***
Malam itu, udara di Ravenwood semakin dingin. Di dalam kantor kecilnya, Leon duduk sambil memandangi papan bukti yang semakin penuh. Nama Claire Vega sekarang ada di tengah papan, dikelilingi tanda tanya besar. Di sebelahnya, Evelyn berdiri, mencoba menyusun kembali petunjuk yang mereka miliki. “Claire... kau yakin ini dia?” tanyanya, ragu. Leon tidak langsung menjawab. Ia hanya menatap foto rekan kerjanya yang dulu selalu ia percaya. “Saya tidak yakin. Tapi, terlalu banyak kebetulan.” Evelyn menyilangkan tangannya, matanya menatap ke arah papan bukti. “Kalau begitu, kita cari tahu. Dia salah satu dari kita, kan Jika dia tidak bersalah, buktikan. Kalau dia bersalah...” Evelyn berhenti sejenak, menelan ludah. “...kita harus bertindak.” Leon menarik napas panjang. “Saya tidak akan membuat tuduhan tanpa bukti, jadi saya akan mengawasi dia.” Keesokan paginya, Leon memutuskan untuk memulai penyelidikannya lebih dalam. Sementara itu, Evelyn menghabiskan waktu di laboratorium forensik, memeriksa bukti baru yang ditemukan di gudang. Salah satu dokumen yang dia temukan adalah fragmen catatan rahasia yang tampaknya dikodekan:#CODE1#R4V3N-W00D 8374|CX5PM12Q#TRNSFR#$500,000>>RH0423 CV/3-17/HM#CLOSE# Evelyn menyandarkan tubuhnya di kursi, menatap layar komputer. Kode ini... terlalu rapi. Ini bukan buatan amatir. Pikiran Evelyn langsung tertuju pada Liam Donovan, ahli IT kepolisian. Ia langsung meraih telepon dan menelepon Liam. “Liam, aku butuh bantuanmu untuk mendekripsi sesuatu,” kata Evelyn tanpa basa-basi. “Selalu ada sesuatu, ya? Kirim saja ke aku. Tapi jangan lupa kopi, oke?” jawab Liam, setengah bercanda. Evelyn tersenyum tipis. “Anggap saja sudah ada di meja kerjamu.” Beberapa jam kemudian, telepon Evelyn berdering. Liam di ujung telepon terdengar serius. “Eve, kode ini sudah kubuka. Tapi, kau tidak akan suka apa yang kutemukan,” kata Liam. “Apa maksudmu?” tanya Evelyn, nadanya tegang. “Ada catatan transfer besar, $500,000, yang ditujukan ke seseorang bernama RH0423. Aku yakin itu Richard Hayes, karena kode itu cocok dengan data banknya. Selain itu, ada jadwal pertemuan yang terkonfirmasi antara Claire Vega dan Damian Crowe. Lokasinya adalah Highland Mall, tanggal 17 Maret.” Evelyn merasakan tubuhnya dingin. Mentornya, seseorang yang ia hormati, kini menjadi bagian dari penyelidikan ini. Ia mencatat informasi itu, lalu menutup telepon tanpa sepatah kata. Di kantor kepolisian, Leon memperhatikan Claire Vega dari kejauhan. Rekannya itu tampak seperti biasa santai, efisien, dan selalu profesional. Tapi Leon tahu, jika Claire terlibat, ia tidak akan meninggalkan jejak yang mudah ditemukan. “Leon!” panggilan Kapten Thorne memecah lamunannya. “Aku butuh kau fokus pada penyelidikan ini, bukan membuang waktu mengawasi rekan sendiri.” Leon menghampiri Thorne, mencoba menjaga ekspresinya tetap netral. “Saya tahu, Kapten. Tapi saya memiliki firasat terkait Claire.” Thorne menatap Leon dengan tajam. “Jangan biarkan firasat mengaburkan fakta. Claire sudah bekerja di sini selama bertahun-tahun. Dia tidak pernah membuat kesalahan.” Leon mengangguk perlahan, meskipun pikirannya tetap penuh dengan keraguan. Malam itu, Leon kembali ke apartemennya setelah seharian penuh penyelidikan. Tapi ketika ia membuka pintu, ia merasakan sesuatu yang aneh. Lampu di ruang tamu menyala, meskipun ia yakin telah mematikannya. Ia langsung mengeluarkan Glock-nya, bergerak pelan ke dalam. “Siapa di sana?” teriaknya. Tidak ada jawaban. Hanya suara angin yang berhembus dari jendela yang terbuka. Ketika Leon masuk lebih dalam, ia melihat sebuah amplop di atas mejanya. Amplop itu tidak memiliki nama pengirim, tetapi saat ia membukanya, ia menemukan foto dirinya dan Evelyn di gudang kemarin malam. Leon memejamkan matanya, mencoba menenangkan detak