"Berapa kamu bilang, Kia?"
Kiana menceritakan email tersebut pada Tere karena tidak percaya dengan tawaran sebesar itu. "Dua milyar, Re." Bola mata Tere yang sudah melebar semakin membulat, "Gila! Banyak banget! Coba aku lihat dulu emailnya. Masa iya sih mereka nawarin uang sebanyak itu?" Kiana juga tidak tahu. Dia mengalihkan laptop tersebut pada pemiliknya. Lamat-lamat Tere membacanya. "Selamat malam. Saya membaca postingan kamu di aplikasi penyewaan rahim dan berniat menawarkan uang dua milyar sebagai gantinya. Kalau kamu bersedia datanglah kediaman Ghazlan di jalan Senja perumahan Elite Diamond nomor 111, besok pukul tujuh malam. Datang sendiri dan jangan bawa orang lain! Ini kontak saya agar kamu percaya," ucap Tere dengan intonasi yang dibuat seakan dia yang bicara. Dia terus mengulang barisan kalimat itu dan hasilnya tetap sama. "Kamu beruntung, Kia. Ayo, ambil kesempatan ini supaya hidup kamu lebih baik. Kamu hanya perlu mengandung sekali tapi hasilnya kamu nggak perlu bekerja sampai bertahun-tahun." Kiana tidak mengerti apa yang patut dibanggakan dari pekerjaan menjijikan itu. Dia mengelus dadanya karena rasa sakitnya yang tiba-tiba menyerangnya sampai ke ulu hati. °°° Perumahan Elite Diamond yang harga per itemnya mencapai miliaran rupiah terlihat menyesakkan dadanya. Kiana akan tinggal di rumah itu jika dia bersedia menerima tawarannya. Persis di depan pagar setinggi tiga meter tersebut, Kiana ingin berbalik pergi. Hati nuraninya masih bisa berpikir jernih. Namun, kesempatan emas yang tidak datang dua kali ini, harus diambil meskipun harga dirinya terinjak-injak. Helaan nafas berat terdengar sesak. Kiana menekan tombol pada intercom di depannya. Suara pria menyapanya dan bertanya apa yang dia inginkan di sana. "Saya sudah ada janji dengan pemilik rumah ini, Pak. Nama saya..," "Oh, ya, silakan masuk. Nyonya sudah memberitahukannya sama saya." Setelah pagar terbuka secara otomatis, Kiana disambut oleh pria berpakaian satpam. Wajah ramah di hadapannya memintanya untuk menyerahkan barang bawaannya sebelum masuk. "Untuk apa, Pak?" "Sudah menjadi peraturannya, Bu Kiana. Silakan tinggalkan barang bawaan anda Lalu ikuti arahan dari Mbak Anita." Pria itu menunjuk wanita yang menunggunya di teras depan. Kiana tidak punya pilihan selain menyerahkan tas yang isinya hanya dompet dan kertas-kertas tidak penting. Ragu dia melangkah lebih jauh lagi. Dengan anggukkan kepala, dia menyapa wanita yang bernama Anita tersebut. "Silahkan ikuti saya!" Kiana mengangguk. Dia pikir, dia akan diminta masuk melalui pintu depan namun kenyataannya dia berbelok ke pintu samping yang tidak jauh dari pintu utama. Kiana mengira tempat itu adalah dapur yang digunakan oleh asisten rumah tangga tapi dia salah. Bangunan itu mengarah pada bangunan lain yang bentuk bangunannya berbeda tapi besarnya tidak lebih besar dari bangunan utama. Ternyata bangunan utama terpisah dari bangunan-bangunan tersebut. Mungkin saja bangunan utama hanya boleh dihuni oleh keluarga inti saja. Kiana tidak mengerti kenapa dia harus diarahkan ke tempat terpencil itu. Mereka berhenti di salah satu bangunan dengan halaman berumput hijau tebal. Halaman tersebut sebenarnya terarah pada bangunan yang berjajar di sana. Bisa dibilang