"Ini masih awal, Va. Kamu belum masuk rumah aja, Faris sudah mulai membatasimu," lirih suara Ivana yang tanpa sadar mengelus pelan dadanya sendiri.
"'Bisa bertahan dan sabarkah diriku?" bisik Ivana lagi pada hatinya sendiri."Kenapa .... Apa ada yang salah dari ucapanku?" tanya Faris, memandang curiga gerak-gerik Ivana."Tidak, Mas. Hanya saja perlakuanmu padaku tadi seolah aku adalah penyebab kamu gagal menikahi pacarmu," jawab Ivana tegas tapi santai dengan mata menatap penuh Faris."Jangan lupa, aku adalah korban dari keluargamu. Tolong perlakukan aku seperti sahabat, kalau Mas tidak bisa, setidaknya sebagai teman, karena aku bukan perebut calon suami orang!" tegas Ivana, sedikit sarkas.Mata wanita cantik itu memandang tajam pada lelaki yang berdiri di depannya, lelaki yang kini dia sebut sebagai 'suami' itu mulai menyakiti perasaan Ivana, dan dia tak ingin membiarkan itu terjadi di awal pernikahan."Maap ... aku tak bermaksud seperti itu, hanya saja aku masih belum bisa menerima kenyataan," rintih Faris sesaat. Kepalanya menunduk, entah sedang merasakan apa hatinya saat ini. Tapi itu hanya sesaat, kini dia kembali terlihat tak peduli."Sini, aku kenalkan kamu dengan Mak Ijah dan Pak No, mereka berdua adalah orang yang aku percaya untuk menjaga rumah ini," sambung Faris setelah tadi terdiam, sesaat."Jika kamu butuh sesuatu, cukup katakan saja pada mereka berdua, biar mereka yang nantinya menyuruh maid yang lain," terang Faris yang langsung melangkah masuk ke dalam rumah tanpa menunggu Ivana yang hanya bisa tersenyum kecut.Sambil melangkah, mata Ivana terus saja mengamati sudut sudut rumah yang akan ditempatinya mulai hari ini, terlihat begitu tertata rapi dengan nuasa putih biru.Mungkin bila dengan situasi yang berbeda, pasti Ivana sudah loncat- loncat dan teriak kegirangan saking bahagia."Iva ...! Ini mak Ijah dan ini pak No."Tiba tiba Faris memperkenalkan dua orang yang entah kapan datang dan kini sudah berdiri di samping suaminya."Assalamualaikum," salam Ivana sembari menyalami orang yang diperkenalkan Faris."Wa alaikum salam, saya Ijah, Nya."Wanita separuh baya dengan seragam sepanjang lutut kaki, dan rambut yang diikat asal itu tersenyum ramah pada Ivana.Ivana menyambut tangan mak Ijah, dan menariknya cepat saat mak Ijah hendak mencium tangannya. Mak Ijah yang kaget akhirnya tersenyum pula."Saya pak No, Nya," ujar lelaki separuh baya yang berdiri di samping mak Ijah.Ivana hanya menganggukkan kepala ke arah pak No, sambil menangkupkan ke dua tangannya di depan dada.Yang di balas Pak No dengan meniru tindakan Nyonya barunya dengan gerakan yang sama."Mak sama pak No, di lanjutkan lagi kerjanya," perintah Faris sambil melangkahkan kaki ke arah meja makan."Baik, Tuan."Dengan sedikit membungkukkan badan, Mak Ijah dan Pak No berlalu dari hadapan."Duduklah dulu, Va! Ada yang ingin aku bincangkan denganmu, sebelum kita melangkah lebih jauh, nantinya," ucap Faris menyuruh Ivana sembari memberikan isyarat mata.Ivana mengikuti ajakan suaminya, melangkah ke arah sebuah ruangan dengan meja panjang dan beberapa kursi yang mengitarinya. Ivana mengulurkan tangan kanan, memundurkan kursi dan duduk dengan posisi berhadapan."Ada apa, Mas?" tanya Ivana, datar."Kamu paham bukan, kalau kita ini adalah dua orang yang tak pernah dekat, Namun di paksa