Setelah enam tahun berlalu, pesawat Singapore Airlines telah mendarat di Bandara Internasional I Gusti Ngurah Rai. Aku keluar dari pesawat tepat pukul 11:05 pagi dan berjalan menuju bandara dengan perasaan gugup. Sambil menunggu bagasi dan arloji di tangan kananku, aku melihat ke sekeliling mencari sosok yang begitu aku rindukan selama bertahun-tahun.
Aku merasa begitu lelah, tapi aku tidak ingin menunjukkan lelahku pada anakku. "Ken, apakah kamu merasa lelah?" tanyaku sambil menatap ke bawah pada anak kecil itu yang berjalan gontai.Dia menatapku dengan penuh harap sambil mengangguk lemah. "Iya, Mom. Ken sangat lelah," jawabnya.Aku hanya bisa meraih rambutnya dan mengacak-ngacak dengan lembut. "Sabar, ya! Kita hampir sampai di rumah," ujarku dengan nada bersemangat.Akhirnya tas kami berhasil kuterima dan kami berjalan ke luar dari bandara dengan harapan yang tak terbatas. Sinar matahari bertiup lega berpadu dengan angin lembut yang berhembus. Sambil menembus keramaian, aku terus mencari sosok yang sudah lama kutinggalkan selama enam tahun ini."Ayo Ibu, silakan duduk di sini, mungkin Sissi akan datang sebentar lagi," ujarku pada wanita paruh baya yang tampak kelelahan."Baiklah, Nak."Ibu mengangguk dan menuruti perkataanku. Dia pun duduk di kursi kosong yang tersedia untuknya."Mom, Ken haus," Terdengar putraku menarik bajuku, menandakan ia ingin meminta sesuatu."Iya, sebentar. Mommy akan membelikanmu minum dulu," ujarku dengan ramah pada Ken.Namun, putraku tiba-tiba menghentikanku. "Tunggu dulu, Mom!" ujarnya.Aku berbalik untuk melihat apa yang ia inginkan. "Ada apa, Ken?" tanyaku dengan lembut."Ken mau es krim saja," jawabnya, memperlihatkan giginya yang ompong satu.Aku menepuk jidatku sendiri. "Wah, Ken. Kamu tidak boleh makan es krim terus-terusan, nanti gigimu sakit lagi, Sayang," ujarku, menolak permintaannya dengan lembut.Namun, Ken menunjukkan wajah murungnya dan menghampiri ibu yang sedang duduk. "Oma, Ken ingin makan es krim, tapi tidak boleh sama Mommy," pinta Ken dengan suara merengek.Ibu hanya bisa menggelengkan kepala melihat sikap Ken yang meminta dengan nada merengek seperti itu. Namun, karena ibu tidak ingin membuatnya kecewa, ibu memberinya sedikit perhatian."Ken, kamu tahu, kan? Mommy tidak memperbolehkan kamu makan es krim setiap hari? Kamu harus menjaga pola makanmu supaya tetap sehat," ujar Ibu memberi pengertian pada Ken.Akan tetapi, Ken masih membantah. "Tapi, Oma, Ken hanya ingin sedikit saja. Tolonglah, Oma."Setelah cukup lama berpikir, ibu akhirnya memberikan persetujuan padanya. "Baiklah, es krim boleh, tapi kamu hanya boleh memilih satu topping saja, ya?"Ken tersenyum bahagia dan berlari ke arahku. "Mom, Oma sudah memberikan izin, jadi Mommy juga iya, kan?" tanya Ken sambil menarik-narik bajuku.Aku hanya bisa menghela napas gusar, tahu betul apa yang terjadi selanjutnya. "Ya sudah, tapi jangan banyak-banyak, ya?" jawabku akhirnya.Kenzie dengan cepat mengangguk. "Siap, Mom!" tanpa menunggu lagi, dia langsung berlari ke depan untuk membeli es krimnya. Aku mengikutinya dari belakang, memastikan ia benar-benar hanya memilih satu topping saja. Anakku benar-benar tidak pernah berubah, begitu lincah dan ceriwis.Namun, dibalik itu semua, perasaan yang berbeda mendera