Ballroom Hotel Grand Luxury Buana itu terlihat mewah. Sang penyelenggara pesta tak main-main dalam menyajikan acara tersebut. Tamu berbagai kalangan atas, dan berpakaian mewah lalu lalang silih berganti. Max masuk dengan langkah tegap dan berwibawa. Dengan jas resmi yang dipadukan dengan kemeja biru navy di dalamnya menambah ketampanannya kian memancar. Rahang tegas dengan bola mata berwarna biru itu seketika berhasil menjadi pusat perhatian kaum wanita. Tak terkecuali dengan Monica sang pemilik pesta tersebut. Perempuan bergaun merah menyala dengan potongan dada yang rendah itu tampak terpukau, hingga menelan ludahnya secara susah. Otaknya seketika berkeliaran, bagaimana jika ia berhasil menyandarkan dan mengusap dada bidang pria itu saat tanpa sehelai pakaian. Itu pasti akan menjadi momen yang tidak akan terlupakan.
Dengan langkah elegan ia mengambil satu gelas bear lalu ia bawa ke hadapan Max yang saat itu tengah terlibat obrolan bersama Tuan Jhonson.“Max inikah kau,” sapanya dengan hangat.“Selamat ulang tahun, Nona.” Max menoleh ke arah Jery memberi kode lewat matanya untuk menyerahkan kado yang telah ia bawa.“Terima kasih, Max. Aku sungguh tersanjung bisa mendapatkan kado darimu.” Monica menerimanya dengan senang, lalu memberikannya pada pelayan untuk menyimpannya. Kemudian ia mengulurkan segelas minuman yang ia bawa pada Max. Namun, pria itu menolaknya dengan cara menunjukkan gelas yang berada di tangannya. Bukan tanpa sebab Max melakukan demikian, semua untuk menjaga kejadian serupa yang pernah ia alami. Ia tidak ingin lagi terlibat cinta satu malam dengan siapapun.Musik mengalun merdu mengiringi pesta, ada sebagian para tamu yang salin berdansa. “Max maukah kau mengajakku berdansa,” pinta Monica mengulurkan tangannya.Jerry dan Tuan Jhonson yang berada di sisi mereka pun menoleh. Sementara sang asisten Max merasa tak nyaman, Tuan Jhonson justru merasa suka. “Saya akan merasa sangat tersanjung jika anda memenuhi permintaannya, Tuan.”Max mengangguk. “Mari Nona.”Monica dengan sangat senang mengulurkan tangannya. Pria itu membawanya ke tengah pesta, dan mulai menari. Musik mengalun merdu mengiringi irama setiap gerakan keduanya. “Apa kau sudah memiliki kekasih Max?” tanya perempuan yang kini bergelayut manja padanya.“Belum.” Max mengendurkan gerakannya, meminta Monica berputar dan kembali kepadanya. Perempuan itu tampak mulai mengusap-usap dadanya yang masih terbalut jas, membuat pria itu menghela napas panjang, tampak jengah dan bosan.“Kenapa?” tanya perempuan bergaun merah itu mulai agresif. Matanya terus memindai tiap-tiap jengkal tangannya bergerak, lalu tertuju pada bibir pria itu.“Tidak tertarik,” jawab Max dingin yang justru membuat perempuan itu merasa penasaran dan tertantang. Tangan lentiknya bergerak mengusap dada bidang Max. Meski sang pemilik tubuh terlihat acuh dan dingin, ia tak perduli.“Bagaimana dengan pernikahan?” tanya Monica lagi, matanya beralih menatap Max dengan pandangan menginginkan.“Pernikahan?”“Ya pernikahan. Dua insan yang saling menyatu itu terlihat sangat romantis. Aku menginginkan pernikahan. Dan bagaimana jika aku melamarmu,” katanya tiba-tiba sedikit mengejutkan Max, meski detik berikutnya ia berhasil menguasai diri. Sekelebat sosok gadis bertubuh ringkih di rumah sakit yang tengah mengandung buah hatinya terlintas.“Maaf, aku sudah berjanji akan menikahi gadis lain,” tolak Max secara halus. Senyum menyeringai terlihat dari bibir gadis di depannya.