Share

Bab 7. Dia Istriku

Setelah memastikan Valerie mendapatkan penanganan yang terbaik di rumah sakit. Jerry kembali masuk ke dalam mobil di mana sang Tuan sudah menunggu.

“Apa yang terjadi dengannya?” tanya Max dingin. Namun, Jerry bisa menangkap kekhawatiran dari wajahnya.

“Anda mengkhawatirkannya, Tuan?”

“Apa yang kau katakan. Aku tidak peduli dengannya,” seloroh Max marah membuang pandangannya ke arah jendela dengan menatap lobi rumah sakit tersebut. Membuat pria yang mulai mengemudikan mobil meninggalkan kawasan rumah sakit itu hampir tertawa lepas. Meski sang atasan mengatakan tidak tapi berbanding terbalik dengan suasana hatinya. Ia bahkan bisa menangkap gerakan salah tingkah dari gelagatnya. Hanya saja ia tahu, Max bukan orang yang pandai mengekpresikan semua itu.

Max terdiam gusar pikirannya mengembara pada kejadian pagi tadi saat hendak sarapan. Kedatangan Sarah yang memberitahukan bahwa Valerie pingsan cukup membuat ia merasa cemas. Terlebih saat melihat kondisinya dengan wajah pucat, tangannya membengkak. Bisa jadi, karena Valerie mencabut jarum infus secara paksa. Sebenarnya bisa saja ia meminta dokter untuk datang, tapi ia rasa Valerie membutuhkan perawatan yang serius, untuk itu ia memintanya langsung ke rumah sakit.

“Baiklah, Tuan.”

Max mengendurkan dasinya. “Katakan apa yang terjadi dengannya?”

“Jika anda memang mengkhawatirkannya kenapa anda tidak turun melihatnya sendiri, Tuan,” saran Jerry yang langsung mendapatkan tatapan tajam dari Max. “Maaf Tuan.”

“Kau benar-benar cari mati ya!!”

“Dokter mengatakan kandungan Nona Valerie cukup lemah. Sepertinya ini akan berjalan tidak mudah untuknya.” Jerry menghentikan ucapannya sejenak, memandang ke arah Max lewat spion mobilnya tampak lelaki itu tengah menunggu penjelasannya dengan antisipasi tinggi. “Dia membutuhkan anda, Tuan.”

“Apa maksudmu? Yang ku lakukan sudah lebih dari cukup! Menikahinya, membawanya ke tempat tinggal yang jauh lebih layak dibandingkan rumahnya itu kan.”

Jerry mengangguk membenarkan ucapan sang atasan. Tapi, bukan ini yang ia maksud melainkan kehangatan keluarga, mengingat latar kehidupan Valerie yang ia dapatkan, ia bisa tahu jika perempuan itu membutuhkan dukungan dan kasih sayang keluarga. Ia berharap Max akan melakukannya, mengingat saat ini keduanya merupakan pasangan suami istri. Setidaknya demi anak yang dalam kandungan istrinya.

Jerry menghentikan mobilnya tepat di depan lobi Anderson Corp.

“Pastikan dokter memberikan pelayanan yang terbaik untuknya!” kata Max dengan tegas. Pria itu lantas turun dari mobil setelah pintunya dibukakan oleh penjaga.

Di tengah kesibukan Max dalam ruangannya Jerry datang membawa iPad sekaligus sebuah undangan berlogo mewah. Max menghentikan aktivitasnya memanfaatkan ke arah Jerry penuh tanya.

“Undangan pesta ulang tahun dari Nona Monica.” Jerry menyodorkan undangan tersebut. Terdengar decakan menyebalkan dari bibir Max, ia rasa itu acara yang tak penting. “Malam Minggu di Ballroom Hotel Luxury Buana. Tuan Jhanson meminta saya untuk benar-benar memastikan anda harus datang, Tuan.”

