Setelah memastikan Valerie mendapatkan penanganan yang terbaik di rumah sakit. Jerry kembali masuk ke dalam mobil di mana sang Tuan sudah menunggu.
“Apa yang terjadi dengannya?” tanya Max dingin. Namun, Jerry bisa menangkap kekhawatiran dari wajahnya. “Anda mengkhawatirkannya, Tuan?” “Apa yang kau katakan. Aku tidak peduli dengannya,” sergah Max marah membuang pandangannya ke arah jendela dengan menatap lobi rumah sakit tersebut. Membuat pria yang mulai mengemudikan mobil meninggalkan kawasan rumah sakit itu hampir tertawa lepas. Meski sang atasan mengatakan tidak tapi berbanding terbalik dengan suasana hatinya. Ia bahkan bisa menangkap gerakan salah tingkah dari gelagatnya. Hanya saja ia tahu, Max bukan orang yang pandai mengekpresikan semua itu. Max terdiam gusar pikirannya mengembara pada kejadian pagi tadi saat hendak sarapan. Kedatangan Sarah yang memberitahukan bahwa Valerie pingsan cukup membuat ia merasa cemas. Terlebih saat melihat kondisinya dengan wajah pucat, tangannya membengkak. Bisa jadi, karena Valerie mencabut jarum infus secara paksa. Sebenarnya bisa saja ia meminta dokter untuk datang, tapi ia rasa Valerie membutuhkan perawatan yang serius, untuk itu ia memintanya langsung ke rumah sakit. “Baiklah, Tuan.” Max mengendurkan dasinya. “Katakan apa yang terjadi dengannya?” “Jika Anda memang mengkhawatirkannya kenapa Anda tidak turun melihatnya sendiri, Tuan,” saran Jerry yang langsung mendapatkan tatapan tajam dari Max. “Maaf Tuan.” “Kau benar-benar cari mati ya!!” “Dokter mengatakan kandungan Nona Valerie cukup lemah. Sepertinya ini akan berjalan tidak mudah untuknya.” Jerry menghentikan ucapannya sejenak, memandang ke arah Max lewat spion mobilnya tampak lelaki itu tengah menunggu penjelasannya dengan antisipasi tinggi. “Dia membutuhkan Anda, Tuan.” “Apa maksudmu? Yang ku lakukan sudah lebih dari cukup! Menikahinya, membawanya ke tempat tinggal yang jauh lebih layak dibandingkan rumahnya itu kan.” Jerry mengangguk membenarkan ucapan sang atasan. Tapi, bukan ini yang ia maksud melainkan kehangatan keluarga, mengingat latar kehidupan Valerie yang ia dapatkan, ia bisa tahu jika perempuan itu membutuhkan dukungan dan kasih sayang keluarga. Ia berharap Max akan melakukannya, mengingat saat ini keduanya merupakan pasangan suami istri. Setidaknya demi anak yang dalam kandungan istrinya. Jerry menghentikan mobilnya tepat di depan lobi Anderson Corp. “Pastikan dokter memberikan pelayanan yang terbaik untuknya!” kata Max dengan tegas. Pria itu lantas turun dari mobil setelah pintunya dibukakan oleh penjaga. Di tengah kesibukan Max dalam ruangannya Jerry datang membawa iPad sekaligus sebuah undangan berlogo mewah. Max menghentikan aktivitasnya memanfaatkan ke arah Jerry penuh tanya. “Undangan pesta ulang tahun dari Nona Monica.” Jerry menyodorkan undangan tersebut. Terdengar decakan menyebalkan dari bibir Max, ia rasa itu acara yang tak penting. “Malam Minggu di Ballroom Hotel Luxury Buana. Tuan Jhanson meminta saya untuk benar-benar memastikan Anda harus datang, Tuan.” “Acara yang tak penting!” jawab Max dingin. Tapi, mengingat lagi jika mereka adalah relasi bisnisnya, ia merasa perlu mempertimbangkan. Meski harus bersiap mengantisipasi diri saat menghadapi tingkat keagresifan Monica saat melihat dirinya. “Tuan.” “Hemm... Jangan memberikan aku solusi untuk membawa perempuan di rumahku itu,” katanya yang sampai detik ini masih enggan menyebut nama Valerie. Jerry terkejut dalam waktu sesaat, padahal sama sekali tidak berpikiran ke arah sana. Seketika ia menahan senyumnya, karena ia bisa menangkap kemana arah pikiran atasannya tersebut saat ini. “Dia istri Anda, namanya Valerie Angelica,” katanya dengan nada jahil. “Aku tahu!” Max mendelik tajam ke arah Jerry, membuatnya tak bisa berkutik. “Saya akan menelpon pihak rumah sakit untuk memastikan keadaannya.” Max mengangguk. “Panggil Sarah untuk menemaninya sampai benar-benar pulih. Jangan sampai dia kembali melarikan diri.” Malam hari tanpa mengetuk pintu lebih dulu, Max membuka pintu kamar Valerie dan menghampiri ranjang. Matanya tak lepas menatap perempuan terlihat