“Oh ayolah Max. Tawaranku tidak main-main, kau bisa mendapatkan apapun yang kau mau. Tubuhku dan juga seluruh aset perusahaanku akan jadi milikmu. Bukankah itu sangat menguntungkan, perusahaanmu akan semakin berkembang pesat.” Monica mengurai tubuhnya saat musik terhenti, ia tepuk dada pria itu. “Pikirkan tawaranku, Max. Atau kau akan melihat sisi lain dariku jika kau berani menolakku!” lanjutnya.Sementara, di sudut pesta tak jauh dari keduanya. Gracia mencengkram gelas minumannya dengan kuat, matanya tak lepas memandang keduanya dengan tatapan geram bercampur cemburu.“Kau kenapa?” tanya Bernando heran.“Tak apa.”Pria itu tak lantas percaya, ia mengikuti arah pandang Gracia. “Dia kakakmu kan.”“Hem...”“Mereka terlihat cocok,” katanya yang berhasil memancing emosi gadis di depannya. Wajahnya memerah tak terima. “Kenapa?”Gracia meletakkan gelas di tangannya secara kasar, beranjak meninggalkan pria itu tanpa berniat menjawabnya.“Tak ada gadis manapun yang cocok di sisi Max, selain aku! Lihatlah aku akan menyingkirkan siapapun yang menghalangi jalanku!” ancamnya berlalu meninggalkan pesta.****“Cukup Sarah, aku sudah kenyang.”“Baiklah, Nona.” Pelayan itu meletakkan sisa makanannya ke di atas nakas.“Aku mau istirahat, badanku sungguh terasa sakit semua. Kau juga istirahatlah Sarah, tubuhmu juga pasti lelah.” Valerie merebahkan tubuhnya.”Saya ijin keluar sebentar, Nona."“Iya.”Sepeninggal Sarah keadaan begitu sunyi, beberapa hari berada di rumah sakit ia merasa bosan. Tetapi, dokter belum memperbolehkan ia untuk keluar dari rumah sakit. Di sini ia hanya Sarah seorang teman ngobrolnya, hidupnya tiba-tiba berubah. Ia merasa bosan dalam belitan pernikahan Max. Padahal ini baru berjalan beberapa hari. Pernikahan macam apa? Bahkan sejak hari itu ia tidak pernah lagi melihat wajah suaminya. Ia merindukan masa-masa kebebasannya dulu. Meski saat saat tinggal bersama saudara dan ibu tirinya ia bagai sapi perah mereka. Namun, ia merasa jauh lebih baik. Hidupnya tak terpenjara seperti ini.“Kau sudah kembali, Sarah?” tanyanya saat mendengar pintu ruangan kembali terbuka.Hening.Seketika perasaannya terasa mencekam, saat tak kunjung mendapatkan jawaban atas pertanyaan yang ia lontarkan. Pelan ia balikkan tubuhnya, detik berikutnya kedua matanya melotot. “K—kau...”Mobil Lexus hitam membelah jalan raya yang cukup padat Malam kian beranjak tapi pesta belum juga selesai. Ia yang merasa sudah bosan memilih pamit undur diri, pun ia merasa jengah dengan tingkah keagresifan sang pemilik pesta. Klakson mobil terdengar bingar mengesalkan, sekesal suasana hati Max saat ini.“Kau tahu apa yang dikatakan Monica di pesta tadi, Jerry.” Pria bertubuh kekar dalam balutan jas resmi itu membuka obrolan, membuat Jerry yang tengah mengemudikan mobilnya itu menatap ke arahnya dari balik spion mobilnya dengan penasaran.“Tidak tahu, Tuan.”Max mengendurkan dasinya, melepaskan satu kancing kemejanya, lalu menghela napas berat. “Dia melamarku,” katanya kemudian membuat Jerry cukup terkejut.“Luar biasa.” Sang asisten berdecak kagum sekaligus heran. Dengusan menyebalkan terdengar dari bibir Max. “Dia mengancamku akan melakukan apapun. Jika, aku tidak menerima lamarannya.”Pria yang sudah beberapa tahun bersama dengan Max itu bahkan sampai melongo mendengarnya, bahkan