bangunan utama dan bangunan yang lain memutari halaman hijau tersebut. "Tunggu sebentar, Bu Kia. Nyonya sedang dalam perjalanan ke sini. Mau minum apa?" "Air putih dingin saja, Mbak," ucap Kiana pelan. Dia terlalu terkejut melihat kekayaan yang dimiliki oleh orang yang menyewanya. Pantas saja harga yang ditawarkan sangat fantastis. Anita membawa segelas air putih dingin untuk Kiana. Dia kemudian pamit karena sebentar lagi sama milik rumah akan datang. Benar saja. Terdengar suara heels yang beradu dengan lantai dari kejauhan. Kiana menggenggam jemarinya dengan kuat ketika muncul wanita berpakaian modis dan memiliki wajah secantik malaikat. Refleks Kiana berdiri untuk menyambutnya. "Kiana?" tanya wanita itu. Suaranya saja bahkan merdu dan lembut. Sayang sekali diantara kesempurnaan itu ada kekurangan yang benar-benar tidak bisa dipungkiri. "Iya, saya, Bu." "Jangan panggil Bu karena saya tidak suka terlalu formal. Panggil saja Glade." Wanita bernama Glade itu terlihat sangat santai dan menyenangkan. Begitu Glade duduk, Kiana juga ikut duduk. "Maaf, tapi usia anda jauh di atas saya. Saya terdengar tidak sopan jika hanya memanggil nama." Glade tertawa renyah. "Jadi saya terlihat tua ya?" Kiana menggeleng cepat, "Tidak, Mbak. Maksudnya bukan begitu." Glade mengibaskan rambutnya dengan anggun. Rambut hitam kelamnya tampak berkilau di bawah sinar lampu kristal yang tentu saja harganya sangat mahal. "Kalau begitu panggil mbak Glade boleh." "Baiklah, Mbak." Glade menoleh ke arah pintu seketika seorang wanita yang membawa sebuah map menghampiri Kiana. "Bukalah! Itu surat perjanjian kita. Bisa saya perjelas kalau kamu harus menikah dengan suami saya dan mengandung anak kami sampai lahir nanti. Kontrak ini hanya berlangsung selama satu tahun dan kamu boleh pergi setelah kontrak selesai. Satu lagi, bayaran setengahnya akan saya transfer hari ini setelah kamu menandatangani kontrak." "Menikah? Saya harus menikah, Mbak?" tanya Kiana bingung. Dia pikir dia hanya menyewakan rahimnya. Kenapa dia harus menikah? "Iya. Saya tentu tidak mau calon anak saya berada di tempat yang tidak seharusnya. Saya harus benar-benar melihat dengan mata kepala saya sendiri kalau kebutuhannya terpenuhi. Jadi, selama satu tahun penuh kamu akan tinggal di sini dan mendapat perhatian khusus dari saya dan juga asisten rumah tangga. Kamu wajib menaatinya karena saya tidak suka dengan penolakan apapun. Bagaimana? Kalau kamu tidak bersedia, saya tidak akan memaksa. Silakan pergi dari sini. Tapi saya sarankan untuk menerimanya karena tidak semua orang bisa mendapatkan kesempatan emas ini." Kiana speechless. Dia kesulitan berpikir. Rentetan kalimat itu membingungkan untuknya. Intinya dia harus tinggal di rumah si penyewa lalu setelah anaknya lahir dia harus keluar! "Saya tidak punya banyak waktu untuk menunggu kamu berpikir. Saya kira kemarin kamu sudah memutuskan. Ya tidak masalah kalau kamu tidak setuju," ucap Glade. Dia memberi isyarat pada asistennya untuk mengambil kembali map tersebut. "Tunggu sebentar, Mbak!" Glade mengangguk pada asistennya lalu map itu kembali mendarat di atas meja. "Saya ... setuju. Tapi bagaimana dengan kuliah saya?" "Oh, masalah itu kamu tidak perlu pusing. Kamu bisa lulus tanpa melakukan