diriku. Sudah enam tahun berlalu semenjak ibu menelponku dan menyampaikan kabar ayah yang sering sakit-sakitan. Aku merasa takut bila terjadi sesuatu pada ayah, terlebih lagi setelah dokter memberikan kabar buruk bahwa ayah harus ditangani oleh rumah sakit yang lebih baik. Maka, aku pun membawanya ke Negeri Singa untuk berobat karena mungkin saja di sana ayah mendapatkan perawatan yang lebih baik.Setelah satu tahun berjuang melawan penyakitnya, ternyata Tuhan memiliki rencana lain. Tuhan lebih sayang kepadanya. Aku hanya bisa merelakan kepergian ayah dari hidupku."Mom, Ken sudah mendapatkan es krimnya," ujar Ken dengan mata bersinar.Namun, lamunanku terhenti ketika aku melihat es krim Ken yang berwarna coklat. Sedari kecil, Ken selalu suka dengan es krim, terutama yang berbau coklat. Kehadirannya selalu mengingatkanku kepada Keenan, lelaki yang pernah kutinggalkan enam tahun yang lalu. Aku tidak tahu bagaimana kabarnya sekarang, apakah dia sudah menikah atau memiliki anak?Mengingat tentang Keenan membuatku merasa sangat sakit. Aku meninggalkannya dalam keadaan yang masih tertidur lelap, meski aku tahu bahwa jika dia bangun nanti, dia pasti akan mencariku. Kadang aku merasa bersalah, mungkin aku terlalu tega meninggalkannya begitu saja. Atau mungkin dia sudah membenciku sekarang, bahkan mungkin sudah melupakanku sama sekali.Entahlah, kepalaku begitu pusing bila memikirkan tentangnya. Namun, saat melihat wajah ceria Ken yang sedang menikmati es krimnya, aku merasa menjadi ibu yang bahagia dan bersyukur telah memiliki anak seperti dia di sisiku. Aku merangkul Ken dalam pelukan hangat, sambil mengucapkan doa terbaik untuk kehidupannya. Aku berjanji akan selalu ada untuknya, mengasuh, dan mencintainya, hingga akhir hayatku."Mom, apa yang kamu pikirkan?" tanya Ken dengan wajah prihatin. Aku terbangun dari lamunanku dan langsung mengelus rambut Ken yang mungil."Tidak apa-apa, Ken. Mommy hanya teringat akan seseorang," ujarku dengan senyum palsu yang terlihat melekat di wajahku. Ken masih belum puas dengan jawabanku dan terus mendesak."Seseorang siapa, Mommy? Ken kenal?" tanyanya lagi.Aku terdiam sejenak dan menggigit bibirku. Sudah lama sekali sejak terakhir kali aku memikirkan tentang Keenan, lelaki yang pernah aku cintai. Wajah Kenzie begitu mirip sekali dengan Keenan, mulai dari hidung, bibir, rambut, hingga makanan kesukaan mereka, semuanya mirip sekali. Bayangan masa lalu itu membuat dadaku terasa sangat sakit."Seseorang di masa lalu, Sayang. Tidak penting," jawabku akhirnya sambil memeluk Ken yang merapat ke dadaku.Aku merasakan hembusan napasnya yang hangat di pipiku dan merasa tenang. Terkadang aku merasa bersalah karena tidak bisa membagikan semuanya dengan Ken, anakku yang sangat aku cintai. Namun, aku berusaha keras untuk menjadi ibu yang terbaik bagi Ken."Mommy mau menelpon tante Sissi dulu, ya! Kamu temani Oma dulu," kataku sambil mengelus wajah mungil Kenzie.Kenzie mengangguk. "Baik, Mom."Dia lalu pergi sambil menjilati es krimnya, berjalan menuju ibu yang masih terduduk di kursi. Aku menyaksikan Kenzie pergi dengan perasaan campur aduk. Di satu sisi, aku merasa sedih karena harus merahasiakan tentang ayahnya, tapi di sisi lain, aku juga merasa lega karena tidak harus menunjukkan