Setelah obrolannya dengan Amira, Naina merenungi dan mengambil kesimpulan bahwa Amira tidak ingin andreas mempertahankannya. Dia merasa Amira tidak menyukainya dan tidak akan mudah baginya untuk mempertahankan pernikahannya. Ia menghela nafas panjang, ia mengusap perutnya. “Sayang kita akan berjuang untuk mendapatkan ayah mu.” Air matanya mengalir, rasanya begitu sakit untuk ia lalui namun ia harua kuat demi anaknya.
Tok Tok Tok "Nyonya." Sapa Bi Rohya. Dia merasa khawatir saat majikannya ia tinggalkan bersama dengan Amira. Pasti sudah terjadi sesuatu yang tidak ia ketahui. Naina mengusap air matanya. Dia membuka pintu kamarnya. "Ada apa Bi?" Tanya Naina. "Nyonya belum makan malam,” ucap Bi Rohya. Dia memperhatikan kedua mata Naina. “Nyonya menangis?” Imbuhnya. "Makan malam?" Naina mengerutkan keningnya. Dia malah balik bertanya pada Bi Rohya. Jadi dia mengurung diri dan melupakan suaminya. "Apa Mas Andreas sudah pulang? Aku melupakannya." Sebaiknya ia harus fokus pada Andreas dan membuktikan bahwa ia ingin di pertahankan. Naina bergegas turun, seketika dia menghentikan langkahnya. Dia melihat Andreas memeluk Amira. Dadanya bergetar hebat, ia meremas dressnya. Rasanya begitu nyilu, hatinya menangis. "Mas?" Andreas mengurai pelukannya dan menoleh. Amira pun membalikkan tubuhnya dan tersenyum. "Naina, kamu lihat kalung ku. Ini di belikan Andreas. Dia begitu baik pada ku, dulu aku menginginkan kalung ini, tapi kami harus berpisah. Aku tidak menyangka dia masih mengingat apa yang aku inginkan." Tutur Amira dengan nada sombong. Dia membanggakan bahwa dirinya masih tetap di hati Andreas. Naina tersenyum tipis. Pantas saja ia menginginkan kalung itu namun Andreas menolaknya dan tidak cocok untuknya. Ternyata inilah rahasianya, Andreas ingin memberikannya pada Amira. "Aku juga ada kalung untuk mu." Andreas membuka sebuah kotak beludru berwarna merah. Dia sangat menyukai kalung tersebut, ia yakin Naina akan terlihat cocok memakai kalung dengan berlian putih tersebut. Dia pun hendak memasangkannya di leher Naina. Merasa sesak dan sakit, ia tidak ingin tangan yang sama menyentuh lehernya. "Aku tidak ingin memakainya Mas, aku ingin menyimpannya saja." Tolak Naina. “Baiklah.” Andreas merasa kecewa, padahal kalung ini adalah kalung spesial untuk Naina. "Mas." Naina menggenggam tangan Andreas. "Malam ini temani aku, tadi malam kau sudah menemani Amira. Setidaknya berbuatlah adil, aku masih istri mu." Dia ingin memperjuangkan haknya. Dia ingin anaknya memiliki banyak waktu bersama dengan Andreas. “Iya, malam ini aku menemani mu.” Dia mengusap surai hitam milik Naina. Dia pun menggenggam tangan Naina menuju ke kamarnya. Amira mengepalkan kedua tangannya. Kedua matanya menatap tajam ke arah tangan kedua insan tersebut. “Baiklah, kau ingin merebutnya. Kita lihat saja nanti Naina.” Naina dengan terang-terangan menyindir statusnya, tapi ia akan usahakan malam ini Andreas akan meninggalkannya. .... Andreas menatap wanita di sampingnya. Dia tersenyum saat melihat wajah Naina yang tertidur pulas. Terlihat cantik dan menggemaskan. Dia mengusap pipinya yang lembut. Drt Andreas menoleh, dia beranjak dan mengambil ponselnya. Dia pun mengangkatnya. "Iya Amira." "Mas bisa kesini, perut ku sangat sakit." Adunya sambil merintih. “Aduh Mas ini sakit sekali.” Andreas langsung panik. "Baiklah aku kesana." Sejenak dia menatap Naina sebenaranya ia tidak ingin meninggalkan Naina, tapi ini keadaan genting. Dia pun pergi dan saat pintu tertutup rapat. Naina membuka kedua matanya. Air matanya mengalir, tangannya meremas selimutnya. Bibir dan tubuhnya gemetar, rasanya sangat sakit. Hatinya begitu rapuh dan