Axel dan Alea terkejut melihat Bianca sudah pulang ke rumah lebih dulu. Tatapan wanita itu begitu tajam ke arah mereka. Axel menghela napas berat. Ia sudah menduga akan kena omelan wanita yang telah merawatnya sejak kecil itu."Kalian dari mana? Kenapa jam segini baru pulang?" Pertanyaan berintonasi dingin itu membuat Alea merundukkan kepala. "Kami dari cafe. Tadi aku yang ngajak Lea ke sana."Jawaban Axel tak lantas membuat Bianca berhenti bertanya. "Lea, ingat! Di cafe Axel kamu jangan mau didekati bujangan lapuk itu! Kamu itu enggak pantes deket-deket sama dia!" Tiba-tiba saja Bianca membahas Gilang. Alea tentu saja terkejut. "Maksud Mama bang Gilang?" Alea sekadar memastikan. "Iya. Bujangan lapuk di cafe itu kan cuma si Gilang! Kalau perlu, kamu enggak usah ke cafe-cafe lagi. Nanti kalau kamu kena bujukan rayu si Gilang, kamu bisa jatuh cinta sama dia! Mama enggak mau punya menantu modelan cowok enggak jelas itu!"Sangat sinis, Bianca berbicara. Axel sebagai sahabat Gilang mera
Pukul jam lima Subuh, mobil box yang dikirim Nida sudah berada di depan gang rumah Ferry. Lelaki itu memindahkan barang-barangnya ke dalam mobil menggunakan sepeda motor lebih dulu karena mobil box tidak bisa masuk ke dalam gang rumah kontrakan Ferry. Setelah semuanya selesai diangkut, Ferry, Tina dan Rina menemui pemilik kontrakan untuk membayar sewa kontrakan bulan ini dan juga berpamitan. "Mas Ferry, kontrakannya enggak usah dibayar saja. Sekarang kan masih awal bulan. Ambil lagi aja uangnya," ucap bu Haji Asih mengembalikan uang pemberian Ferry. "Enggak apa-apa, Bu Haji. Ambil saja. Kami mengucapkan banyak terima kasih karena selama ini Bu Haji sangat pengertian pada kami. Sebelumnya kami sering telat bayar kontrakan, tapi Bu Haji tetap memberi tenggang waktu, enggak mengusir kami. Terima kasih banyak. Semoga kebaikan Bu Haji diganti oleh Allah SWT. Aamiin," tutur Ferry panjang lebar. "Aamiin ya Allah. Sama-sama Mas Ferry, Mbak Tina. Semoga ditempat yang baru, rezeki kalian di
Usai menyantap sarapan bersama Nida, Tina dan Rina bergegas merapikan meja makan serta mencuci peralatan dapur. Sedangkan Ferry, membantu memindahkan barang-barangnya dari mobil box ke paviliun. "Mbak Tina, Rina, nanti saja cuci piringnya. Kalian baru sampe, istirahatlah dulu!" tegur Nida, merasa tak enak hati pada ibu dan anak itu. "Enggak apa-apa, Non. Kami senang bisa bekerja di rumah ini," ujar Tina tersenyum bahagia. Sungguh, dirinya sangat beruntung bisa diterima kerja di rumah keluarga Bragastara meskipun sebagai asisten rumah tangga. "Ya sudah kalau itu mau kalian. Saya pamit ke kamar dulu.""Baik, Non."Rencananya hari ini, Nida ingin ke rumah sakit menemui papanya. Selagi libur kerja, Nida ingin menggantikan Shella menjaga dan menemani Yuda. Kasihan Shella, sudah beberapa hari tinggal di rumah sakit. Pukul tujuh pagi, Nida baru keluar kamar lagi. Ia tersenyum melihat Tina sedang menyapu."Mbak Tina?" sapa Nida saat berada di ujung anak tangga. "Iya, Non?" Setengah membu