jantungnya yang semakin cepat. Mereka mengawasi. Di bawah foto itu, ada sebuah pesan singkat yang tertulis dengan huruf besar: “JANGAN CAMPUR TANGAN.” Di ruangannya, Damian Crowe menatap layar laptop yang menampilkan gambar Leon membaca pesan ancaman tersebut. “Dia lebih keras kepala dari yang aku kira,” kata Damian sambil menyesap anggur merahnya. Di sebelahnya, Claire Vega berdiri, wajahnya tanpa ekspresi. “Apa yang harus kita lakukan?” Damian menatap Claire dengan senyum licik. “Pastikan dia tidak pernah mendekat lagi. Gunakan apa pun yang kau miliki. Kalau dia terus berusaha, habisi dia.” Setelah menemukan kode rahasia di dokumen itu, Evelyn menggigit bibir, menimbang risiko yang akan dihadapinya. Dr. Hayes jelas merupakan kunci dari teka-teki ini. Dia meraih mantel dan tas kecil berisi dokumen itu, bertekad untuk pergi ke laboratorium lama tempat Hayes dulu bekerja. Namun, sebelum dia sempat melangkah keluar pintu, ponselnya berbunyi. Nama Leon muncul di layar. “Leon, apa yang kau temukan?” tanyanya, mencoba terdengar tenang. Suara Leon di ujung telepon terdengar waspada. “Kita punya masalah. Damian mungkin tahu kau sedang menyelidiki ini. Saya butuh kau untuk bertemu sekarang. Lokasinya aman, saya janji.” Evelyn terdiam sejenak. Dia tahu risiko bertemu Leon saat ini, tapi instingnya mengatakan bahwa dua kepala lebih baik daripada satu. “Baik,” jawab Evelyn akhirnya. “Kirimkan lokasinya.” Dia menutup telepon, meletakkan tas dokumen itu di atas meja, dan bersiap untuk pergi. Pertemuan dengan Leon terasa mendesak, bahkan lebih daripada menemui Dr. Hayes. ***Cahaya pagi perlahan menyentuh permukaan laut, memecah kegelapan malam yang menyelimuti kapal penyelamat. Suara ombak yang tenang seakan menjadi pengingat bahwa, meskipun mereka selamat dari serangan sebelumnya, badai baru mungkin saja akan segera datang.Di ruang medis kapal, Hayes duduk di samping ranjang Evelyn. Matanya tetap tertuju pada layar monitor, seolah memastikan bahwa detak jantung Evelyn yang lemah masih bertahan. Wajah Evelyn tampak pucat, tetapi tubuhnya mulai menunjukkan tanda-tanda kehidupan. Leon, yang telah mendapatkan perawatan dasar, bersandar di tandu dengan tangan terbalut perban, matanya tetap memandangi Evelyn dengan penuh harapan.“Dia kuat,” kata Leon dengan suara serak, memecah keheningan.Hayes mengangguk pelan. “Dia selalu begitu. Tapi ini baru permulaan, Leon. Kita tidak bisa berhenti di sini.”Leon menarik napas dalam, mengabaikan rasa sakit yang menusuk di dadanya. “Apa yang kita miliki sekarang? Data itu... apakah cukup untuk mengalahkan Sokolov?”Hay
Hayes berdiri di tengah kekacauan, darah yang mengalir dari lukanya tak lagi terasa karena rasa sakit yang jauh lebih besar memenuhi hatinya. Ia menatap tubuh Claire Vega yang tergeletak tak bernyawa di sisi, wajahnya yang pernah dipenuhi dengan kebohongan kini tak bisa lagi memungkinkannya untuk menduga apa yang sebenarnya ada di balik tindakan pengkhianatannya. Kematian Claire terasa seperti sebuah pengingat betapa rapuhnya batas antara kebenaran dan kebohongan.Tim penyelamat berlarian mengelilinginya mencoba menenangkan kekacauan yang terjadi, tetapi dalam hatinya Hayes tahu tak ada yang bisa memperbaiki apa yang telah terjadi. Leon dan Evelyn telah hilang, tenggelam ke dalam kegelapan laut yang luas dan bahkan alam pun tidak memberikan kesempatan untuk mereka bertahan.Sementara itu, di kedalaman laut Leon merasakan tubuhnya melayang tanpa kendali. Kesadaran yang mulai memudar dan pikiran yang kabur, namun satu hal yang jelas terbayang dalam benaknya—Evelyn. Tubuhnya yang seharus
