Share

3

Bola mata Loulia melotot mau keluar. Ia meronta dengan segenap tenaga yang tersisa, melawan dekapan pemuda bertubuh lebih besar darinya dari belakang.  Pemuda itu barusan membawanya berlari tanpa alasan yang jelas. Setelah Loulia lemas, sosok misterius itu perlahan melepaskan tangannya yang membekap Loulia.

Loulia menghela napas berkali-kali. Ingatannya masih segar bahwa tadi itu ia sedang asyik menari di hadapan kekasihnya. Lalu, tiba-tiba pemuda ini mengacaukannya, menghajar kekasihnya juga para laki-laki berpakaian hitam.

Klak!

Pintu terbuka! Dengan gerakan cepat pemuda di belakangnya itu menekan kepala Loulia, memaksa gadis itu mengikuti gerakannya merunduk dan berjalan merangkak ke barisan lemari paling belakang.

“He he he he he he…” Di ambang pintu Deon tertawa terkekeh sendiri. “Biarlah mereka di sini, mati perlahan karena kedinginan, he he he he…”

Suara itu membuat gentar Loulia namun sekaligus menyadarkannya -meskipun tak terlalu yakin, sebab ingatan jangka pendeknya perlahan kabur- bahwa dirinya sudah diperdaya oleh Deon, manajer cabul itu. Kecurigaan pun muncul terhadap sosok pemuda di belakangnya.

Mata Loulia terbelalak demi melihat wajah pemuda itu. Beragam pertanyaan mencuat seketika sampai terasa cenat-cenut di kepala. Ingin Loulia menumpahkan semua yang mengapung di permukaan pikiran, namun niatnya terbendung oleh sentuhan telunjuk pemuda itu di bibirnya.

“Sssstttt…” Yusuf menahan mulut yang terbuka mau bicara. “Dia pasti menunggu kita di luar, bersiap menangkap kita saat keluar…” bisik Yusuf sembari matanya terus berkeliling ruangan, memeriksa barangkali ada jalan lain. Sementara ia masih duduk di belakang Loulia. Dengan posisi duduk yang seperti itu, mereka jadi seperti sepasang kekasih yang sedang mojok bermesraan.

Sayangnya, kalau sepasang kekasih duduk sedekat itu biasanya sambil menikmati pemandangan alam, sedangkan di hadapan mereka yang ada justru kengerian.

Saat ini mereka terjebak di ruang pendingin bir. Tak ada jendela maupun pintu lain di ruangan itu, sementara Deon menunggui mereka di luar sana, sengaja hanya menutup dan tak mengunci pintu. Sah sudah tak ada jalan kabur bagi mereka.

Brrrr…. Tubuh Loulia menggigil. Hawa dingin menyusup ke dalam jiwanya, membekukan segala harapan yang semula ramah mengetuk hatinya.

Air mata Loulia jatuh, membasahi punggung tangan Yusuf. Yusuf jadi sadar, ia tanpa sengaja duduk sembari memeluk Loulia dari belakang. Dilepaskannya rangkulan eratnya di atas dada Loulia dengan gerakan kikuk.

Melihat bibir Loulia bersemu ungu karena kedinginan, Yusuf jadi teringat pada lingerie hitam yang menempel pada tubuh gadis itu. Suhu sedingin ini, ditambah pakaian tipis, tentu saja gadis itu menggigil dibuatnya.

“Aku tahu kalian di dalam. Aku hanya penasaran, sampai kapan kalian bisa bertahan? He he he he…” Suara Deon kembali terdengar.

Napas Yusuf seketika tercekat begitu Loulia dengan polosnya menyembunyikan wajah di lekuk lehernya yang berdenyut-denyut karena tindakan spontan gadis itu. Loulia terus memegangi ujung bajunya erat-erat. Menyadari tubuhnya yang berdesir-desir demi bereaksi terhadap tubuh yang menempel rapat pada tubuhnya, Yusuf berusaha tetap awas dan siaga.

Ini gila! Bagaimana mungkin aku melampiaskan hasratku yang terpendam padanya, pikir Yusuf. Gemuruh di dada ia tekan kuat-kuat, dan perasaan mendamba ia hempaskan meskipun gadis ini wanita pujaannya yang cantik, mulus, menggoda dan kerap hadir dalam imajinasinya tentang seluruh keindahan wanita. Yusuf masih bersikap hati-hati, bagaimana pun ia tak ingin Loulia berpikir ia mengambil kesempatan dalam kesempitan.

Lagi pula sikapnya ini pastilah karena gadis itu benar-benar takut. “Kau tahu, anak buah Deon di luar juga tak sedikit. Bisa saja, dia langsung membunuh dan membuang kita.” Ucapan Yusuf membuat Loulia semakin takut. Gadis itu bergeser semakin merapat padanya.

“Apa kita akan mati di sini?” Loulia berbisik lirih. Air matanya kini jatuh membasahi baju Yusuf.

Yusuf berusaha fokus. Ia menepis pikiran-pikiran yang mengganggu. Gadis ini jelas-jelas ketakutan! Tangan Yusuf yang diam terangkat akhirnya menepuk-nepuk pelan pundak Loulia yang memeluknya, mencoba menenangkan Loulia sekaligus gemuruh di dadanya.

Sayangku, setelah kita menikah setiap saat kau pasti akan kupeluk, bisik Yusuf dalam hati. Tapi sekarang, jangankan berpikir untuk memadu kasih, bisa keluar dan selamat dari tempat ini saja sudah suatu anugerah, pikir Yusuf lagi.

“Kita pasti selamat. Aku akan berusaha mencari cara, tak akan kubiarkan mimpi indah kita pupus di rumah ini,” ucap Yusuf.

Perlahan Loulia mengangkat wajahnya. Menatap nanar pada sepasang mata yang meneduhkan itu. Mendengar ucapan Yusuf, hatinya tersayat ngilu. Ia terlambat menyadari, bahwa ambisinya telah menggiring mereka pada nasib tragis ini.

Batin Loulia menjerit, benarkah akan berakhir indah? Atau kisah ini hanya akan menjadi romansa tersedih sepanjang masa?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status