Hesti sangat terkejut mendengar tanggapan Bianca atas permintaannya. Tak menyangka jika Bianca berkata demikian. Dia pikir, Bianca dengan senang hati membawanya pulang dari tempat panti jompo."Bu-bukan begitu, Nak. Mama cuma ingin .. sisa hidup Mama bersamamu. Bersama suami dan anak-anakmu." Suara Hesti bergetar. Wanita tua itu pun tak mengetahui jika sebetulnya Bianca belum dikaruniai anak. Ia hanya tahu jika Axel dan Alea adalah cucunya yang dilahirkan Bianca. "Ck, jangan bohong, Ma! Aku tau betul, dari dulu Mama enggak pernah mau tinggal bersamaku kan? Udahlah, Ma! Jangan bikin aku pusing, jangan bikin aku repot lagi! Sekarang lebih baik Mama tinggal di sini. Di sini kan banyak tuh, teman-teman Mama. Tadi aku lihat di luar sana, banyak wanita tua yang kayak Mama." Tanpa memikirkan perasaan Hesti, Bianca berbicara. Sekarang Hesti sudah tua. Tak bisa memarahi anak semata wayangnya itu. Memang, Hesti tak berhak menyalahkan atas sikap Bianca padanya saat ini. Dulu, dia tidak pernah
"Ada apa, Nida? Kenapa kamu kayak panik gitu?" tanya Shella melihat sikap Nida yang berubah. "Ma, Pa, aku minta maaf, ya? Aku harus pulang sekarang.""Ada apa memangnya?" Kali ini Yuda yang bertanya. "Barusan asisten rumah tanggaku telepon. Katanya di depan gerbang ada Friska. Selingkuhannya mas Hanif.""Apa?" Shella dan Yuda bertanya serempak. "Mau ngapain dia ke rumahmu?" Yuda terlihat sangat geram mendengar wanita yang telah merusak rumah tangga anaknya datang ke rumah. "Aku enggak tau, Pa. Makanya aku sekarang mau pulang dulu. Aku takut dia maksa masuk ke dalam rumah.""Ya udah kamu pulang dulu aja. Hati-hati."Shella dan Yuda berusaha memaklumi. "Aku minta maaf ya. Baru datang pulang lagi. Tapi, nanti kalau urusanku dengan Friska selesai, aku bakal balik ke sini.""Jangan, Nida. Nanti sore kalau dokternya datang, Papa udah diizinkan pulang," kata Yuda menenangkan anak kandungnya. "Baiklah. Nanti kabari aja. Aku pamit sekarang." Nida mencium punggung tangan Yuda dan Shella.
"Kenapa kamu marah-marah?" tanya Nida heran melihat ekspresi Friska. "Gimana aku enggak marah? Mantan suamimu itu udah nyuri uangku!" Kedua mata Friska melotot seperti mau menelan Nida. Nida tersenyum miring. Memundurkan wajah agak ke belakang. "Lho kenapa harus marah? Bukannya kamu cinta banget sama mas Hanif?""Ya emang! Tapi aku enggak suka kalau dia nyuri uangku! Belum lama aku kirim uang ke mamanya sepuluh juta, eh kemarin uangku tiba-tiba hilang. Aku yakin banget, dia yang ngambil!"Tanpa permisi apalagi berucap terima kasih, Friska pergi meninggalkan Nida yang tersenyum sambil menggelengkan kepala. "Aku pikir ke sini mau ngapain? Ternyata ....""Nida!" Baru saja Nida hendak masuk ke dalam mobil, Friska kembali menghampiri. "Apalagi?""Aku minta nomor hapemu dong!" ucap Friska saat berdiri di depan Nida. "Buat apa?""Ck, buat nanya-nanya. Udah deh, cuma minta nomor hape doang masa gak boleh?"Meski Nida tak suka dipaksa, tapi pada akhirnya dia berikan juga nomor handphone-n
Axel sudah tiba di depan rumah Yuda. Dia dan Cassandra membuat janji akan ke rumah sakit bersama. Axel ingin menjenguk lelaki yang selama ini dianggap kakek olehnya. "Wow, aku pikir kamu datang agak siangan. Pagi amat, Xel?" ucap Cassandra sumringah saat membuka pintu dan ternyata Axel yang datang. "Emang enggak boleh aku datang sepagi ini?" Bukannya menjawab, Axel justru bertanya sambil menaikkan sebelah alis. Cassandra tersenyum. "Boleh aja. Masuk deh!" Cassandra membuka pintu lebar, mempersilakan Axel masuk dan duduk di sofa ruang tamu. "Aku ke atas dulu. Mau ambil tas.""Oke."Cassandra meninggalkan Axel seorang diri di ruang tamu. Sebelum Cassandra hendak ke kamar, ia menyuruh asisten rumah tangga agar membuatkan teh manis hangat untuk lelaki yang dicintai. Setelah itu, barulah Cassandra ke kamarnya yang terletak di lantai dua. Selang beberapa lama, Cassandra sudah kembali ke ruang tamu, menemui Axel. "Aku udah siap! Berangkat sekarang yuk!""Okey!" Keduanya keluar rumah
