Beberapa bulan sebelumnya…
Di bawah sinar mentari yang merangkak naik, wajah Yusuf semakin mengkilap sebab minyak di kulit. Lalu, tercoreng wajah itu oleh butiran tanah saat Yusuf mengusap peluh di pelipisnya. Tudung kepala yang terbuat dari anyaman bambu ia jadikan kipas. Sejenak matanya terpejam demi menikmati hempasan angin sejuk yang ia ciptakan.
Yusuf kemudian senyum-senyum sendiri sembari menyiram tanaman stroberi yang mulai berbuah. Warna buah stroberi mengingatkannya pada bibir Lilis yang kemerahan lagi segar. Yusuf membayangkan bibir itu bisa ia gigit seperti buah-buah stroberi.
Ah, pasti rasanya legit. Yusuf nyengir saat satu gigitan buah stroberi masuk ke mulutnya. Ia menjulurkan lidah. Rasa kecut buah stroberi menimbulkan efek kejut sesaat, membuyarkan lamunannya.
Lilis, gadis cantik nan manis anak semata wayang Pak Jajang -pemilik kebun stroberi- sungguh memikat hati Yusuf, seorang pemuda yang dikenal lugu lagi gagap dalam berbicara. Kabarnya, Yusuf gagap semenjak kepergian ayahnya yang meninggal sebab jatuh dari pohon kelapa. Kegagapan itu kini bertambah parah oleh munculnya debaran yang menggelisahkan di dada Yusuf.
Lilis, selain menyebabkan Yusuf gagap akut saat berada di dekatnya juga berhasil merampas sekian persen kewarasannya.
“Dasar gelo!” celetuk nenek Yusuf suatu kali ketika mendapati Yusuf cengar-cengir sendiri sewaktu siduru di depan tungku batu. Ya, meski Yusuf tidak pernah mengutarakan isi hatinya, gelagatnya itu bisa terbaca oleh orang-orang yang setiap hari bertemu dengannya, termasuk Pak Jajang.
Sejak tiga tahun lalu, Pak Jajang datang dari Jakarta membawa istri serta anak gadis semata wayang mereka, Lilis. Waktu itu Pak Jajang berhenti dari pekerjaannya sebagai ajudan pribadi seorang pejabat PPK (Pasukan Pembasmi Korupsi). Karena bosnya itu terjerat kasus suap hingga mendekam di penjara, Pak Jajang akhirnya bulat untuk fokus berkebun dan beternak di lahan miliknya yang ia beli sewaktu masih jadi ajudan pribadi.
Di atas lahan yang berada di kaki Gunung Salak tepatnya di Desa Cihejo, Bogor, Jawa Barat, Pak Jajang berkebun bunga, buah dan sayuran. Hasil panen kebunnya itu ia pasok ke restoran dan hotel-hotel. Mengingat Pak Jajang punya banyak kenalan orang-orang kaya dan pejabat sewaktu jadi ajudan dulu, maka usahanya cepat berkembang.
Kini, lahan seluas lapangan sepak bola milik Pak Jajang bertransformasi menjadi objek wisata dengan konsep family garden. Para wisatawan yang kebanyakan datang dari Jakarta, bersama anak-anak mereka memetik sendiri buah dan sayuran di kebun Pak Jajang. Bertambahlah daya tarik wisata kaki Gunung Salak yang sudah dikenal memiliki banyak curug indah lagi jernih airnya.
Berbagai macam bunga ditanam dan ditata sedemikian rupa menjadi taman bunga yang cantik bak di negeri dongeng. Padahal dulunya lahan itu hanya berupa kebun talas dengan sebuah vila kayu yang kini jadi tempat tinggal Pak Jajang beserta keluarga. Selama ini Yusuf dan neneknyalah yang merawat kebun dan vila Pak Jajang. Semenjak Pak Jajang tinggal, Yusuf jadi sibuk sebab Pak Jajang selain berkebun bunga, sayuran dan buah, juga beternak kambing, bebek dan ayam kampung.
