"Enggak penting kamu tau dari siapa. Jawab aja pertanyaanku, Lea?" Jawaban Cassandra membuat Alea memejamkan kedua mata. Ia merasa telah dituduh tanpa alasan oleh kakaknya. Dan sekarang tiba-tiba Cassandra bertanya demikian. Tanpa banyak berpikir, Alea langsung menghubungi Cassandra. "Hallo, Kak?" sapa Alea ketika sambungan telepon berlangsung."Iya, Lea. Gimana??""Kakak tau gak? Tadi Kak Axel marah-marah sama aku. Kak Axel nuduh aku yang kasih tau Kakak kalau dia suka wanita lain padahal itu enggak." Alea tak bisa menyembunyikan emosinya. Ia masih tidak terima kalau dituduh menyampaikan guyonan Axel selepas mengantar Rina ke sekolahnya. "Jadi benar, kalau Axel pacaran sama Rina?""Enggak bener!" jawab Alea langsung. "Tadi kamu bilang, padahal enggak apa?""Maksudku, enggak kasih tau Kak Sandra kalau aku yang bilang tentang kak Axel dengan si Rina. Kak, Kakak mending jujur deh sama aku, kenapa Kakak tiba-tiba mikir kayak gitu? Kak Axel itu cinta banget sama Kakak. Bahkan dia seka
"Apa sih, Kak? Aku beneran enggak ngerti?"Arfan menghentikan langkah, tak jadi menghampiri dua anak kembar itu. Dari kejauhan Arfan sudah dapat menerka jika diantara mereka sedang ada masalah. Arfan membalikkan badan, urung menemui Alea. Ia menunggu di depan perpustakaan.Axel mengeluarkan ponselnya, menunjukan media sosial Cassandra. "Ini! Kamu baca insta story Sandra! Kalau bukan dari kamu, dia tau dari siapa?? Setan?" sentak Axel melotot pada adiknya. Alea tak peduli, mengambil alih handphone milik Axel. Melihat insta story yang diposting Cassandra satu jam lalu. "Hah?" Alea pun terkejut. Kenapa Cassandra seperti tahu obrolan mereka setelah mengantar Rina?"Jangan sok kaget! Kamu kan yang kasih tau dia!" Axel masih saja menuduh adiknya yang menceritakan tentang obrolan itu. Alea mendongak, membalas tatapan kakaknya yang sengit. "Aku berani sumpah! Aku enggak bilang kak Sandra. Aku sama sekali enggak komunikasi sama dia, Kak!" tandas Alea, mengelak tuduhan Axel. Kening Axel me
"Boleh, Haifa. Kamu boleh ke sana," jawab Nida menatap prihatin mantan iparnya itu. "Eh, tapi kerja dulu. Kamu jangan izin-izin aja. Kalau kamu mau ke sana, tunggu jam kerja selesai," cetus Bianca menyunggingkan senyum sinis. Nida hanya terdiam, menggelengkan kepala. Sekarang Bianca tak ada rasa simpati pada ibu Ros. Nida sendiri masih tak percaya kalau ibu mertuanya itu mau tinggal di panti sosial. Apa mungkin karena dia sudah tahu rumahnya disita pihak Bank?"Iya, Mbak Bianca. Saya akan kerja dulu. Terima kasih banyak.""Haifa, kamu enggak usah sedih begitu. Masih untung ibumu tinggal di panti jompo daripada jadi gelandangan di pinggir jalan?" Bianca tak henti menyindir Haifa."Iya, Mbak. Saya bersyukur mama mau tinggal di sana. Saya pikir, mama punya rumah lain.""Nida, sekarang itu karma cepet datang. Belum ada satu bulan kamu diceraikan si Hanif, belum satu bulan mereka ngedukung perceraianmu, eh sekarang sudah hancur semuanya. Keluarga yang sebelumnya kompak zolimin kamu, kini
"Cukup, Mbak!" sentak Hanifa kesal. "Jangan terus-menerus menghinaku dan suamiku! Mbak jangan sombong! Suatu saat nanti, Mbak akan mengalami apa yang kami alami sekarang. Ingat itu! Udah, Mas. Lebih baik sekarang Mas berangkat kerja." Hanifa membalas penghinaan kakak iparnya. Menarik lengan suaminya agar menjauh dari Friska. Istri Hanif itu tersenyum mengejek. "Udah miskin, enggak tau diri!" celetuk Friska menggelengkan kepala. **"Sombong sekali si Friska itu! Kalau bukan kakak iparmu, udah kutampar mulutnya," ucap Tedi penuh emosi. Kini, mereka berdiri di depan teras rumah Friska. Keduanya diselimuti emosi karena ucapan istri kedua Hanif. "Aku juga kesel banget, Mas. Dari kemarin dihina terus."Hanifa membenarkan ucapan sang suami. Menurut mereka, Friska sudah sangat keterlaluan. Sangat sombong dan pelit. "Makanya, Sayang ... mobilmu harus dijual. Kita butuh uang sekarang. Kalau tinggal di kontrakan petak, aku enggak tega sama kamu dan anak-anak. Kita harus tinggal di kontrakan
