"Enggak usah!" Hanif menolak mentah-mentah tawaran Nida. Harga dirinya semakin hancur ketika Nida mengetahui bahwa dia meminjam uang pada mamanya. Hanif pikir, ibu Ros tidak akan bicara pada Nida ternyata ... "Kamu jangan sok baik, Nida. Aku tau, sebenarnya kamu mengejekku 'kan? Kamu menghinaku 'kan? Jangan mentang-mentang keluargamu kaya raya, banyak uang, kamu kerja, kamu seenaknya ngerendahin aku!" sentak Hanif tak terima dengan ucapan mantan istri. Nida sangat terkejut mendengar tanggapan Hanif. Padahal Nida sudah bicara baik-baik. "Astaghfirullahalazim, Mas! Aku enggak ada maksud seperti itu. Aku bicara kayak gitu karena ingin sidang perceraian kita cepat selesai bukan mengejek atau merendahkanmu." Sebisa mungkin Nida menjelaskan maksud atas ucapannya. Hanif terlalu memikirkan diri sendiri dan harga dirinya. "Sudahlah, kamu tenang saja. Aku akan segera mendaftarkan perceraian kita ke pengadilan agama. Kamu tinggal tunggu jadwal sidangnya saja!" tukas Hanif sambil mematikan sam
"Tentu saja aku mau, Mas," jawab Tina cepat. Wajahnya berubah sumringah, terlihat senyum manis. Ferry tak menyangka jika istrinya sangat antusias kerja. Tidak peduli menjadi asisten rumah tangga. Terpenting baginya, Tina dapat menghasilkan uang untuk biaya kuliah anaknya nanti dan juga tidak bosan di rumah terus. "Kamu yakin mau jadi asisten rumah tangga non Nida?" Ferry meyakinkan apa yang didengar. Ia tak ingin jika istrinya itu bekerja hanya setengah hati. Dulu, Tina pernah menjadi perawat ibunya Ferry yang bernama Gauri. Dia sangat penyabar sampai Gauri menjemput ajalnya. Setelah itu, Tina tidak pernah lagi bekerja. Hanya menjadi ibu rumah tangga. Bertahun-tahun lamanya ia mencoba bertahan dengan rasa bosan yang menyergap hati. Tina selalu mencari cara agar diizinkan Ferry bekerja lagi. Namun dulu, usaha Tina sia-sia. Sekarang sudah ada alasan yang jelas. Alasan Tina bekerja agar dapat mengumpulkan uang untuk pendidikan anak semata wayangnya. "Sangat yakin. Kira-kira kapan
"Jangan nuduh sembarangan! Mana buktinya kalau aku ngambil uangmu, Friska?" hardik Hanif mengelak. Tidak mungkin Hanif mengakui perbuatannya. Itu hanya semakin membuatnya malu dan hilang harga diri. Friska terdiam. Memang tidak ada bukti tapi Friska yakin jika Hanif yang mengambil uangnya. Hanya Hanif yang mengetahui pin brankas. "Mungkin kamu lupa ngitung! Cobalah kamu hitung lagi! Minggir, aku mau mandi!" Hanif harus segera pergi ke pengadilan agama sebelum Friska menemukan uangnya di dalam tas kerja. Hanif melirik lemari pakaiannya yang terdapat tas kerja di dalam sana. Ia berharap semoga saja Friska tak menemukan uang di dalam tas kerja. Friska sangat geram mendengar Hanif mengelak. Ia sangat yakin, Hanif-lah yang mengambil uangnya. Friska beranjak, mencari uang yang disimpan oleh Hanif.Ia pun berjalan menuju lemari pakaian milik Hanif, tapi nihil! Lemarinya dikunci. Kemudian, Friska mencari kunci lemari pakaian suaminya. Lagi dan lagi nihil yang didapat. Friska tak menemukan
