Valerie memandang pria di depannya dengan kedua mata melotot. Pria tambun, dengan kepala botak itu merangkul pundak Cherry, dan dibalasnya dengan mesra. Seketika ia bergidik ngeri melihatnya, bahkan perutnya bergejolak ada rasa mual yang mendera. Menurutnya ini lebih menjijikkan, tak ia kira jika Cherry bahkan bermain-main dengan pria tua seperti itu. Menghela napas panjang, seharusnya ia tak perlu merasa heran, bukankah saudaranya itu akan melakukan apapun demi memenuhi gaya hidupnya. “Lihatlah sayang, perempuan ini mencari masalah denganku. Berani-beraninya dia merebut gaun incaranku.” Cherry merengek manja, menunjuk ke arah Valerie. Pria itu pun menoleh, hingga detik berikutnya matanya tampak terkejut. “Diakan—”“Apa sayang?”Pria itu merapatkan tubuhnya pada Cherry lalu berbisik. “Gadis ini kan yang dulu mau kamu berikan padaku.”Cherry menelan ludahnya, ingatannya kembali melayang pada kejadian saat itu. Ia dan Berry benar-benar kesal karena telah kehilangan jejak Valerie, bahk
Siang hari sebelumnya...Max memandang tajam ke arah sang asisten yang datang terlambat tanpa pemberitahuan. “Kau ini dari mana?”“Maaf, Tuan. Ada kejadian mendesak yang harus segera diurus.”“Urusan apa sampai kau mengabaikan kantor?”“Saya habis membantu permasalahan Nona Valerie.” Mendengar nama istrinya disebut Max terasa tertarik memandang ke arah Jerry seakan menuntut penjelasan. “Nona tengah berada Grand Luxury Mall untuk dan di sana ia bertemu dengan saudaranya. Tuan tahu apa yang terjadi? Terjadi keributan. Saudara Nona berusaha menindas dan mempermalukan Nona Valerie. Terlebih adanya dukungan dari Tuan Dario yang tak lain kekasih gelapnya.” “Dario?” ulang Max seolah.“Iya. Direktur utama perusahaan yang bergerak di bidang properti.” Jerry menghela napas panjang. “Saya benar-benar kasihan dengan Nona Valerie yang dihina habis-habisan. Tuan... Apakah anda belum memikirkan saran saya beberapa hari yang lalu.”“Apa maksudmu?” Max membuang pandangannya ke arah lain seolah tidak m
Dengan wajah memerah menahan amarah, Cherry membanting tas miliknya ke atas sofa, membuat ibu dan saudaranya kaget. “Ada apa sih? Datang-datang langsung kaya orang kesetanan gitu, Kak.” Berry yang saat itu tengah mengunyah cemilannya berdecak kesal, karena ulah kakaknya itu hampir membuat ia tersedak.“Iya. Ada apa sih? Ngos-ngosan gitu kamu. Gak tahu orang lagi pusing apa.” Martha memijat keningnya yang terasa pening. Semenjak kepergian Valerie, setiap harinya ia harus pusing memikirkan soal uang. “Ini semua itu gara-gara anak sialan itu!” Cherry berdecak pinggang masih dengan emosi yang menggebu-gebu. “Gara-gara dia aku dipermalukan di mall tadi. Gara-gara dia pula aku hampir kehilangan sumber keuanganku,” lanjutnya.“Siapa, Kak?”“Valerie. Kau pikir siapa lagi? Bodoh!” makinya membuat Berry merasa kesal. Ia bertanya baik-baik kenapa dijawab dengan begitu kasar.Cherry merebut minuman yang di hadapan adiknya itu lalu meneguknya hingga tandas, seolah tengah membakar kemarahan yang
Velerie masih terpaku di tempatnya. Ada rasa tidak percaya saat ia mendengar namanya barusan disebut oleh Max. Ia menghela napas panjang, perasaannya seketika gundah, merasa bingung memikirkan jawaban apa yang harus ia keluarkan. “Saya tidak tahu.” Saat ini hanya jawaban itulah yang terlintas dalam benaknya. Max mengendurkan dasinya, melangkah mendekati Valerie, lalu berdecih kesal. “Aku tidak menerima jawabanmu itu.” Ia melangkahkan kakinya lebih mendekat, mengikis jarak keduanya. Membuat Valerie merasa begitu gugup, dalam pantulan cahaya lampu yang sedikit remang ia dapat melihat ketampanan pria di depannya. Jantungnya berdetak lebih kencang. “Katakan!” desaknya.“Apalagi.” Valerie mencoba mengalihkan pandangannya menghindari dan tatapan langsung pemilik mata biru itu. “Pernikahan kita hanya objek penutup aib kehamilanku, atas kejadian malam itu bukan.”Max tertegun sejenak mendengar jawaban Valerie. Namun, masih bergeming di tempat menatap gadis polos di depannya. “Tenang saja.
