Share

2. Bukan Perebut

"Ini masih awal, Va. Kamu belum masuk rumah aja, Faris sudah mulai membatasimu," lirih suara Ivana yang tanpa sadar mengelus pelan dadanya sendiri.

"'Bisa bertahan dan sabarkah diriku?" bisik Ivana lagi pada hatinya sendiri.

"Kenapa .... Apa ada yang salah dari ucapanku?" tanya Faris, memandang curiga gerak-gerik Ivana.

"Tidak, Mas. Hanya saja perlakuanmu padaku tadi seolah aku adalah penyebab kamu gagal menikahi pacarmu," jawab Ivana tegas tapi santai dengan mata menatap penuh Faris.

"Jangan lupa, aku adalah korban dari keluargamu. Tolong perlakukan aku seperti sahabat, kalau Mas tidak bisa, setidaknya sebagai teman, karena aku bukan perebut calon suami orang!" tegas Ivana, sedikit sarkas.

Mata wanita cantik itu memandang tajam pada lelaki yang berdiri di depannya, lelaki yang kini dia sebut sebagai 'suami' itu mulai menyakiti perasaan Ivana, dan dia tak ingin membiarkan itu terjadi di awal pernikahan.

"Maap ... aku tak bermaksud seperti itu, hanya saja aku masih belum bisa menerima kenyataan," rintih Faris sesaat. Kepalanya menunduk, entah sedang merasakan apa hatinya saat ini. Tapi itu hanya sesaat, kini dia kembali terlihat tak peduli.

"Sini, aku kenalkan kamu dengan Mak Ijah dan Pak No, mereka berdua adalah orang yang aku percaya untuk menjaga rumah ini," sambung Faris setelah tadi terdiam, sesaat.

"Jika kamu butuh sesuatu, cukup katakan saja pada mereka berdua, biar mereka yang nantinya menyuruh maid yang lain," terang Faris yang langsung melangkah masuk ke dalam rumah tanpa menunggu Ivana yang hanya bisa tersenyum kecut.

Sambil melangkah, mata Ivana terus saja mengamati sudut sudut rumah yang akan ditempatinya mulai hari ini, terlihat begitu tertata rapi dengan nuasa putih biru.

Mungkin bila dengan situasi yang berbeda, pasti Ivana sudah loncat- loncat dan teriak kegirangan saking bahagia.

"Iva ...! Ini mak Ijah dan ini pak No."

Tiba tiba Faris memperkenalkan dua orang yang entah kapan datang dan kini sudah berdiri di samping suaminya.

"Assalamualaikum," salam Ivana sembari menyalami orang yang diperkenalkan Faris.

"Wa alaikum salam, saya Ijah, Nya."

Wanita separuh baya dengan seragam sepanjang lutut kaki, dan rambut yang diikat asal itu tersenyum ramah pada Ivana.

Ivana menyambut tangan mak Ijah, dan menariknya cepat saat mak Ijah hendak mencium tangannya. Mak Ijah yang kaget akhirnya tersenyum pula.

"Saya pak No, Nya," ujar lelaki separuh baya yang berdiri di samping mak Ijah.

Ivana hanya menganggukkan kepala ke arah pak No, sambil menangkupkan ke dua tangannya di depan dada.

Yang di balas Pak No dengan meniru tindakan Nyonya barunya dengan gerakan yang sama.

"Mak sama pak No, di lanjutkan lagi kerjanya," perintah Faris sambil melangkahkan kaki ke arah meja makan.

"Baik, Tuan."

Dengan sedikit membungkukkan badan, Mak Ijah dan Pak No berlalu dari hadapan.

"Duduklah dulu, Va! Ada yang ingin aku bincangkan denganmu, sebelum kita melangkah lebih jauh, nantinya," ucap Faris menyuruh Ivana sembari memberikan isyarat mata.

Ivana mengikuti ajakan suaminya, melangkah ke arah sebuah ruangan dengan meja panjang dan beberapa kursi yang mengitarinya. Ivana mengulurkan tangan kanan, memundurkan kursi dan duduk dengan posisi berhadapan.

"Ada apa, Mas?" tanya Ivana, datar.

"Kamu paham bukan, kalau kita ini adalah dua orang yang tak pernah dekat, Namun di paksa untuk bersama, dan itu masih terasa aneh bagiku—"

"Bisa langsung ke permasalahannya kan, Mas?" potong Ivana yang mulai tak sabar.

Faris terlihat menarik nafas panjang, perempuan di depannya ini ternyata bukan perempuan berhati lemah, tidak seperti yang dia duga.

"Maksudku begini ... selama pernikahan, kamar kita berbeda, aku yang sebelah kanan dan kau tidur di kamar sebelah kiri," ujar Faris yang sengaja menjeda ucapannya, hanya untuk melihat ekspresi Ivana.

"Aku ingin kita bersama hanya untuk waktu satu tahun saja, karena aku tidak ingin mengikatmu lebih lama lagi dengan tali perkawinan, dan selama kita bersama, tidak usah memakai perasaan, tidak berkewajiban berhubungan layaknya suami istri, dan yang terakhir adalah ... masing masing dari kita tidak boleh ikut campur dalam urusan pribadi."

Faris kembali meneruskan ucapannya, sembari terus mengamati air muka Ivana, yang masih terlihat datar dan lempeng saja.

