Share

04. Kamu?

Guntur: Aku udah ada di depan rumah. Kamu cepetan keluar! 

Rambut acak-acakan, aroma napas tidak sedap, wajah pun kusam karena belum terkena air. Erisca cepat-cepat berlari memburu balkon kamar, menilik Guntur yang tampak santai berdiam di depan gerbang. 

Erisca: Bapak jangan diem di situ, nanti orang tua saya marah. 

Terkirim! 

Guntur tersenyum kecil membaca pesan balasan dari Erisca. Ia sebenarnya tidak terlalu takut, sih, pada orang tua gadis itu. Hanya saja ia menghargai sekaligus melindungi Erisca agar tidak diamuk. 

Guntur: Oke, aku sembunyi. Tapi kamu cepetan ke bawah, ya! Aku udah gak sabar, nih. He he.

Erisca membuang napas lega ketika Guntur berjalan ke balik pohon. Gadis itu pun segera membersihkan tubuh lantas memilih pakaian seadanya. Setelah dirasa cukup, Erisca buru-buru keluar rumah. 

Selagi memakai sepatu, Sarah menghampiri sang anak karena penasaran tingkat dewa. "Kamu mau ke mana? Ini 'kan hari Minggu, ngapain keluar rumah segala?" 

Duh ... mati sudah Erisca jika Sarah mengetahui ada Guntur di balik pohon. Alasan apa lagi yang mesti Erisca layangkan demi menyelamatkan diri? Sarah ini memang orang tua yang sangat teliti, ia selalu tahu kalau Erisca akan pergi. 

"Em ... mau main, Ma. Lagian apa salahnya kalau aku keluar rumah di hari Minggu?" Sebisa mungkin Erisca menetralkan raut wajah agar Sarah tidak curiga. 

"Enggak salah, sih. Tapi mama cuma takut kamu kecapekan, Ris. Soalnya seminggu full kamu enggak pernah istirahat sama sekali." Sarah terus saja mencari cara untuk menghalangi jalan Erisca. Ia tidak ikhlas jika anaknya kenapa-kenapa nanti. 

"Tapi aku juga butuh refreshing, Ma. Ayolah, aku ini udah dewasa. Mama enggak usah berlebihan gitu, dong, khawatirnya." Erisca mengerucutkan bibir bawah. Ia merengek-rengek –berharap Sarah akan luluh dan mau mengijinkan. 

"Mau apa pun alasan kamu, mama tetep gak akan kasih ijin!" Di luar dugaan, Sarah malah berkacak pinggang. Ia bahkan menarik pelan tangan Erisca menyuruhnya untuk masuk ke dalam rumah. Terpaksa gadis itu mengikuti saja keinginan sang mama. "Duduk di sini! Mama mau ngomong," perintah Sarah, terkesan menekan. 

Mau tidak mau Erisca menurut. Sementara itu Sarah malah membaui udara di dalam ruangan. Satu detik berikutnya wanita itu melotot setelah mengingat sesuatu. "Ya ampun! Mama 'kan tadi lagi goreng ayam. Duh ... pasti udah gosong, tuh." Sarah pun berlari kencang menuju dapur, membiarkan Erisca lolos dari jeruji tak kasat mata. 

"Yes!" pekik gadis itu kegirangan. 

Dia lantas mengambil langkah seribu, keluar gerbang lalu menutupnya dengan sangat pelan. Guntur sepertinya sudah bosan karena terlalu lama menunggu Erisca. Pria itu sedang berjongkok sembari mencabuti rerumputan liar di bawah pohon rindang. 

"Pak?!" Erisca menepuk pundak lebar milik Guntur. Pria itu agak terkejut lantas meraih tangan Erisca. 

"Kenapa lama banget?" tanya Guntur, ingin tahu. 

"He he. Maaf-maaf, tadi saya dicegat sama mama, jadi agak lama, deh." Erisca menjawab sedikit kaku. Dia malu karena sudah telat padahal ini pertama kalinya mereka jalan. 

"Iya, enggak apa-apa, kok. Aku justru takut kalau kamu dimarahi." Guntur menepuk-nepuk celana bagian belakangnya karena kotor mengenai tanah. 

"Untungnya saya bisa kabur, Pak. Kalau enggak mungkin saya udah kena marah," jelas Erisca, tersenyum kecil mengingat kejadian bersama mamanya tadi. 

"Jadi kamu kabur? Terus kalau ketahuan jalan bareng aku gimana?" Guntur cemas sendiri, sedangkan yang bersangkutan hanya nyengir saja bagai tak berdosa. 

"Santai aja kali, Pak. Saya udah biasa dimarahi sama mereka." 

"Oke, kalau kayak gitu. Sekarang kita pergi ke pusat kota, ya? Di sana rame setiap Minggu." Guntur menggiring Erisca menuju mobil. Memasangkan sabuk pengaman lantas menyalakan mesin. Mereka pun pergi meninggalkan kawasan komplek. 

***

Sudah tujuh kali Fendi menelpon Erisca, tetapi gadis itu tak kunjung menerimanya. Dia hanya ingin kedamaian satu hari saja. Rasanya terlalu bosan mendengar perintah ini-itu dari orang tua. Dengan begitu buka berarti dia tidak menghargai mereka. 

