Cinta Antara Dua Dunia

Cinta Antara Dua Dunia

last updateLast Updated : 2025-10-01
By:  Rascal GirlUpdated just now
Language: Bahasa_indonesia
goodnovel18goodnovel
Not enough ratings
12Chapters
12views
Read
Add to library

Share:  

Report
Overview
Catalog
SCAN CODE TO READ ON APP

Amara Sarasvati, seorang gadis cantik, tanpa sengaja tersesat di hutan dekat rumahnya. Di balik kabut senja dan rimba yang sunyi, ia bertemu dengan seorang pemuda misterius bermata biru yang tak pernah bisa ia lupakan. Pemuda itu adalah Leondaru Dewantara, seorang siluman Macan Putih agung, penguasa yang derajatnya lebih tinggi dari semua siluman lain. Seiring berjalannya waktu, pertemuan itu menjadi awal dari takdir yang rumit. Amara tumbuh menjadi gadis dewasa yang mulai memahami rahasia besar di balik dunia yang ia tinggali, sementara Leon terjebak antara dua pilihan, takdirnya sebagai pangeran siluman atau cintanya pada seorang manusia. Ketika dua dunia bersiap bertabrakan, cinta mereka menjadi satu-satunya hal yang mampu melampaui batas antara manusia dan siluman. Namun, apakah cinta cukup kuat untuk melawan hukum dunia? Ataukah mereka harus rela mengorbankan satu sama lain demi menyelamatkan dua dunia yang nyaris hancur?

View More

Chapter 1

Bab 1 : Hilangnya Amara

“Bu… Ayah…?” suaranya lirih, terpantul di antara batang pohon basah. Tidak ada jawaban, hanya desir angin dan suara ranting patah di kejauhan.

Di situlah Amara Sarasvati, gadis lima belas tahun yang dikenal polos dan ceria, tanpa sengaja melangkah terlalu jauh.

Awalnya, ia hanya mengejar kupu-kupu putih yang berkelebat indah di antara rimbun pepohonan. Namun, semakin ia berlari, semakin jauh hutan menelannya. Jalan setapak yang semula ia kenali menghilang, digantikan lorong pepohonan tinggi yang terasa asing dan menyeramkan.

Malam pertama ia habiskan dengan duduk meringkuk di balik akar pohon besar, berusaha menahan dingin dan rasa takut. Namun malam kedua datang, dan Amara masih belum juga kembali.

Di desa, kepanikan menyelimuti. Keluarga Amara, dibantu para tetangga, masuk ke hutan dengan membawa obor, memanggil-manggil namanya. Mereka menyusuri sungai, gua kecil, bahkan semak belukar yang jarang dijamah manusia. Tapi hasilnya tetap sama, Amara seakan lenyap tanpa jejak.

Wajah-wajah letih penduduk mulai dipenuhi ketakutan yang lain bukan sekadar kehilangan, tetapi sebuah firasat buruk. Desas-desus pun mulai terdengar.

“Jangan-jangan… ia dibawa oleh leluhur penjaga,” bisik salah satu ibu.

Akhirnya, kepala desa memutuskan untuk memanggil Tetua Kampung, seorang pria sepuh yang dikenal mampu membaca tanda-tanda gaib.

Tetua itu menatap hutan yang menjulang gelap di kejauhan, matanya menyipit seolah menembus kabut yang menutupi rahasia di dalamnya.

“Jika benar Amara hilang di sana,” katanya dengan suara serak namun berwibawa, “maka hutan tidak sekadar menelannya. Ada mata yang mengawasinya. Mata yang bukan milik manusia.”

Penduduk terdiam. Di antara ketakutan mereka, hanya satu hal yang kini terpikir, Amara mungkin telah masuk ke dalam dunia yang tidak seharusnya disentuh manusia.

Di tengah ketakutan dan rasa lapar yang menggigit perutnya, Amara berusaha menapaki jalan setapak samar yang baru ditemukannya. Hutan di malam hari terasa asing, sunyi, tapi seolah penuh mata yang mengawasi.

Langkahnya terhenti ketika angin dingin berembus kencang, membawa bisikan lirih yang tak ia mengerti. Daun-daun bergetar, dan dari balik kabut, sepasang mata biru berkilau menatapnya.

Amara menahan napas. Tubuhnya gemetar, kakinya ingin lari, tapi rasa penasaran membuatnya terpaku. Dari balik bayangan pohon besar, muncul sosok seorang pemuda.

Tingginya menjulang, berwajah teduh dengan rambut coklat gelap yang terurai sebagian, pakaian hitam berornamen emas menempel gagah di tubuhnya. Namun bukan itu yang membuat Amara terdiam, melainkan aura asing yang memancar darinya.

“Siapa… kau?” suara Amara bergetar, setengah takut, setengah terpesona.

Pemuda itu tidak langsung menjawab. Ia hanya menatap Amara lekat-lekat, seakan menilai sesuatu yang hanya ia sendiri yang tahu. Lalu, dengan suara dalam dan tenang, ia berkata,

“Hutan ini bukan tempat untuk manusia sepertimu, gadis kecil. Pulanglah… sebelum terlambat.”

Amara ingin bertanya lebih jauh, tapi mulutnya kelu. Ketika ia akhirnya berani mengangkat suara, pemuda itu sudah melangkah mundur, perlahan menghilang bersama kabut. Namun tatapan mata biru itu tertinggal di ingatannya, membakar rasa takut sekaligus rasa penasaran yang tidak pernah ia rasakan sebelumnya.