Cassandra pura-pura cemberut melihat Axel tertawa lepas. Mereka berjalan beriringan, menuju ruangan Yuda. Di depan pintu ruangan, Cassandra mengetuk pintu sambil mengucap salam. Begitu pintu terbuka, terlihat Yuda dan Shella sedang berbincang. Cassandra dan Axel masuk, menyalami kedua orang itu. "Geppa gimana kondisinya?" tanya Axel berdiri di samping kiri Yuda. "Alhamdulillah udah lebih baik. Insya Allah nanti sore sudah boleh pulang. Kalian ke sini berdua? Alea enggak ikut?" telisik Yuda melihat ke arah depan pintu. "Enggak ikut, Geppa. Alea ada janji sama temannya."Jawaban Axel ditanggapi anggukkan kepala Yuda. "Sandra, apa kamu udah berkemas?" tanya Shella pada anak kandungnya. Axel mengerutkan kening mendengar pertanyaan Shella. "Hm, belum, Ma," jawab Cassandra meringis. "Berkemas mau kemana, Gemma?" Axel bertanya kebingungan. Memandang Shella dan Cassandra bergantian. "Besok Sandra mau berangkat lagi ke LN."Axel terkejut mendengar jawaban Shella. Sepanjang jalan tad
"Dasar ceroboh nih anak! Makanya sebelum berangkat pastiin dulu, ada yang ketinggalan enggak?""Idih, malah dia yang marah. Lagian semalam Kakak enggak bilang suruh bawa itu. Kakak cuma suruh aku bawa seragam dan tas. Sepatu juga untung aku inget. Ya udah, kamu aja yang balik ke rumah. Ambil sana pakaian dalammu!" ucap Alea kesal pada kakaknya yang menyalahkan. Bukannya minta maaf, justru marah-marah tidak jelas. "Ck, adik nyebelin!" Axel menuju salah satu kamar yang ada di rumah Nida. Terpaksa, ia mengenakan pakaian dalam semalam. Tidak ganti. Paling juga, di jalan nanti kalau ada toko underware yang buka, ia akan beli. "Ada apa, Lea?" tanya Nida pada gadis yang duduk kembali di kursi semula. "Enggak ada apa-apa, Tante. Ah biasa, kak Axel kan emang rese! Enggak boleh banget aku menikmati sarapan di rumah Tante. Aku lanjut lagi sarapannya ya, Tan?" tanya Alea sembari menggigit roti tawar panggang yang diberi selai cokelat. "Habisin saja, Lea.""Siaaapp!"Di ruang makan, hanya ada
"Rina, tumben jam segini kamu udah di dapur?" sapa Tina pada anak semata wayangnya yang sedang memanggang roti tawar untuk Nida dan yang lainnya. "Kok tumben sih, Bu? Aku kan udah biasa bangun jam segini," timpal Rina cemberut. "Maksud Ibu, kamu ada di dapur tumben jam segini? Biasanya kan jam enam baru bantuin Ibu," jelas Tina sambil menyusun piring di atas meja makan. Rina tak menanggapi. Ia terdiam, fokus memanggang roti tawar yang sering dijadikan menu sarapan Nida. Tidak berselang lama, suara bel terdengar. Rina dan ibunya saling memandang satu sama lain. Mereka merasa aneh, ada orang yang datang bertamu di pagi buta. "Bu, Ibu saja yang bukain pintunya. Aku takut mas Rangga lagi yang datang," ucap Rina sebelum ibunya menyuruh. "Ya sudah, Ibu yang bukain pintu."Wanita yang tak lain istri sah Ferry itu berjalan cepat ke pintu depan. Suara bel kembali terdengar. Sebelum membuka pintu, Tina menghela napas panjang. Lalu ...."Assalamualikum, Ibu Tina."Tina bernapas lega karena
