LOGINPagi ini, aku duduk di depan meja rias cukup lama. Bedak tipis, dan lipstik samar sudah kupulas, tapi wajahku masih saja terlihat sendu.
Semalaman aku hampir tak tidur, bukan hanya karena pikiranku sendiri yang kalut, tapi juga karena Mas Ethan. Dia sangat gelisah, berulang kali bangun, dan aku langsung memeluknya, mengusap punggungnya, sambil berusaha menenangkan. Aku paham bagaimana kondisi mentalnya yang cukup tertekan, dan juga amarah yang masih menggelora Aku menarik napas panjang, lalu bangkit dari meja rias, dan meraih tas kerja. Mas Ethan masih tertidur, wajahnya pun tampak letih. Sebelum pergi, aku sempat menatapnya lama dari ambang pintu kamar, ingin membangunkannya hanya untuk berkata aku berangkat dulu, tapi kuurungkan. Aku tak mau mengganggunya. Biarlah, dia butuh istirahat untuk menenangkan tubuh, dan jiwanya. Perjalanan menuju kantor pagi ini, terasa lebih lama dari biasanya. Mungkin, sebenarnya sama seperti hari-hari kemarin. Hanya saja, otak dan hatiku terasa penuh oleh beban yang mengganjal. Apalagi, jalanan yang padat ini, juga diiringi dengan klakson yang bersahut-sahutan, yang kian membuat hati terasa kalut. Beberapa saat kemudian, aku sudah sampai di kantor. Setelah memarkirkan mobil di basement, aku melangkah tergesa ke lobby lalu masuk ke dalam lift. Saat pintu lift terbuka, segerombolan karyawan ikut masuk, dan aku terjepit di antara mereka. Aku hampir tidak memperhatikan siapa saja yang ada di dalam, sampai mataku menangkap sosok di sampingku. Tubuhku refleks menegang, Devan. Dia berdiri hanya sejengkal dariku. Aku terkejut, bagaimana mungkin dia naik lift karyawan? Bukankah biasanya seorang direktur baru akan memilih lift khusus eksekutif? Aku melirik sekilas. Wajahnya tenang, pakaiannya rapi, dengan sorot mata lurus ke depan. Tak ada senyum, tak ada sapaan, tapi jarak yang begitu dekat ini membuat jantungku berdegup tak terkendali. Aku berusaha menunduk, tapi aroma parfum yang masih sama seperti dulu, justru menusuk masuk, membuat ingatan lama tentang kembali menyeruak. Devan bergeser sedikit, tapi justru membuat bahunya hampir menyentuh lenganku. Aku bisa merasakan jarak kami kian menipis, dan itu cukup untuk membuat perasaanku kacau. Detik demi detik terasa lebih panjang sampai akhirnya pintu lift terbuka. Dengan cepat aku melangkah keluar, berusaha menenangkan diri, seolah tak terjadi apa-apa. Akan tetapi, ketika aku baru saja mulai fokus menatap layar, dan tenggelam dalam angka-angka laporan, tiba-tiba suara langkah berhenti di samping kubikelku. Aku menoleh, dan mendapati Pak Andra, kepala divisi sekaligus atasan langsungku, berdiri dengan map di tangannya. “Cleo ...!" “Ya, Pak?” Aku pun berdiri refleks. “Sebentar lagi ada rapat di luar bersama Pak Adrian. Sebenarnya saya yang harusnya ikut mendampingi, tapi siang ini saya ada janji dengan klien penting. Jadi kamu yang gantikan saya ya." Aku membeku sepersekian detik, mencoba menjaga wajah tetap netral. Ingin menolak, tapi melihat wajah Pak Andra yang penuh harap, aku tak tega. “Baik, Pak. Saya siap.” “Bagus. Nanti rapatnya jam sebelas. Ini materinya, kamu pelajari dulu.” “Ya, Pak. Saya akan mempelajarinya.” Pak Andra mengangguk puas, sembari berkata, "Saya tunjuk kamu buat mewakili divisi kita, karena saya yakin kamu pasti bisa Cleo." Aku hanya tersenyum getir, lalu kembali duduk. Jantungku berdetak tak karuan, tubuhku terasa lemas. Berdua dengan Devan? Rapat di luar kantor? Apakah aku sanggup? Kupijit pelipis, mencoba meyakinkan diri. Ini pekerjaan, tidak lebih. Aku harus profesional. Tidak ada alasan untuk merasa canggung. Namun, ingatan akan jarak di lift tadi, aroma parfumnya, dan masa lalu yang tiba-tiba hadir kembali, membuatku sulit berpura-pura tenang. Aku menatap jam di monitor laptop. Masih ada kurang dari dua jam