“Acara yang tak penting!” jawab Max dingin. Tapi, mengingat lagi jika mereka adalah relasi bisnisnya, ia merasa perlu mempertimbangkan. Meski harus bersiap mengantisipasi diri saat menghadapi tingkat keagresifan Monica saat melihat dirinya.

“Tuan.”

“Hemm... Jangan memberikan aku solusi untuk membawa perempuan di rumahku itu,” katanya yang sampai detik ini masih enggan menyebut nama Valerie.

Jerry terkejut dalam waktu sesaat, padahal sama sekali tidak berpikiran ke arah sana. Seketika ia menahan senyumnya, karena ia bisa menangkap kemana arah pikiran atasannya tersebut saat ini.

“Dia istri anda, namanya Valerie Angelica,” katanya dengan nada jahil.

“Aku tahu!” Max mendelik tajam ke arah Jerry, membuatnya tak bisa berkutik.

“Saya akan menelpon pihak rumah sakit untuk memastikan keadaannya.”

Max mengangguk. “Panggil Sarah untuk menemaninya sampai benar-benar pulih. Jangan sampai dia kembali melarikan diri.”

Malam hari tanpa mengetuk pintu lebih dulu, Max membuka pintu kamar Valerie dan menghampiri ranjang. Matanya tak lepas menatap perempuan terlihat pucat dan lemah di atasnya, dengan jarum infus yang menancap di pergelangan tangannya.

“Ibu... Ayah... Aku sakit, Yah.”

Rintihan yang disertai bulir keringat dari kening Valerie membuat Max cukup kaget, tangannya bergerak berniat mengusap keringat itu. Namun, Max tersentak saat tangan ringkih itu menggenggam tangannya. “Jangan tinggalkan aku, Ayah. Vale... Mohon...” Perlahan bulir bening itu menggulir dari pelupuk matanya yang terpejam. Ia bahkan bisa merasakan cengkraman tangan Valerie semakin menguat.

“Apa yang sejak tadi dokter lakukan, kenapa dia seperti ini?” desis Max kesal setelah berhasil melepaskan tangannya.

“Tadi siang sudah membaik, Tuan. Tapi, saat dalam keadaan tertidur Nona Valerie akan seperti ini,” jawab Sarah sambil menunduk takut.

Max beranjak dan menoleh ke arah pelayan tersebut. “Panggil dokter.”

Sarah langsung menekan intercom, dan tak lama dokter pun datang. Diperlukan waktu beberapa menit untuk dokter memeriksa keadaan Valerie. “Seperti apa yang saya bilang tadi pagi. Kandungannya cukup lemah, itu yang membuat ia kesakitan.”

“Perlukah saya membawanya ke luar negeri untuk mendapatkan penanganan yang lebih serius?” tanya Max.

Dokter menggeleng. “Tidak perlu, Tuan. Yang dia butuh saat ini hanyalah dukungan, dan kehangatan keluarga. Ini akan mempengaruhi kondisi psikisnya.”

“Terima kasih, Dokter. Kami akan mengusahakan yang terbaik untuknya.” Kali ini yang menjawab Jerry.

Max menghela napas panjang untuk meredakan gejolak yang ia rasa, setelah kepergian dokter. Kembali menoleh ke arah Valerie, ia tatap tubuh ringkih itu dalam diam. Untuk sejenak ia merasa menyesal telah terjebak cinta satu malam bersama seorang perempuan.

“Dia hamil, anakku. Dia Istriku.... Tapi....” gumam Max pelan hampir tak terdengar, seketika pikirannya terasa suram.

****

Ruangan mewah itu terlihat berantakan. Berbagai botol parfum, peralatan makeup, pecahan kaca rias itu berserakan di lantai. Ranjang king size terlihat tak beraturan, bantal guling, seprei tak berada di tempat pada umumnya. Sementara sang pemilik ruangan tengah menangis tersedu-sedu, sesekali berteriak memaki seseorang.

“Tidak! Aku tidak akan kalah. Dalam hidupku tidak akan ada kamusnya aku gagal. Aku harus menyingkirkannya!”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status