Kalau boleh jujur, upah yang didapat Yusuf dari merawat kebun Pak Jajang tidaklah seberapa, seringkali hanya cukup untuk makan Yusuf dan neneknya. Yusuf juga tidak pernah menuntut banyak karena dulu dia sendiri yang menawarkan diri untuk merawat kebun Pak Jajang. Yusuf yang putus sekolah di bangku SMP sudah bersyukur ada orang mau mempekerjakannya.
Dengan senang hati Yusuf merawat kebun Pak Jajang. Melihat bunga-bunga yang cantik dan buah-buahan yang segar adalah kenikmatan tersendiri baginya. Apalagi Pak Jajang orangnya ramah dan pemurah. Meski upah yang diberikan pada Yusuf tidak besar tetapi Pak Jajang tidak pelit membagi hasil panen sayuran dan buahnya. Yusuf dan nenek boleh membawa pulang kangkung, tomat, bayam bahkan ayam sesuka hati untuk dimasak di rumah.
Kesemuanya itu membuat Yusuf betah jadi tukang kebun Pak Jajang ditambah adanya Lilis yang kian mewarnai hari-harinya. Semua lelahnya terbayar hanya dengan memandang Lilis sang pujaan hati yang ternyata…
tak berminat sedikit pun melirik ke arahnya.
“Selamat pagi!”“Pagi!”“Semangat!”“Semangat! Yes! Yes! Yes!”Sorak sorai penuh semangat membaur dengan cuitan burung-burung yang telah keluar dari sarang. Rona gembira menyibak kabut liar, elemen terbaik milik alam Cihejo di pagi hari. Mereka, gerombolan wisatawan dari kota, tujuh orang banyaknya, empat laki-laki dan tiga perempuan nampak begitu antusias menjajal wahana permainan air yang disebut river tubing. Di tepi sungai Harerang, setiap intruksi yang diberikan oleh pemandu mereka simak dengan baik, walaupun ada sebagian yang lebih asik bercanda dengan menggodai temannya.“Selamat datang di Harerang River Tubing!” Lilis sudah mengenakan pakaian sport muslimahnya saat menyambut mereka. Menjadi pemandu wisata air adalah pekerjaannya selain mengelola kebun wisata stroberi. Berkat tangan dinginnya, gadis itu berhasil menarik lebih banyak wisatawan dengan menawarkan beberapa paket wisata, river tubing ini salah satunya. Lima tahun lalu, Sungai Harerang hanyalah sungai alami milik w
Seringkali Loulia membayangkan betapa suatu hari ia akan menjadi seorang bintang, melenggang anggun melintasi red carpet di tengah keranuman tatapan kagum. Pada saat itulah ia akan merasakan percikan lampu kamera menjadi lebih hangat dari ciuman pertama, dan keredap cahaya yang memantul dari gaun berwarna peraknya liar memikat selera semua mata hingga hanya tertuju padanya.“Sungguh, A! Aku selalu membayangkan hari yang ajaib itu datang mengetuk jendela kamarku, bersama kabut dan dingin yang saling berebut cahaya. Pada saat itulah ketika aku membuka jendela, seketika aku menjelma seorang bintang…” Loulia berbicara sembari memandang pada lembah yang terjamah basah. “Kemudian orang-orang berebut untuk berfoto bersamaku.”Yusuf yang mendengarnya, hanya tertawa. “Kalau Aa punya keinginan seperti kamu, Aa pasti memilih menjadi kabut.”“Kenapa?”“Biar Aa bisa dicumbui kamu persis saat kamu menyesap aroma kabut sampai matamu merem melek. Biar Aa bisa menyusup ke rongga paru-parumu, mendekam