sebelum rapat itu. Dua jam untuk mempersiapkan diri, agar tak ada seorang pun, apalagi Devan, yang bisa membaca hatiku. *** Dua jam kemudian, jam di layar laptop sudah mendekati pukul sebelas saat notifikasi muncul di ponselmu, sebuah pesan singkat dari sekretaris perusahaan. “Ibu Cleo, mohon menuju lobby. Pak Adrian sudah menunggu." Tanganku dingin seketika. Saat aku memasukkan laptop dan dokumen ke dalam tas tubuhku bahkan terasa bergetar. Setelah kupastikan semuanya lengkap, aku berdiri dengan napas panjang, dan melangkah menuju lobby. Ketika aku sudah sampai di lobby, mataku langsung menangkap sosok itu. Devan sudah berdiri di sana. Dia tampak tenang, bahkan sedikit dingin, seperti biasa sejak kemunculannya kembali. Seorang staf mendekat, “Mobil sudah siap, Pak. Ini kuncinya.” Devan hanya mengangguk singkat, lalu matanya berpindah padaku. Sekilas saja, tapi cukup untuk membuat napasku tercekat. "Mari ...!" katanya datar dengan begitu formal. Aku mengangguk kecil, menyesuaikan langkah di belakangnya. Saat pintu mobil dibukakan, aku menahan diri untuk tidak terlihat canggung. Namun ketika aku masuk ke kursi penumpang, dan menyadari kami hanya berdua di dalam kabin, perasaan gugup itu kembali menyeruak. Mobil akhirnya melaju perlahan keluar dari area kantor. Suasana hening, hanya suara mesin dan sesekali deru kendaraan di jalan. Aku menatap jendela, berpura-pura sibuk dengan pemandangan luar, padahal pikiranku riuh. Di sampingku, Devan duduk tenang. Seolah tidak ada apa pun yang mengganggu dirinya, berbeda sekali denganku yang sejak tadi menahan debaran di dada. "Cleo ...." DEGDi ruang perawatan yang tenang, lampu temaram memantul lembut di dinding putih. Aroma antiseptik masih samar terasa. Cleo, yang tampak sangat letih, perlahan membuka mata. Kelopak matanya berat, tubuhnya masih lemah setelah perjuangan panjang beberapa jam sebelumnya.Napasnya teratur, meski dada masih terasa sesak oleh campuran rasa sakit dan kelegaan. Awalnya pandangannya buram, tapi perlahan-lahan fokusnya kembali.Hal pertama yang pertama dia sadari, adalah rasa nyeri sisa kontraksi yang masih tertinggal di perutnya.Cleo menggerakkan jari sedikit yang terasa kaku, dan lelah. Kemudian, dia berusaha menoleh pelan ke sisi kanan tempat tidur.Di sana bayi kecil itu terlelap di boksnya, dibungkus selimut lembut warna pastel. Pipinya kemerahan, dadanya naik turun hingga membuat hati Cleo hangat seketika. Senyuman kecil, penuh haru, pun terbit di wajahnya."Kamu sudah lahir, Nak. Akhirnya kamu di sini. Mama kuat karena kamu," batin Cleo.Dia menoleh ke sisi kiri, dan detik itu jantungnya
Di sisi lain, di dalam kamar yang sudah dihias indah dengan nuansa putih dan berbagai macam bunga, tirai tipis tergerai pelan tertiup angin dari AC. Kamar itu seharusnya menjadi ruang penuh kebahagiaan pengantin baru. Namun, yang terjadi justru sebaliknya.Chelsea berjalan mondar-mandir. Langkahnya cepat, gelisah, hampir seperti binatang yang terjebak. Kebaya untuk proses siraman sudah menempel sempurna di tubuh, tapi wajahnya pucat dan tegang. Tangannya meremas ponsel tanpa henti.Suara kabar yang dia dengar beberapa saat lalu masih terngiang jelas:“Devan tiba-tiba pergi, Neng. Katanya bawa seorang perempuan hamil yang kontraksi. Dari tadi keluarganya panik nyariin dia.”Chelsea berhenti di tengah kamar, dadanya naik turun cepat.“Perempuan hamil? Itu pasti Cleo! Apa Devan udah gila?” gumamnya, dengan suara bergetar antara marah dan cemas.Chelsea menatap cermin besar di depannya. Riasan yang dia pakai tampak sempurna, bedak, eyeshadow, dan lipstik elegannya tak berubah. Namun tidak