pucat dan lemah di atasnya, dengan jarum infus yang menancap di pergelangan tangannya. “Ibu... Ayah... Aku sakit, Yah.” Rintihan yang disertai bulir keringat dari kening Valerie membuat Max cukup kaget, tangannya bergerak berniat mengusap keringat itu. Namun, Max tersentak saat tangan ringkih itu menggenggam tangannya. “Jangan tinggalkan aku, Ayah. Vale... Mohon...” Perlahan bulir bening itu menggulir dari pelupuk matanya yang terpejam. Ia bahkan bisa merasakan cengkraman tangan Valerie semakin menguat. “Apa yang sejak tadi dokter lakukan, kenapa dia seperti ini?” desis Max kesal setelah berhasil melepaskan tangannya. “Tadi siang sudah membaik, Tuan. Tapi, saat dalam keadaan tertidur Nona Valerie akan seperti ini,” jawab Sarah sambil menunduk takut. Max beranjak dan menoleh ke arah pelayan tersebut. “Panggil dokter.” Sarah langsung menekan intercom, dan tak lama dokter pun datang. Diperlukan waktu beberapa menit untuk dokter memeriksa keadaan Valerie. “Seperti apa yang saya bilang tadi pagi. Kandungannya cukup lemah, itu yang membuat ia kesakitan.” “Perlukah saya membawanya ke luar negeri untuk mendapatkan penanganan yang lebih serius?” tanya Max. Dokter menggeleng. “Tidak perlu, Tuan. Yang dia butuh saat ini hanyalah dukungan, dan kehangatan keluarga. Ini akan mempengaruhi kondisi psikisnya.” “Terima kasih, Dokter. Kami akan mengusahakan yang terbaik untuknya.” Kali ini yang menjawab Jerry. Max menghela napas panjang untuk meredakan gejolak yang ia rasa, setelah kepergian dokter. Kembali menoleh ke arah Valerie, ia tatap tubuh ringkih itu dalam diam. Untuk sejenak ia merasa menyesal telah terjebak cinta satu malam bersama seorang perempuan. “Dia hamil, anakku. Dia Istriku.... Tapi....” gumam Max pelan hampir tak terdengar, seketika pikirannya terasa suram. **** Ruangan mewah itu terlihat berantakan. Berbagai botol parfum, peralatan makeup, pecahan kaca rias itu berserakan di lantai. Ranjang king size terlihat tak beraturan, bantal guling, seprei tak berada di tempat pada umumnya. Sementara sang pemilik ruangan tengah menangis tersedu-sedu, sesekali berteriak memaki seseorang. “Tidak! Aku tidak akan kalah. Dalam hidupku tidak akan ada kamusnya aku gagal. Aku harus menyingkirkannya!”Lima tahun kemudian...Sebuah mobil hitam mengkilat datang dari arah jalanan, masuk ke dalam dan berhenti tepat di pintu masuk utama. Pintu belakang langsung terbuka secara otomatis.“Hati-hati sayang.”“Yes, Daddy.” Kedua bocah kecil yang masih mengenakan seragam sekolah itu langsung turun dari mobil dan diikuti oleh salah satu pengasuhnya. Max yang berada di sisi kursi kemudi pun langsung menyusulnya. Bibirnya melengkung membentuk senyuman melihat anak-anaknya terlihat begitu ceria saat pulang sekolah. Dante telah memasuki kelas satu sekolah dasar. Sementara Sena masih menduduki TK. Max merasa kehidupannya semakin bahagia. “Jangan lari...”“Mommy.... Mommy....” Mereka berteriak memanggil Mommy-nya. Ya seperti biasa saat pertama kali masuk rumah yang mereka cari pasti ibu kandungnya. “Berisik sekali ini bocah!” celetuk Dante.“Kamu juga. Ngapain ikut-ikutan teriak. Aku kan sedang manggil Mommy-ku."“Mommyku!"“Aku....”“Isshh kalian ini kenapa berisik sekali.” Perempuan hamil yang
Sembilan bulan kemudian...Seorang penjaga membukakan pintu gerbang saat sebuah mobil hitam mewah mengkilat datang dari arah jalanan. Ia pun mengangguk hormat pada sang majikan yang duduk di bagian kursi belakang kemudi.Mobil berhenti tepat di pintu masuk utama. Seorang pelayan berseragam biru muda datang menyongsong menyambut kedatangannya.“Selamat sore, Tuan?” sapanya penuh hormat.Max hanya menganggukkan kepalanya. Ia menyerahkan tas hitam yang baru saja ia ambil dari dalam mobil pada pelayan itu. “Bagaimana keadaan istri saya?" tanyanya sambil melangkah masuk dan tangannya bergerak untuk mengendurkan dasinya yang terasa mencekik lehernya.“Nyonya sudah baikan, Tuan.”“Oh. Sedang apa dia?” tanya Max karena biasanya Valerie paling antusias menyambutnya pulang begitu mendengar mobilnya tiba.“Nyonya sedang berada di taman belakang bersama Nyonya Zenata dan Tuan kecil.”Max hanya mengangguk dan berbelok ke pintu samping di mana istrinya berada. Dua hari tidak bertemu istrinya ia te
