LOGINLangit terlihat berwarna jingga keemasan, saat aku tiba di rumah. Bagiku, hari ini adalah hari terburuk yang pernah kualami.
Sepintas aku menoleh ke arah garasi, dan tak melihat mobil suamiku terparkir di sana. Ini artinya, Mas Ethan belum pulang. Aku pun bergegas melangkah masuk ke rumah. Begitu pintu rumah tertutup rapat, aku langsung menjatuhkan tubuhku ke sofa, lalu menangis. Tangisan yang mati-matian kutahan sejak berada di rumah sakit, dan di kantor. Sungguh rasanya begitu berat. Bekerja di tengah campur aduknya perasaan membuatku tak fokus. Namun, sebagai seorang budak corporate, aku bisa apa? Selain berusaha meredam gejolak emosional yang bergelayut di dada. Dengan tangan gemetar, aku meraih tas, menarik map cokelat. Map yang sejak siang tadi terasa seperti bom waktu di hidupku. Perlahan kubuka amplop itu kembali, meski aku tahu apa yang kulihat, hasilnya tak akan berubah. Mataku menelusuri tulisan dokter—hitam, tegas, dan kejam. “Azoospermia. Jumlah sperma: 0. Kualitas sperma tidak memungkinkan untuk membuahi ovum.” Aku terdiam. Tubuhku kaku. Dunia seakan berhenti. Hanya kalimat itu yang berulang-ulang bergema di kepalaku sedari tadi. Selama menyalahkan diriku sendiri setiap kali orang bertanya, “Kapan punya anak?” Aku berpikir mungkin akulah yang bermasalah, mungkin tubuhku yang gagal. Akan tetapi, kenyataannya, bukan aku. Namun, Ethan, suamiku. Lelaki yang begitu kucintai. “Mas Ethan .…” Suaraku pecah, teringat wajahnya, ketenangannya yang selalu memberi semangat padaku sejak kami duduk di bangku kuliah jika aku menghadapi kesulitan. Belum lagi, jika aku mengeluh karena tak kunjung hamil. Dia yang selalu optimis. Bahkan, kata-katanya masih terngiang jelas, "Kita pasti bisa, Sayang. Aku yakin kita akan punya anak suatu hari nanti.” Lantas, bagaimana caranya aku mengatakan kenyataan pahit ini? Bagaimana aku harus mengucapkan kalimat yang bahkan aku sendiri tak sanggup menanggungnya. “Tuhan, kenapa harus dia?" Kenapa harus kita .…” Air mataku terus mengalir, membasahi map cokelat yang kini menjadi momok untukku. Beberapa saat kemudian, akhirnya aku bangkit dari sofa setelah entah berapa lama hanya duduk dengan map itu di pangkuanku. Wajahku basah oleh air mata, terlihat lengket, dan sayu. Mata ini memerah, dan terasa perih. Aku pun sadar, aku tidak boleh terlihat seperti ini ketika Mas Ethan pulang nanti. Dengan langkah pelan, aku berjalan ke kamar, lalu bergegas menuju kamar mandi. Kubuka keran, membiarkan air dingin dari shower mengalir deras. Aku melepas pakaian, lalu berdiri di bawah tetes demi tetes air yang jatuh, dan membasuh seluruh tubuh. Kubasuh wajah berulang kali. Wajahku harus benar-benar terlihat segar, dan tidak boleh ada jejak air mata. Aku harus terlihat seperti Cleo yang biasanya, istri yang selalu bersikap ceria di depan. Sebelum selesai mandi, kupijat wajahku perlahan, berusaha mengusir sembab di sekitar mata. Lalu, setelah terasa cukup, aku menutup keran dan membungkus tubuh dengan bathrobe. Di depan cermin, aku menatap pantulan wajah yang masih terlihat sayu. Aku pun mengoleskan pelembap, lalu memoles bedak tipis. Bibirku kutorehkan sedikit lipstik warna natural agar tidak terlihat pucat. Aku mencoba tersenyum kecil, senyum yang terasa dipaksakan, tapi kupaksa terlihat tulus. Ethan tidak boleh tahu apa yang kubawa pulang hari ini. Setidaknya, belum untuk saat ini. Setelah mengganti bathrobe dengan dress santai berwarna lembut, aku turun ke dapur. Aku akan memasak makanan kesukaannya, agar bisa mengalihkan pikiran, dan mungkin membuatku lebih siap menyambutnya dengan senyuman saat dia pulang. Satu jam kemudian, aroma masakan masih memenuhi rumah saat suara