hancur namun ia ingin mempertahakannya. Entah sampai kapan perjuangannya akan membuahkan hasil. ... "Amira aku akan memanggilkan dokter," ucap Andreas tampak khawatir. Amira menggelengkan kepalanya. Dia langsung memeluk Andreas. "Aku hanya merindukan mu. Malam ini temani aku, perut ku sudah membaik." Rengeknya sambil memeluk Andreas. Dia harus mempertahankan Andreas bersamanya. "Tapi ..." Andreas bingung. Naina ingin ia menemaninya. Ia merasa kasihan pada Naina yang di tinggal begitu saja. Amira mengangkat wajahnya. "Mas, malam ini saja. Aku tidak tau kapan mag ku akan kambuh." Dia mengerucutkan bibirnya sambil menangis. Andreas mengangguk pasrah. "Baiklah, malam ini aku akan menemani mu." Dia tersenyum dan membuka selimut di atar ranjang tersebut. “Tidurlah. Amira menggeser tubuhnya, Andreas pun naik dan menyandarkan punggungnya di samping Amira. Amira menyandarkan kepalanya di dada Andreas dan memejamkan kedua matanya. Sedangkan Andreas menepuk-nepuk pelan lengannya hingga kedua matanya terasa berat dan terpenjam. Ceklek Air mata Naina mengalir deras. Kedua matanya tertuju pada sepasang kekasih yang berpelukan. Entah mengapa ia masih saja datang padahal ia tau hatinya akan sakit. Ia memutar tubuhnya. Ia merasa tak yakin untuk mempertahankan rumah tangganya. Dia menatap foto pernikahan di kamarnya. Dia teringat masa-masa saat bersama dengan Andreas. Betapa indahnya masa itu. Dia mengusap perutnya. "Sayang maafkan Bunda jika Bunda tidak bisa memberikan sosok ayah pada mu. Tetapi percayalah, Bunda sangat menyayangi mu." Malam ini hujan begitu deras, petir menggelagar seakan tau bahwa dirinya sudah lelah dan sakit. Untuk melangkah ke depan saja ia sangat takut. Kehilangan Andreas bagaikan pukulan berat untuknya. ... Keesokan harinya. Amira sengaja menunggu Naina di lantai bawah. Dia tersenyum melihat kedatangan Naina. "Apa tidur mu nyenyak?" Tanya Amira. “Tadi malam kau pasti mencari Andreas. Kau lihat sendiri, Andreas lebih mencintai ku. Jika aku suruh memilih, dia akan memilih ku.” Amira menyeringai. "Sepertinya tadi malam kau di tinggal pergi." Amira begitu senang, ia hanya perlu bersandiwara saja. "Apa kau masih betah?" Cibirnya. Naina menatap tajam. Wanita itu begitu sombong dan belagu padanya. "Kau jangan lupa, aku masih istrinya. Aku tidak yakin kau bisa menaklukan hatinya. Kau ingat, masa lalu tetaplah masa lalu. Tidak akan berubah menjadi masa depan.” Naina mendekati Amira, kedua netranya bagaikan pedang yang akan menembus tubuh Amira. Amira melihat Andreas yang hampir sampai di ujung tangga untuk turun. "Baiklah." Dia hendak menaiki tangga namun ia pura-pura terjatuh dan membuat Naina terkejut. "Au sakit ..." Amira menatap Naina. "Naina sakit." Air matanya mengalir. Melihat Amira terjatuh, Andreas berlari menuruni anak tangga. "Amira." Andreas membantu Amira berdiri. "Mas?" Amira memeluk Andreas. "Aku, aku ingin pergi saja. Aku tidak mau menjadi orang ketiga." Suaranya begitu lirih seakan begitu menyakitkan. "Naina ingin aku pergi." Imbuhnya sambil menangis tersedu-sedu. Andreas menatap tajam. Dia langsung menoleh. Dadanya terasa panas dan kesal. Dia menggendong Amira ke lantai atas. "Mas." Naina mengekor Andreas. Dia melihat pria itu begitu lembut menaruh Amira. Sejenak Andreas menatap Naina. Dia pun langsung menarik lengan Naina. Susah payah ia mencari Amira namun Amira malah di sakiti dan ingin pergi. "Apa maksud mu Naina?" "Mas aku, " Naina menunduk. Dia menarik dalam nafasnya. "Aku mencintai mu, Mas. Aku menikah dengan mu karena mencintai mu. Aku tidak ingin kita bercerai.” "Kau gila!" Teriak Andreas dengan wajah murka. "Apa kau sudah gila? Kita hanya