“Selamat ya Tuan. Nyonya Valerie positif mengandung.”Ucapan Dokter membuat keduanya pun terkejut. “Ha—hamil?”“Iya Tuan, Nyonya." Dokter Elia menunjukkan hasil tes pack di tangannya. “Dari hasil tes pack ini menunjukkan garis dua menunjukkan jika istri Anda positif hamil. Dan untuk mengetahui lebih lanjutnya, sebaiknya kita lakukan USG.”Valerie menurut, dan ia berbaring di atas brankar. Max berdiri persis di sisi istrinya, di mana dokter mulai mengoleskan gel bening di perutnya, dan melanjutkan ke tahap selanjutnya. “Nah ini bayinya Nyonya masih sebentuk kacang ya. Memasuki 6 Minggu ya, Nyonya.”Setelah mendengarkan penjelasan dari dokter dan mendapatkan beberapa vitamin. Keduanya pun langsung berpamitan pulang. “Aku masih tidak menyangka loh. Kok kamu hamil ya?"Valerie memutar bola matanya jengah. “Yaz jelas bisalah. Orang aku punya suami. Kamu tidak ingat kalau aku tidak tidak kontrasepsi setelah melahirkan Dante, dan kamupun tidak mau pakai pengaman katanya tidak enak!”“Tapi,
Ballroom hotel bintang lima itu terlihat begitu ramai lalu lalang para tamu yang hadir memenuhi senterio. Para tamu yang hadir terlihat berkelas dan mewah.Para tamu menatap takjub pada dekorasi pernikahan yang terlihat begitu mewah. Meja bundar dan kursi berpelitur mengkilap, dilapisi kain satin yang berjajar rapi. Meja ditutup taplak meja linen putih, dengan rangkaian mawar putih di setiap permukaannya. Di posisi kanan dan kiri terlihat berbagai hidangan yang tersaji dengan meja yang menempel ketat di dinding. Terlihat lampu kristal menggantung tinggi di langit-langit yang megah.Di atas panggung pelaminan yang mewah bernuansa emas, banyak bunga mawar putih, serta ada semacam dekorasi kaca dengan air mengalir ditimpa cahaya lembut. Jerry terlihat begitu tampan dalam balutan pakaian pengantin yang berwarna senada dengan gaun yang Zenata kenakan.Segalanya berjalan dengan lancar. Beberapa jam yang lalu keduanya telah melangsungkan acara janji suci pernikahan yang di bacakan langsung
Layaknya anak muda yang tengah kasmaran. Jerry dan Zenata tiada hari tanpa jumpa. Di sela-sela aktivitasnya mengurus rencana pernikahannya. Keduanya masih selalu menyempatkan untuk bertemu. Bahkan tidak segan Zenata kerap datang meski hanya sekedar mengantarkan makanan padanya. Max yang mengetahui hal itu merasa geli. Jerry — seorang pria yang ia ketahui anti terhadap perempuan. Bisa-bisanya tiba-tiba bertekuk lutut pada seorang perempuan. Ah, ia lupa bagaimana dengan dirinya. Ia yang dulu hidup hanya demi sebuah ambisi pun kini mulai terasa berwarna, karena adanya Valerie dalam kehidupannya. Apalagi saat ini ada Dante di antara mereka. “Jerry, berkas yang aku butuhkan untuk—” Max yang baru saja membuka pintu ruangan asistennya itu tidak dapat melanjutkan ucapannya, saat melihat aktivitas asistennya bersama calon istrinya. “Sorry...” lanjutnya dan berlalu pergi.“Astaga...” Zenata yang sudah tersadar langsung buru-buru beranjak dari pangkuan Jerry. Demi Tuhan ia tidak sengaja, tadi
Seharusnya saat ini Valerie tengah menikmati masa-masa indahnya menjadi seorang ibu baru. Tapi, ia merasa aneh karena ASI-nya tidak keluar dengan deras, padahal dokter sudah memberikan vitamin. Hal itu membuat moodnya memburuk, ia sedih merasa menjadi ibu yang buruk bagi sang buah hati. Sore ini tiba-tiba Dante menangis dengan kencang. Ia sudah memberikan ASI padanya, tapi Dante tetap menangis, sepertinya ASI-nya tidak keluar, hingga menimbulkan bayi yang baru berusia lima hari itu kecewa. Dante terus menangis kencang, menggemparkan isi rumah. “Sabar sayang, sebentar. ASI mommy keluarnya belum lancar.” Valerie mencoba kembali menyusuinya, ia meringis merasakan gesekan bibir buah hatinya. Hal itu menimbulkan rasa perih dan sakit. Ia coba menahannya, tapi Dante kembali melepaskan pucuk dadanya dan menangis. Ia mencoba mencari cara agar ASI-nya kembali keluar, tapi tangisan Dante yang terdengar begitu kencang membuat kesabaran Valerie nyaris habis. “Dante, bekerja samalah dengan M