“Ah, silakan masuk, Mas Haidar. Saya Pras, calon suami Kiran.” Pras tersenyum lebar sambil mengulurkan tangan. Sementara Haidar mematung dengan tatapan bingung. Ucapan Pras membuat jantungnya seakan terlepas dari rongga dada.“Ayo, ayo, duduk.” Pras terkekeh. Dia mengambil tangan Haidar yang masih terpaku dan menjabatnya erat sambil mengayunkan jabat tangan mereka beberapa kali hingga badan Haidar terguncang-guncang.“Silakan duduk, Mas.” Kiran akhirnya berdiri dan ikut mempersilakan. Dia tidak menyangka Haidar tetap memutuskan datang karena lelaki itu tidak membalas pesan yang dia kirim tadi malam.“Pak.” Haidar mencium tangan Ahmad lama. Setelahnya, dia bergeser dan melakukan yang sama pada Rista. “Maafkan Haidar, Bu.” Suara Haidar serak terdengar.Rista menengadahkan kepala sambil mengelus bahu Haidar. Dulu, Haidar adalah menantu yang sangat dia sayangi. Mereka bahkan sudah menganggap Haidar anak sendiri. Setahu mereka, rumah tangga anak dan menantunya itu baik-baik saja. Begitu pi
Pras. Itu kode mereka dulu kalau sedang bosan di kelas. Pras akan mengajaknya menyelinap ke kantin di tengah pelajaran, atau sekedar menghirup udara sejenak di luar kelas.Kiran mengangkat kepala. Tawanya hampir saja menyembur saat melihat wajah memelas Pras. "Bosen deh lihat drama." Kiran yakin Pras akan mengatakan itu padanya jika yang lain tak mendengar. Pras menunjuk ke arah pintu keluar dengan pandangan mata. "Ayo keluar!"Kiran menggeleng. "Ogah!"Pras mengangguk sambil mengedipkan mata. "Ayolah …."Kiran menggeleng kembali. "Nggak ah!"Pras semakin mengangguk-anggukan kepala. "Ayoooooo, yuuuuuk."Kiran menutup mulut menahan tawa. Sementara Pras langsung memperbaiki posisi saat Haidar sudah bangkit dari salim pada Rista dan duduk di sampingnya. "Maksud kedatangan Haidar kemari karena ada yang ingin dibicarakan. Mohon maaf kalau waktunya tidak tepat. Ternyata sedang ada tamu ….""Ah … tidak masalah, Mas Haidar. Silahkan bicara dengan Bapak dan Ibu sebagai ahli rumah. Saya dan K
“Haidar orang baik, Ran, kamu tahu pasti itu.” Kiran menarik napas panjang mendengar ucapan bapaknya.Hampir sebulan berlalu sejak kedatangan Haidar. Kemarin-kemarin tidak ada pembicaraan sedikitpun di antara mereka tentang hari itu. Ahmad dan Rista tidak memulai bicara dan Kiran pun enggan bertanya. Jadilah, Kiran sedikit menautkan alis saat Ahmad membuka percakapan ketika sarapan pagi ini.“Bapak sengaja tidak mau membahas hal itu dulu. Bapak mau berpikir dengan tenang sebelum menyampaikan hasil pembicaraan padamu. Bagaimanapun, Haidar pernah menjadi orang yang sangat Bapak percaya untuk menjagamu, tapi dia juga yang menghancurkan kepercayaan itu.”Kiran menelan sarapan dengan susah payah. Hatinya kembali tercubit setiap kali mendengar nama Haidar disebut. Sudah hampir sebulan ini juga dia sering mengabaikan pesan-pesan dari Haidar. Kiran hanya menanggapi sesekali jika itu berhubungan dengan rencana pengajuan modal usaha Haidar ke Bank. Di luar itu, Kiran berusaha menjaga jarak.“Se
Setiap kali mendengar nama Haidar, hati Kiran bergetar. Kala mata mereka tak sengaja bertemu, degup jantung Kiran bertalu-talu.Setengah jam berlalu, Kiran langsung memarkirkan motor dan bergegas masuk ke dalam. Dia menarik napas lega saat melihat jam masih kurang lima menit lagi sebelum batas absensi ditutup.“Aduuh yang habis dipuji, sumringah banget, Bu.”Kiran hanya tersenyum menanggapi ucapan Hadi. Dia langsung duduk di meja kerjanya dan menyalakan komputer. Wanita itu membuka jadwal rencana kerjanya hari ini. Sebelum pulang, Kiran memang terbiasa membuat agenda pekerjaan yang akan dikerjakan esok hari. Sehingga, setiap jam kantor dimulai, Kiran sudah tahu apa yang akan dikerjakan.“Kayaknya bakal menyabet penghargaan AO terbaik lagi nih.” Lira ikut menimpali ucapan Hadi. dari sudut matanya, Kiran dapat menangkap Hadi dan Lira saling melempar senyum. “Tapi kalau cara kerjanya kotor, tidak akan bertahan lama biasanya.” “Maksudnya, Ris?” Lira mengedipkan mata pada Risdi.“Bukanny