untuk bersama, dan itu masih terasa aneh bagiku—""Bisa langsung ke permasalahannya kan, Mas?" potong Ivana yang mulai tak sabar.Faris terlihat menarik nafas panjang, perempuan di depannya ini ternyata bukan perempuan berhati lemah, tidak seperti yang dia duga."Maksudku begini ... selama pernikahan, kamar kita berbeda, aku yang sebelah kanan dan kau tidur di kamar sebelah kiri," ujar Faris yang sengaja menjeda ucapannya, hanya untuk melihat ekspresi Ivana."Aku ingin kita bersama hanya untuk waktu satu tahun saja, karena aku tidak ingin mengikatmu lebih lama lagi dengan tali perkawinan, dan selama kita bersama, tidak usah memakai perasaan, tidak berkewajiban berhubungan layaknya suami istri, dan yang terakhir adalah ... masing masing dari kita tidak boleh ikut campur dalam urusan pribadi."Faris kembali meneruskan ucapannya, sembari terus mengamati air muka Ivana, yang masih terlihat datar dan lempeng saja."Kita akan bersikap layaknya suami istri hanya saat kita berada dalam lingkungan keluargaku saja, kuharap kau mengerti dan menerima keputusan ini."Faris meneruskan ucapannya walau tak ada tanggapan dari istrinya, sedikit pun."Selama setahun kita menikah nanti, aku yang akan bertanggung jawab memberimu nafkah, membiayai kuliahmu dan bila kita sudah berpisah pun, aku akan memberikanmu uang sebesar satu milyar. Dan kamu harus setuju!"Di liriknya wajah tenang Ivana yang masih diam."Ya, anggaplah sebagai harta gono gini kita."Kening Faris mengerut sesaat ketika tiba tiba melihat ada senyuman tipis yang dia lihat di bibir Ivana. Lalu kembali tak peduli."Ini kartu ATM yang bisa kamu gunakan untuk keperluan pribadi dan biaya kuliahmu. Password -nya adalah tujuh angka berurutan yang di mulai dari angka satu, nanti bisa kau ubah sesukamu," ujar Faris, tangannya menggeser kartu ATM berwarna gold ke arah Ivana. Kartu yang baru di ambil dari saku kemeja yang dia pakai."Ambil dan simpan baik- baik!"Faris berkata sambil berdiri dan melangkah menjauh, menaiki tangga.Ivana mengulurkan tangan mengambil kartu itu, bibirnya masih terlihat tersenyum tipis, apa yang dia duga kini menjadi kenyataan."Ambil sisi baiknya, Va. Setidaknya kau tidak perlu merepotkan Umi lagi untuk urusan kuliah dan makan. Ini hanya setahun, tidak lama bukan,' desis Ivana menenangkan diri sendiri."Pak No!" panggil Faris saat tiba di pertengahan undakan tangga.Ivana yang semula sibuk dengan hatinya, terjengkit mendengar suara keras Faris memanggil Pak No."Ya, Tuan!" jawab Pak No, sambil berlari dari arah dapur menuju Faris berdiri."Ada yang bisa saya bantu, Tuan?" tanya pria setengah baya itu, setelah berdiri di depan Faris, dengan sedikit membungkukkan badannya."Antar Nyonya Ivana keliling rumah, lalu tunjukkan di mana letak kamarnya!" titah Faris tanpa menoleh, lalu kembali melangkah naik menuju lantai atas.Pak No menoleh ke arah Ivana yang mencibir ke arah Faris, sambil tersenyum."Mari Nya, saya antar keliling rumah?!" ajak Pak No dengan ramah."Tidak usah, Pak, saya mau istirahat saja, bisa tolong antarkan saya ke kamar?""Baik, Nya .... Langsung ke kamar saja," balas Pak No mengulang apa yang di katakan oleh Ivana tadi.Sambil membungkukkan sedikit punggungnya, pak No melangkah lebih dulu menaiki tangga.Ivana berjalan perlahan membuntuti Pak No, matanya terus memperhatikan setiap sudut rumah yang akan dia tempati."Nya ... silahkan masuk, ini kamarnya."Ivana sedikit tersentak, saat mendengar suara pak No. Akibat terlalu fokus dengan apa yang dia lihat."Iya, Pak. Makasih." jawab Ivana,"Kalau ada yang Nyonya butuhkan, saya dan Mak Ijah siap kapan saja, jangan sungkan, tinggal panggil."Pak No berkata sambil tersenyum, hormat."Makasih, Pak No," ujar Ivana sambil mengangguk, ramah kepada pembantu separuh baya itu.