"Lea, benar enggak? Itu nomor baru Cassandra?" tanya Axel tak sabar. Bibirnya tak henti menyunggingkan senyum. Sangat berharap kalau Cassandra-lah yang menghubungi Alea. Alea bimbang, menjawab pertanyaan kakaknya. 'Ya Allah, gimana ini? Apa aku harus jujur atau harus ....?'Satu pesan singkat masuk lagi. Alea terkejut, langsung membacanya. "Alea, kok enggak dibalas? Apa kamu marah padaku?" Alea dengan cekatan membalas pesan Cassandra. "Sebentar, aku lagi teleponan sama kak Axel."Pesan sudah terkirim. "Alea! Eh, kamu denger aku enggak? Alea!""Iya, iya, aku denger! Bawel banget!" sungut Alea kesal. Alea jadi menyesal memberitahu pesan singkat dari nomor baru. "Habisnya dari tadi dipanggil diem aja. Tadi nomor baru siapa?""Temenku. Udah ya, Kak. Aku ngantuk. Besok pagi-pagi kan aku harus jemput Kakak di rumah tante Nida. Aku cuma bawa baju seragam dan tas Kakak aja 'kan?" Alea sengaja mengalihkan pembicaraan lain. Dia tak mau keceplosan kalau yang menghubunginya adalah Cassandr
Perkataan Rina membuat ibunya terdiam membisu. Tak lagi berkata-kata. Yang dikatakan Rina ada benarnya. Masalah jodoh seseorang hanya Allah yang tahu. Jika demikian, bagaimana kalau Rina ternyata jodohnya Axel? Mereka sepersekian menit terdiam. Bergelut dengan pikiran masing-masing. "Bu, aku istirahat dulu. Ibu juga jangan tidur terlalu malam," ucap Rina beranjak pergi meninggalkan ibunya yang masih terpaku di ruang tamu. Di balik pintu kamar, air mata Rina tak mampu tertahankan. Ia menangis tersedu, tubuhnya luruh di atas lantai. Kedua lutut ditekuk, wajah ditenggelamkan antara kedua lututnya. Rina menangis, meratapi cinta pertamanya yang tak kunjung mendapat balasan dari lelaki yang dicintai. Mungkin itu yang terbaik ketimbang ketika mereka sudah saling mencintai justru harus terpisahkan. "Ya Allah, Engkau yang menitipkan perasaan ini padaku. Jika nantinya perasaan ini membuat jatuh ke lubang penyesalan, aku mohon hapuskan ya Allah. Hapuskan ... huhuhuhu ...." Sementar
Melihat Alea terpaku di tempat, Evan heran dan bertanya, "Kenapa kamu malah bengong, Lea?" Sikap Alea salah tingkah. Berdehem dan tersenyum kaku. Ia kembali duduk di tempat semula. Kepalanya melongok ke dalam. Memastikan tidak ada Bianca di sana. "Pa, hm ... maaf ya sebelumnya. Tapi, Papa jangan marah."Evan mengerutkan kening mendengar kalimat yang meluncur dari mulut gadis berusia belasan tahun itu. "Memangnya ada apa, Lea?" telisik Evan dengan intonasi suara rendah. Evan yakin ada yang disembunyikan oleh Alea. "Sebenarnya malam ini kak Axel enggak ada di rumah, Pa." Sangat pelan, Alea berucap. Namun, Evan masih bisa mendengarnya. Kepala Evan mundur sedikit karena terkejut. "Di mana dia? Di cafe?" cecar Evan. Alea terdiam. Walau hatinya percaya Evan tidak akan memberitahu Bianca, akan tetapi Alea sedikit ragu memberitahu. Sungguh, ia khawatir Evan keceplosan. Evan sangat mencintai Bianca. Jika Bianca mendesak, pasti Evan akan menjawab tentang keberadaan Axel yang sebenarnya. A
Hari ini Bianca pulang agak malam. Jam tujuh malam baru tiba di rumah. Nida yang biasanya membantu, kini bekerja di lokasi proyek. Nida ada di kantor hanya pagi sampai jam sebelas siang saja. Setelahnya di lokasi proyek. "Kalau Nida stand by di kantor, aku enggak akan pulang malam begini. Ada-ada aja tuh orang. Segala pengen kerja di lokasi padahal kerjaan itu lebih pusing. Kenapa pula enggak diserahin ke mandor saja?" gerutu Bianca ketika melepas sepatu di dalam kamar. Beruntung, Evan suami yang penyabar dan setia. Ia membantu Bianca menyelesaikan pekerjaannya. "Nida kan udah ngasih tau alasannya, aku juga tadi ngebantuin kamu nyelesain kerjaan. Yang dilakukan Nida juga untuk kepentingan perusahaan, Sayang," sanggah Evan pada istrinya yang selalu saja terkesan menyalahkan Nida. "Kamu emang bantuin aku tapi enggak secepat pekerjaan Nida. Udahlah, aku capek! Aku mau mandi dulu, habis itu tidur! Pusing kalau bicara sama kamu," ucap Bianca kesal. Intonasi suaranya sarat akan emosi. Ev