“Apa yang kau lakukan?”Suara bariton dari ambang pintu mengejutkan keduanya. Kedua tangan Gracia yang kini berada di atas pundak Valerie, ingin mencekik lehernya terhenti dan ia tarik kembali. “Kakak...” “Sedang apa kau di sini, Gracia?” Max melangkah ke arah keduanya dengan tatapan dingin. Namun, terasa mengintimidasi. Wajah Valerie masih pucat, tangannya terasa dingin tapi tak ia pungkiri kehadiran Max membuatnya lega, jika saja pria itu tidak datang entah apa yang akan terjadi pada dirinya. Bisa jadi ia hanya tinggal nama. “Kenapa kakak mesti bertanya. Tentu saja aku di sini ingin menjenguk kakak ipar dan calon keponakanku, Kak.” Gadis berambut merah itu beralih menoleh ke arah Valerie dengan tersenyum. Namun, Valerie bisa menangkap senyum mengerikan dari wajahnya, seakan-akan tengah memberi sebuah ancaman. “Pagi tadi aku ke rumah, Kakak. Tapi aku tidak bertemu dengan kalian, pelayan bilang jika kakak ipar di rawat di sini. Untuk itulah aku kemari.”Max mengangguk kecil dengan m
“Berani sekali kalian mendorongnya! Kalian cari mati ya!”Suara bariton itu membuat semua terkejut, tak terkecuali Valerie, ia tak menyangka jika Jerry berada di sana. Padahal ia datang hanya bersama sopir dan Sarah, itupun ia hanya memintanya menunggu di gang. “Kamu siapa?” tanya Martha sinis. Sementara kedua saudara tiri Valerie saling berpandangan bingung. “Tidak penting kalian tahu siapa saya. Yang perlu kalian tahu hanyalah jangan pernah menyakiti atau menyentuh seujung kuku pun Nona Valerie. Atau kalian akan berhadapan dengan saya!” sergah Jerry menatap satu persatu keluarga istri atasannya itu dengan tajam penuh ancaman.“Urusan kami hanya dengan Valerie. Kamu orang luar tidak berhak ikut campur urusan kami!” kekeh Martha menatap Valerie dengan kesal. Lalu beralih menoleh pada kedua anaknya, lewat matanya ia memberi kode untuk melakukan niatnya, yaitu meminta uang. “Cepat berikan kami uang!” Cherry dengan cepat meraih tangan Valerie. Begitu juga dengan Berry yang baru saja in
“Maaf saya terlambat.” Suara itu membuat keduanya menoleh, mendapati Valerie berdiri tak jauh dari mereka dengan gaun malam yang menjuntai ke bawah. Namun, tetap terkesan elegan. Wajahnya di poles dengan make up yang tak terlalu berlebihan, terkesan sederhana. Bibirnya yang sore tadi Max lihat terlihat pucat, kini di poles dengan lipbalm berwarna merah muda, rambut panjangnya di gulung rapi. Jerry menahan senyumnya melihat cara tuannya menatap sang istri dengan intens, tatapan yang tak pernah ia lihat saat Max menatap gadis lain. Bertahun-tahun ia mendampingi Max kemanapun pria itu pergi, tentu saja ia sedikit mengetahui gaya Max. Dan menurutnya kali ini ada yang tak biasa, dari cara Max menatap Valerie. Ia yakin tuannya itu telah terpesona dengan perempuan itu. Di tatap sedemikian rupa oleh sang suami, tentu saja membuat Valerie merasa gugup tak karuan. Saat matanya bertabrakan dengan Max, ia langsung menundukkan kepalanya menatap ke arah lantai.“Ehem!” Jerry sengaja berdeham d
“Tuan...”Tubuh Valerie terpaku di tempat, mendapati Max berdiri di depan pintunya. Dalam keberaniannya ia menatap penampilan pria itu yang entah kenapa terlihat begitu menawan. Untuk sejenak ia begitu terpesona hingga tak menyadari seperti apa penampilannya kini. Wajar saja banyak perempuan yang menginginkan pria itu. Lalu dengan dirinya yang kini bisa berada dalam satu rumah dengan Max. Apakah bisa dikatakan jika ia merupakan perempuan yang beruntung dari beberapa jajaran kaum perempuan itu? Sementara, Max bergeming menatap Valerie tak berkedip. Wajah Valerie yang pucat, rambut dicepol asal. Namun, bukan itu yang membuat pusat perhatian Max, melainkan apa yang dikenakan Valerie saat itu. Perempuan itu hanya mengenakan handuk putih sebatas paha untuk membalut tubuhnya. Hingga memperlihatkan bagian pundak dan pahanya yang terekspos mulus tanpa noda. Seketika darah Max berdesir, sesuatu dalam dirinya memberontak. Bayangan lekuk tubuh Valerie pada kejadian malam itu kembali menjelma di