wajah sedihku pada Ken.Aku kemudian merogoh ponselku yang ada di dalam tas untuk segera menghubungi Sissi, temanku dari kecil, dan kini dia sudah menjadi asistenku untuk membantu mengurus butik yang ada di Tuban.Saat sedang berusaha menghubungi Sissi, mataku membeliak sempurna ketika melihat sosok yang selama ini aku rindukan. Aku tak pernah menyangka akan bertemu dengannya di tempat ini."Keenan," gumamku lirih, sulit mempercayai bahwa aku melihatnya di sini, di tempat yang tak pernah terbayangkan sebelumnya."Kiara, kamu baik-baik saja?" tanya Ibu yang sudah ada di dekatku.Aku mencoba tersenyum untuk meyakinkan Ibu, tetapi rasanya sulit. "Aku merasa mual, Bu. Mungkin kecapekan," kataku sambil mengelap wajah dengan handuk.Ibu mengerutkan kening. "Mungkin kamu perlu istirahat lebih. Kalau mual terus, kita periksa ke dokter, ya."Aku mengangguk pelan, merasa bersyukur memiliki Ibu yang begitu perhatian. "Iya, Bu. Aku istirahat dulu sebentar."Kembali ke kamar, aku berbaring di tempat tidur, berharap rasa mual ini segera hilang. Tapi di tengah kegelisahanku, pikiranku melayang ke satu kemungkinan yang tak pernah terpikir sebelumnya. Dengan hati-hati, aku mencoba mengingat kapan terakhir kali aku haid. Benar saja, sudah beberapa minggu terlambat.Jantungku berdebar lebih cepat. Apakah mungkin …?Aku memutuskan untuk menunggu hingga Keenan pulang dan membicarakan ini dengannya. Aku begitu cemas memikirkan semua ini. Aku mencoba memejamkan mata sebentar.Beberapa saat kemudian, aku terkesiap k
Aku tak bisa menggambarkan betapa bahagianya hatiku ketika Keenan, lelaki yang sudah menjadi suamiku kini, memberiku kunci butik yang telah lama kutinggalkan. Keenan memintaku untuk kembali mengurus butik yang dulu aku bangun dengan susah payah. Dengan perasaan yang begitu haru dan sekaligus bahagia, aku mengingat mimpi lamaku menjadi seorang desainer. Mimpi yang tak mudah kugapai, namun penuh perjuangan dan kerja keras. Enam tahun lalu, aku berangkat ke Singapura, dan menghabiskan waktu selama lima tahun untuk belajar dengan para desainer terkenal di sana. Keputusan itu diambil dengan penuh keberanian, meninggalkan semua yang kucintai di Indonesia, termasuk Keenan, lelaki yang sangat aku cintai. Aku membawa Ayah yang sedang berjuang melawan penyakitnya. Meski berat, aku yakin bahwa kesempatan ini akan membuka pintu yang lebih besar di masa depan, dan Ayah pasti akan sembuh. Namun, rencana Tuhan berbeda dengan harapanku. Satu tahun setelah berada di Singapura, aku menerima kabar d
Marissa hanya tertawa sinis mendengar perkataanku. "Haha, kembali seperti dulu?" katanya dengan nada sinis. "Apakah kamu tidak melihat bagaimana aku sekarang, Kiara? Aku berada di tempat yang kotor dan hina. Aku kehilangan segalanya. Tapi kamu, kamu malah hidup enak dan memiliki segalanya yang seharusnya menjadi milikku!" Aku terkejut dan sedih mendengar kata-kata Marissa. Aku bisa merasakan kekesalan dan kebencian yang terpendam di balik kata-katanya. Namun, aku mencoba untuk tetap tenang dan memahami perasaannya. "Marissa, aku sangat menyesal melihat kondisimu sekarang," ujarku dengan suara lembut. "Sebagai teman, aku ingin membantumu agar bisa bangkit dan memulai kembali. Aku ingin membuka lembaran baru bagi kita semua." Marissa memandangku dengan tatapan tajam. "Bukankah kamu bisa memahami betapa sulitnya posisiku?" katanya dengan emosi yang masih terasa dalam suaranya. "Kehidupan ini tidak adil, tidak adil bahwa aku harus berada di tempat seperti ini sementara kamu hidup dalam