****Ivana memandangi kamar barunya, menyentuh tempat tidur ukuran tanggung yang terasa lembut dan empuk. Satu lemari dua pintu, dengan ukuran tanggung. Meja hias lengkap dengan lampu di sekitar cermin.Di depan tempat tidur ada dua pintu tertutup, Ivana melangkahkan kaki mendekati pintu yang sebelah barat."Astaga ...!"Ivana tanpa sadar memekik gembira, ada balkon di kamarnya, lengkap dengan kursi panjang yang empuk serta sebuah meja. Pikiran Ivana langsung berangan untuk menikmati malam ini dengan bahagia di balkon sambil menghitung bintang."Luar biasa hidupku saat ini?!" seruIvana yang kemudian berbalik membuka pintu yang satunya lagi, ternyata isinya kamar mandi, lengkap dengan handuk dan peralatannya."Wooow ...!"Dunia Ivana seketika berubah, kamar yang biasanya dia tempati, harus rela berbagi dengan teman panti lainnya, sekarang hanya untuk dirinya seorang."Andai ini bukan hanya setahun dan ... ah, sudahlaah, tak perlu berangan," tegurnya pada dirinya sendiri.Ivana berjalan menuju tas besar miliknya yang di bawa Pak No tadi.Segera membuka, memindahkan dan menata isinya ke dalam lemari, barulah kemudian meletakkan tas yang sudah kosong itu ke atas lemari.Menata alat kosmetik yang sekedarnya di atas meja hias. Menata buku-buku diktat dan beberapa buku tebal kuliahnya, ke atas nakas di sebelah tempat tidur."Selesai," ucapnya sambil merebahkan badan ke arah tempat tidur."Harusnya aku mandi dulu, biar segar," lirih Ivana sambil menguap, dan berakhir dengan dengkuran halus.Flash back off"Kami akan segera bercerai," ujar Ivana, dengan tangan kanan yang terus memainkan sedotan es teh."Kamu ngomong apa sih, nikah juga baru lima bulan sudah bahas cerai aja? Kayak selebartis deh!" Naya, perempuan cantik berambut lurus bagus, sebahu itu, tiba tiba mendelik, menunjukkan wajah tak suka dengan apa yang baru saja sahabatnya katakan."Aku serius, seharusnya selama kami bersama, kami tidak usah memakai perasaan, agar tidak ada kewajiban layaknya suami istri," lanjut Ivana, matanya menatap Naya."Jadi ... kamu terima apa saja yang kakakku katakan? Bantahlah sekali sekali, Va!" sungut Naya, sambil membalas tatapan Ivana dengan kecewa.."Ah ... Aku lupa kalau kamu pasti nggak bakalan mau ngebantah suami, pamali ya, kan?!"Naya menjawab sendiri pertanyaannya tadi. Pandanganya dia alihkan ke tempat lain, petanda dia tak suka pilihan Ivana.Ivana menanggapi Naya dengan senyuman, apa yang dilakukan perempuan yang duduk di hadapannya ini bukanlah yang pertama kali."Kamu inginkan aku