Jam pulang sekolah, Axel dan Alea berjalan beriringan menuju area parkir. "Kak, gimana mamanya Rina, mau enggak kerja di rumah tante Nida?" tanya Alea saat masuk ke dalam mobil. "Aku belum tau. Belum sempat nanyain ke Bang Gilang. Rencananya sebelum pulang ke rumah, aku mau ke cafe dulu.""Sekarang?" "Iyalah, masa besok. Kenapa? Kamu enggak mau ikut? Kalau gak mau ikut, pulangnya naik taksi," ujar Axel pada adik kandungnya. Bibir Alea mengerucut mendengar penuturan Axel. "Di cafe jangan lama-lama!""Serah akulah!" sangat cuek, Axel menimpali ucapan adiknya. Tiba di cafe, suasana ramai. Rata-rata pengunjung cafe anak-anak sekolah. "Lea, Axel!" Rupanya Arfan yang memanggil. Alea lantas menghampiri lelaki yang tengah duduk di depan laptop. Sedangkan Axel hanya melambaikan tangan dan melanjutkan langkah mencari keberadaan Ferry atau Gilang. "Idih, pantesan jam terakhir bolos, ternyata ada di sini," ucap Alea duduk di kursi samping Arfan. Lelaki itu terkekeh, lalu menjawab, "Aku m
"Silakan minum dulu," ujar Nida saat mereka sudah berada di dalam rumah."Terima kasih, Non."Tina menunggu Nida ke ruangan lain. Dia pikir, Nida mau mengganti pakaian ternyata menyuguhkan minuman segar untuk istri Ferry itu. Tina sempat berpikir, kenapa rumah sebesar ini tidak ada security atau tidak ada asisten rumah tangga. "Jadi, Mbak yakin mau kerja di rumah saya?" tanya Nida setelah Tina meletakkan jus jeruk di tempat semula. "Sangat yakin, Non. Insya Allah saya akan bekerja dengan baik," jawab Tina tanpa keraguan sedikitpun. Paling tidak, jika Tina bekerja di rumah ini, dia ada kegiatan lain yang dapat menghasilkan uang. Tina ingin sekali anak semata wayangnya kuliah di kedokteran. Ia tahu, jika kuliah kedokteran memerlukan banyak biaya. Oleh karenanya, Tina tidak boleh berpangku tangan di rumah, membiarkan suaminya saja yang bekerja. Gaji Ferry sebagai karyawan cafe hanya mencukupi untuk kebutuhan sehari-hari. Sulit bagi mereka dapat menabung banyak. "Lalu, kapan Mbak bisa
Sepulang dari rumah Nida, wajah Tina sangat sumringah. Keluarga Bragastara memang orang-orang yang baik dan ramah. Tina teringat almarhumah Gauri dan almarhum Daniel. Dua orang yang pernah merasakan cinta di masa lalu dan berakhir dipisahkan karena tahta dan harta. Mereka memendam cinta hingga keduanya jatuh cinta pada orang lain. Namun, pertemuan yang tak disangka, membuat Daniel dan Gauri sempat merasakan cinta yang pernah terpendam. Beruntung, Daniel tidak terjerat akan cinta masa lalunya. Ia tetap setia pada istrinya bernama Namira Rashid. Kini, sudah bertahun-tahun telah berlalu, Tina dipertemukan kembali dengan keturunan Bragastara. Bahkan keluarga itulah yang memberikan Tina dan Ferry pekerjaan. Tiba di rumah, Rina anak semata wayang Ferry dan Tina menunggu di kursi teras depan rumah. Rina amat mencemaskan keadaan ibunya yang tak memberi kabar. "Assalamualaikum," ucap Tina yang dijawab oleh gadis berusia belasan tahun itu. "Waalaikumsalam. Ya Allah, Ibu ... Sebetulnya Ibu da
Ferry dan Tina terkejut mendengar pertanyaan anak mereka. Keduanya saling melempar pandang. Tina menelan saliva sebelum menjawab. Kenapa Rina berpikiran jika dirinya akan bekerja di perusahaan. "Rina, kamu kan tau, kalau pendidikan Ibu keperawatan bukan pembisnis. Bukan yang bekerja di kantoran begitu," jawab Tina lembut. Kening Rina mengkerut, ia tampak berpikir. "Kalau bukan kerja di kantoran, terus Ibu kerja di mana? Kerja sebagai apa?"Ferry menghela napas berat. Sepahit apapun kenyataan atau sebuah kejujuran, harus disampaikan. "Rina, Ibumu kerja di rumah non Nida sebagai asisten rumah tangga."Kedua mata Rina membeliak. Terkejut, mendengar jawaban ayahnya. "Asisten rumah tangga? Maksudnya jadi ... ja-jadi pembantu?"Suara Rina bergetar menyampaikan pertanyaan itu. Sungguh, jika itu benar, Rina tak menyangka sama sekali jika ibunya rela menjadi pembantu di rumah Nida. "Iya, Nak. Ibu jadi pembantu di rumah non Nida.""Ya Allah, Buuuuu ...." Tangisan Rina pecah. "Rina, maafka
