Bola mata Loulia melotot mau keluar. Ia meronta dengan segenap tenaga yang tersisa, melawan dekapan pemuda bertubuh lebih besar darinya dari belakang. Pemuda itu barusan membawanya berlari tanpa alasan yang jelas. Setelah Loulia lemas, sosok misterius itu perlahan melepaskan tangannya yang membekap Loulia.
Loulia menghela napas berkali-kali. Ingatannya masih segar bahwa tadi itu ia sedang asyik menari di hadapan kekasihnya. Lalu, tiba-tiba pemuda ini mengacaukannya, menghajar kekasihnya juga para laki-laki berpakaian hitam.
Klak!
Pintu terbuka! Dengan gerakan cepat pemuda di belakangnya itu menekan kepala Loulia, memaksa gadis itu mengikuti gerakannya merunduk dan berjalan merangkak ke barisan lemari paling belakang.
“He he he he he he…” Di ambang pintu Deon tertawa terkekeh sendiri. “Biarlah mereka di sini, mati perlahan karena kedinginan, he he he he…”
Suara itu membuat gentar Loulia namun sekaligus menyadarkannya -meskipun tak terlalu yakin, sebab ingatan jangka pendeknya perlahan kabur- bahwa dirinya sudah diperdaya oleh Deon, manajer cabul itu. Kecurigaan pun muncul terhadap sosok pemuda di belakangnya.
Mata Loulia terbelalak demi melihat wajah pemuda itu. Beragam pertanyaan mencuat seketika sampai terasa cenat-cenut di kepala. Ingin Loulia menumpahkan semua yang mengapung di permukaan pikiran, namun niatnya terbendung oleh sentuhan telunjuk pemuda itu di bibirnya.
“Sssstttt…” Yusuf menahan mulut yang terbuka mau bicara. “Dia pasti menunggu kita di luar, bersiap menangkap kita saat keluar…” bisik Yusuf sembari matanya terus berkeliling ruangan, memeriksa barangkali ada jalan lain. Sementara ia masih duduk di belakang Loulia. Dengan posisi duduk yang seperti itu, mereka jadi seperti sepasang kekasih yang sedang mojok bermesraan.
Sayangnya, kalau sepasang kekasih duduk sedekat itu biasanya sambil menikmati pemandangan alam, sedangkan di hadapan mereka yang ada justru kengerian.
Saat ini mereka terjebak di ruang pendingin bir. Tak ada jendela maupun pintu lain di ruangan itu, sementara Deon menunggui mereka di luar sana, sengaja hanya menutup dan tak mengunci pintu. Sah sudah tak ada jalan kabur bagi mereka.
Brrrr…. Tubuh Loulia menggigil. Hawa dingin menyusup ke dalam jiwanya, membekukan segala harapan yang semula ramah mengetuk hatinya.
Air mata Loulia jatuh, membasahi punggung tangan Yusuf. Yusuf jadi sadar, ia tanpa sengaja duduk sembari memeluk Loulia dari belakang. Dilepaskannya rangkulan eratnya di atas dada Loulia dengan gerakan kikuk.
Melihat bibir Loulia bersemu ungu karena kedinginan, Yusuf jadi teringat pada lingerie hitam yang menempel pada tubuh gadis itu. Suhu sedingin ini, ditambah pakaian tipis, tentu saja gadis itu menggigil dibuatnya.
“Aku tahu kalian di dalam. Aku hanya penasaran, sampai kapan kalian bisa bertahan? He he he he…” Suara Deon kembali terdengar.
Napas Yusuf seketika tercekat begitu Loulia dengan polosnya menyembunyikan wajah di lekuk lehernya yang berdenyut-denyut karena tindakan spontan gadis itu. Loulia terus memegangi ujung bajunya erat-erat. Menyadari tubuhnya yang berdesir-desir demi bereaksi terhadap tubuh yang menempel rapat pada tubuhnya, Yusuf berusaha tetap awas dan siaga.