Axel berjalan cepat ke paviliun Nida yang di tempati keluarga Ferry. Terlihat, Ferry sedang memperbaiki sepeda motornya. Di belakang Rina dan ibunya yang sedag memerhatikan. "Pak Ferry!" sapa Axel membuat ketiga orang itu menoleh ke sumber suara. "Nak Axel?" timpal Ferry tersenyum ramah. "Pak, motornya mogok?""Iya, Nak. Mungkin karena udah lama enggak diservis," jawab Ferry meringis. "Pak Ferry dan Rina berangkatnya bareng aku aja. Nanti kita ke cafe dulu nganterin Bapak, setelah itu anterin Rina, setelah itu, aku dan Alea yang ke sekolah. Kita berangkat sekarang aja, supaya enggak kesiangan," ajak Axel tanpa meminta persetujuan Ferry maupun Rina. "Tapi, Xel. Apa kami enggak ngerepotin? Aku bisa naik gojek kok.""Enggak repotin. Udha ayok, cepet!"Akhirnya mau tak mau, Ferry dan Rina satu mobil dengan Axel. Di dalam mobil, tidak ada yang bicara. Benar dugaan Axel, Alea tak akan banyak bicara jika ada orang lain di dalam mobil. Kalau tidak ada orang, pasti akan berceloteh tentan
"Dasar ceroboh nih anak! Makanya sebelum berangkat pastiin dulu, ada yang ketinggalan enggak?""Idih, malah dia yang marah. Lagian semalam Kakak enggak bilang suruh bawa itu. Kakak cuma suruh aku bawa seragam dan tas. Sepatu juga untung aku inget. Ya udah, kamu aja yang balik ke rumah. Ambil sana pakaian dalammu!" ucap Alea kesal pada kakaknya yang menyalahkan. Bukannya minta maaf, justru marah-marah tidak jelas. "Ck, adik nyebelin!" Axel menuju salah satu kamar yang ada di rumah Nida. Terpaksa, ia mengenakan pakaian dalam semalam. Tidak ganti. Paling juga, di jalan nanti kalau ada toko underware yang buka, ia akan beli. "Ada apa, Lea?" tanya Nida pada gadis yang duduk kembali di kursi semula. "Enggak ada apa-apa, Tante. Ah biasa, kak Axel kan emang rese! Enggak boleh banget aku menikmati sarapan di rumah Tante. Aku lanjut lagi sarapannya ya, Tan?" tanya Alea sembari menggigit roti tawar panggang yang diberi selai cokelat. "Habisin saja, Lea.""Siaaapp!"Di ruang makan, hanya ada
"Rina, tumben jam segini kamu udah di dapur?" sapa Tina pada anak semata wayangnya yang sedang memanggang roti tawar untuk Nida dan yang lainnya. "Kok tumben sih, Bu? Aku kan udah biasa bangun jam segini," timpal Rina cemberut. "Maksud Ibu, kamu ada di dapur tumben jam segini? Biasanya kan jam enam baru bantuin Ibu," jelas Tina sambil menyusun piring di atas meja makan. Rina tak menanggapi. Ia terdiam, fokus memanggang roti tawar yang sering dijadikan menu sarapan Nida. Tidak berselang lama, suara bel terdengar. Rina dan ibunya saling memandang satu sama lain. Mereka merasa aneh, ada orang yang datang bertamu di pagi buta. "Bu, Ibu saja yang bukain pintunya. Aku takut mas Rangga lagi yang datang," ucap Rina sebelum ibunya menyuruh. "Ya sudah, Ibu yang bukain pintu."Wanita yang tak lain istri sah Ferry itu berjalan cepat ke pintu depan. Suara bel kembali terdengar. Sebelum membuka pintu, Tina menghela napas panjang. Lalu ...."Assalamualikum, Ibu Tina."Tina bernapas lega karena
"Lea, benar enggak? Itu nomor baru Cassandra?" tanya Axel tak sabar. Bibirnya tak henti menyunggingkan senyum. Sangat berharap kalau Cassandra-lah yang menghubungi Alea. Alea bimbang, menjawab pertanyaan kakaknya. 'Ya Allah, gimana ini? Apa aku harus jujur atau harus ....?'Satu pesan singkat masuk lagi. Alea terkejut, langsung membacanya. "Alea, kok enggak dibalas? Apa kamu marah padaku?" Alea dengan cekatan membalas pesan Cassandra. "Sebentar, aku lagi teleponan sama kak Axel."Pesan sudah terkirim. "Alea! Eh, kamu denger aku enggak? Alea!""Iya, iya, aku denger! Bawel banget!" sungut Alea kesal. Alea jadi menyesal memberitahu pesan singkat dari nomor baru. "Habisnya dari tadi dipanggil diem aja. Tadi nomor baru siapa?""Temenku. Udah ya, Kak. Aku ngantuk. Besok pagi-pagi kan aku harus jemput Kakak di rumah tante Nida. Aku cuma bawa baju seragam dan tas Kakak aja 'kan?" Alea sengaja mengalihkan pembicaraan lain. Dia tak mau keceplosan kalau yang menghubunginya adalah Cassandr
Perkataan Rina membuat ibunya terdiam membisu. Tak lagi berkata-kata. Yang dikatakan Rina ada benarnya. Masalah jodoh seseorang hanya Allah yang tahu. Jika demikian, bagaimana kalau Rina ternyata jodohnya Axel? Mereka sepersekian menit terdiam. Bergelut dengan pikiran masing-masing. "Bu, aku istirahat dulu. Ibu juga jangan tidur terlalu malam," ucap Rina beranjak pergi meninggalkan ibunya yang masih terpaku di ruang tamu. Di balik pintu kamar, air mata Rina tak mampu tertahankan. Ia menangis tersedu, tubuhnya luruh di atas lantai. Kedua lutut ditekuk, wajah ditenggelamkan antara kedua lututnya. Rina menangis, meratapi cinta pertamanya yang tak kunjung mendapat balasan dari lelaki yang dicintai. Mungkin itu yang terbaik ketimbang ketika mereka sudah saling mencintai justru harus terpisahkan. "Ya Allah, Engkau yang menitipkan perasaan ini padaku. Jika nantinya perasaan ini membuat jatuh ke lubang penyesalan, aku mohon hapuskan ya Allah. Hapuskan ... huhuhuhu ...." Sementar