Axel dan Alea terkejut melihat Bianca sudah pulang ke rumah lebih dulu. Tatapan wanita itu begitu tajam ke arah mereka. Axel menghela napas berat. Ia sudah menduga akan kena omelan wanita yang telah merawatnya sejak kecil itu."Kalian dari mana? Kenapa jam segini baru pulang?" Pertanyaan berintonasi dingin itu membuat Alea merundukkan kepala. "Kami dari cafe. Tadi aku yang ngajak Lea ke sana."Jawaban Axel tak lantas membuat Bianca berhenti bertanya. "Lea, ingat! Di cafe Axel kamu jangan mau didekati bujangan lapuk itu! Kamu itu enggak pantes deket-deket sama dia!" Tiba-tiba saja Bianca membahas Gilang. Alea tentu saja terkejut. "Maksud Mama bang Gilang?" Alea sekadar memastikan. "Iya. Bujangan lapuk di cafe itu kan cuma si Gilang! Kalau perlu, kamu enggak usah ke cafe-cafe lagi. Nanti kalau kamu kena bujukan rayu si Gilang, kamu bisa jatuh cinta sama dia! Mama enggak mau punya menantu modelan cowok enggak jelas itu!"Sangat sinis, Bianca berbicara. Axel sebagai sahabat Gilang mera
"Dasar ceroboh nih anak! Makanya sebelum berangkat pastiin dulu, ada yang ketinggalan enggak?""Idih, malah dia yang marah. Lagian semalam Kakak enggak bilang suruh bawa itu. Kakak cuma suruh aku bawa seragam dan tas. Sepatu juga untung aku inget. Ya udah, kamu aja yang balik ke rumah. Ambil sana pakaian dalammu!" ucap Alea kesal pada kakaknya yang menyalahkan. Bukannya minta maaf, justru marah-marah tidak jelas. "Ck, adik nyebelin!" Axel menuju salah satu kamar yang ada di rumah Nida. Terpaksa, ia mengenakan pakaian dalam semalam. Tidak ganti. Paling juga, di jalan nanti kalau ada toko underware yang buka, ia akan beli. "Ada apa, Lea?" tanya Nida pada gadis yang duduk kembali di kursi semula. "Enggak ada apa-apa, Tante. Ah biasa, kak Axel kan emang rese! Enggak boleh banget aku menikmati sarapan di rumah Tante. Aku lanjut lagi sarapannya ya, Tan?" tanya Alea sembari menggigit roti tawar panggang yang diberi selai cokelat. "Habisin saja, Lea.""Siaaapp!"Di ruang makan, hanya ada
"Rina, tumben jam segini kamu udah di dapur?" sapa Tina pada anak semata wayangnya yang sedang memanggang roti tawar untuk Nida dan yang lainnya. "Kok tumben sih, Bu? Aku kan udah biasa bangun jam segini," timpal Rina cemberut. "Maksud Ibu, kamu ada di dapur tumben jam segini? Biasanya kan jam enam baru bantuin Ibu," jelas Tina sambil menyusun piring di atas meja makan. Rina tak menanggapi. Ia terdiam, fokus memanggang roti tawar yang sering dijadikan menu sarapan Nida. Tidak berselang lama, suara bel terdengar. Rina dan ibunya saling memandang satu sama lain. Mereka merasa aneh, ada orang yang datang bertamu di pagi buta. "Bu, Ibu saja yang bukain pintunya. Aku takut mas Rangga lagi yang datang," ucap Rina sebelum ibunya menyuruh. "Ya sudah, Ibu yang bukain pintu."Wanita yang tak lain istri sah Ferry itu berjalan cepat ke pintu depan. Suara bel kembali terdengar. Sebelum membuka pintu, Tina menghela napas panjang. Lalu ...."Assalamualikum, Ibu Tina."Tina bernapas lega karena
