Keesokan harinya.
Naina menaruh kotak bekal ke dalam tas Giselle. “Sayang bekalnya di habiskan,” ucap Naina. Dia sering melihat sisa nasi Giselle. Ia sering mengingatkan Giselle agar selalu menghabiskan nasinya. “Iya Bunda.” Sahut Giselle. Ia melirik ibunya yang sedang menarik resleting tasnya. "Bunda bawa bekal kebanyakan. Giselle kadang menyisakannya. Teman-teman Giselle juga bawa semua bekal, jadi ya tidak di habiskan." Imbuhnya menjelaskan. Naina ingin anaknya itu bergizi, mana mungkin ia menaruhnya sedikit. "Sayang kamu harus makan yang banyak, suapaya apa? supaya sehat. Di umur mu lima tahun ini butuh banyak asupan." "Iya, iya Bunda." Giselle mengiyakan. Seorang ibu pasti menginginkan yang terbaik untuknya. “Belajar yang rajin ya sayang.” Bi Rohya mencium Giselle. Dia pun mengantarkan Giselle sampai naik ke atas motor. Setiap harinya Naina mengantar Giselle dengan naik motor. Katanya Naina, motor lebih cepat sampai. Kalau macet bisa lebih leluasa menyelinap mobil yang mengantri. “Pakai helmnya, hati-hati Nai.” Bi Rohya mengingatkan Naina agar tidak mengebut di jalan. Naina tersenyum, inilah yang setiap harinya ia dengarkan. Kekhawatiran dan pengingat seorang ibu. Walaupun Bi Rohya bukan ibu kandungnya, tapi ia sudah menganggap Bi Rohya seperti ibunya sendiri. “Iya Bi.” Naina pun melajukan motornya dengan kecepatan sedang. Tak terasa, kini sampailah di lampu merah. Naina melihat kanan kiri untuk menyelinap lebih mendahului mobil yang berjajar rapi itu. Ia tidak ingin terkena lampu merah lagi karena antrian yang panjang. Dia pun berhenti di samping mobil hitam. Sedangkan di dalam mobil itu seorang pria tengah memeriksa laporan perusahaannya di tabletnya. Naina sedikit maju hingga seorang pria mengamati lekat wajah Naina dari samping. Pria muda itu menoleh, dia melihat kemacetan yang panjang namun siapa sangka saat seseorang berhenti di samping mobilnya dan ia sangat mengenalinya. “Nyonya.” Tit Sebuah klakson berbunyi dari belakang. Sekertaris yang sekaligus sopir Andreas pun melajukan mobilnya dengan berjalan lurus. “Tuan Andreas tadi nyonya Naina.” Deg Andreas mengangkat wajahnya. “Dimana?” tanya Andreas dengan cepat. Jantungnya berdetak lebih cepat dari pada sebelumnya. “Dia berbelok ke kanan tuan?” Tutur Alden sambil melihat Andreas lewat kaca spion mobilnya. “Kenapa masih diam? Cepat cari ikuti dia!” Bentak Andreas. Hatinya merasa tidak karuan, ada rasa senang dan haru. Ia berharap wanita itu memang Naina. Ia tidak sabar untuk menemuinya. “Naina.” Ckit Alden menghentikan mobilnya dadakan saat melihat helm pink dan yang ia yakini itu Naina. “Tuan itu nyonya.” Andreas mematung, dia melihat dengan jelas wajah Naina yang menggunakan sebuah helm warna pink. Wanita itu melihat kanan kiri dan melajukan motornya. “Tuan.” Panggil Alden. Ia bingung karena Andreas malah diam dan tidak menghampiri Naina. Padahal selama ini tuannya mencari Naina. “Kenapa Tuan diam?” “Apa yang harus aku katakan pada Naina?” Tanya Andreas. Ia merasa tak mampu untuk menemui Naina entah apa yang harus ia tanyakan. Mungkin kepergian Naina tanpa memberitaunya karena Naina tidak ingin berhubungan lagi dengannya. “Sebaiknya kita ke lokasi pabrik.” Sebelum ia bertemu dengan Naina, ia harus memantapkan hatinya dulu. Alden kembali melajukan mobilnya. Dia melihat Andreas lewat kaca spion mobilnya. Sedangkan Andreas, ia merasa bersalah ia tidak tau harus apa. Padahal selama ini ia memang mencari Naina namun setelah menemukannya ia ragu, apakah Naina mau bertemu dengannya atau tidak. Sepanjang hari ia tidak enak makan, ia hanya memiliki satu pikiran pertemuannya dengan Naina. Bayangan saat bersama Naina menghantuinya. Ia merindukan saat-saat