Hujan deras menyelimuti bumi, awan hitam di atas langit seakan mengatakan bahwa akan ada kesedihan. Seorang wanita dengan piyama putih melihat keluar jendela. Wanita itu begitu khawatir dan cemas. Suaminya belum pulang bahkan tak ada satu pun panggilannya yang di angkat. Malam ini ia ingin memberi kejutan pada suaminya.
"Kemana Andreas?" Naina begitu khawatir. Bibi Rohya pun datang membawa sebuah teh hangat. "Nyonya ini teh hangatnya. Nyonya tidak perlu khawatir, tuan Andreas pasti baik-baik saja," ucapnya. Kedua alis Naina masih berkerut, hatinya tidak tenang. Tidak pernah Andreas tidak mengangkat panggilannya. Selama ini Andreas selalu mengabarinya entah dimana pun keberadaannya. Beberapa menit kemudian, kecemasan Naina hilang, dia tersenyum melihat mobil yang masuk ke pekarangan rumahnya. Dia bergegas turun. "Bibi bawakan aku payung," ucap Naina. Bibi Rohya berlari kecil, dia mengambil payung dan memberikannya pada Naina. Naina membuka payung tersebut dan menuruni anak tangga teras depan. Langkahnya pun berhenti, petir menggelagar membelah langit seakan tau bahwa hatinya terasa panas dan perih ketika kedua netranya menatap Andreas yang sedang tersenyum dan menatap pada seorang wanita dengan tatapan hangat. Wanita itu turun dan menatap Andreas. Dia tersenyum dan melangkah bersama dengan Andreas. Air mata Naina membelah pipi putihnya. Tenggorkannya terasa tercekat. "An?" "Naina." Andreas tersenyum dan merangkul wanita di sampingnya. "Amira sudah kembali. Kau pasti senang sampai air mata mu mengalir." Imbuhnya dengan wajah bersinar. Naina mengangguk, tenggorokannya tak mampu untuk meneguk ludahnya. Bibirnya terasa berat, ia hanya menarik sudut bibirnya dengan paksa. Pria itu tidak tau jika air matanya adalah air mata kepedihan bukan kebahagian. "Ayo," ajak Andreas. Dia melewati Naina dan terus melangkah tanpa menoleh ke arah Naina. Tanpa dia bertanya Naina menerima wanita itu masuk ke dalam rumahnya. Bibi Rohya menghampiri Naina, ia tau hati Naina tidak baik-baik saja. "Nyonya muda, apa nyonya baik-baik saja?" Naina menjatuhkan payungnya. Tubuhnya hampir jatuh ke tanah. Bibi Rohya dengan sigap menahan tubuhnya. "Nyonya muda." "Bibi." Naina berusaha berdiri. Dadanya terasa sesak, ribuan duri seakan menancap tepat di ulu hatinya. Dia memejamkan kedua matanya, membiarkan air hujan itu membasahi wajahnya. Saat ini langit pun tau bahwa dirinya tak mampu mengendalikan kesedihannya. "Yang sabar Nyonya," ucap bibi Rohya. Naina menghapus air matanya. Dia memutar tubuhnya dengan pelan da melangkah. Dia menarik nafasnya dalam-dalam dan menghembuskannya dengan pelan. Naina membuka pintu kamarnya. Dia melihat suami telah menggunakan piyama hitam. "Naina aku akan menceritakan semuanya pada mu. Malam ini, aku merasa senang. Bahkan aku merasa langit berpihak pada ku. Hujan kali ini seakan menyudahi kesedihan ku selama ini." Andreas menoleh. Ia sangat senang bersama dengan Naina, semenjak kecil hingga dewasa Naina selalu ada untuknya. Sekalipun sudah menikah, perasaannya pada Naina tetaplah perasaan sahabat. "Naina kenapa kau diam saja? Apa kau tidak bahagia melihat ku bahagia?" Naina tersenyum, ia mengangguk. "Aku bahagia." Rupanya selama ini dia