"Kamu enggak takut dimarahin kak Bianca kalau nginap di sini?" tanya Nida ketika Axel mengutarakan maksudnya ingin menginap di rumahnya. Mereka malam ini duduk di samping rumah dekat kolam ikan. Beraneka jenis ikan koi terlihat cantik di dalam kolam. "Enggak takut sama sekali. Biarin ajalah. Sekarang aku dan Lea udah biasa dimarahin mama," jawab Axel santai. Pandangannya tertuju ke depan. Pikirannya entah ada di mana. Nida menoleh, memerhatikan keponakannya dari samping. Nida mengubah posisi duduk, lebih menghadap Axel. "Kamu kenapa, Xel? Lagi ada masalah?" telisik Nida penasaran. Axel menoleh sejenak, lalu mengalihkan pandangan lurus ke depan. Tampak berpikir, tidak langsung menjawab. Tiap hari Axel berusaha menutupi rasa rindu dan gelisah pada Cassandra, cinta pertamanya. Hampir satu Minggu mereka tak saling komunikasi. Bagi Axel, satu Minggu bagai sewindu. Sangat menyiksa. "Bukan masalah sama orang lain tapi masalah sama diri sendiri," ucap Axel. Setelahnya mengangkat secangkir
"Terima kasih, Xel. Tante mau ke kamar dulu." Semua orang tahu dari sorot mata Nida terdapat kesedihan. Axel menghela napas berat, pandangannya beralih pada Haifa yang tengah memeluk anak semata wayangnya. "Mbak Haifa?" Panggilan Axel membuat Haifa mendongak. "Iya, Axel." Haifa mengenal Axel hanya saja mereka tidak terlalu akrab. "Kenapa Mbak memilih tinggal di sini? Tante Nida dengan om Hanif udah cerai?" tanya Axel tanpa berbasa-basi. Ia tahu, mungkin Haifa agak tersinggung dengan pertanyaan. "Mbak Haifa maaf, sebaiknya Mbak istirahat dulu. Mbak Haifa pasti capek 'kan?"Terpaksa, Rina menyela obrolan antara Axel dan Haifa. Rina hanya tak mau Axel terlalu ikut campur dalam masalah rumah tangga orang lain. "Iya nih. Mbak capek banget. Mbak Tina, terima kasih banyak udah jagaian Rafa. Maaf ya, kalau Rafa nakal," ujar Haifa tak enak hati pada Tina yang seharian sudah menjaga anak semata wayangnya. "Alhamdulillah Rafa baik. Enggak nakal," timpal Tina tersenyum ramah. "Hm ... kal
"Siapa yang datang, Rin?"Pertanyaan Axel dari dalam rumah mengalihkan pandangan Rina. Ia menoleh ke belakang. "I-Ini ada orang yang namanya mas Rangga. Katanya pengen ketemu mbak Nida," jawab Rina agak kaku karena merasa risih dengan tatapan Rangga. Rina bernapas lega setelah Axel menghadapi lelaki yang baru dilihatnya. "Iya. Namaku Rangga. Mbak Nida udah pulang kan?""Belum. Tante Nida belum pulang."Rina bergegas masuk ke dalam. Membiarkan Axel yang menemui lelaki itu. Tiba di dapur, Rina langsung menghubungi Nida, membertahu tentang kedatangan Rangga. Hati Rina berfirasat jika lelaki itu bukan orang baik. "Kalau begitu, aku akan menunggunya.""Eh, Anda ini emangnya siapa?" tanya Axel datar. Rangga mendelik, mengulurkan sebelah tangan. "Aku Rangga, suaminya Haifa."Uluran tangan Rangga tidak disambut Axel. Kening Axel justru mengkerut. "Haifa? Haifa adik kandung om Hanif?" Dugaan Axel membuat Rangga tersenyum. "Betul sekali." Sangat antusias, Rangga menjawab dugaan bocah bela