apa-apa." "Maksudnya, Mbak?" "Nanti kamu juga tahu. Jadi, sekarang tanda tangani saja kontraknya. Jangan lupa berikan nomor rekening kamu agar asisten saya bisa memprosesnya." Kiana mengangguk pelan. Dia membuka map dan sekilas membaca isi kontraknya. Ternyata sesuai dengan ucapan Glade. Tanpa pikir panjang lagi dia segera menandatanganinya. Surat perjanjian itu telah beralih pada asisten pribadi Glade. Hanya berselang satu menit, uang senilai satu milyar tersebut telah masuk ke nomor rekening Kiana. Kiana terpaku melihat deretan angka pada layar ponselnya. Apa dia sekarang menjadi orang kaya? Dia lalu bertanya, "Kapan saya bisa tidur dengan suami mbak untuk menjalankan kontrak ini? Saya ingin kontrak ini selesai secepatnya." °°°"Apa? Aku tanya sama Kiana bukan kamu!" bentak Ghazlan. Baby G terbangun dan menangis karena teriakan Ghazlan. Pria itu sadar akan kelalaiannya dan meminta maaf pada Kiana.Kiana mengambil alih Baby G. Gerakan cepatnya membuat GhazLan takjub. Kiana sangat cekatan. Tidak terlihat kalau wanita itu belum pernah menangani seorang bayi sekalipun. Ghazlan mendorong istrinya untuk keluar dari sana karena dia tidak ingin mengganggu Kiana. Pria itu langsung mengeluarkan uneg-unegnya."Lihatlah! Kamu memang dewasa tapi kamu nggak sedewasa Kiana. Kamu yang menginginkan dipanggil ibu tapi kenyataannya malah diam waktu Baby G nangis. Kamu sadar nggak sih, Glade? Kamu nggak mau belajar!" sentak Ghazlan kesal. Glade menatap sengit suaminya, "Lalu? Aku harus jadi babysitter gitu? Hei, Mas! Kita bisa membayar jasa babysitter. Ngapain sih susah-susah. Kamu banyak banget berubah sejak Kiana datang ke rumah kita. Kamu nggak pernah mendesakku untuk jadi ibu rumah tangga yang baik. Kamu nggak pernah sek
"Babysitter," tegur Glade dari arah kamar. Dia menahan kesal ketika Kiana datang-datang menyebut dirinya ibu. Babysitter yang sejak awal tidak bisa menangani Kiana, hanya melihat mereka dengan bingung."Ratri!" panggil Glade dengan kesal. Ratri berhasil menghampiri Glade, "Iya, Nyonya.""Urus mbaknya Baby G. Saya tidak mau ada rumor yang tersebar nantinya," ucap Glade yang tanpa tedeng aling-aling langsung mengatakan di depan wanita muda tersebut."Iya, Nyonya."Ratri lantas meminta sang babysitter untuk mengikutinya. Sementara Kiana mengambil alih Baby Galang. Baby Galang yang semula rewel tiba-tiba saja berhenti setelah didekap oleh Kiana. Rasa haru menyeruak dalam dada. Kiana menitikkan air matanya tanpa sadar. Wanita itu tidak mengerti kenapa dia harus menangisi keadaan yang membuatnya bahagia. "Jangan mendramatisir keadaan! Baby G hanya merespon karena kamu wanita yang melahirkannya. Setelah dia dewasa, kamu nggak akan pernah menjadi orang terpenting baby G," tukas Glade ketu
"Mbak Glade?" ucap Kiana dengan mata membulat penuh. "Dari mana mbak Glade tahu rumah saya?"Glade dengan tampang congkaknya langsung duduk di sofa ruang tamu. Sembari melihat-lihat keadaan rumah Kiana, dia mengatakan, "Apa yang saya tidak tahu?"Tere memberi isyarat pada Kiana, apa yang harus dia lakukan? Kiana memintanya untuk pergi karena Glade hanya punya urusan dengannya. Kiana lalu duduk di depan Glade. Dia tidak tahu reaksi apa yang harus dia perlihatkan pada mantan bosnya itu. Sudut bibir