tidak bisa membahagiakan suaminya, Andreas. Jadi selama ini cintanya, kasih sayangnya tak berarti apa pun. "Dia menghubungi ku dan aku sangat senang." Andreas memeluk Naina. Tanpa dia tau pelukan itu terasa meyayat hatinya, pelukan yang ia terima selama satu tahun ini yang begitu hangat kini terasa dingin membekukan tubuhnya dan juga hatinya yang terasa sakit. "Andreas kau sangat mencintai Amira? Selama ini kau tidak pernah melupakannya?" "Tidak! Aku hanya diam saja, tapi tiap malamnya aku selalu berharap suatu saat nanti di persatukan dengan Amira. Naina kau tau bagaimana aku mencintai Amira kan?" "Aku sangat senang Naina, akhirnya aku bisa menemui Amira." Andreas berlalu pergi dengan wajah gembira. Dia meninggalkan Naina seakan dia hanya tau jika Naina senang sampai menangis tapi rupanya tangisan itu tangisan kesakitan hatinya. ... Andreas duduk di samping Naina yang sedang mengelus perutnya. Naina pun belum menyadari keberadaan Andreas, niat hati dia ingin meberikan sebuah kejutan ternyata dirinyalah yang mendapatkan kejutan. Ia tidak ingin mengatakannya pada Andreas bahwa ia sedang mengandung. "Naina, apa kau sakit perut?" Tanya Andreas tampak khawatir. Naina tersadar, dia memalingkan wajahnya dan menghapus air matanya. Dia tersenyum dan terkekeh. "Kau menangis?" tanya Andreas lagi. Dia menatap lekat kedua mata cantik Naina. Naina menggelengkan kepalanya. "Ada debu yang masuk di mata ku." Tentu saja ia berbohong demi Andreas. Dia tidak ingin pria yang ia cintai mengetahi bahwa ia tidak menerima kehadiran Amira. Andreas menghapus air mata Naina, kelembutan inilah yang membuatnya betah bersama dengan Naina. Dia meyakini Naina bisa menjadi sahabat dalam hidupnya. "Naina, aku ingin berbicara sesuatu pada mu," ucap Andreas dengan wajah serius. "Aku ingin kita bercerai. Aku sudah menemukan Amira dan tidak mungkin aku melanjutkan pernikahan ini." Tengorokan Naina tercekat, nafasnya terasa berhenti. Dia menatap dalam kedua manik Andreas. Netra warna cokelat itu yang membuatnya jatuh cinta."Cerai?" Tanya Naina dengan pelan. Kedua telinganya terasa panas. "Bercerai? Andreas, apa kau tidak bisa mempertahankan diriku sedikit saja? Apa kau tidak kasihan pada ku." Naina ingin mempertahankan pernikahan ini sekalipun Andreas menikah dengan Amira. Andreas menunduk dan menggelengkan kepalanya dengan pelan, ia tidak ingin berpisah dengan Amira. Baginya Amira segalanya dan ia lakukan untuk kebahagian Amira. Wanita itu telah banyak menderita. Karena tidak menerima pernikahannya dengan Naina saat neneknya menjodohkannya, Amira pun pergi tanpa mendengarkan penjelasannya. "Aku menyayangi, tapi bukan mencintai mu. Sejak dulu kau tau, aku hanya menganggap mu sebagai adik ku," papar Andreas. Naina tersenyum, air matanya terus mengalir. "Biarkan aku di sini sebentar saja. Aku berjanji akan berpisah dengan mu." Mulutnya bergetar mengucap kalimat tersebut. Hatinya patah, hancur berantakan, kepingan hatinya seakan membawa jiwanya. "Baiklah, aku membelikan rumah untuk mu, atau kau ingin kembali ke rumah orang tua mu?" Tanya Andreas. Dia ingin memastikan keadaan Naina setelah bercerai dengannya. Dia tidak mungkin meninggalkan Naina. Naina tak menjawab, kemanakan