Puncak tebing itu terasa seperti ujung dunia. Angin laut yang keras memukul wajah Leon menggigit kulitnya yang sudah terluka, dan melontarkan suara riuh yang terasa jauh dari kenyataan yang ia hadapi. Di punggungnya, Evelyn terkulai lemah, hanya bisa menggenggam bahunya dengan cemas. Rasa sakit dari tubuhnya yang terluka semakin menggerogoti kekuatannya, tetapi Leon tidak bisa berhenti. Tidak sampai Evelyn aman.Leon mengangkat senjatanya sambil menatap pasukan Sokolov yang semakin mendekat, setiap gerakan mereka seperti bayangan kematian yang menunggu untuk menghabisinya. Matanya berkilat dengan kebencian yang tak terhingga dan meskipun tubuhnya hampir hancur, ia tidak akan membiarkan mereka menang."Aku tidak akan membiarkanmu mendapatkan apa yang kau inginkan, Sokolov!" pikir Leon, giginya bergemeretak saat ia menghadap musuhnya yang sudah siap menyerang.Tembakan pertama dari pasukan Sokolov meledak, tetapi Leon sudah siap. Ia bergerak cepat, memutar tubuhnya yang sedang menggendo
"Aku tidak akan meninggalkanmu, Evelyn. Tidak pernah, bahkan jika itu berarti aku harus merangkak menuju keselamatanmu."-Leon ArdianUdara di dalam gua semakin terasa berat dan lembap, seolah menekan mereka dengan ancaman yang tak terlihat. Evelyn berbaring lemah di sudut, tubuhnya menggigil meskipun keringat dingin membasahi wajahnya. Ia memandang langit-langit batu yang gelap, mencoba mengatur napas yang terputus-putus. Rasa sakit di perut dan kakinya seperti bara yang terus membakar, membuat setiap tarikan napas menjadi perjuangan."Aku menyusahkan mereka." Pikiran itu terus menghantui Evelyn, menggema di kepalanya seperti sebuah mantra yang menyiksa. Ia ingin berbicara, ingin meyakinkan Leon bahwa ia baik-baik saja, tetapi tubuhnya seolah tak lagi mendengarkan.Leon duduk bersandar di dinding gua, mengamati Evelyn dengan mata yang penuh rasa bersalah. Luka di pinggangnya berdenyut tajam, tetapi rasa sakit fisik itu nyaris tak berarti dibandingkan dengan beban yang menghimpit dada
Udara di dalam gua terasa berat, dingin, dan lembap. Bayangan dari cahaya bulan yang menerobos masuk dari celah di mulut gua menciptakan pola-pola gelap di dinding batu. Suara langkah kaki musuh terdengar samar dari kejauhan, seperti lonceng kematian yang terus mendekat.Leon berdiri di mulut gua, tubuhnya tegang seperti kawat yang ditarik terlalu kencang. Napasnya pendek-pendek, luka di pinggangnya semakin terasa menyakitkan, tetapi ia tidak peduli. Matanya menatap tajam ke arah hutan di luar, mencoba menangkap setiap gerakan yang mencurigakan.Di belakangnya, Evelyn terbaring di tanah dingin dengan napas berat. Tubuhnya menggigil, wajahnya pucat seperti kertas, dan kain yang membalut lukanya sudah mulai merah pekat oleh darah. Hayes berlutut di sisinya, tangan gemetar saat ia mencoba memperbaiki balutan pada luka di perut Evelyn.“Kita butuh sesuatu untuk menghentikan pendarahannya,” kata Hayes dengan nada putus asa. “Dia tidak akan bertahan lama seperti ini.”Leon tidak menjawab. R
***Hutan itu tak lagi terasa seperti tempat perlindungan. Bayangan pepohonan yang biasanya memberi ketenangan kini seperti jerat yang terus menghimpit, mengurung mereka dalam ketakutan yang tak terucapkan. Langkah kaki Leon, Evelyn, dan Hayes menyatu dengan gemerisik dedaunan, berpacu dengan suara langkah berat para pemburu di belakang mereka.“Cepat! Mereka sudah dekat!” bisik Leon sambil menoleh ke Evelyn dan Hayes. Ia menunjuk semak tebal di depan mereka. “Kita sembunyi di sana.”Mereka bertiga merunduk di balik semak-semak, menahan napas. Evelyn mencengkeram tasnya erat-erat, tubuhnya bergetar tak terkendali. Tubuhnya sudah terlalu lelah, dan rasa pening yang menyerang membuat pandangannya sedikit kabur.Hayes, yang bersembunyi di sebelah Evelyn, mencoba meredam napasnya yang memburu. Wajahnya basah oleh keringat, dan matanya melebar karena rasa takut yang tak terhindarkan.Leon, di sisi depan semak, menggenggam senjatanya dengan kekuatan yang hampir menyakitkan. Matanya tajam, m