Glade terangkat. Entah mencela perumahan milik Kiana yang begitu mungil atau dia mengejek penampilan Kiana yang lebih sering memakai dress longgar. "Saya tidak tahu kalau Mbak Glade penasaran dengan tempat tinggal saya," ucap Kiana membuka pembicaraan."Bukan penasaran. Saya ingin mengajukan penawaran sama kamu. Kamu mau bekerja lagi di rumah saya? Sebagai babysitter Galang. Baby G nangis terus setiap malam dan saya lelah mendengarnya," ucap Glade geram. Dia seolah sedang mengatai anaknya
"Aku ibunya, Mas. Aku!" tegas Glade tidak bisa terbantahkan lagi. Matanya menatap garang pada suaminya yang tetap ngotot kalau Galang butuh Kiana. "Kamu tahu, Mas. Kalau kamu semakin mempersulit keadaan, aku nggak akan segan-segan membawa Galang pergi dari kamu!"Ghazlan mendesis pelan. "Selalu saja ancaman! Kalau kamu nggak mau aku mengungkit masalah Kiana, sebaiknya kamu cari cara agar Galang mau diam. Kamu ibunya kan? Kasihi dengan baik jangan cuma dilempar sama babysitter.""Oke. Nggak masalah! Aku bisa kok mengatasinya," jawab Glade geram. Dia meninggal sang suami untuk beralih ke kamar bayi mereka. Ruangan yang berada di samping kamar mereka dirubah sedemikian rupa agar Galang bisa nyaman tinggal di sana. Glade juga sudah membayar babysitter yang sudah bersertifikat dan dikelola oleh yayasan agar bisa mengasuh Galang selagi dia pergi. Namun pada kenyataannya, babysitter kondang juga tidak bisa menaklukkan Galang. Ada apa sebenarnya?"Kamu itu saya bayar mahal bukan untuk plonga
"Dimana?""Satu perumahan denganku, Kia. Harganya lumayan murah dan besar. Kamu bisa tinggal sama keluarga kamu nanti kalau misalkan udah nggak ada masalah lagi. Yuk! Aku udah janji untuk datang hari ini," jelas Tere. Kondisi Tere lebih baik ketimbang Kiana yang tidak bisa move on dari keluarga Ghazlan. Wajar karena orang yang menyewa rahim Tere bukan pasangan yang baru menikah dengan status memiliki segalanya.Kiana berpamitan dengan Munif lebih dulu sebelum dia memutuskan untuk pergi. Kiana jika memasukkan beberapa lembar uang ratusan ribu ke dalam amplop yang kemudian diserahkan pada wanita yang memiliki hati baik tersebut."Ini terlalu banyak, Nduk," ucap Munif. Hanya menyentuh permukaan luarnya saja dia tahu berapa puluh lembar isinya. "Kamu juga pasti butuh uang ini. Sebaiknya kamu simpan saja untuk keperluan kamu."Kiana menolaknya, "Saya masih punya beberapa simpanan uang, Bu. Bu Munif tenang saja."Munif ingin sekali menolaknya karena dia belum pernah mendapat uang banyak itu
Ghazlan menoleh pada Kiana, lalu beralih pada bayi laki-laki yang berada dalam dekapan Glade. Pria itu tidak bisa memilih. Mereka semua orang yang paling penting dalam hidupnya. Tapi ..."Maaf, Kiana," ucap Ghazlan akhirnya. Dia tidak berani menatap mata Kiana dan memilih untuk membawa bayi mereka pulang ke rumah. Kiana menangis sejadi-jadinya. Rasa sakit dalam hatinya teramat menyiksa. Terlebih ketika bayi yang dia lahirkan diambil begitu saja. Terlepas dari perjanjian di antara mereka, Kiana hanya berharap mereka punya sedikit perasaan kasihan. "Bu Kia, saya mohon pamit," ucap Anita yang menatap Kiana berkaca-kaca. "Sejujurnya saya masih ingin membantu Bu Kia untuk mengemasi barang-barang tapi Nyonya meminta saya untuk segera menyusul. Saya minta maaf, Bu Kia. Selama saya bekerja dengan ibu, saya bahagia. Saya berharap Bu Kia bisa lebih bahagia dari sekarang dan melanjutkan hidup. Semoga ibu mendapatkan jodoh terbaik dari Tuhan agar bisa menemani Bu Kia. Tolong dimaafkan kalau say
