“Tidak mau makan?” suara dingin itu menusuk.Pelayan yang biasanya melayani Livia menunduk dalam tak berani menatap tuannya.“B-bahkan pintu kamar dikunci, tuan. K-kami tidak bisa masuk.” Ucp pelayan itu dengan nada gemetar ketakutan.Franco yang mendengar itu menengahi, “Biar saya yang urus nona tuan, kemungkinan dia masih trauma dengan kejadian semalam.”Alessandro menatap Franco dengan mata tajam seperti pisau yang hendak menusuk. Ia tak berkata apa pun selama beberapa detik, hanya membiarkan ketegangan menggantung di udara seperti tali gantung yang siap menjatuhkan kepala siapa saja yang bicara tanpa diminta.“Trauma?” ulangnya pelan, kemudian tertawa kecil, penuh ejekan. “Itu bukan alasan untuk menolak makan. Dia harus sadar, ini bukan hotel.”Franco tetap tenang meski nada suara Alessandro cukup diri yang untuk membuat siapa pun merinding. “Saya mengerti, Tuan. Tapi jika dipaksa, dia mungkin akan semakin melawan. Biarkan saya berbicara padanya dengan cara yang lebih... lembut.”
Alessandro tersenyum miring, melihat wanita yang dia cari terlihat ketakutan dan berlari ke arahnya. Seolah wanita itu akan selalu tunduk pandanya.“Turunkan senjatamu! Apa kau gila?!” Ucap Livia yang memegang pistol Alessandro yang mengarah ke arah Freddy.Alessandro hanya diam, membiarkan Livia mencengkram pergelangan tangannya yang masih memegang pistol. Sorot matanya menatapnya dalam—dingin, namun di balik itu ada kilatan emosi yang sulit dibaca.“Kenapa kau membelanya?” tanyanya dengan suara rendah, nyaris seperti bisikan maut.Livia menggeleng cepat, matanya tak lepas dari mata tajam Alessandro. “Aku tidak membelanya… aku hanya tidak ingin kau membunuh orang tanpa alasan!”Freddy yang masih menahan rasa sakit di bahunya mencoba bangkit, tapi Michael segera menahannya agar tidak membuat situasi semakin buruk.Alessandro perlahan menurunkan pistolnya, tapi tidak melepas tatapan dari pria yang hampir saja dia habisi. “Dia berbohong. Dia tahu kau di sini. Dan dia tetap menahanmu.”L
“Kita hampir sampai, Tuan,” ucap Franco dengan datar, matanya menatap ke layar navigasi di depannya. Deru helikopter semakin stabil, menunjukkan bahwa mereka sudah memasuki wilayah udara Pulau Tamothe.Alessandro berdiri di dekat pintu helikopter, memandang ke bawah melalui jendela kecil. Terlihat hamparan hutan lebat, jalan tambang, dan beberapa bangunan tua yang tersembunyi di antara kabut tipis.Senyum mengembang di sudut bibir Alessandro, pelan tapi mengerikan. “Hanya markas kecil,” gumamnya. “Jika aku keluarkan bom atomku… apakah mereka akan lenyap seketika?”Franco menoleh pelan. “Tuan tahu konsekuensinya.”“Aku juga tahu rasa puasnya,” potong Alessandro dingin. “Tapi sayang… Livia mungkin tidak akan utuh kalau aku lakukan itu.”Franco mengangguk. “Itulah sebabnya kami siapkan opsi kedua. Tim infiltrasi sudah berada di perimeter timur. Mereka menunggu aba-aba.”Alessandro menarik napas dalam, lalu mengeluarkannya dengan tenang. “Bagus. Kirim pesan pada mereka… Tidak ada belas ka
Dunia terasa damai, meskipun tak berada di kamar mewah seperti kemarin namun ini lebih baik.Livia bahkan tertidur sangat nyenyak malam ini, tak memikirkan apapun lagi karena berpikir disini dia bisa aman.Namun…Benarkah sudah berakhir?Benarkah ini tempat yang aman?Di tempat lain—tak jauh namun jauh dari jangkauan pikiran Livia—Freddy duduk dengan tubuh menegang, kedua tangannya mengusap pelipis yang berdenyut.“Sial…” desisnya, menatap layar laptop yang menampilkan laporan pergerakan orang-orang Alessandro. “Pria itu benar-benar punya koneksi yang kuat. Bahkan helikopter tanpa nomor terdaftar pun bisa dilacaknya.”Michael berdiri di samping, ekspresinya gelisah. “Untungnya tempat ini jauh dari semua akses, Tuan. Tak ada sinyal, tak ada kamera jalan. Bahkan drone pun akan kesulitan mencium keberadaan kita.”Freddy menoleh setengah, tapi matanya tak lepas dari layar. “Tapi?”Michael menelan ludah. “Apa Anda serius… akan tetap melindungi Livia, meskipun harus mengorbankan banyak hal?
“ARrrghhh. ..”Ken mencongkel peluru dari bahu Michael dengan tang cekatan, namun tak ada rasa belas kasihan dalam gerakannya. Darah menetes ke baki logam, mengisi udara dengan aroma besi yang tajam. Michael menggertakkan giginya hingga rahangnya bergetar, namun tidak bersuara lagi—ego yang terlalu besar untuk merengek.“Gila,” gumam Livia lirih, memalingkan wajah saat serpihan daging terangkat bersama peluru.Ken menoleh sekilas padanya, meneliti reaksi Livia. “Kau harus terbiasa. Dunia tempatmu berdiri sekarang bukan tempat yang ramah.”Livia hanya mengangguk pelan. Napasnya berat, dadanya naik turun. Meskipun ia tidak terluka secara fisik, trauma dari kejaran tadi masih membekas. Helikopter, ledakan, suara tembakan Alessandro yang begitu dekat—semuanya membuat adrenalinnya masih membanjiri tubuh.“Ken,” panggil Michael dengan suara serak, “berapa lama sampai aku bisa menembak lagi?”Ken menarik benangnya untuk menjahit luka. “Tiga hari kalau kau tidak tolol dan istirahat. Tapi meng
“Tuan, Nona kabur.”Satu kalimat yang membuat Alessandro yang sedang menguliti musuhnya langsung berhenti.“Ulang.” Ucapnya dengan dingin namun penuh perintah.Pria yang melapor itu menelan ludah, lututnya gemetar saat suara Alessandro menggema di ruang bawah tanah yang penuh aroma darah dan logam. “Nona Livia… kabur, Tuan.”Alessandro menjatuhkan pisau berlumur darah ke lantai. Bunyinya nyaring memantul, namun yang paling memekakkan adalah keheningan yang menyusul sesudahnya.Korban yang tadi menjerit kini terdiam, bahkan kematiannya terasa kurang berarti dibanding berita yang baru ia dengar.“Dengan siapa?” tanya Alessandro, masih tanpa menoleh. Suaranya serupa bisikan setan—pelan, namun membuat bulu kuduk siapa pun berdiri.“Kami… belum tahu pasti. Tapi…”JLEB!Argghhh!Jeritan nyaring itu menggema di ruang bawah tanah, bercampur dengan suara darah yang menetes deras ke lantai beton.Pria itu jatuh berlutut, mencengkeram gagang pisau yang tertancap di perutnya, wajahnya pucat dan m