ia harus pergi? sedangkan kedua orang tuanya telah tiada, ia hanya memiliki Andreas sebagai rumah ternyamannya, namun Andreas malah ingin ia pergi. "Aku pergi, malam ini aku harus menemani Amira." Andreas meminta izin. Dia yakin Naina akan mengerti dirinya. Naina memilih diam, rasanya begitu sakit, menusuk-nusuk hatinya. Seandainya saja kedua bibirnya bisa mengatakan bahwa ia ingin Andreas menemaninya, tapi bibirnya tidak kuat.Naina menggunakan sebuah gaun berwarna hitam dengan taburan mutiara. Satu bahunya terlihat jelas dan rambutnya di gerai. Ia memolesi wajahnya dengan riasan tipis. Malam ini ia akan menghadiri pesta sebagai pasangan sementara Andreas. Tadinya ia tidak ingin ikut, tapi Giselle memaksanya ikut untuk menemaninya. "Hah, sudah."Naina tampil begitu memukau hingga Andreas tidak bisa mengkedipkan kedua matanya. Giselle pun tak kalah cantiknya, anak kecil itu begitu mirip dengan Naina. "Ayah." Sapa Giselle karena Ayahnya menatap bundanya begitu dalam hingga tak berkedip. "Issh, Giselle juga cantik."Andreas tertawa, ia melupakan suatu hal bahwa dua wanita bisa saja cemburu sekalipun memiliki hubungan darah. "Giselle yang tercantik.""Aku tau Ayah, sangat tau. Ayah hanya menyenangkan aku." Andreas mencium Giselle. Air matanya mengalir bahagia. Ia berharap waktu berpihak padanya. Keesokan harinya.Setelah mengetahui kabar bahwa Naina berada di Swiis bersama dengan Andreas. Kemarahan Amira se
Antonio merasa canggung dengan ucapan Naina padanya. Ia milirik Andreas, ia merasa kasihan pada Andreas. "Emm baiklah, aku memiliki urusan dengan mu.""Nanti malam aku akan menemui mu." Hari ini ia tidak memiliki waktu untuk menemani Antonio. Ia harus memiliki banyak waktu bersama dengan Giselle dan Naina. "Emm ... baiklah, aku pergi dulu." Andreas menggendong Giselle. Ia mencium pipinya bertubi-tubi. Rasa senang terpancar di wajahnya. "Sayang katanya mau jalan-jalan. Ayo Daddy akan membawa mu kemana pun yang kamu mau."Giselle mencium balik pipi Andreas. "Aku senang Ayah. Mari kita jalan-jalan." Andreas melangkah keluar dengan menggendong Giselle dan Naina mengekorinya. Para karyawan pun hanya melihat tingkah laku bos mereka. Mereka hanya tau bos mereka menikah dan tidak memiliki anak namun saat ini di hadapan mereka di suguhkan dengan kehadiran seorang anak dan Andreas memandnaginya dengan kasih sayang."Apa dia anak Tuan Andreas?" Tanya seorang karyawan wanita. Dia melihat betap
Naina menyuapi Giselle. Putrinya memintanya untuk di suapi, mungkin karena merindukan suapannya. “Sayang ingin nambah lagi?” Tanya Naina. Giselle memakan dengan banyak dan begitu lahap. “Suapan ibu memang sangat enak.”“Naina, Giselle.” Sapa Andreas. Dia membawa beberapa paper bag untuk Naina dan Giselle. “Sedang di suapi Bunda? Suapan Bunda pasti enak.”“Benar Ayah sangat enak. Giselle selalu ingin menambah.” Giselle mengelus perutnya. “Tapi sudah kenyang.”Andreas tertawa lebar, ia melihat Naina yang tertawa. Rasanya ia kembali seperti dulu. “Oh iya Sayang, Naina. Aku ingin mengajak kalian ke Swiss. Sekalian aku mau melihat-lihat perusahaan ku di sana.”Giselle merasa asing dengan namanya dan ia merasa Swiss negara yang indah. “Bunda apa aku bisa ikut kesana?” “Tentu saja Sayang. Kita bisa kesana.” Ia tidak akan pernah menolak keinginan Giselle karena baginya, putrinya sudah cukup melalui penderitaan. “Swiis? Aku sangat senang. Apa malam ini Ayah akan menginap di sini?”Andreas m