Ini gila! Bagaimana mungkin aku melampiaskan hasratku yang terpendam padanya, pikir Yusuf. Gemuruh di dada ia tekan kuat-kuat, dan perasaan mendamba ia hempaskan meskipun gadis ini wanita pujaannya yang cantik, mulus, menggoda dan kerap hadir dalam imajinasinya tentang seluruh keindahan wanita. Yusuf masih bersikap hati-hati, bagaimana pun ia tak ingin Loulia berpikir ia mengambil kesempatan dalam kesempitan.
Lagi pula sikapnya ini pastilah karena gadis itu benar-benar takut. “Kau tahu, anak buah Deon di luar juga tak sedikit. Bisa saja, dia langsung membunuh dan membuang kita.” Ucapan Yusuf membuat Loulia semakin takut. Gadis itu bergeser semakin merapat padanya.
“Apa kita akan mati di sini?” Loulia berbisik lirih. Air matanya kini jatuh membasahi baju Yusuf.
Yusuf berusaha fokus. Ia menepis pikiran-pikiran yang mengganggu. Gadis ini jelas-jelas ketakutan! Tangan Yusuf yang diam terangkat akhirnya menepuk-nepuk pelan pundak Loulia yang memeluknya, mencoba menenangkan Loulia sekaligus gemuruh di dadanya.
Sayangku, setelah kita menikah setiap saat kau pasti akan kupeluk, bisik Yusuf dalam hati. Tapi sekarang, jangankan berpikir untuk memadu kasih, bisa keluar dan selamat dari tempat ini saja sudah suatu anugerah, pikir Yusuf lagi.
“Kita pasti selamat. Aku akan berusaha mencari cara, tak akan kubiarkan mimpi indah kita pupus di rumah ini,” ucap Yusuf.
Perlahan Loulia mengangkat wajahnya. Menatap nanar pada sepasang mata yang meneduhkan itu. Mendengar ucapan Yusuf, hatinya tersayat ngilu. Ia terlambat menyadari, bahwa ambisinya telah menggiring mereka pada nasib tragis ini.
Batin Loulia menjerit, benarkah akan berakhir indah? Atau kisah ini hanya akan menjadi romansa tersedih sepanjang masa?
Beberapa bulan sebelumnya…Di bawah sinar mentari yang merangkak naik, wajah Yusuf semakin mengkilap sebab minyak di kulit. Lalu, tercoreng wajah itu oleh butiran tanah saat Yusuf mengusap peluh di pelipisnya. Tudung kepala yang terbuat dari anyaman bambu ia jadikan kipas. Sejenak matanya terpejam demi menikmati hempasan angin sejuk yang ia ciptakan.Yusuf kemudian senyum-senyum sendiri sembari menyiram tanaman stroberi yang mulai berbuah. Warna buah stroberi mengingatkannya pada bibir Lilis yang kemerahan lagi segar. Yusuf membayangkan bibir itu bisa ia gigit seperti buah-buah stroberi.Ah, pasti rasanya legit. Yusuf nyengir saat satu gigitan buah stroberi masuk ke mulutnya. Ia menjulurkan lidah. Rasa kecut buah stroberi menimbulkan efek kejut sesaat, membuyarkan lamunannya.Lilis, gadis cantik nan manis anak semata wayang Pak Jajang -pemilik kebun stroberi- sungguh memikat hati Yusuf, seorang pemuda yang dikenal lugu lagi gagap dal