“Ran.”“Ran? Sibuk ya?”“Ran? Kabur saja dari kerjaan. Makan siang bareng yuk? Nanti biar tembus target, aku top up lagi modal kerjanya.”“Hai, Kiran, ciee … cie … sombong nih yeee.”“Pulang jam berapa, Ran?”“Rannnnnn, Rannnnn, Rannnnnn ….”Kiran tersenyum lebar saat membuka ponsel. Dia menggeleng pelan melihat pesan dari Pras yang menumpuk. Pras terus-terusan mengiriminya pesan karena dia tidak membalas. Kiran terbahak membacanya.Apalagi saat membaca pesan terakhir, Kiran seakan mendengar suara Pras sedang mengganggunya. Dulu, setiap kali dia ngambek, Pras akan memanggilnya seperti itu dengan nada motor gede yang berkali-kali di gas. "Drrrnnnn, Drrrrrnnnn, Drrnnnnn". Seharian ini Kiran sibuk sekali. Setelah pulang dari kunjungan proyek perumahan FLPP milik Haidar, dia langsung melengkapi berkas pengajuan proposal pinjaman dan presentasi di hadapan pinca dan reviewer.Setelah memastikan semua sudah OK dan pihak ADP serta Legal menyatakan besok dapat dilakukan akad pembiayaan antar
“Tuh!” dia mengacungkan tunjuk pada Lira dan Hadi. “Kalian sudah punya angka belum? Sibuk aja nyinyirin Kiran.” Kiran tertawa dan melambaikan tangan pada Mira. sudahlah, maksudnya.Lepas maghrib, mobil Pras sudah parkir manis di depan Bank. Dia tersenyum lebar melihat Kiran keluar. “Aku sudah izin sama Bapak dan Ibu. Kubawakan martabak manis Mang Johar, izin mulus kudapatkan.” Pras membuka obrolan setelah mobil berjalan.“Nyogok nih yeeee.” Pras terkekeh mendengar sindiran Kiran. Lelaki itu terlihat santai malam ini. Seperti biasa. Pras tidak pernah tampil formal dan kaku. Kaos putih dan celana jeans menjadi andalannya. Dia tidak menggunakan jaket, sehingga dadanya yang bidang terekspos jelas.Suasana jalanan sedikit padat. Kiran tidak banyak bertanya mereka akan makan kemana. Terserah Pras saja, toh dia juga ditraktir. Namun, Kiran mendadak menegakkan punggung dan membelalakkan mata saat mobil Pras parkir setengah jam kemudian.“Kita … kesini?” Kiran menoleh dan menatap Pras bingung s
"Sudah hampir jam sembilan, Pras." Kiran turun dari kap mobil. "Besok aku harus berangkat pagi." Kiran memeluk dirinya sendiri karena udara malam mulai terasa dingin.Pras mengembuskan napas pelan karena Kiran tidak menjawab. Kiran mengalihkan pandangan ke arah langit seolah sedang memandangi bintang saat mata Pras menatapnya penuh harap. Kiran menggigil. Embusan angin terasa menusuk karena dia tidak mengenakan jaket.Pras melompat dari kap mobil dan membukakan pintu untuk Kiran. "Silakan, Tuan Putri." Dia sedikit membungkukkan badan dengan posisi tangan mempersilakan Kiran masuk.Kiran tertawa melihat kelakuan Pras. Dia memukul bahu Pras pelan sambil menggelengkan kepala. Ada-ada saja tingkah Pras yang membuat senyumnya kembali terbit. "Thank you."Pras tersenyum tipis dan menutup pintu mobil. Lelaki itu menghembuskan napas kencang sebelum berjalan memutar dan ikut masuk ke dalam mobil. “Kiran,” lirihnya."Loh? Kita kemana ini?" Kiran menautkan alis saat mobil justru berjalan berlawa
Ini alasan terbesar Kiran selalu menghindar setiap kali Pras membahas tentang perasaan. Masalah harta bisa dicari, tapi restu orangtua adalah segalanya bagi Kiran. Tidak akan berkah kehidupan yang mereka lalui kalau restu orangtua tidak membersamai.Selain itu, penolakan Linda kala itu masih membekas di hati Kiran. Nyeri itu bahkan masih terasa sampai saat ini. Sepanjang hidup dia hanya berteman dekat dengan Pras. Dia bahkan tidak mengenal cinta monyet saat SMP dan SMA karena Pras selalu menempel padanya.Saat harap mereka mulai berkecambah, Linda mencabut habis hingga ke akar-akarnya. Penolakan dengan membawa status keluarga, meninggalkan jejak yang sangat membekas di dasar perasaan Kiran.“Aku hanya meminta kita mencoba, Ran.”Kiran menarik napas panjang. Ucapan Pras membuyarkan ingatannya tentang masa itu. Dia pura-pura menggaruk hidung untuk menghilangkan jejak air mata di wajahnya. Dia memperhatikan sekitar. Tidak lama lagi mereka kan sampai.Kiran tersenyum tipis saat mendengar