pintu depan terbuka. Aku buru-buru melangkah ke ruang tamu, dan Mas Ethan sudah berdiri di ambang pintu. Wajahnya tampak lelah, tapi kali ini ada sesuatu yang berbeda. Wajahnya suram, tatapannya kosong, seolah beban berat baru saja menimpa pundaknya. “Mas? Kamu kenapa? Ada masalah di kafe?” Dia tidak langsung menjawab. Tangannya memijit pelan pelipis, lalu melepaskan napas berat. “Aku capek banget." Aku mengulurkan tangan, menggenggam jemarinya yang dingin. “Mas, ada apa? Kamu bikin aku khawatir.” Mas Ethan menatapku, matanya memerah seperti menahan emosi. “Aku dibohongi, investasiku gagal. Dia bawa kabur uangku. Aku salah terlalu gegabah. Padahal ada uang cafe yang aku gunakan untuk investasi tersebut. Aku malah bikin semuanya berantakan.” Aku menatapnya lama, hatiku ikut terhimpit melihat suamiku seperti ini. Ada dorongan kuat untuk memeluknya, menenangkannya, meski di hatiku sendiri masih tersimpan luka. Aku pun menariknya perlahan ke dalam pelukanku. “Mas, dengar aku, semua orang bisa jatuh.” Dia akhirnya balas memelukku erat. “Aku bener-bener nggak tahu harus gimana, Cleo. Aku cuma, takut mengecewakan kamu, dan semua orang.” Aku menggigit bibir, menahan perih. Kalau saja dia tahu, akulah yang sebenarnya menyimpan kenyataan yang bisa lebih melukainya. “Kamu nggak pernah mengecewakan aku, Mas. Selama kamu ada di sini, itu udah cukup buatku.”Di ruang perawatan yang tenang, lampu temaram memantul lembut di dinding putih. Aroma antiseptik masih samar terasa. Cleo, yang tampak sangat letih, perlahan membuka mata. Kelopak matanya berat, tubuhnya masih lemah setelah perjuangan panjang beberapa jam sebelumnya.Napasnya teratur, meski dada masih terasa sesak oleh campuran rasa sakit dan kelegaan. Awalnya pandangannya buram, tapi perlahan-lahan fokusnya kembali.Hal pertama yang pertama dia sadari, adalah rasa nyeri sisa kontraksi yang masih tertinggal di perutnya.Cleo menggerakkan jari sedikit yang terasa kaku, dan lelah. Kemudian, dia berusaha menoleh pelan ke sisi kanan tempat tidur.Di sana bayi kecil itu terlelap di boksnya, dibungkus selimut lembut warna pastel. Pipinya kemerahan, dadanya naik turun hingga membuat hati Cleo hangat seketika. Senyuman kecil, penuh haru, pun terbit di wajahnya."Kamu sudah lahir, Nak. Akhirnya kamu di sini. Mama kuat karena kamu," batin Cleo.Dia menoleh ke sisi kiri, dan detik itu jantungnya
Di sisi lain, di dalam kamar yang sudah dihias indah dengan nuansa putih dan berbagai macam bunga, tirai tipis tergerai pelan tertiup angin dari AC. Kamar itu seharusnya menjadi ruang penuh kebahagiaan pengantin baru. Namun, yang terjadi justru sebaliknya.Chelsea berjalan mondar-mandir. Langkahnya cepat, gelisah, hampir seperti binatang yang terjebak. Kebaya untuk proses siraman sudah menempel sempurna di tubuh, tapi wajahnya pucat dan tegang. Tangannya meremas ponsel tanpa henti.Suara kabar yang dia dengar beberapa saat lalu masih terngiang jelas:“Devan tiba-tiba pergi, Neng. Katanya bawa seorang perempuan hamil yang kontraksi. Dari tadi keluarganya panik nyariin dia.”Chelsea berhenti di tengah kamar, dadanya naik turun cepat.“Perempuan hamil? Itu pasti Cleo! Apa Devan udah gila?” gumamnya, dengan suara bergetar antara marah dan cemas.Chelsea menatap cermin besar di depannya. Riasan yang dia pakai tampak sempurna, bedak, eyeshadow, dan lipstik elegannya tak berubah. Namun tidak