“Lilis!” panggil Buk Martinah, ibunya Lilis. Itu adalah panggilan ketiga yang tidak juga mendapat respon sekalipun Buk Martinah berteriak kencang dari arah dapur. Urat-urat leher Buk Martinah sampai muncul saking kuatnya berteriak, beradu dengan suara dandang di atas kompor.Lilis bukannya tidak mendengar, tetapi sudah tabiatnya malas menyahut panggilan orangtua sebab, Lilis tahu betul kalau ibunya memanggil pastilah mau menyuruh sesuatu. Alih-alih menjawab panggilan ibunya, Lilis malah asyik berjoged di depan layar ponsel.Lilis mendekatkan wajahnya ke layar ponsel sambil menyibak rambut dan mengerlingkan mata. Lilis menggerak-gerakan mulutnya, kadang terbuka, kadang manyun, kadang nyengir, kadang tersenyum manis, kadang judes dan cemberut.Lilis kemudian bergerak mundur. Ia menarik hotpant ketatnya dan mengangkat buah dadanya ke atas sampai menyembul keluar memperlihatkan belahannya dari balik tanktop kuning bertali tipis. Lilis l
Ketegangan dari dalam rumah Pak Jajang rupanya merambat ke dada Yusuf yang berdegup-degup terbawa suasana. Pak Jajang yang dikenal berwibawa dan cukup dipandang di desanya itu rupanya masih bisa kena hardik anaknya sendiri.Lalu keluarlah Pak Jajang dari dalam rumah dengan wajah merah karena marah. Dan saat pria berusia empat puluh tahun itu menatap Yusuf, ia membatin. Bagaimana jika anaknya yang liar dijodohkan saja dengan pemuda rajin dan baik itu. Pemuda itu juga tidak jelek, hanya miskin dan kurang merawat badan. Jika terus aku bimbing, insyaallah ia menjadi pemuda yang pandai mengelola kebun ini. Dengan begitu aku punya pewaris usaha yang jujur lagi dapat diandalkan.“Yusuf, boleh kemari sebentar?” panggil Pak Jajang.Yusuf menoleh. “I-i-ya, Pak.” Yusuf menghampiri Pak Jajang sembari sedikit menundukkan kepalanya.“Bapak mau tanya, waktu itu kamu pernah cerita… kamu putus sekolah pas SMP, betul?”
Di kamar neneknya, ruangan sempit berukuran tiga kali tiga meter, Yusuf berpose di hadapan cermin dengan tempelan lakban coklat yang memanjang di bagian tengah. Cermin yang terselip di kerangka rumah berbilik bambu itu tak lebih besar dari satu halaman buku tulis tetapi cukup membuat Yusuf terpana oleh bayangannya sendiri.Yusuf lupa terakhir kali bercermin. Selama ini ia memang menganggap hal itu tidaklah penting. Maka, ketika melihat rahang yang melebar dan lekuk wajah yang tegas Yusuf hampir tak percaya apakah seseorang di dalam cermin itu benar-benar dirinya.Yusuf melipat kerah kemeja flanel bermotif kotak warna hijau dan hitam yang ia beli di toko pinggir jalan, sepulangnya bekerja di kebun Pak Jajang. Terlihat kaos putih di bagian tengah, di antara belahan kemeja yang sengaja tidak dikancingkan.“Wih, kasep euy!” tutur Yusuf sambil mesem-mesem.Lengan kemeja dilipatnya sampai setengah siku. Lalu Yusuf memasukan kedua telapak ta
Pagi itu, tak seperti biasa Lilis sudah bangun bahkan sudah rapi dan wangi. Dua jam Lilis berdandan demi menonton syuting sinetron di kebun teh yang tak jauh dari rumahnya.“Hai! Ketemu lagi sama aku, Loulia Barsha,” riang Lilis menyapa orang-orang di dalam ponsel yang disebutnya ‘sahabat online’. “Hari ini aku mau ketemu sama idola aku… tebak siapa? Emh…pokoknya dia ganteng banget, cool… Ah, jadi nggak sabar. Hihihi,” ucap Lilis.Saat Lilis keluar kamar, Buk Martinah yang sedang sibuk beberes rumah menegur, “Wah, anak perawan ibu sudah cantik. Senangnya ibu ada yang bantuin masak di dapur.”“Ish, siapa yang mau masak? Lilis mau pergi yah. Mau ketemu artis,” jawab Lilis sambil memilah sandal di rak sepatu.“Loh, mau kemana? Mau ngapain? Sudah bilang belum sama Bapak?” tanya buk Martinah setengah berteriak.“Ah… Ibu banyak tany