menikah karena perjodohan dan aku sama sekali tidak mencintai mu. Kalau kau mencintai ku, anggap saja kita tidak pernah kenal." Dia tidak terima Naina mencintainya. Baginya kehilangan Amira sudah cukup. Naina meraih tangan Andreas, namun Andreas menepisnya dengan kasar. "Mas, bisakah kamu memberikan ku kesempatan? Aku akan membuat mu mencintai ku Mas. Aku mohon Mas." "Aku menikah dengan mu tidak bahagia Naina." Andreas berucap dengan nada dingin tanpa melihat ke arah Naina. Naina memejamkan kedua matanya. Dia masih belum siap untuk pergi. "Bagaimana kalau kita punya anak." Naina menaruh tangan Andreas di perutnya. Dia berharap masih ada anaknya untuk mempertahankan pernikahannya. Andreas menoleh. "Aku tidak akan mengakuinya." Dia tidak percaya Naina hamil karena dokter pernah mengatakan bahwa Naina sulit hamil Bagaikan di sambar petir, tubuh Naina mematung. Dadanya terasa sesak dan hancur, sekejap ia terasa tak bernapas. Ia jatuh terduduk di lantai. Air matanya menetes ke lantai. Naina mengepalkan kedua tangannya hingga kukunya menancap di telapak tangannya. Seandainya ia tau cinta akan menyakitkan, ia tidak akan terlanjur mencintainya. "Baiklah." Ia menatap sebuah laci, ia pun membuka laci tersebut. Dengan tangan gemetar dia membubuhkan tanda tangannya di iringi air mata yang begitu deras.Naina menggunakan sebuah gaun berwarna hitam dengan taburan mutiara. Satu bahunya terlihat jelas dan rambutnya di gerai. Ia memolesi wajahnya dengan riasan tipis. Malam ini ia akan menghadiri pesta sebagai pasangan sementara Andreas. Tadinya ia tidak ingin ikut, tapi Giselle memaksanya ikut untuk menemaninya. "Hah, sudah."Naina tampil begitu memukau hingga Andreas tidak bisa mengkedipkan kedua matanya. Giselle pun tak kalah cantiknya, anak kecil itu begitu mirip dengan Naina. "Ayah." Sapa Giselle karena Ayahnya menatap bundanya begitu dalam hingga tak berkedip. "Issh, Giselle juga cantik."Andreas tertawa, ia melupakan suatu hal bahwa dua wanita bisa saja cemburu sekalipun memiliki hubungan darah. "Giselle yang tercantik.""Aku tau Ayah, sangat tau. Ayah hanya menyenangkan aku." Andreas mencium Giselle. Air matanya mengalir bahagia. Ia berharap waktu berpihak padanya. Keesokan harinya.Setelah mengetahui kabar bahwa Naina berada di Swiis bersama dengan Andreas. Kemarahan Amira se
Antonio merasa canggung dengan ucapan Naina padanya. Ia milirik Andreas, ia merasa kasihan pada Andreas. "Emm baiklah, aku memiliki urusan dengan mu.""Nanti malam aku akan menemui mu." Hari ini ia tidak memiliki waktu untuk menemani Antonio. Ia harus memiliki banyak waktu bersama dengan Giselle dan Naina. "Emm ... baiklah, aku pergi dulu." Andreas menggendong Giselle. Ia mencium pipinya bertubi-tubi. Rasa senang terpancar di wajahnya. "Sayang katanya mau jalan-jalan. Ayo Daddy akan membawa mu kemana pun yang kamu mau."Giselle mencium balik pipi Andreas. "Aku senang Ayah. Mari kita jalan-jalan." Andreas melangkah keluar dengan menggendong Giselle dan Naina mengekorinya. Para karyawan pun hanya melihat tingkah laku bos mereka. Mereka hanya tau bos mereka menikah dan tidak memiliki anak namun saat ini di hadapan mereka di suguhkan dengan kehadiran seorang anak dan Andreas memandnaginya dengan kasih sayang."Apa dia anak Tuan Andreas?" Tanya seorang karyawan wanita. Dia melihat betap