bersamanya. Ingin sekali ia memeluk Naina, mendekapnya dengan erat dan menciumnya. Ingin sekali ia mengurung Naina dan hanya melihat dirinya. “Tuan apa sebaiknya tuan menemui nyonya Naina. Saya yakin nyonya juga merindukan tuan.” Ia berpikir Naina pasti merindukan bosnya itu, menjadi teman masa kecil sekaligus pernah menjadi istrinya Andreas. Andreas tidak langsung meyakini ucapan Alden. Bisa saja semuanya berbeda. “Tapi selama lima tahun ini dia tidak mengabari ku. Mungkinkan dia merindukan ku atau membenci ku?” “Tuan harus menemuinya nyonya dan minta maaf. Mungkin nyonya mencintai tuan, tapi lebih baik menjauh karena tuan sudah menikah.” Mana ada seorang wanita yang tidak sakit hati saat melihat suaminya membawa wanita lain masuk ke dalam rumahnya, bukan hanya rumahnya saja tapi rumah tangganya. Dia semakin merasa bersalah dengan apa yang telah di lakukannya dulu pada Naina. Hatinya terasa berat dan dadanya terasa sesak. Ia tidak pernah berpikir jika Naina mencintainya. “Tadi saya melihat nyonya Naina membonceng seorang anak perempuan. Apa nyonya Naina sudah memiliki anak dan menikah?” Nyut Andreas memegang dadanya yang terasa sesak, rasanya sakit. Hatinya seakan di ikat oleh rantai yang panas. Rasanya ia tidak merelakan Naina untuk menikah. “Aku akan menemuinya.” Ia harus menanyakannya dengan jelas. Kenapa Naina tidak menghubunginya jika wanita itu sudah menikah.Naina menggunakan sebuah gaun berwarna hitam dengan taburan mutiara. Satu bahunya terlihat jelas dan rambutnya di gerai. Ia memolesi wajahnya dengan riasan tipis. Malam ini ia akan menghadiri pesta sebagai pasangan sementara Andreas. Tadinya ia tidak ingin ikut, tapi Giselle memaksanya ikut untuk menemaninya. "Hah, sudah."Naina tampil begitu memukau hingga Andreas tidak bisa mengkedipkan kedua matanya. Giselle pun tak kalah cantiknya, anak kecil itu begitu mirip dengan Naina. "Ayah." Sapa Giselle karena Ayahnya menatap bundanya begitu dalam hingga tak berkedip. "Issh, Giselle juga cantik."Andreas tertawa, ia melupakan suatu hal bahwa dua wanita bisa saja cemburu sekalipun memiliki hubungan darah. "Giselle yang tercantik.""Aku tau Ayah, sangat tau. Ayah hanya menyenangkan aku." Andreas mencium Giselle. Air matanya mengalir bahagia. Ia berharap waktu berpihak padanya. Keesokan harinya.Setelah mengetahui kabar bahwa Naina berada di Swiis bersama dengan Andreas. Kemarahan Amira se
Antonio merasa canggung dengan ucapan Naina padanya. Ia milirik Andreas, ia merasa kasihan pada Andreas. "Emm baiklah, aku memiliki urusan dengan mu.""Nanti malam aku akan menemui mu." Hari ini ia tidak memiliki waktu untuk menemani Antonio. Ia harus memiliki banyak waktu bersama dengan Giselle dan Naina. "Emm ... baiklah, aku pergi dulu." Andreas menggendong Giselle. Ia mencium pipinya bertubi-tubi. Rasa senang terpancar di wajahnya. "Sayang katanya mau jalan-jalan. Ayo Daddy akan membawa mu kemana pun yang kamu mau."Giselle mencium balik pipi Andreas. "Aku senang Ayah. Mari kita jalan-jalan." Andreas melangkah keluar dengan menggendong Giselle dan Naina mengekorinya. Para karyawan pun hanya melihat tingkah laku bos mereka. Mereka hanya tau bos mereka menikah dan tidak memiliki anak namun saat ini di hadapan mereka di suguhkan dengan kehadiran seorang anak dan Andreas memandnaginya dengan kasih sayang."Apa dia anak Tuan Andreas?" Tanya seorang karyawan wanita. Dia melihat betap