Si gagap, dekil, miskin. Yusuf latah, ia langsung mencium aroma tubuhnya saat mendengar Lilis menyebutnya belewuk. Bagi Yusuf, belewuk adalah sebutan yang berlebihan dan menghina. Bukankah ‘belewuk’ adalah julukan untuk sesuatu yang kotor, jijik dan bau. Mendengarnya bahu Yusuf terkulai lemas.Sebegitu bencikah ia padaku? Ini di depan umum. Tak bisakah ia sedikit menjaga harga diriku. Biar begini, aku juga lelaki, batin Yusuf menjerit.Ia bahkan belum mengungkapkan sendiri perasaannya terhadap Lilis. Namun, sore itu semua kata-kata Lilis tentangnya, ia garis bawahi.Sementara, Lilis juga terhenyak oleh ucapannya sendiri. Ia tak menyangka laki-laki itu ada di belakangnya setelah temannya memberi tahu dengan tatapan resah.Lilis memang tidak suka pada Yusuf, terlebih ketika ia sering mendapati Yusuf mencuri-curi pandang padanya yang membuat Lilis merasa risih. Lalu, karena gelagat Yusuf yang amat kentara, maka Lilis sering dibercanda-i oleh tema
Enam bulan berlalu, dan Yusuf mulai mahir berbicara bahasa Inggris. Hal itu terbukti ketika ada bule datang ke kebun wisata Pak Jajang atau minta diantar ke curug di sekitar kaki Gunung Salak. Yusuf tak canggung menemaninya. Berbekal keahlian barunya itu, Yusuf kini jadi seorang pemandu wisata yang kesohor di kawasan Taman Nasional Kaki Gunung Salak.Decak kagum sering kali Yusuf dapatkan dari orang-orang kampung terkait perubahannya yang signifikan. Yusuf yang sekarang tidak lagi menunduk saat berpapasan dengan orang di jalan, tidak juga cengengesan saat sedang diajak ngobrol. Yusuf selalu menampakkan sikap percaya diri dan pembawaan yang tenang. Yusuf kini bahkan sudah tidak gagap berkat terapi yang ia dapatkan di tempat kursus publik speaking.Yusuf yang semula cuek dengan penampilannya, kini lebih pandai merawat diri. Kesan lusuh, dekil dan bau tak lagi melekat. Yusuf sudah mampu membeli jaket, celana olahraga, kemeja, sandal gunung dan segala per
Malam itu Yusuf duduk sendiri di batu besar di pinggir sungai, tempat ia biasa nongkrong sendiri, merenungi jalan hidupnya. Awan mendung di langit sesekali melontar cahaya kilat bergemuruh. Namun Yusuf, bersikukuh menghabiskan sebatang lagi rokoknya. Dihisapnya dalam-dalam lalu asap rokok dihembuskannya perlahan sembari teringat pada sosok Lilis.Sudah enam bulan berlalu, gadis itu ternyata berubah semakin cantik dan jelita. Tubuhnya berlekuk-lekuk indah, tinggi semampai dimahkotai rambut hitam lebat yang tergerai panjang, memikat. Kulitnya bening bersinar dan mulus seperti gelas kaca.Yusuf takut tak bisa mengendalikan sikapnya seperti dulu, yang terlalu jelas terlihat menyukai gadis itu. Ternyata, masih tersisa rasa rendah diri di hatinya. Tentulah karena hinaan yang pernah terlontar dari bibir manis milik Lilis, anak semata wayang Pak Jajang.Yusuf harus jujur, ia gagal menghapus bayang-bayang Lilis di benaknya. Selama ini ia terus dipenuhi perasaan galau tak