Gracia menatap nanar pada undangan berwarna hitam yang berlapis emas di atas meja. Giginya gemerelutuk wajahnya memerah, tangannya bergerak meraih undangan tersebut sebelum kemudian meremasnya layaknya suatu barang yang sudah tidak berarti. “Ini tidak mungkin!” desisnya marah. Kepalanya menggeleng kuat seolah berusaha menyangkal kenyataan yang terjadi. “Kakak tidak mungkin seserius itu kan menikahinya,” lanjutnya. Dia bertanya pada diri sendiri, menatap pantulan dirinya di cermin. Seakan-akan tengah melihat kekurangan darinya. Tidak ada, ia merasa dirinya jauh lebih sangat cantik dibandingkan Valerie, tapi kenapa dia tidak bisa memenangkan hati kakaknya. Padahal dibandingkan Valerie, ia jauh lebih dulu hadir dalam kehidupannya. Bayangan Valerie berjalan bersisian dengan kakaknya menuju altar pernikahan terlintas, seketika hatinya memanas hingga dadanya terasa sesak. “Aaaaaaaa...... Tidak!!!” tangannya bergerak meraih botol kaca dan melemparkannya hingga membuat kaca rias itu kembali
Beberapa jam sebelumnya.Cherry benar-benar mengadukan undangan yang ia lihat di meja kekasihnya pada ibu dan saudaranya. Tampak keduanya pun terkejut.“Mama kok tidak percaya ya. Masa seorang Tuan Max mau sih?” kata Martha heran bagaimanapun ia tahu sosok Max di pandangan orang itu seperti apa. Pria itu mapan, tampan, yang pasti banyak perempuan yang mengejarnya, merasa mustahil dari berbagai perempuan yang dekat dengannya justru berakhir di pelaminan bersama Velerie.“Aku benar-benar melihat undangannya, Ma. Selain itu Mama ingat gak kejadian di mall. Saat aku diusir paksa keluar dari toko.” Cherry menatap ke arah kedua ibu dan saudaranya yang tampak menyimak. “Orang yang membantu Valerie itu Tuan Jerry yang tak lain tangan kanan Max. Mama bisa tebak selanjutnya lah, kalau Tuan Jerry pun pasti di suruh Tuan Max.”“Ini sungguh gila! Tidak masuk akal. Bagaimana bisa, Valerie yang hanya seorang pelayan bisa bersanding dengan Tuan Max yang notabenenya orang yang paling disegani di kota i
“Max Awas!!”Brughh!! Dorr!!Valerie menegang. Peluru telah berhasil melesat tepat di bahunya. Kedua orang itu jatuh dengan darah membanjiri lantai.“Valarie!!” Kejadiannya begitu cepat, Jerry terkejut melihat tubuh Max yang terdorong jauh, di susul dengan tubuh Valerie yang meluruh ke lantai dengan darah segar mengucur. Ia tidak mengira akan ada kejadian seperti ini. Padahal sebelumnya penjagaan sudah diperketat. Lalu siapa yang tengah berani membuat kekacauan ini. Ia berjanji tidak akan memberi ampun. Suara kericuhan, jeritan terdengar riuh penuh usai insiden penembakan itu. Matanya menangkap bayangan hitam tak jauh dari jangkauannya. Terlihat bayangan itu berlari Jerry semakin menajamkan penglihatannya.“Tutup semua pintu gerbang. Perketat penjagaan jangan biarkan satu orang pun keluar dari tempat ini!!” titah Jerry pada semua penjaga. Dirinya langsung berlari mencari sosok misterius itu. Sementara Max luar biasa terkejutnya. Rasa panik menyergap melihat tubuh Valerie bersimbah d
“Kami berhasil mengeluarkan peluru yang menancap di bahu Nona, Tuan. Tetapi...” raut wajah dokter terlihat gelisah menatap wajah dingin Max dengan takut.“Apa? Katakan. Apa yang terjadi? Jika kau tidak berhasil menyelamatkannya. Maka nyawamu akan menjadi taruhannya!!” Max mencengkram kuat jas dokter tersebut. Matanya menatap penuh ancaman. “Bukan begitu, Tuan. Ini —”“Max! Apa yang kau lakukan?” Robert datang bersama Joana. Pria itupun langsung menarik tubuh Max. “Kau tidak boleh emosi seperti ini. Biarkan dokter menyelesaikan ucapannya.”Max pun mengendurkan cengkramannya, dan perlahan melepaskannya. “Katakan,” desaknya dingin.“Nona Valerie telah kehilangan banyak darah, Tuan. Dan dia membutuhkan pendonor dengan segera.”“Lakukan yang terbaik untuknya jika kau ingin tetap hidup.”“Max!” Robert menegur sikap putranya yang begitu arogan tidak menghormati profesi seseorang sama sekali. Ia tahu jika Max tengah khawatir hanya saja caranya begitu salah. Tidak semua bisa dilakukan dengan