Naina menyuapi Giselle. Putrinya memintanya untuk di suapi, mungkin karena merindukan suapannya. “Sayang ingin nambah lagi?” Tanya Naina. Giselle memakan dengan banyak dan begitu lahap. “Suapan ibu memang sangat enak.”“Naina, Giselle.” Sapa Andreas. Dia membawa beberapa paper bag untuk Naina dan Giselle. “Sedang di suapi Bunda? Suapan Bunda pasti enak.”“Benar Ayah sangat enak. Giselle selalu ingin menambah.” Giselle mengelus perutnya. “Tapi sudah kenyang.”Andreas tertawa lebar, ia melihat Naina yang tertawa. Rasanya ia kembali seperti dulu. “Oh iya Sayang, Naina. Aku ingin mengajak kalian ke Swiss. Sekalian aku mau melihat-lihat perusahaan ku di sana.”Giselle merasa asing dengan namanya dan ia merasa Swiss negara yang indah. “Bunda apa aku bisa ikut kesana?” “Tentu saja Sayang. Kita bisa kesana.” Ia tidak akan pernah menolak keinginan Giselle karena baginya, putrinya sudah cukup melalui penderitaan. “Swiis? Aku sangat senang. Apa malam ini Ayah akan menginap di sini?”Andreas m
Andreas mengepalkan tangan kanannya, wajahnya terlihat gelisah. Selama ini ia yakin bahwa Giselle sudah menerimanya tanpa ada rasa curiga atau kesalahpahaman namun ternyata pikirannya salah. “Giselle maafkan Ayah. Ayah bersumpah bahwa Ayah menyayangi mu.”Giselle tersenyum tipis, ia sangat ragu dengan ucapan ayahnya tersebut. “Ayah, Giselle tidak percaya pada Ayah. Ayah selalu mengatakan hal yang sama, tapi tidak sesuai dengan perkataan Ayah. Giselle mau tidur, Giselle lelah.”BipGiselle memutuskan panggilannya tanpa menunggu Andreas. Ia yakin ayahnya pasti akan mengelak jika ia mengatakannya. Naina menoleh dan kembali ke arah Giselle dan memeluk Giselle. Ia benar-benar telah gagal menjadi ibu yang baik untuk Giselle. “Giselle maafkan Bunda yang tidak bisa memberikan keluarga yang utuh untuk mu.”Naina mengusap air matanya. Ia sangat merasa bersalah pada Giselle. Giselle mengusap air mata Giselle. Semua yang terjadi bukan kesalahan ibunya. “Bunda tidak salah apa-apa. Kita akan bahag
"Papa jahat! Papa tidak sayang pada Ayna." Teriak Ayna kemudian berlari ke kamarnya untuk menemui Amira. Amira menatap Ayna. Ia masih memiliki harapan selama Ayna bersamanya. Ia bisa mengekang Andreas hanya membuat Ayna yang menentang Andreas. "Ayna kita di perlakukan seperti ini karena wanita itu." “Benar Ma.” Ayna begitu benci pada wanita itu yang telah merusak kebahagiannya. Suatu saat nanti ia akan membalasnya. “Ayna akan membuat Giselle merasakannya.”Amira memeluk Ayna. “Kita bisa menjalaninya Sayang. Kita pergi bukan berarti kita mengalah pada wanita itu. Rumah ini, rumah kita. Bukan kita yang pergi, tapi mereka.” “Amira aku sudah membelikan rumah untuk mu dan Ayna kau ingin ikut dengan Papa atau Mama?” Tanya Andreas. Amira tidak mungkin melepaskan Ayna karena anak ini adalah kuncinya. “Biar aku saja yang merawat Ayna.” Dengan begitu ia masih bisa mengekang Andreas. “Aku akan ikut dengan Mama, Pa.” Ayna mengangkat wajahnya. “Tapi Pa biarkan kami tinggal di sini. Sekalipun
"Apa?!" Amira melebarkan kedua matanya. Seakan kedua kedua bola matanya akan keluar. Detak jantungnya berdetak lebih cepat di iringi rasa panas, bahkan kedua telinganya mendengarkan detak jantungnya itu. "Ini tidak mungkin. Kita tidak bisa bercerai. Kau tidak bisa meninggalkan ku." Andreas menyilangkan kakinya, ia muak dengan kebohongan Amira. "Apa kamu pikir aku betah dengan semua kebohongan mu Amira?" Amira menggeram, ia berlutu di kaki Andreas. "Aku mohon Andreas jangan membuang ku. Kasihan Ayna, dia membutuhkan kehadiran kita. Aku sudah setuju membawa Naina ke sini. Kita bisa hidup bersama." Andreas mendekatkan wajahnya ke wajah Amira. "Setelah semua kejadian di masa lalu. Apa kamu pikir aku akan mempercayai mu Amira?" Ia menoleh ke arah lain. "Aku tidak tau apa yang akan kamu rencanakan kebelakangnya. Jadi aku tidak akan mengambil resiko." "Ayna tidak akan setuju Andreas." Ia berusaha menghancurkan kebekuan hati Andreas agar mencair begitu menyebut nama Ayna. "Aku men