Naina menyuapi Giselle. Putrinya memintanya untuk di suapi, mungkin karena merindukan suapannya. “Sayang ingin nambah lagi?” Tanya Naina. Giselle memakan dengan banyak dan begitu lahap. “Suapan ibu memang sangat enak.”“Naina, Giselle.” Sapa Andreas. Dia membawa beberapa paper bag untuk Naina dan Giselle. “Sedang di suapi Bunda? Suapan Bunda pasti enak.”“Benar Ayah sangat enak. Giselle selalu ingin menambah.” Giselle mengelus perutnya. “Tapi sudah kenyang.”Andreas tertawa lebar, ia melihat Naina yang tertawa. Rasanya ia kembali seperti dulu. “Oh iya Sayang, Naina. Aku ingin mengajak kalian ke Swiss. Sekalian aku mau melihat-lihat perusahaan ku di sana.”Giselle merasa asing dengan namanya dan ia merasa Swiss negara yang indah. “Bunda apa aku bisa ikut kesana?” “Tentu saja Sayang. Kita bisa kesana.” Ia tidak akan pernah menolak keinginan Giselle karena baginya, putrinya sudah cukup melalui penderitaan. “Swiis? Aku sangat senang. Apa malam ini Ayah akan menginap di sini?”Andreas m
Andreas mengepalkan tangan kanannya, wajahnya terlihat gelisah. Selama ini ia yakin bahwa Giselle sudah menerimanya tanpa ada rasa curiga atau kesalahpahaman namun ternyata pikirannya salah. “Giselle maafkan Ayah. Ayah bersumpah bahwa Ayah menyayangi mu.”Giselle tersenyum tipis, ia sangat ragu dengan ucapan ayahnya tersebut. “Ayah, Giselle tidak percaya pada Ayah. Ayah selalu mengatakan hal yang sama, tapi tidak sesuai dengan perkataan Ayah. Giselle mau tidur, Giselle lelah.”BipGiselle memutuskan panggilannya tanpa menunggu Andreas. Ia yakin ayahnya pasti akan mengelak jika ia mengatakannya. Naina menoleh dan kembali ke arah Giselle dan memeluk Giselle. Ia benar-benar telah gagal menjadi ibu yang baik untuk Giselle. “Giselle maafkan Bunda yang tidak bisa memberikan keluarga yang utuh untuk mu.”Naina mengusap air matanya. Ia sangat merasa bersalah pada Giselle. Giselle mengusap air mata Giselle. Semua yang terjadi bukan kesalahan ibunya. “Bunda tidak salah apa-apa. Kita akan bahag
"Papa jahat! Papa tidak sayang pada Ayna." Teriak Ayna kemudian berlari ke kamarnya untuk menemui Amira. Amira menatap Ayna. Ia masih memiliki harapan selama Ayna bersamanya. Ia bisa mengekang Andreas hanya membuat Ayna yang menentang Andreas. "Ayna kita di perlakukan seperti ini karena wanita itu." “Benar Ma.” Ayna begitu benci pada wanita itu yang telah merusak kebahagiannya. Suatu saat nanti ia akan membalasnya. “Ayna akan membuat Giselle merasakannya.”Amira memeluk Ayna. “Kita bisa menjalaninya Sayang. Kita pergi bukan berarti kita mengalah pada wanita itu. Rumah ini, rumah kita. Bukan kita yang pergi, tapi mereka.” “Amira aku sudah membelikan rumah untuk mu dan Ayna kau ingin ikut dengan Papa atau Mama?” Tanya Andreas. Amira tidak mungkin melepaskan Ayna karena anak ini adalah kuncinya. “Biar aku saja yang merawat Ayna.” Dengan begitu ia masih bisa mengekang Andreas. “Aku akan ikut dengan Mama, Pa.” Ayna mengangkat wajahnya. “Tapi Pa biarkan kami tinggal di sini. Sekalipun
"Apa?!" Amira melebarkan kedua matanya. Seakan kedua kedua bola matanya akan keluar. Detak jantungnya berdetak lebih cepat di iringi rasa panas, bahkan kedua telinganya mendengarkan detak jantungnya itu. "Ini tidak mungkin. Kita tidak bisa bercerai. Kau tidak bisa meninggalkan ku." Andreas menyilangkan kakinya, ia muak dengan kebohongan Amira. "Apa kamu pikir aku betah dengan semua kebohongan mu Amira?" Amira menggeram, ia berlutu di kaki Andreas. "Aku mohon Andreas jangan membuang ku. Kasihan Ayna, dia membutuhkan kehadiran kita. Aku sudah setuju membawa Naina ke sini. Kita bisa hidup bersama." Andreas mendekatkan wajahnya ke wajah Amira. "Setelah semua kejadian di masa lalu. Apa kamu pikir aku akan mempercayai mu Amira?" Ia menoleh ke arah lain. "Aku tidak tau apa yang akan kamu rencanakan kebelakangnya. Jadi aku tidak akan mengambil resiko." "Ayna tidak akan setuju Andreas." Ia berusaha menghancurkan kebekuan hati Andreas agar mencair begitu menyebut nama Ayna. "Aku men