"Ke mana?" jawab Rizal, matanya menatap Dimas, tak mengerti."Kita nanya langsung aja ke mas Faris," jawab Dimas sambil berdiri dari kursi."Tapi mampir dulu ke rumah sebentar, aku mau ngasih pesanan nyokap tadi pagi, gimana?" sambung Dimas, lagi."Ayo .... Kamu ikut, nggak? Malah ngelamun," desak Dimas, tak sabar."Mmm ... iya deh, aku ikut ...." Rizal berdiri dan melangkah mengikuti arah Dimas berjalan.Dimas tersenyum mendengar keputusan Rizal, dan terus melangkah tanpa menoleh.****"Mau ke mana lagi, Dim? Baru nyampek rumah 'kok sudah mau pergi lagi." Bundanya Dimas mulai ngomel saat melihat gelagat anaknya yang berkemas hendak pergi lagi."Mau ke kantornya mas Faris, Bun." jawab Dimas, sambil terus berkemas."Ngapain ke sana, ada perlu apa?" tanya Bunda dengan kening mengernyit."Denger dari Naya, katanya Mas Faris baru saja nikah dengan —""Terus ... apa hubungannya denganmu?" potong Bunda dengan tatapan tajam ke arah Dimas, sambil duduk di sofa berhadapan dengan posisi duduk
"Apa kabar Adik Ipar tersayang, aku harap ... mulai hari ini kamu belajar untuk mulai membiasakan diri menghormati aku yang nantinya akan menjadi istri dari kakakmu."Bella tersenyum sinis saat melihat sosok orang yang tadi berani membantah apa yang dia katakan. "Jangan bermimpi terlalu tinggi, di tabrak pesawat kan nggak lucu?!" Naya menjawab sinis, setelah sebelumnya terlihat mencibir.Dari awal Bella berhubungan kasih dengan Faris, Naya adalah salah satu orang yang berani menampakkan sikap tidak sukanya pada Bella secara terang terangan, selain mamanya Faris. "Sepertinya kamu salah orang, adik kecil, yang bermimpi itu dia! Bukan aku!" jawab Bella dengan tangan kiri menunjuk ke arah Ivana yang masih terlihat sangat tenang."Jangan sok akrab! Aku bukan adikmu!" balas Naya saat mendengar perempuan berbaju kurang bahan itu memanggilnya adik kecil."Faktanya sekarang adalah Ivana memang istri dari kakakku?! Jadi buat apa dia bermimpi, sedangkan kamu, siapa kamu?!" lanjut Naya dengan
"Mmm ... Bella benar, akulah pemimpi itu."Dengan wajah sedih, Ivana melihat ke atas tempat tidur, tempat tadi Faris tidur, sebelum dirinya ke kamar mandi, kini kosong. Hanya ada kotak berbungkus kertas kado dan kotak kain beludru warna merah. Ivana mengunci pintu kamar dan kembali ke ranjang, dengan perlahan dia membuka kotak kain beludru."Sudah aku duga," ujar Ivana, saat dia melihat di dalam kotak itu terdapat satu set perhiasan lengkap dengan surat suratnya. Kotak berisi perhiasan itu dia tutup kembali dan meletakkannya ke atas nakas di samping ranjang. "Terima kasih Naya."Dengan tersenyum, Ivana meletakkan kertas yang baru daja dia baca, lalu membuka bungkusan yang dia yakini telah dititipkan oleh sahabatnya, Naya. Kening Ivana tiba tiba mengerut, saat melihat isi di dalam kotak, ada sebuah jam tangan dan ... permen.Permen yang membuatnya bisa merasakan menjadi seorang istri yang utuh.Ivana teringat lima bulan yabg lalu, tepatnya seminggu setelah dirinya resmi menjadi is
"Papa di mana, Ma?!" tanya Naya, saat dirinya yang baru datang dari rumah sahabatnya, hanya bertemu dengan Mama yang baru saja turun dari lantai dua."Di ruang kerjanya, memangnya ada apa? Kok tumben, baru masuk rumah sudah nanya Papa? Lagi pula kamu dari mana aja, Nay? Kenapa pulangnya malam begini?"Mama menjawab sekaligus bertanya pada anak perempuannya yang baru saja memeluk dan mencium ke dua pipi."Dari rumah Ivana, Ma," jawab Naya, yang melangkah ke arah kamar yang di jadikan sebagai kantor Papa kalau di rumah. "Kamu sudah makan malam? Kalau belum, sini temani mama makan," ajak Mama penuh harap."Masih kenyang, Ma. Di rumah Ivana tadi, aku terlalu banyak makan gorengan." Naya menjawab tanpa menoleh. "Oh iya, sekarang Ivana ulang tahun, ya? mama dan Papa tadinya juga mau ke sana, hanya saja tadi pagi ada insiden tidak mengenakkan sehingga membuat papamu terlupa tentang niatnya tadi."Langkah Naya tiba tiba terhenti, perempuan cantik itu membalikkan badannya kembali ke arah M