"Lea, benar enggak? Itu nomor baru Cassandra?" tanya Axel tak sabar. Bibirnya tak henti menyunggingkan senyum. Sangat berharap kalau Cassandra-lah yang menghubungi Alea. Alea bimbang, menjawab pertanyaan kakaknya. 'Ya Allah, gimana ini? Apa aku harus jujur atau harus ....?'Satu pesan singkat masuk lagi. Alea terkejut, langsung membacanya. "Alea, kok enggak dibalas? Apa kamu marah padaku?" Alea dengan cekatan membalas pesan Cassandra. "Sebentar, aku lagi teleponan sama kak Axel."Pesan sudah terkirim. "Alea! Eh, kamu denger aku enggak? Alea!""Iya, iya, aku denger! Bawel banget!" sungut Alea kesal. Alea jadi menyesal memberitahu pesan singkat dari nomor baru. "Habisnya dari tadi dipanggil diem aja. Tadi nomor baru siapa?""Temenku. Udah ya, Kak. Aku ngantuk. Besok pagi-pagi kan aku harus jemput Kakak di rumah tante Nida. Aku cuma bawa baju seragam dan tas Kakak aja 'kan?" Alea sengaja mengalihkan pembicaraan lain. Dia tak mau keceplosan kalau yang menghubunginya adalah Cassandr
Perkataan Rina membuat ibunya terdiam membisu. Tak lagi berkata-kata. Yang dikatakan Rina ada benarnya. Masalah jodoh seseorang hanya Allah yang tahu. Jika demikian, bagaimana kalau Rina ternyata jodohnya Axel? Mereka sepersekian menit terdiam. Bergelut dengan pikiran masing-masing. "Bu, aku istirahat dulu. Ibu juga jangan tidur terlalu malam," ucap Rina beranjak pergi meninggalkan ibunya yang masih terpaku di ruang tamu. Di balik pintu kamar, air mata Rina tak mampu tertahankan. Ia menangis tersedu, tubuhnya luruh di atas lantai. Kedua lutut ditekuk, wajah ditenggelamkan antara kedua lututnya. Rina menangis, meratapi cinta pertamanya yang tak kunjung mendapat balasan dari lelaki yang dicintai. Mungkin itu yang terbaik ketimbang ketika mereka sudah saling mencintai justru harus terpisahkan. "Ya Allah, Engkau yang menitipkan perasaan ini padaku. Jika nantinya perasaan ini membuat jatuh ke lubang penyesalan, aku mohon hapuskan ya Allah. Hapuskan ... huhuhuhu ...." Sementar
Melihat Alea terpaku di tempat, Evan heran dan bertanya, "Kenapa kamu malah bengong, Lea?" Sikap Alea salah tingkah. Berdehem dan tersenyum kaku. Ia kembali duduk di tempat semula. Kepalanya melongok ke dalam. Memastikan tidak ada Bianca di sana. "Pa, hm ... maaf ya sebelumnya. Tapi, Papa jangan marah."Evan mengerutkan kening mendengar kalimat yang meluncur dari mulut gadis berusia belasan tahun itu. "Memangnya ada apa, Lea?" telisik Evan dengan intonasi suara rendah. Evan yakin ada yang disembunyikan oleh Alea. "Sebenarnya malam ini kak Axel enggak ada di rumah, Pa." Sangat pelan, Alea berucap. Namun, Evan masih bisa mendengarnya. Kepala Evan mundur sedikit karena terkejut. "Di mana dia? Di cafe?" cecar Evan. Alea terdiam. Walau hatinya percaya Evan tidak akan memberitahu Bianca, akan tetapi Alea sedikit ragu memberitahu. Sungguh, ia khawatir Evan keceplosan. Evan sangat mencintai Bianca. Jika Bianca mendesak, pasti Evan akan menjawab tentang keberadaan Axel yang sebenarnya. A
Hari ini Bianca pulang agak malam. Jam tujuh malam baru tiba di rumah. Nida yang biasanya membantu, kini bekerja di lokasi proyek. Nida ada di kantor hanya pagi sampai jam sebelas siang saja. Setelahnya di lokasi proyek. "Kalau Nida stand by di kantor, aku enggak akan pulang malam begini. Ada-ada aja tuh orang. Segala pengen kerja di lokasi padahal kerjaan itu lebih pusing. Kenapa pula enggak diserahin ke mandor saja?" gerutu Bianca ketika melepas sepatu di dalam kamar. Beruntung, Evan suami yang penyabar dan setia. Ia membantu Bianca menyelesaikan pekerjaannya. "Nida kan udah ngasih tau alasannya, aku juga tadi ngebantuin kamu nyelesain kerjaan. Yang dilakukan Nida juga untuk kepentingan perusahaan, Sayang," sanggah Evan pada istrinya yang selalu saja terkesan menyalahkan Nida. "Kamu emang bantuin aku tapi enggak secepat pekerjaan Nida. Udahlah, aku capek! Aku mau mandi dulu, habis itu tidur! Pusing kalau bicara sama kamu," ucap Bianca kesal. Intonasi suaranya sarat akan emosi. Ev
