wanita bekerja bukan hanya karena uang tapi juga agar bisa bersosialisasi."Mama Via kembali melontarkan pertanya

  • Bekas Bini   99. Berteman

    Triiiiing!Mama Via yang baru saja menjejakkan kakinya di kamar setelah menemani Naya hingga terlelap di kamarnya, segera mencari di mana tadi sumber suara berada. Sudah lama dirinya tak mendengar bunyi ponsel sejak kepergian almarhum.Di ambilnya benda pipih berwarna emas yang tadi lupa ia letakkan di nakas dekat kamar mandi, dan membawanya menuju ke balkon di depan kamarnya, walau pun sudah tak bersuara lagi.Seakan ingin berlama lama di balkon, mama Via sengaja memakaikan minyak seree untuk obat anti nyamuk, juga sebagai minyak penghangat pengganti, penghalau rasa dingin.Damar! Nama yang tertera di pesan aplikasi warna hijau, membuatnya kembali tersenyum dengan arti yang tak mungkin di jelaskan.Namun dia tidak segera merta membuka pesan itu, malah membuka pesan dengan foto profil pernikahan dirinya dengan almarhum.Air matanya basah seketika itu pula, saat membaca pesan pesan yang ada, lengkap dengan emoji emoji dan stiker yang dulu sangat almarhum sukai.“Apakah kamu sungguh

  • Bekas Bini   98. Cemburu

    Faris seketika terdiam saat melihat di meja sebelah kiri dekat etalase sana, Ivana duduk berhadap hadapan dengan Dokter Mark, Dokter yang dia anggap sebagai saingan berat dalam menaklukan hati bekas bininya sampai saat ini. Setelah menimbang sebentar, Faris melangkahkan kaki ke arah kasir, tidak langsung mendatangi meja Ivana dan Dokter itu."Mbak, pesan kopi hitam tanpa gula, tolong dijadikan satu dengan bill dokter Ivana, biar sekalian saya bayar," ujarnya pada seorang perempuan yang menggunakan seragam di balik mesin penghitung."Baik, silahkan di tunggu sebentar." Perempuan di balik kasir itu pun memberikan kertas yang entah apa isinya kepada temannya yang menggunakan seragam sama corak beda warna.Faris sesekali terlihat mencuri pandang pada Ivana dan Dokter yang terlihat sangat akrab, dengan sesekali di iringi tawa oleh keduanya."Terima kasih," kata Faris, sesaat kemudian dirinya sudah menerima cup kopi dengan menggunakan tangan kanan, dan tangan kiri menerima kertas bukti

  • Bekas Bini   97. Via

    “Apa yang sebenarnya membuatmu berat, Via?” tanya Damar saat ini mereka ada di teras, di temani seorang maid yang duduk di kursi yang diletakkan agak jauh, Namun masih bisa mendengar apa yang tamu dan nyonya sedang bicarakan.“Aku hanya heran kenapa kamu seperti sangat ingin agar aku mau menerima pernikahan ini, apakah kamu tak ingin bertemu dengan istrimu lagi nantinya di akhirat, karena aku pernah mendengar jika kita menikah lagi, maka kita tak akan bertemu nantinya dengan pasangan kita yang pertama.”Damar menghela napas panjang, memandangi perempuan yang semakin terlihat cantik karena dalam bingkaian kerudung berwarna pastel saat ini “Kamu itu aneh, Vi … pikiranmu itu terlalu jauh menurutku, sebaiknya saat ini yang kita pikirkan adalah apakah amalan kita bisa menuntun kita masuk ke surganya, nanti saat di surga Allah akan mengabulkan apa yang kita inginkan, bukan? Jadi kita bisa minta untuk dikumpulkan lagi seperti dulu, ada Ana, Adi, kita dan seluruh keluarga kita.”Damar terdi

  • Bekas Bini   96. Sabar ...

    “Sayaaang, apa yang kau dapatkan dari riadohmu selama ini?” tanya ayah Damar pada Ivana setelah hampir sepuluh hari melebihi dari target yang anaknya janjikan kepada Naya, Dimas, dan Faris.“Aku hanya bermimpi Faris bersama Rizal yang tersenyum kepadaku, Ayah,” ujar Ivana, pagi itu saat sedang sarapan bersama.pp0⅔“Alhamdulillah, aku yakin itu adalah tanda bagus kalau Tuhan menyetujui apa yang Rizal amanatkan kepadamu dan Faris,” seru Nenek dengan mata binar terlihat sangat bahagia.Melihat sang Nenek, Ivana datang mendekat dan mengusap wajah yang masih terlihat cantik di usianya yang sudah banyak itu dengan perlahan, dari saking bahagianya sang Nenek sampai membuat basah kedua matanya.“Terima kasih … Sayang.” Nenek berkata lembut, dua perempuan cantik berbeda generasi itu saling tatap dalam arti yang sama pula.“Lalu bagaimana dengan Via, Damar? Apakah kamu juga mendapatkan hal yang sama seperti yang di impikan oleh anakmu.”Damar hanya tersenyum, tak menjawab apa yang di tanyakan

  • Bekas Bini   95. Kedua

    “Aku tak menyangka kalau mantannya Farislah yang ternyata berasal dari keluarga Kamandaka, aku jadi tak heran, pantas saja lelaki itu tidak mau lepas begitu saja, apalagi melihat kedekatan antara dua keluarga itu sudah terjalin dnegan sangat baik sekali, pasti mereka juga sedang mengincar kekayaan kamandaka yang tak habis habis itu!” ujar Papi Yunus dengan sesekali memukul pahanya sendiri dengan tangannya yang terkepal, pelan.“Andai kita tahu kalau yang kaya ternyata mantan istrinya, nggaklah mungkin aku akan bersusah payah membelikan tas dan beramah tamah dengan keluarga Faris.”Mendengar apa yang dikatakan oleh kedua orang tuanya, Rika hanya bisa tersenyum dalam tangis, tak menyangka hidupnya bakalan se rumit itu, padahal di kelilingi oleh orang terdekat Namun entah kenapa tidak pernah dirasa tulus mencintainya.“Kenapa kamu malah tersenyum seperti itu? Kamu senang ya, karena apa yang di lakukan oleh mami dan papi kali ini ternyata salah besar?!” tanya Mami dengan wajah tak mengen

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status