Desing suara mesin mobil pengangkut sayur yang beradu dengan gemeretak batu-batu kerikil yang digilas ban di halaman rumah berhasil mengalihkan pikiran Lilis sejenak dari ruwet pikirannya yang seperti benang kusut itu. Ia segera menyerbu pintu, persis anak kecil yang telah menunggu lama sang ayah pulang dari bekerja.Seorang laki-laki 40 tahunan turun dari mobil. Sambil mengelap peluh di wajahnya dengan handuk yang tersangkut di leher laki-laki itu berjalan menghampiri Lilis. Dari pintu mobil yang lain melompat seorang pemuda jangkung lagi kerempeng. Pemuda itu langsung menyalakan sebatang rokok setelah menemukan pojok yang pas untuk berjongkok.“Macet lagi, Pak?” tanya Lilis sambil menerima beberapa lembar nota dan kunci mobil yang disodorkan laki-laki itu.“Iya, Neng. Biasalah, kalau lewat pas lagi bubar karyawan pabrik pasti macet.”“Pak Asep, saya bikinin kopi ya,” seru Buk Martinah yang tergopoh-gopoh dari dalam rumah.“Nggak usah, Buk. Saya mau langsung pulang saja. Sudah kemale
Tak! Tuk! Tak! Tuk!Bagi Farhan jarum jam yang berdetak di ruang pemeriksaan tak sekadar berjalan meniti waktu, namun terasa begitu tajam menusuk tempurung kepalanya. Dokter muda itu mengerjapkan mata berulang kali, juga mengatur napasnya yang kacau namun semampunya ia sembunyikan. Farhan tak ingin efek yang terjadi pada tubuhnya sebagai seorang lelaki dewasa normal disadari oleh gadis itu. Bahkan saat pasiennya itu melepas pakaian atasnya hingga terpampang nyata dua benda bulat berharga miliknya, Farhan masih bisa bersikap tenang.“Oke,” gumam Farhan setelah mengamati dua bukit kembar milik Erna. Lalu kembali menambahkan catatan di kertas yang ditopang papan dada. Seolah sedang melakukan pemeriksaan biasa, Farhan tak menampakkan reaksi berarti. Sikap datarnya itu justru memancing rasa penasaran Erna.“Apakah baik-baik saja, Dok?” Erna sengaja melembutkan suaranya seiring dengan sorot matanya yang mendalam pada dokter muda itu.&ld
“Silakan…” Gadis itu masuk ke ruang pemeriksaan diikuti Farhan yang berjalan setengah gusar. Rupanya Farhan tak lupa pada sebuah batasan yang ia buat sendiri, sesuatu yang ia pegang demi menjaga kredibilitasnya sebagai dokter muda. Ia tak boleh menerima pasien perempuan di luar jam kerja, apalagi seorang diri tanpa ditemani perawat. Keputusan spontan yang ia ambil beberapa menit yang lalu kini mengganggu pikirannya. Entah mengapa ia tak kuasa menolak gadis itu, yang jika dilihat sekilas tak nampak kesakitan atau menderita cedera serius yang harus segera ditangani. Ketika gadis itu melewatinya, Farhan kembali mencium aroma memabukkan itu. Seketika darahnya berdesir, beruntung ia mampu menguasai diri sebelum gadis itu menoleh ke arahnya. “Silakan duduk.” “Terima kasih.” “Dengan Mbak siapa?” Farhan menarik pulpen dan mulai mencatat di atas secarik kertas. “Erna.” “Baik. Mbak Erna, kalau tidak salah siang tadi kita bertemu di… supermarket?” “Iya betul, Dok. Saya karyawannya calon i
Melihat mulut Lilis terkatup rapat, dan serat-serat kelopak matanya terangkat, Buk Martinah tahu kalau anaknya tengah menanggung beban pikiran yang sangat berat. Sejumput sesal kemudian menghentak dada Buk Martinah. Bila saja ia bisa menyimpan pesan itu, paling tidak sampai suasana hati Lilis kembali riang seperti biasa, itu akan lebih baik mengingat gadis semata wayangnya akan menikah dalam waktu dekat. Tapi hati siapa yang tak terganggu dengan keluh dari seorang perempuan renta, yang siang tadi tetiba mengetuk pintu rumah Buk Martinah. Perempuan itu sudah sangat sepuh namun bersikukuh ingin menukar peluh dengan beberapa lembar uang, sayur, buah atau apa pun itu yang dapat menyambung hidupnya.Lilis yang duduk persis di samping Buk Martinah sejak sepuluh menit lalu terus memeluk gelas berisi teh manis hangat dengan telapak tangannya. Pandangannya mengambang setengah putus asa. Di teras rumah, suara jangkrik dan tonggeret mengiringi kesenduan batinnya; mengisi keheningan yang