Saras tersenyum bijak mendengar ucapan Kiana. "Bu Kia pasti selamat dan bisa melahirkan bayi ini tanpa kekurangan satu apapun. Jadi, semangat ya."Kiana menarik nafas panjang kalau menghembuskannya perlahan sesuai dengan instruksi Saras. Dia membutuhkan Ghazlan tapi kenapa pria itu justru tidak ada di saat dia menginginkannya. Kata orang peran suami adalah hal terpenting yang diinginkan seorang wanita jika melahirkan. Setetes air bening menetes dari kelopak mata sayu tersebut. 'Ayo, Sayang! Kita berjuang sama-sama. Ibu yakin kamu bisa melihat dunia ini. Yang kuat, yang semangat. Sama-sama kita berjuang! Kita tidak perlu siapapun lagi. Ibu janji akan menjadi orang pertama yang memeluk kamu nanti' batin Kiana.°°°Ghazlan berjalan terburu-buru bersama istrinya menyusuri lorong menuju ruang persalinan VVIP yang telah mereka siapkan. Glade sangat tidak sabar untuk menggendong anaknya dan mengatakan pada dunia bahwa dia berhasil mempunyai anak. Berbeda dengan pemikiran Ghazlan yang taku
"Bu Kia kenapa menangis? Perutnya sakit?" tanya Anita pada Kiana yang tidak ada angin tidak ada hujan terisak pelan. Kiana cepat-cepat menghapus air matanya. "Tidak, Mbak. Saya hanya lelah. Selama di rumah ini saya kan tidak pegang ponsel jadi mata saya agak kacau. Ini saya kembalikan, Mbak. Terimakasih ya.""Bu Kia mau tidur?" Kiana hanya mengangguk dan melangkah pergi. Hatinya sakit. Tuhan menciptakan hati bukan hanya untuk disakiti tapi pada kenyataannya dia selalu yang paling sakit. Keluarganya memperlakukannya dengan buruk dan berusaha untuk membuatnya menjadi anak yang tidak berbakti. Sekarang setelah dia mendapatkan kemudahan dalam keuangan, semuanya juga masih sama. Cinta tidak mau berpihak padanya. Dia harus bagaimana?"Em, jadi ini yang membuat Bu Kia sedih," gumam Anita setelah membuka aplikasi yang terakhir kali dilihat oleh majikannya.°°°H-7 kelahiran junior ...Kiana mengelus perutnya yang semakin aktif bergerak. Terakhir kali dia melakukan USG semuanya normal dan t
"Apa? Mencintai? Gila kamu, Ghazlan! Glade mau kamu singkirkan?" hardik Viona geram. Wajahnya semakin memerah. Dia tidak terima putri satu-satunya yang dia miliki, disia-siakan oleh Ghazlan. "Keluar kamu! Mama nggak mau melihat menantu yang nggak tahu terimakasih. Selama menikah, Glade tidak pernah berselingkuh dari kamu sekalipun banyak orang yang menyukainya. Tapi apa balasan yang kamu berikan?""Ma, aku nggak akan menceraikan Glade," ujar Ghazlan. Viona menatap sinis menantunya, "Kalau kamu nggak mau menceraikan Glade, mama yang akan paksa dia!""Tapi, Ma," desak Ghazlan."Pergi! Sebelum kamu meninggalkan wanita itu, mama nggak akan mau menerima kamu!" Viona tidak benar-benar serius dengan ucapannya karena Ghazlan adalah menantu potensial yang tidak bisa dia tinggalkan. Enak saja kalau Kiana berhasil mendapatkannya. Kehidupan wanita itu akan mujur selama sisa hidupnya. 'Mama terpaksa begini supaya kamu bisa memutuskan wanita nggak jelas itu. Kalau nggak begini, kamu pasti akan l