Andreas mengepalkan tangan kanannya, wajahnya terlihat gelisah. Selama ini ia yakin bahwa Giselle sudah menerimanya tanpa ada rasa curiga atau kesalahpahaman namun ternyata pikirannya salah. “Giselle maafkan Ayah. Ayah bersumpah bahwa Ayah menyayangi mu.”Giselle tersenyum tipis, ia sangat ragu dengan ucapan ayahnya tersebut. “Ayah, Giselle tidak percaya pada Ayah. Ayah selalu mengatakan hal yang sama, tapi tidak sesuai dengan perkataan Ayah. Giselle mau tidur, Giselle lelah.”BipGiselle memutuskan panggilannya tanpa menunggu Andreas. Ia yakin ayahnya pasti akan mengelak jika ia mengatakannya. Naina menoleh dan kembali ke arah Giselle dan memeluk Giselle. Ia benar-benar telah gagal menjadi ibu yang baik untuk Giselle. “Giselle maafkan Bunda yang tidak bisa memberikan keluarga yang utuh untuk mu.”Naina mengusap air matanya. Ia sangat merasa bersalah pada Giselle. Giselle mengusap air mata Giselle. Semua yang terjadi bukan kesalahan ibunya. “Bunda tidak salah apa-apa. Kita akan bahag
"Papa jahat! Papa tidak sayang pada Ayna." Teriak Ayna kemudian berlari ke kamarnya untuk menemui Amira. Amira menatap Ayna. Ia masih memiliki harapan selama Ayna bersamanya. Ia bisa mengekang Andreas hanya membuat Ayna yang menentang Andreas. "Ayna kita di perlakukan seperti ini karena wanita itu." “Benar Ma.” Ayna begitu benci pada wanita itu yang telah merusak kebahagiannya. Suatu saat nanti ia akan membalasnya. “Ayna akan membuat Giselle merasakannya.”Amira memeluk Ayna. “Kita bisa menjalaninya Sayang. Kita pergi bukan berarti kita mengalah pada wanita itu. Rumah ini, rumah kita. Bukan kita yang pergi, tapi mereka.” “Amira aku sudah membelikan rumah untuk mu dan Ayna kau ingin ikut dengan Papa atau Mama?” Tanya Andreas. Amira tidak mungkin melepaskan Ayna karena anak ini adalah kuncinya. “Biar aku saja yang merawat Ayna.” Dengan begitu ia masih bisa mengekang Andreas. “Aku akan ikut dengan Mama, Pa.” Ayna mengangkat wajahnya. “Tapi Pa biarkan kami tinggal di sini. Sekalipun
"Apa?!" Amira melebarkan kedua matanya. Seakan kedua kedua bola matanya akan keluar. Detak jantungnya berdetak lebih cepat di iringi rasa panas, bahkan kedua telinganya mendengarkan detak jantungnya itu. "Ini tidak mungkin. Kita tidak bisa bercerai. Kau tidak bisa meninggalkan ku." Andreas menyilangkan kakinya, ia muak dengan kebohongan Amira. "Apa kamu pikir aku betah dengan semua kebohongan mu Amira?" Amira menggeram, ia berlutu di kaki Andreas. "Aku mohon Andreas jangan membuang ku. Kasihan Ayna, dia membutuhkan kehadiran kita. Aku sudah setuju membawa Naina ke sini. Kita bisa hidup bersama." Andreas mendekatkan wajahnya ke wajah Amira. "Setelah semua kejadian di masa lalu. Apa kamu pikir aku akan mempercayai mu Amira?" Ia menoleh ke arah lain. "Aku tidak tau apa yang akan kamu rencanakan kebelakangnya. Jadi aku tidak akan mengambil resiko." "Ayna tidak akan setuju Andreas." Ia berusaha menghancurkan kebekuan hati Andreas agar mencair begitu menyebut nama Ayna. "Aku men