Bu Dina menghela napas napas panjang, dan penuh beban yang dia simpan. Wanita itu menunduk, mencoba menstabilkan emosinya sebelum menjawab.“Devan, sebenarnya Cleo sedang ada masalah rumah tangga.”Devan menatap Bu Dina lebih serius. Seketika dia perasaannya tiba-tiba berubah, antara terkejut, marah, sekaligus bingung.“Masalah apa?”Bu Dina menggigit bibir, menahan tangis yang tiba-tiba menyeruak.“Ethan dan Cleo, sudah lama tidak satu rumah.”Hening menyelimuti ruang tunggu. Devan mematung. Bu Dina melanjutkan, kini dengan mata berkaca-kaca.“Sejak beberapa bulan lalu, Cleo tinggal sendiri.”Devan mengerutkan dahi, hatinya mencelos.“Jadi, selama ini dia nggak sama Ethan?”“Ya, sekitar tiga bulan ini dia hidup terpisah dengan Ethan.”Bu Dina menatap Devan penuh luka, seolah berharap Devan mengerti sesuatu yang tidak dia ucapkan."Dia mengandung tanpa suami di sisinya. Menahan semua sendiri. Bahkan saat sakit pun dia diam. Ibu juga baru tahu dari salah seorang temannya saat Ethan men
Suara Cleo yang melengking lirih itu rupanya terdengar oleh beberapa orang yang sedang menata karpet dan dekorasi di halaman rumah. Tanpa pikir panjang, mereka pun mendekat.Bu Dina panik bukan main, wajahnya berubah merah dan pucat bergantian. Cleo berpegangan pada lengannya, tubuhnya lemas.“Bu, mau saya bantu ke rumah sakit pake mobil? Atau ambulans?”"Minta tolong antar ke rumah sakit ya." "Sebentar ya, saya pinjamkan dulu mobilnya ke pemilik rumah." Satu rasa kencang menghantam lagi, lebih kuat dari sebelumnya."Bawa ke sana dulu aja, Bu!" ujar salah seorang pemuda, sembari menunjuk ke sebuah bangku panjang.Mereka pun membantu memapah Cleo untuk duduk di tempat yang lebih nyaman. Mata Cleo memanas, bukan hanya karena rasa sakit, tapi karena malu, karena tepat di depan rumah Devan, di hari persiapan pernikahan Devan, dia harus mengalami ini.Air mata mengalir, bukan hanya karena kontraksi. Bu Dina berlutut di depannya, memegang kedua tangannya erat-erat.Sementara itu, Devan ya
Dua bulan berlalu, menyisakan jejak waktu yang cukup untuk mengubah hidup Cleo sepenuhnya.Di ruang tengah kontrakan kecil itu, yang kini tampak jauh lebih rapi dan hidup, Cleo duduk di depan meja kayu sederhana. Di hadapannya, beberapa set seserahan kosmetik, baru saja selesai dirangkai.Kotak-kotak kecil berisi skincare, parfum, lipstik, cushion, dan juga berbagai produk perawatan tubuh, berjejer indah di atas tempat anyaman rotan yang dihiasi bunga kering. Sentuhan terakhir, pita satin putih yang dia ikat perlahan. Senyum pun merekah di wajah Cleo.Tangannya, otomatis turun mengelus perutnya yang kini makin membesar. Gerakan halus si kecil di dalam sana membuat dadanya menghangat.“Anak Mama pinter banget ya nggak rewel. Sebentar lagi selesai,” bisiknya lembut, seolah bayi itu mengerti.Tak jauh dari Cleo, Bu Dina sedang duduk bersila di lantai, sibuk membungkus paket-paket untuk dikirim ke reseller. Gunungan bubble wrap, label pengiriman, dan kotak-kotak kecil memenuhi sekitarnya.
Pagi ini, sinar matahari menembus tipis gorden kamar rumah sederhana Cleo. Dia terbangun perlahan, mengusap mata sambil menarik napas panjang. Tubuhnya terasa sedikit lebih berat, efek kehamilan yang semakin jelas, tapi hatinya entah mengapa terasa tenang hari ini.Dia mengambil ponsel yang terselip di bawah bantal. Layar menyala, menampilkan beberapa notifikasi yang menumpuk.“Hmm, banyak DM,” gumamnya pelan.Dia duduk, bersandar pada headboard, lalu mulai membuka satu per satu.DM pertama:Sebuah brand kecil skincare meminta Cleo untuk melakukan review produk mereka. Cleo tersenyum tipis seraya bersyukur.DM kedua:Seseorang menawarkan barter endorse untuk perhiasan handmade.Cleo mencatatnya di memo kecil.Lalu dia membuka DM berikutnya, dan di situlah jari Cleo terhenti. Pesan dari akun baru dengan foto profil random:> “Kak, boleh pesan lip tint-nya 50 pcs? Untuk reseller. Boleh minta pricelist grosirnya?”Cleo membelalakkan mata."Lima puluh?" batinnya seraya membaca ulang. Mema