"Halo, ada apa Nay?" tanya Ivana, siang itu kepada orang yang sedang menelponnya.[Va, kamu nggak ke kampus?] terdengar suara Naya yang bukannya menjawab, malah balik bertanya."Aku sedang nggak enak badan, Nay." [Kamu kenapa? Sakit?]"Masuk angin mungkin, tadi malam ketiduran di balkon."[Jangan ke mana mana, ya. Setelah dari sini aku bakalan ke sana.]"Sungguh! Kalau bener mau ke sini, boleh nggak aku minta tolong kamu? Tolong ambilkan hasil pemeriksaan yang kemarin di rumah sakit."[Ke Dokter Agustien kan, ya?]"Iya ...."[Ok, aku bakalan ambil.]"Makasih ya, terus kalo udah dalam perjalanan ke sini. tolong belikan ice cream coklat ya, please."[Ok, siap!]"Makasih ya ... Nay," jawab Ivana sambil menutup ponselnya, sesaat setelah mendengar Naya menjawab salam dan menutup pembicaraan lebih dulu.Dari kemarin Ivana merasa kondisi badan tidak enak, Namun suhu badan tidak panas, hanya pusing dan lemas aja, dan ditambah selera makan yang turun drastis.Saat hendak menaruh phone ke temp
"Aku berhak bahagia, Nay. Mas Faris pun juga.""Tapi kondisi---""Aku bahagia, masih ada kamu, Umi. Ada Dimas dan Rizal," ujar Ivana di antara gemetar suaranya. Naya mendekati Ivana dan memeluknya, Namun terlihat raut amat sedih Naya, yang merasa bersalah. Perlakuan kakaknya telah membuat sahabatnya menderita."Aku akan menjagamu, Va. Percayalah.""Makasih, Nay. Kamu tetap adikku, mantan adik ipar, jangan songong loo." Ivana tersenyum mencoba keluar dari zona sedih. Tanpa mereka berdua sadari. Dari arah dapur, tampak Mak Ijah dan Pak No dan empat perempuan berseragam, saling bertatapan karena mendengar pembicaraan itu sejak awal, mereka terdiam sedih."Apakah, kau membawa apa yang aku pesan, Nay?" tanya Ivana."Oiya, ini hasil pemeriksaan yang kau minta, tapi hanya fotokopiannya saja, yang asli dipegang dr. Sinta." Naya memberikan map warna kuning ke Ivana untuk ke dua kalinya."Menurut, dokter Sinta. Laporan itu udah lengkap dengan diagnosa gejala awal, sampai beberapa stadium lan
Akhirnya Ivana mengangguk, lalu kembali duduk sambil memperhatikan Naya dan dr. Agustien yang sedang siap siap."Ada berapa korban, Sus?" tanya Dokter sambil menggunakan jas putih kehormatannya."Dua, Dok. Yang parah satu, korban laki-laki. Sedangkan yang satu lagi, perempuan, hanya luka biasa saja," terang perawat."Satu di antara kalian, ayo ikut!" Menunjuk ke arah Dimas dan Rizal."Siap, Dok!" ujar Dimas, berdiri dan segera melangkah keluar dari kamar pemeriksaan."Zal, kalau mau berangkat ke panti lebih dulu, tak apa, malah menurutku itu lebih baik. Aku dan Naya gampanglah, pulangnya bisa nanti," ujar Dimas sebelum benar benar keluar dari kamar."Aku nunggu Naya dan kamu selesai aja di sini, nggak lama kan?" Ivana menjawab pertanyaan Dimas ke Rizal."Ya udah, terserah." Dimas menjawab dan kemudian berbalik arah kembali keluar dari ruangan. Menyusul Naya dan Dokter Sinta."Kamu yakin mau menunggu Naya dan Dimas, nggak mau balik duluan, mending istirahat di Panti?" Rizal bertanya