“Jangan menyiksa dirimu seperti ini, Gracia.” Robert menatap anak tirinya itu dengan prihatin. Dirinya baru kembali dari luar negeri bersama Joana — sang istri, lalu dikejutkan dengan tingkah putrinya yang mengurung diri di kamar, dengan alasan yang sebenarnya ia sendiri tidak tahu. “Apa yang sebenarnya terjadi? Katakan sama Papa?” Gadis berambut merah itu mengangkat wajahnya. “Kakak udah gak sayang sama aku lagi, Pa.”Joana mengedarkan pandangannya menatap kamar putrinya yang teramat berantakan. “Kata siapa? Max tetap menyayangimu. Kalian itu saudara.”“Buktinya dia menikahi gadis lain!” Perkataan yang terlontar mengejutkan pasangan suami itu.“Me—menikah?”Gracia mengangguk dengan antusias. “Iya. Dia menikahi gadis lain. Sehingga dia tidak pernah lagi peduli sama aku Pa, Ma. Gadis itu telah merebut kasih sayang kakak dariku. Aku sedih.... Aku tidak sanggup membayangkannya.”Di sisa rasa terkejutnya Robert melemparkan tatapannya pada sang istri. “Papa harus memberi pelajaran padan
Pemandangan sebuah kantor megah dengan dinding berwarna putih, dipadukan dengan karpet berwarna hitam. Ada sofa panjang dengan meja pendek, lemari kaca berada di belakang meja. Sementara sang pemilik ruangan — Max menatap pemandangan luar menghadap jendela kaca yang membentang luas, dengan pandangan dingin, dengan kedua tangan yang dimasukkan ke dalam saku celananya. Tak berselang lama pintu terketuk lalu terbuka dari luar, seorang pria melangkah masuk.“Kau sudah dapatkan informasi yang aku butuhkan?” Max bertanya tanpa berniat memutar tubuhnya, dari suara langkahnya ia seakan hafal jika yang datang asistennya.“Sudah. Saya bahkan langsung mengarahkan anak buah saya untuk meringkus pelaku. Namun, saya menduga ada orang yang menjadi dalang perbuatannya.” Jerry menghentikan ucapannya sejenak. “Tuan... Saat ini dia ada di markas kami. Anda akan turun tangan sendiri ataukah cukup saya?” lanjutnya.“Rasanya aku sudah lama tidak bermain-main. Sekarang ada seseorang yang datang memberikan s
Max semakin mengikis jarak keduanya, dalam debaran jantung yang terdengar nyaris memekak telinga. Memandang lebih intens wajah polos tanpa polesan make up dengan bibir tipis. Max menelan ludahnya, bayangan lekuk tubuh Valerie saat di malam penuh gairah itu kembali terlintas. Kemudian, otaknya kembali berjalan akan ciuman panas yang lakukan depan kamar perempuan itu. Seketika aliran tubuhnya kian memanas, seakan ada sesuatu yang mendamba. Tak dapat ditahan ia memajukan wajahnya, hingga hidung mancung keduanya saling bersentuhan. Dan saat ia mulai merunduk ingin mencecap manisnya bibir perempuan itu, detik berikutnya ia terbelalak.“Huek!!” Valerie muntah tepat mengenai pakaian Max. Seketika bau anyir, tak sedap menyeruak. Max mendesis menjauhkan tubuhnya tak suka, rasa marah dan kecewa merenggut menjadi satu. Terlihat dari wajahnya yang memerah. Valerie terbelalak menutup mulutnya, wajahnya seketika memucat kaku, saat matanya menangkap aura dingin dari Max. “Maaf, Tuan. Saya sungguh