Namun sebelum benar-benar hilang ditelan kabut, Amara merasakan sesuatu yang aneh. Sebuah aroma samar tertinggal di udara.

Itu bukan wangi bunga liar, bukan pula bau tanah hutan yang lembap. Aroma itu jauh lebih dalam, lebih halus, wangi gaharu yang hangat sekaligus agung, seperti asap dupa istana yang hanya dipersembahkan bagi para raja.

Amara menghirupnya dalam-dalam tanpa sadar. Ada sesuatu pada wangi itu yang membuat jantungnya berdegup kencang. Ia merasa kecil, seakan berada di hadapan sosok yang bukan sekadar manusia.

“Siapa dia sebenarnya…?” bisik Amara pada dirinya sendiri.

Hari berikutnya di hutan itu terasa seperti siksaan. Tubuh Amara kian lemah, kakinya nyaris tak mampu menopang. Perutnya kosong, tenggorokannya kering, sementara kabut pagi meneteskan embun dingin yang menusuk tulang.

Ia tersandung akar, jatuh berlutut di tanah. Nafasnya tersengal, matanya berkunang. “Aku… tidak kuat lagi…” bisiknya lirih, air mata bercampur lumpur di wajahnya.

Hening. Hanya suara burung hantu di kejauhan. Hingga tiba-tiba, udara di sekelilingnya berubah. Angin berembus lembut, membawa aroma gaharu yang hangat dan agung.

Amara membuka matanya perlahan. Di hadapannya, berdiri sosok yang sama pemuda bermata biru, dengan aura misterius yang tak mungkin ia lupakan.

Kali ini, tatapannya berbeda. Bukan sekadar dingin dan memperingatkan, melainkan ada sesuatu yang samar, seperti belas kasih yang ia coba sembunyikan.

“Kau masih di sini,” suaranya dalam, namun lebih lembut dari sebelumnya. “Aku sudah bilang hutan ini bukan untukmu.”

Amara berusaha bicara, tapi suaranya nyaris tak keluar. “Aku… lapar… haus…”

Pemuda itu menghela napas pendek, seolah menimbang sesuatu yang berat. Lalu, dengan gerakan anggun, ia mendekat. Dari balik jubah hitamnya, ia mengeluarkan sebuah kendi kecil berukir emas, lalu menyodorkannya pada Amara.

“Minumlah,” ucapnya singkat.

Amara meraih kendi itu dengan tangan gemetar, meneguk air yang dingin namun segar seolah berasal dari mata air surgawi. Begitu air itu menyentuh tenggorokannya, tubuhnya yang lemah mulai terasa hangat, kekuatannya perlahan kembali.

Amara menatap pemuda itu dengan mata berair. “Kau… siapa sebenarnya? Kenapa menolongku?”

Pemuda itu terdiam sejenak. Ia membuang pandangannya ke langit yang diselimuti kabut, lalu kembali menatap Amara dengan sorot mata biru yang menusuk.

“Namaku tidak penting bagimu, gadis kecil,” jawabnya, suaranya berat namun bergetar samar. “Anggap saja aku… penjaga hutan ini. Dan kehadiranmu di sini adalah sebuah kesalahan.”

Amara masih berlutut di tanah, tubuhnya gemetar meski kekuatannya perlahan kembali. pemuda itu berdiri tegak di depannya, siluetnya samar di balik kabut, seolah ia bagian dari hutan itu sendiri.

“Aku… tidak bisa menemukan jalan pulang,” suara Amara pecah, lirih penuh keputusasaan. “Tolonglah aku…”

Untuk sesaat, mata biru itu hanya menatapnya tanpa berkedip. Seolah sedang menimbang apakah permintaan itu pantas dikabulkan. Lalu, tanpa sepatah kata, pemuda itu meraih tangan Amara. Sentuhannya dingin, namun anehnya menenangkan.

“Berdirilah,” katanya tegas.

Amara menurut, meski kakinya masih lemah. Ia terhuyung, tapi genggaman tangan pemuda itu kokoh, seakan memberi kekuatan yang tak ia miliki.

Mereka berjalan menembus hutan. Setiap langkah pemuda itu seperti membuka jalan baru yang tak terlihat sebelumnya. Pohon-pohon besar yang sebelumnya rapat seakan memberi ruang, kabut pun berangsur menyingkir.

Sepanjang perjalanan, Amara memperhatikan sosok di sampingnya. Ada wibawa yang tak bisa dijelaskan, sesuatu yang membuatnya ingin bertanya banyak hal, tapi takut pada jawabannya.

Tak lama kemudian, cahaya oranye senja menyelinap di antara pepohonan. Dari celah hutan, Amara melihat atap rumah-rumah desa di kejauhan. Matanya berkaca-kaca.

“Itu… rumahku…” ucapnya hampir menangis lega.

Pemuda itu melepaskan genggamannya, lalu melangkah mundur, seolah batas antara mereka sudah ditentukan. “Kembalilah. Jangan menoleh ke belakang.”

Amara menatapnya dengan bingung. “Tapi… siapa kau sebenarnya?"

Expand
Next Chapter
Download

Latest chapter

More Chapters

To Readers

Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.

Comments

No Comments
12 Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status