"Kamu enggak takut dimarahin kak Bianca kalau nginap di sini?" tanya Nida ketika Axel mengutarakan maksudnya ingin menginap di rumahnya. Mereka malam ini duduk di samping rumah dekat kolam ikan. Beraneka jenis ikan koi terlihat cantik di dalam kolam. "Enggak takut sama sekali. Biarin ajalah. Sekarang aku dan Lea udah biasa dimarahin mama," jawab Axel santai. Pandangannya tertuju ke depan. Pikirannya entah ada di mana. Nida menoleh, memerhatikan keponakannya dari samping. Nida mengubah posisi duduk, lebih menghadap Axel. "Kamu kenapa, Xel? Lagi ada masalah?" telisik Nida penasaran. Axel menoleh sejenak, lalu mengalihkan pandangan lurus ke depan. Tampak berpikir, tidak langsung menjawab. Tiap hari Axel berusaha menutupi rasa rindu dan gelisah pada Cassandra, cinta pertamanya. Hampir satu Minggu mereka tak saling komunikasi. Bagi Axel, satu Minggu bagai sewindu. Sangat menyiksa. "Bukan masalah sama orang lain tapi masalah sama diri sendiri," ucap Axel. Setelahnya mengangkat secangkir
"Terima kasih, Xel. Tante mau ke kamar dulu." Semua orang tahu dari sorot mata Nida terdapat kesedihan. Axel menghela napas berat, pandangannya beralih pada Haifa yang tengah memeluk anak semata wayangnya. "Mbak Haifa?" Panggilan Axel membuat Haifa mendongak. "Iya, Axel." Haifa mengenal Axel hanya saja mereka tidak terlalu akrab. "Kenapa Mbak memilih tinggal di sini? Tante Nida dengan om Hanif udah cerai?" tanya Axel tanpa berbasa-basi. Ia tahu, mungkin Haifa agak tersinggung dengan pertanyaan. "Mbak Haifa maaf, sebaiknya Mbak istirahat dulu. Mbak Haifa pasti capek 'kan?"Terpaksa, Rina menyela obrolan antara Axel dan Haifa. Rina hanya tak mau Axel terlalu ikut campur dalam masalah rumah tangga orang lain. "Iya nih. Mbak capek banget. Mbak Tina, terima kasih banyak udah jagaian Rafa. Maaf ya, kalau Rafa nakal," ujar Haifa tak enak hati pada Tina yang seharian sudah menjaga anak semata wayangnya. "Alhamdulillah Rafa baik. Enggak nakal," timpal Tina tersenyum ramah. "Hm ... kal
"Siapa yang datang, Rin?"Pertanyaan Axel dari dalam rumah mengalihkan pandangan Rina. Ia menoleh ke belakang. "I-Ini ada orang yang namanya mas Rangga. Katanya pengen ketemu mbak Nida," jawab Rina agak kaku karena merasa risih dengan tatapan Rangga. Rina bernapas lega setelah Axel menghadapi lelaki yang baru dilihatnya. "Iya. Namaku Rangga. Mbak Nida udah pulang kan?""Belum. Tante Nida belum pulang."Rina bergegas masuk ke dalam. Membiarkan Axel yang menemui lelaki itu. Tiba di dapur, Rina langsung menghubungi Nida, membertahu tentang kedatangan Rangga. Hati Rina berfirasat jika lelaki itu bukan orang baik. "Kalau begitu, aku akan menunggunya.""Eh, Anda ini emangnya siapa?" tanya Axel datar. Rangga mendelik, mengulurkan sebelah tangan. "Aku Rangga, suaminya Haifa."Uluran tangan Rangga tidak disambut Axel. Kening Axel justru mengkerut. "Haifa? Haifa adik kandung om Hanif?" Dugaan Axel membuat Rangga tersenyum. "Betul sekali." Sangat antusias, Rangga menjawab dugaan bocah bela