"Kenapa enggak dijawab aja? Barangkali penting," imbuh Guntur, sesekali memasukan es krim ke dalam mulut Erisca. 

"Oh, ini cuma papa. Biasalah, palingan juga suruh saya buat pulang." Bahu Erisca merosot lesu. Entah mengapa setelah kedua orang tua mencampuri hari-hari, dia jadi bosan sendiri. 

"Udah, dong, jangan cemberut terus, nanti cantiknya luntur lagi. Sini-sini, tiduran di pundak aku, siapa tahu capeknya hilang." Guntur meraih pelan kepala Erisca. Ia mendekap cewek itu cukup erat, hingga sesak. 

"Ih, saya jadi enggak bisa napas, Pak." Erisca meronta. Meski enggan melepaskan, akhirnya Guntur memilih mengalah karena takut sang kekasih jadi tambah marah. 

"Iya-iya, aku lepasin, kok." Guntur terkekeh, senang saja bisa berdekatan dengan Erisca. "Eh, omong-omong kamu jangan panggil aku 'bapak', dong. Status kita 'kan udah beda, bukan atasan sama karyawan lagi," protes Guntur, mengingat sedari tadi Erisca memanggilnya dengan sebutan yang kurang enak didengar. 

"Terus panggil apa? Saya bingung soalnya." 

"Panggil aku-kamu aja, supaya gampang diucap," usul Guntur, sesekali merapikan rambut Erisca yang tersapu angin sore. 

"Em ... oke. Tapi saya, eh, aku 'kan kerja di kafe, otomatis aku masih jadi karyawan bapak, dong. Eh, maksudnya kamu, he he he." Jujur, Erisca agak canggung memanggil Guntur dengan sebutan 'kamu'. Rasanya sangat tidak sopan mengingat perbedaan usia yang cukup jauh. 

"Tapi meskipun begitu, aku enggak pernah anggap kamu sebagai karyawan."

"Lho, kok, gitu?" 

"Iya lah, karena kamu 'kan calon makmum aku. Hi hi hi." Guntur nyengir kuda, sementara itu wajah Erisca memanas karena bawa perasaan. 

"Mukanya merah, tuh. Pasti melting." Tangan Guntur dengan nakalnya mencolek-colek dagu Erisca. Sengaja menggoda gadis itu agar semakin lucu. 

"Enggak, ish! Apaan, sih!" Alih-alih menanggapi lebih dalam, Erisca malah menepis tangan Guntur agak kasar. Walau jantungnya berdetak gila tiada terkira. Karena gengsi, dia menyembunyikan rasa senang dalam hatinya.

"Lha, digodain pacar sendiri malah buang muka." Guntur kecewa, tetapi sebenarnya ia tahu jika Erisca sedang salah tingkah. "Kalau gitu aku beliin permen kapas aja, ya? Kamu tunggu di sini, aku ke sana dulu sebentar." Tanpa menunggu persetujuan dari Erisca, Guntur berjalan cepat menuju penjual yang ia maksud.

"Pak, jangan lama-lama!" teriak Erisca, entah terdengar atau tidak. Cewek itu kembali diam karena tidak ada sasaran yang bisa membuatnya ceria. 

"Di sini lumayan rame. Apa aku keliling-keliling dulu aja kali, ya? Sambil tungguin pak Guntur." Cewek itu mengangguk mantap. 

Dia melangkah mengitari jalanan khusus bertekstur kasar. Ada banyak orang –khususnya ibu-ibu dan bapak-bapak paruh baya– yang asik berjalan kecil tanpa alas kaki alias sandal. Mereka sengaja melakukan hal demikian untuk menyehatkan tubuh, terlebih lagi di usia tua manusia memang sudah rentan terserang penyakit. 

Karena penasaran bagaimana rasanya, Erisca membuka sepatu lalu berjalan di atas aspal kasar. Telapak kakinya agak sakit dan panas, tetapi itu cukup baik untuk kesehatan. 

"Wah ... pantesan orang-orang pada betah lama-lama di sini, ternyata suasananya emang enak banget. Tau kayak gini dari dulu aja aku sering-sering main ke pusat kota." Erisca bermonolog sendiri. Saking asiknya, dia sampai tidak fokus jika jalanan semakin sepi karena dia hampir mencapai ujungnya. 

"Eh, ini udah jauh banget, deh, kayaknya." Erisca jadi panik sendiri. Dia pun memakai sepatu lantas balik badan hendak kembali ke keramaian, tetapi dia malah menabrak dada seseorang hingga mundur beberapa langkah. "Duh, maaf-maaf, aku enggak sengaja." 

"Iya, enggak masalah, kok." Objek yang bersangkutan membalas ramah. Perlahan ia membuka topi hitam yang menutupi sebagian wajahnya hingga terlihat sempurna. 

Untuk beberapa saat Erisca hanya diam saja sembari menatapi seseorang di depan wajah. Hingga akhirnya dia tersadar lantas terkejut setengah mati ketika mengingat jika orang itu adalah masa lalunya dulu. 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status