"Kita akan bersikap layaknya suami istri hanya saat kita berada dalam lingkungan keluargaku saja, kuharap kau mengerti dan menerima keputusan ini."

Faris meneruskan ucapannya walau tak ada tanggapan dari istrinya, sedikit pun.

"Selama setahun kita menikah nanti, aku yang akan bertanggung jawab memberimu nafkah, membiayai kuliahmu dan bila kita sudah berpisah pun, aku akan memberikanmu uang sebesar satu milyar. Dan kamu harus setuju!"

Di liriknya wajah tenang Ivana yang masih diam.

"Ya, anggaplah sebagai harta gono gini kita."

Kening Faris mengerut sesaat ketika tiba tiba melihat ada senyuman tipis yang dia lihat di bibir Ivana. Lalu kembali tak peduli.

"Ini kartu ATM yang bisa kamu gunakan untuk keperluan pribadi dan biaya kuliahmu. Password -nya adalah tujuh angka berurutan yang di mulai dari angka satu, nanti bisa kau ubah sesukamu," ujar Faris, tangannya menggeser kartu ATM berwarna gold ke arah Ivana. Kartu yang baru di ambil dari saku kemeja yang dia pakai.

"Ambil dan simpan baik- baik!"

Faris berkata sambil berdiri dan melangkah menjauh, menaiki tangga.

Ivana mengulurkan tangan mengambil kartu itu, bibirnya masih terlihat tersenyum tipis, apa yang dia duga kini menjadi kenyataan.

"Ambil sisi baiknya, Va. Setidaknya kau tidak perlu merepotkan Umi lagi untuk urusan kuliah dan makan. Ini hanya setahun, tidak lama bukan,' desis Ivana menenangkan diri sendiri.

"Pak No!" panggil Faris saat tiba di pertengahan undakan tangga.

Ivana yang semula sibuk dengan hatinya, terjengkit mendengar suara keras Faris memanggil Pak No.

"Ya, Tuan!" jawab Pak No, sambil berlari dari arah dapur menuju Faris berdiri.

"Ada yang bisa saya bantu, Tuan?" tanya pria setengah baya itu, setelah berdiri di depan Faris, dengan sedikit membungkukkan badannya.

"Antar Nyonya Ivana keliling rumah, lalu tunjukkan di mana letak kamarnya!" titah Faris tanpa menoleh, lalu kembali melangkah naik menuju lantai atas.

Pak No menoleh ke arah Ivana yang mencibir ke arah Faris, sambil tersenyum.

"Mari Nya, saya antar keliling rumah?!" ajak Pak No dengan ramah.

"Tidak usah, Pak, saya mau istirahat saja, bisa tolong antarkan saya ke kamar?"

"Baik, Nya .... Langsung ke kamar saja," balas Pak No mengulang apa yang di katakan oleh Ivana tadi.

Sambil membungkukkan sedikit punggungnya, pak No melangkah lebih dulu menaiki tangga.

Ivana berjalan perlahan membuntuti Pak No, matanya terus memperhatikan setiap sudut rumah yang akan dia tempati.

"Nya ... silahkan masuk, ini kamarnya."

Ivana sedikit tersentak, saat mendengar suara pak No. Akibat terlalu fokus dengan apa yang dia lihat.

"Iya, Pak. Makasih." jawab Ivana,

"Kalau ada yang Nyonya butuhkan, saya dan Mak Ijah siap kapan saja, jangan sungkan, tinggal panggil."

Pak No berkata sambil tersenyum, hormat.

"Makasih, Pak No," ujar Ivana sambil mengangguk, ramah kepada pembantu separuh baya itu.

****

Ivana memandangi kamar barunya, menyentuh tempat tidur ukuran tanggung yang terasa lembut dan empuk. Satu lemari dua pintu, dengan ukuran tanggung. Meja hias lengkap dengan lampu di sekitar cermin.

Di depan tempat tidur ada dua pintu tertutup, Ivana melangkahkan kaki mendekati pintu yang sebelah barat.

"Astaga ...!"

Ivana tanpa sadar memekik gembira, ada balkon di kamarnya, lengkap dengan kursi panjang yang empuk serta sebuah meja. Pikiran Ivana langsung berangan untuk menikmati malam ini dengan bahagia di balkon sambil menghitung bintang.

"Luar biasa hidupku saat ini?!" seru

Ivana yang kemudian berbalik membuka pintu yang satunya lagi, ternyata isinya kamar mandi, lengkap dengan handuk dan peralatannya.

"Wooow ...!"

Dunia Ivana seketika berubah, kamar yang biasanya dia tempati, harus rela berbagi dengan teman panti lainnya, sekarang hanya untuk dirinya seorang.

"Andai ini bukan hanya setahun dan ... ah, sudahlaah, tak perlu berangan," tegurnya pada dirinya sendiri.

Ivana berjalan menuju tas besar miliknya yang di bawa Pak No tadi.

Segera membuka, memindahkan dan menata isinya ke dalam lemari, barulah kemudian meletakkan tas yang sudah kosong itu ke atas lemari.

Menata alat kosmetik yang sekedarnya di atas meja hias. Menata buku-buku diktat dan beberapa buku tebal kuliahnya, ke atas nakas di sebelah tempat tidur.

"Selesai," ucapnya sambil merebahkan badan ke arah tempat tidur.

"Harusnya aku mandi dulu, biar segar," lirih Ivana sambil menguap, dan berakhir dengan dengkuran halus.

Flash back off

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status