Kesempatan untuk bertemu dengan Marissa akhirnya terbuka bagiku, dan hatiku bergetar dengan rasa bahagia dan cemas. Meskipun Marissa telah melakukan kesalahan yang besar terhadap kami, aku tidak bisa melupakan masa-masa indah yang kami lewati bersama saat kami masih sekolah dulu. Kami adalah teman baik, berbagi tawa, cerita, dan impian bersama. Sekarang, dengan keputusanku untuk menemui Marissa, aku berharap kami bisa memulihkan hubungan yang ada di antara kita.Hari yang ditunggu akhirnya tiba. Aku bersiap untuk pergi menemui Marissa, memilih pakaian dengan hati-hati, mencoba tampak tenang dan berbicara dengan hati yang terbuka. Aku berdoa agar pertemuan ini bisa membawa kedamaian dan kesembuhan baik bagi diriku maupun Marissa.Sepasang tangan kekar tiba-tiba merangkulku dari belakang, menyapu rasa kantukku dengan kehangatan yang akrab. Aku tersenyum dan berbalik memandang Keenan yang sudah bangun tidur, selalu ada dalam pelukannya."Kenapa kamu tidak membangunkanku?" tanya Keenan de
Aku melepaskan sedikit rasa kantukku saat melihat seorang lelaki dengan tangan kekar yang memeluk perutku. Senyuman terukir di wajahku ketika aku menyadari bahwa itu adalah Keenan, suamiku yang tidur di sampingku. Matanya yang tertutup oleh bulu alis yang tebal begitu indah, hidungnya yang mancung memberikan pesona tersendiri.Dalam keadaan itu, aku tertegun sejenak, mengamati wajahnya yang damai saat terlelap. Rasa cinta yang mendalam muncul dalam hatiku, melihat Keenan sebagai sosok yang melengkapi hidupku.Teringat akan janji pernikahan kami yang baru terucap beberapa hari yang lalu, saat kami bersatu menjadi suami istri. Hanya Tuhan yang tahu betapa aku bahagia bisa berbagi hidup dengan Keenan, orang yang telah berada di sampingku sejak lama.Aku mencium udara pagi dengan perasaan yang penuh syukur. Aku merasakan kehangatan dan keamanan dalam pelukan Keenan. Rasa terima kasih terucap dalam hatiku, untuk kami berdua dan keberuntungan yang telah Tuhan anugerahkan kepadaku.Sejenak a
Keenan mengangkat kepalanya dan tiba-tiba mencium bibirku dengan lembut. Suasana di apartemen Keenan menjadi hening, hingga hanya terdengar detak jarum jam yang mengisi ruangan. Aku terbuai dalam kelembutan ciumannya, merasakan kenyamanan yang timbul dan melupakan segala sesuatu di sekitar kami.Namun, aku segera menyadari situasi kami dan mendorong tubuh Keenan agar menjauh dariku. "Apa kita akan melakukannya di sini?" tanyaku, hatiku berdebar ketika mengingat keberadaan kamera CCTV di ruangan ini.Keenan bangun dari posisi tidurnya dan duduk di sampingku. "Memangnya kenapa kalau di sini? Di apartemen ini hanya ada kita," ucapnya dengan senyuman.Aku menunjuk ke arah CCTV yang terpasang di sudut ruangan. "Lihatlah, ada CCTV di sini. Aku tidak ingin kegiatan kita terekam dan diketahui oleh orang lain."Keenan hanya tersenyum dan mengangguk mengerti. "Baiklah, aku akan membawa tuan putriku ini ke kamar. Di sana kita bisa bebas dan tenang," ucapnya sambil mengangkat tubuhku dengan lembu