ログイン"Oh gitu.""Iya, aku emang sengaja nggak cerita ke kamu kalo ngundang Pak Devan."Aku hanya mengangguk, sembari tersenyum kecil, mencoba tetap tenang, tapi jantungku seperti ingin meloncat keluar dari dada.Devan dan Mas Ethan, kini tampak cukup akrab membicarakan detail proyek, tentang konsep, desain, dan rencana ekspansi. Sementara aku, hanya menjadi pendengar yang kaku di antara mereka.Sesekali tatapan Devan melirikku singkat, seolah ingin memastikan aku baik-baik saja, tapi justru itu membuatku makin gelisah. Aku tak tahu harus memandang ke mana.Kupaksakan senyum kecil, pura-pura ikut tertarik dengan pembicaraan mereka, padahal pikiranku sudah berantakan. Lalu tiba-tiba suara tawa ringan memecah suasana.“Oh, ternyata kalian di sini!” Suara itu lembut tapi tajam di telingaku, Siska. Dia mendekat dengan langkah percaya diri, lalu berdiri di antara kami, menatap Mas Ethan dengan senyum hangat.“Aku sempat nyari kamu, Ethan. Tamu yang lain, lagi nunggu di area VIP.”Mas Ethan meng
Aku menatap Siska, mencoba menafsirkan maksud ucapannya barusan.“Mbak Siska tadi bilang apa? Apa maksudnya, ide-ide ...?” tanyaku pelan, tapi ketika aku belum sempat menyelesaikan kalimat, Mas Ethan sudah menepuk lembut pundakku.“Sayang, jangan dipikirin. Itu cuma becanda. Sekarang kita ke tengah, ya? Acara pembukaan sebentar lagi mulai.”Nada suara Mas Ethan terdengar lembut, tapi aku merasa seperti ada sesuatu yang dia sembunyikan. Aku hanya mengangguk, menelan rasa penasaran yang mulai tumbuh di dadaku.Siska masih berdiri di tempatnya, menatap kami berjalan ke arah tengah kafe. Tatapannya terasa menusuk punggungku, seperti ada sesuatu, tapi sengaja disembunyikan di balik senyumnya yang terlalu tenang.Aku menggenggam tangan Mas Ethan lebih erat, mencoba menenangkan diri. Sementara itu, musik lembut mengalun dari panggung kecil di tengah ruangan, memantul di dinding kaca yang memamerkan pemandangan hijau perbukitan puncak. Aroma kopi baru diseduh berpadu dengan wangi kayu dari i
“Devan, kamu harus pulang secepatnya. Kalau Ethan tahu kamu di sini, bisa habis kita.”Dia tidak langsung menjawab. Tatapannya dalam, seolah berusaha membaca isi pikiranku yang sudah kusimpan rapat-rapat. Bibirnya sedikit bergerak, membentuk senyum samar yang sulit kutafsirkan.“Pulang?” gumamnya lirih, setengah berbisik di antara uap hangat.Dia diam lagi. Hanya pandangan itu yang membuatku ingin tetap tinggal, tapi juga ingin kabur sejauh mungkin. Aku sungguh membenci situasi ini. Beberapa saat kemudian, aku akhirnya berdiri. “Aku pergi dulu. Kalau kamu bener-bener sayang aku, tolong pulang.”Devan menatapku dari dalam kolam, tidak menahan, tapi juga tidak melepaskan pandangan itu. Tatapannya ambigu.Aku kemudian melangkah keluar dari bilik air hangat itu. Setiap langkah terasa berat, tapi aku tahu, jika aku menoleh lagi, aku tak akan punya kekuatan untuk pergi.Aku berjalan dengan segenap gundah di dada. Lorong demi lorong, kutapak dengan begitu berat.Begitu aku membuka pintu kam
Satu minggu berlalu begitu cepat. Tak terasa besok adalah hari pembukaan cafe baru milik Mas Ethan di Puncak.Pagi ini, aku sudah memutuskan untuk ijin dari kantor, selama tiga hari, untuk menghadiri acara pembukaan cafe milik suamiku.Kumasukkan beberapa pakaian hangat ke dalam tas kecil, lalu menuruni tangga dengan langkah pelan, dan di bawah suamiku sudah menunggu.Perjalanan menuju Puncak kali ini terasa berbeda. Udara terasa cukup sejuk, jendela mobil sedikit terbuka, dan aroma kopi dari termos kecil yang kubawa terasa menenangkan. Mas Ethan menyetir di sebelahku, tampak lebih tenang daripada biasanya. Mungkin karena semua persiapan cafe-nya sudah hampir selesai, dan besok tinggal pembukaan resmi.Aku menatap ke luar jendela, melihat kabut tipis menggantung di antara pepohonan pinus. Mobil kami melaju perlahan di jalan menanjak yang berliku. Sesekali Mas Ethan menggenggam tanganku di sela percakapan ringan tentang desain interior cafe, dan kemungkinan ekspansi ke kota lain.Aku
Tak terasa sudah dua bulan berlalu, dan selama dua bulan ini aku menjalani hubungan terlarang dengan Devan.Aku terbangun dengan dada yang terasa sesak. Sinar matahari yang menembus tirai tak memberi kehangatan apa pun, justru terasa menyilaukan.Tubuhku masih di samping Mas Ethan, tapi rasanya, aku hidup di dua dunia yang berbeda.Aku menatap langit-langit kamar, mencoba mengatur napas yang terasa berat. Sudah sebulan aku menjalani kebohongan ini, berpura-pura menjadi istri setia di rumah, sementara di balik layar, aku terus berjumpa dengan Devan. Entah sudah berapa kali, dan berapa banyak kami melakukan dosa. Rasanya tak terhitung.Hubungan kami makin rumit. Dia bukan lagi sekadar masa lalu yang kutemui di kantor, tapi kini menjadi alat untukku keluar dari masalah.Meskipun tak dapat dipungkiri, jika setiap kali aku bersamanya, aku merasa hidup. Namun, setiap kali pulang, rasa bersalah itu menamparku tanpa ampun.Apalagi ketika Mas Ethan tersenyum, menatapku dengan lembut, seolah ak
Aku tersenyum kecil, berusaha agar tidak terlihat gugup. “Iya, Ma. Tadi kehujanan pas dari proyek, jadi terpaksa mandi di kantor sebelum pulang.”Mama Ethan mengerutkan kening. “Oh, pantesan, bau sabunnya beda, bukan yang biasa kalian pakai di rumah.”Jantungku berdegup lebih cepat. Aku menunduk sedikit, pura-pura merapikan tas.“Sabun kantor Ma, mungkin aromanya memang lebih kuat.”Mama hanya mengangguk pelan, tapi tatapannya terasa menelisik. Aku segera membuka pintu menunduk sopan. “Ayo, Ma, masuk. Cuacanya lagi dingin. Kelamaan di luar, takutnya masuk angin.”Beliau berjalan lebih dulu, sementara aku menarik napas panjang, menahan gugup yang mulai naik ke tenggorokan. Aroma sabun dari tubuhku tiba-tiba terasa begitu mencolok, seakan seluruh ruangan bisa mencium rahasia yang baru saja kubawa pulang.Detik berikutnya, kami sudah duduk di ruang tamu. Mama meletakkan tas tangannya di atas meja, lalu menatapku dengan lembut, tapi sorot matanya membuatku gelisah."Mama mau minum apa?""