Bu Dina menghela napas napas panjang, dan penuh beban yang dia simpan. Wanita itu menunduk, mencoba menstabilkan emosinya sebelum menjawab.“Devan, sebenarnya Cleo sedang ada masalah rumah tangga.”Devan menatap Bu Dina lebih serius. Seketika dia perasaannya tiba-tiba berubah, antara terkejut, marah, sekaligus bingung.“Masalah apa?”Bu Dina menggigit bibir, menahan tangis yang tiba-tiba menyeruak.“Ethan dan Cleo, sudah lama tidak satu rumah.”Hening menyelimuti ruang tunggu. Devan mematung. Bu Dina melanjutkan, kini dengan mata berkaca-kaca.“Sejak beberapa bulan lalu, Cleo tinggal sendiri.”Devan mengerutkan dahi, hatinya mencelos.“Jadi, selama ini dia nggak sama Ethan?”“Ya, sekitar tiga bulan ini dia hidup terpisah dengan Ethan.”Bu Dina menatap Devan penuh luka, seolah berharap Devan mengerti sesuatu yang tidak dia ucapkan."Dia mengandung tanpa suami di sisinya. Menahan semua sendiri. Bahkan saat sakit pun dia diam. Ibu juga baru tahu dari salah seorang temannya saat Ethan men
Suara Cleo yang melengking lirih itu rupanya terdengar oleh beberapa orang yang sedang menata karpet dan dekorasi di halaman rumah. Tanpa pikir panjang, mereka pun mendekat.Bu Dina panik bukan main, wajahnya berubah merah dan pucat bergantian. Cleo berpegangan pada lengannya, tubuhnya lemas.“Bu, mau saya bantu ke rumah sakit pake mobil? Atau ambulans?”"Minta tolong antar ke rumah sakit ya." "Sebentar ya, saya pinjamkan dulu mobilnya ke pemilik rumah." Satu rasa kencang menghantam lagi, lebih kuat dari sebelumnya."Bawa ke sana dulu aja, Bu!" ujar salah seorang pemuda, sembari menunjuk ke sebuah bangku panjang.Mereka pun membantu memapah Cleo untuk duduk di tempat yang lebih nyaman. Mata Cleo memanas, bukan hanya karena rasa sakit, tapi karena malu, karena tepat di depan rumah Devan, di hari persiapan pernikahan Devan, dia harus mengalami ini.Air mata mengalir, bukan hanya karena kontraksi. Bu Dina berlutut di depannya, memegang kedua tangannya erat-erat.Sementara itu, Devan ya
Dua bulan berlalu, menyisakan jejak waktu yang cukup untuk mengubah hidup Cleo sepenuhnya.Di ruang tengah kontrakan kecil itu, yang kini tampak jauh lebih rapi dan hidup, Cleo duduk di depan meja kayu sederhana. Di hadapannya, beberapa set seserahan kosmetik, baru saja selesai dirangkai.Kotak-kotak kecil berisi skincare, parfum, lipstik, cushion, dan juga berbagai produk perawatan tubuh, berjejer indah di atas tempat anyaman rotan yang dihiasi bunga kering. Sentuhan terakhir, pita satin putih yang dia ikat perlahan. Senyum pun merekah di wajah Cleo.Tangannya, otomatis turun mengelus perutnya yang kini makin membesar. Gerakan halus si kecil di dalam sana membuat dadanya menghangat.“Anak Mama pinter banget ya nggak rewel. Sebentar lagi selesai,” bisiknya lembut, seolah bayi itu mengerti.Tak jauh dari Cleo, Bu Dina sedang duduk bersila di lantai, sibuk membungkus paket-paket untuk dikirim ke reseller. Gunungan bubble wrap, label pengiriman, dan kotak-kotak kecil memenuhi sekitarnya.
Pagi ini, sinar matahari menembus tipis gorden kamar rumah sederhana Cleo. Dia terbangun perlahan, mengusap mata sambil menarik napas panjang. Tubuhnya terasa sedikit lebih berat, efek kehamilan yang semakin jelas, tapi hatinya entah mengapa terasa tenang hari ini.Dia mengambil ponsel yang terselip di bawah bantal. Layar menyala, menampilkan beberapa notifikasi yang menumpuk.“Hmm, banyak DM,” gumamnya pelan.Dia duduk, bersandar pada headboard, lalu mulai membuka satu per satu.DM pertama:Sebuah brand kecil skincare meminta Cleo untuk melakukan review produk mereka. Cleo tersenyum tipis seraya bersyukur.DM kedua:Seseorang menawarkan barter endorse untuk perhiasan handmade.Cleo mencatatnya di memo kecil.Lalu dia membuka DM berikutnya, dan di situlah jari Cleo terhenti. Pesan dari akun baru dengan foto profil random:> “Kak, boleh pesan lip tint-nya 50 pcs? Untuk reseller. Boleh minta pricelist grosirnya?”Cleo membelalakkan mata."Lima puluh?" batinnya seraya membaca ulang. Mema







