Share

Bab 8. Ancaman

Ballroom Hotel Grand Luxury Buana itu terlihat mewah. Sang penyelenggara pesta tak main-main dalam menyajikan acara tersebut. Tamu berbagai kalangan atas, dan berpakaian mewah lalu lalang silih berganti. Max masuk dengan langkah tegap dan berwibawa. Dengan jas resmi yang dipadukan dengan kemeja biru navy di dalamnya menambah ketampanannya kian memancar. Rahang tegas dengan bola mata berwarna biru itu seketika berhasil menjadi pusat perhatian kaum wanita. Tak terkecuali dengan Monica sang pemilik pesta tersebut. Perempuan bergaun merah menyala dengan potongan dada yang rendah itu tampak terpukau, hingga menelan ludahnya secara susah. Otaknya seketika berkeliaran, bagaimana jika ia berhasil menyandarkan dan mengusap dada bidang pria itu saat tanpa sehelai pakaian. Itu pasti akan menjadi momen yang tidak akan terlupakan.

Dengan langkah elegan ia mengambil satu gelas bear lalu ia bawa ke hadapan Max yang saat itu tengah terlibat obrolan bersama Tuan Jhonson.

“Max inikah kau,” sapanya dengan hangat.

“Selamat ulang tahun, Nona.” Max menoleh ke arah Jery memberi kode lewat matanya untuk menyerahkan kado yang telah ia bawa.

“Terima kasih, Max. Aku sungguh tersanjung bisa mendapatkan kado darimu.” Monica menerimanya dengan senang, lalu memberikannya pada pelayan untuk menyimpannya. Kemudian ia mengulurkan segelas minuman yang ia bawa pada Max. Namun, pria itu menolaknya dengan cara menunjukkan gelas yang berada di tangannya. Bukan tanpa sebab Max melakukan demikian, semua untuk menjaga kejadian serupa yang pernah ia alami. Ia tidak ingin lagi terlibat cinta satu malam dengan siapapun.

Musik mengalun merdu mengiringi pesta, ada sebagian para tamu yang salin berdansa. “Max maukah kau mengajakku berdansa,” pinta Monica mengulurkan tangannya.

Jerry dan Tuan Jhonson yang berada di sisi mereka pun menoleh. Sementara sang asisten Max merasa tak nyaman, Tuan Jhonson justru merasa suka. “Saya akan merasa sangat tersanjung jika anda memenuhi permintaannya, Tuan.”

Max mengangguk. “Mari Nona.”

Monica dengan sangat senang mengulurkan tangannya. Pria itu membawanya ke tengah pesta, dan mulai menari. Musik mengalun merdu mengiringi irama setiap gerakan keduanya. “Apa kau sudah memiliki kekasih Max?” tanya perempuan yang kini bergelayut manja padanya.

“Belum.” Max mengendurkan gerakannya, meminta Monica berputar dan kembali kepadanya. Perempuan itu tampak mulai mengusap-usap dadanya yang masih terbalut jas, membuat pria itu menghela napas panjang, tampak jengah dan bosan.

“Kenapa?” tanya perempuan bergaun merah itu mulai agresif. Matanya terus memindai tiap-tiap jengkal tangannya bergerak, lalu tertuju pada bibir pria itu.

“Tidak tertarik,” jawab Max dingin yang justru membuat perempuan itu merasa penasaran dan tertantang. Tangan lentiknya bergerak mengusap dada bidang Max. Meski sang pemilik tubuh terlihat acuh dan dingin, ia tak perduli.

“Bagaimana dengan pernikahan?” tanya Monica lagi, matanya beralih menatap Max dengan pandangan menginginkan.

“Pernikahan?”

“Ya pernikahan. Dua insan yang saling menyatu itu terlihat sangat romantis. Aku menginginkan pernikahan. Dan bagaimana jika aku melamarmu,” katanya tiba-tiba sedikit mengejutkan Max, meski detik berikutnya ia berhasil menguasai diri. Sekelebat sosok gadis bertubuh ringkih di rumah sakit yang tengah mengandung buah hatinya terlintas.

“Maaf, aku sudah berjanji akan menikahi gadis lain,” tolak Max secara halus. Senyum menyeringai terlihat dari bibir gadis di depannya.

“Oh ayolah Max. Tawaranku tidak main-main, kau bisa mendapatkan apapun yang kau mau. Tubuhku dan juga seluruh aset perusahaanku akan jadi milikmu. Bukankah itu sangat menguntungkan, perusahaanmu akan semakin berkembang pesat.” Monica mengurai tubuhnya saat musik terhenti, ia tepuk dada pria itu. “Pikirkan tawaranku, Max. Atau kau akan melihat sisi lain dariku jika kau berani menolakku!” lanjutnya.

Sementara, di sudut pesta tak jauh dari keduanya. Gracia mencengkram gelas minumannya dengan kuat, matanya tak lepas memandang keduanya dengan tatapan geram bercampur cemburu.

“Kau kenapa?” tanya Bernando heran.

“Tak apa.”

Pria itu tak lantas percaya, ia mengikuti arah pandang Gracia. “Dia kakakmu kan.”

“Hem...”

“Mereka terlihat cocok,” katanya yang berhasil memancing emosi gadis di depannya. Wajahnya memerah tak terima. “Kenapa?”

Gracia meletakkan gelas di tangannya secara kasar, beranjak meninggalkan pria itu tanpa berniat menjawabnya.

“Tak ada gadis manapun yang cocok di sisi Max, selain aku! Lihatlah aku akan menyingkirkan siapapun yang menghalangi jalanku!” ancamnya berlalu meninggalkan pesta.

****

“Cukup Sarah, aku sudah kenyang.”

“Baiklah, Nona.” Pelayan itu meletakkan sisa makanannya ke di atas nakas.

“Aku mau istirahat, badanku sungguh terasa sakit semua. Kau juga istirahatlah Sarah, tubuhmu juga pasti lelah.” Valerie merebahkan tubuhnya.

”Saya ijin keluar sebentar, Nona."

“Iya.”

Sepeninggal Sarah keadaan begitu sunyi, beberapa hari berada di rumah sakit ia merasa bosan. Tetapi, dokter belum memperbolehkan ia untuk keluar dari rumah sakit. Di sini ia hanya Sarah seorang teman ngobrolnya, hidupnya tiba-tiba berubah. Ia merasa bosan dalam belitan pernikahan Max. Padahal ini baru berjalan beberapa hari. Pernikahan macam apa? Bahkan sejak hari itu ia tidak pernah lagi melihat wajah suaminya. Ia merindukan masa-masa kebebasannya dulu. Meski saat saat tinggal bersama saudara dan ibu tirinya ia bagai sapi perah mereka. Namun, ia merasa jauh lebih baik. Hidupnya tak terpenjara seperti ini.

“Kau sudah kembali, Sarah?” tanyanya saat mendengar pintu ruangan kembali terbuka.

Hening.

Seketika perasaannya terasa mencekam, saat tak kunjung mendapatkan jawaban atas pertanyaan yang ia lontarkan. Pelan ia balikkan tubuhnya, detik berikutnya kedua matanya melotot. “K—kau...”

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Iin Romita
keren thurr... siapa sebenarnya Gracia?? bukan saudara kah??
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status