Aku terdiam beberapa saat setelah kata-kata itu keluar dari mulut Devan. Angin dari arah danau tiba-tiba terasa lebih dingin dari sebelumnya. “Cleo, kamu nggak harus terus bertahan sama dia kalau kamu nggak bahagia.”Aku memejamkan mata sejenak. Suara itu menusuk, terlalu jujur untuk kuhadapi.“Devan, jangan bahas itu dulu,” kataku pelan, mencoba terdengar tenang.“Tapi aku serius.” Dia bergeser mendekat, tatapannya tajam, penuh keyakinan. Aku menunduk. Jemariku menggenggam kain jaketku erat-erat, berusaha menahan gejolak di dada. Aku ingin marah, tapi aku juga tahu aku tak sepenuhnya punya alasan untuk menyangkal.“Devan, kita harusnya nggak bahas ini dulu.”Aku lalu berdiri, pura-pura tersenyum padanya. “A-aku mandi dulu, ya. Badanku lengket banget.”Devan hendak menahan, tapi aku cepat-cepat mengambil handuk kecil dari tas. “Aku cuma mau mandi dulu, Setelah itu kita lanjut ngobrol lagi.”Dia akhirnya mengangguk pelan, meski aku bisa melihat kekecewaan di wajahnya.Aku melangkah
Aku tak tahu ke mana Devan membawaku. Mobil yang kami tumpangi terus melaju menembus jalanan, memasuki tol, dan keluar dari ibu kota.Jalanan itu, menanjak, berkelok, dan mulai diselimuti udara dingin. Untungnya di dalam mobil sudah ada beberapa pakaian hangat yang Devan persiapkan untukku, semuanya baru. Mungkin, Devan menyuruh temannya mengantarkan pakaian itu saat aku mandi. Ya, mungkin, karena semua ini terasa penuh kejutan yang tak pernah kuduga.Padahal, aku hanya ingin menggodanya, untuk ego-ku sendiri. Namun, aku tak menyangka Devan akan berbuat sejauh ini.Ada bimbang yang merayap, rasanya aku begitu jahat memanfaatkannya. Namun ... ah, jika dipikirkan rasanya begitu menyesakkan dada. Aku pun mencoba rileks, menghalau semua kegundahan. Beberapa kali aku menatap ke luar jendela, menyaksikan pemandangan pepohonan hijau yang semakin rapat dan kabut tipis yang perlahan turun.“Sebentar lagi sampai,” katanya, tanpa menoleh. Nada suaranya ringan, tapi penuh misteri.Ketika mobil b
"Jangan mancing-mancing lagi deh," desahku, sembari memejamkan mata.Mulutku menolak, tapi tubuh ini terus merespon sentuhannya. Kami kemudian berciuman, dengan tubuh yang berdempetan. Aku pun merasakan sesuatu yang mengeras di bawah sana. Spontan aku pun mengenggamnya. Gerakan tanganku pada benda itu, seketika membuat Devan melepaskan ciumannya, dan mengeram nikmat.Detik berikutnya, Devan menarik tubuhku, hingga membuatku berdiri membelakanginya. Desahan demi desahan terus keluar dari mulutku ketika Devan menciumi tengkuk dan punggungku sembari meremas kedua gunung kembarku.Teriakkan demi teriakkan pun sebuah lolos begitu saja dari mulutku, saat Devan menyatukan tubuh kami dari arah belakang. Aku sontak memejamkan mata, menikmati pergerakan Devan yang mulai menghujam dengan begitu keras. Tubuhku menegang nikmat dan menggelinjing hebat merasakan hentakan demi hentakan dari Devan yang terasa begitu luar biasa. Kini keringat mulai membanjiri kedua tubuh polos kami, seiring dengan sua
Darahku seperti berhenti mengalir, melihat panggilan video call itu.Aku menatap layar beberapa detik, sebelum refleks menoleh ke arah Devan. Dia masih duduk di tepi tempat tidur, menatapku dengan wajah tenang.“Jawab, kalau kamu nggak angkat, dia justru curiga.”Tanganku gemetar. Aku menarik napas panjang, sebelum menekan tombol hijau, lalu cepat-cepat memalingkan kamera ke arah tempat tidur, agar latar apartemen ini tak terlihat. Semoga saja, dia tidak terlalu memperhatikan warna spreinya.“Halo, Mas.”Suaraku terdengar serak, canggung. Mas Ethan tersenyum kecil di layar, wajahnya terlihat lelah tapi tetap hangat.“Kamu baru bangun ya? Mukanya masih bantal banget.”Aku tertawa gugup, berusaha menutupi kegelisahan. “Iya, agak capek, makanya aku nggak langsung beres-beres, masih di atas kasur. Apalagi ini weekend”Sedangkan Devan berdiri perlahan, mengambil piring-piring kosong dari nampan dan berjalan ke dapur dengan langkah senyap.“Lagi di mana sih?” tanya Mas Ethan tiba-tiba.Jant
Devan terus menciumi tubuhku, sentuhannya semakin berani dan tak terkendali. Dia menjelajahi setiap inci kulit dengan bibir dan lidahnya, memberikan perhatian khusus pada area-area sensitif yang membuatku menggeliat tak sabar.Aku memejamkan mata, menikmati setiap sensasi yang menjalar. Aku membiarkan Devan memimpin, sepenuhnya menyerahkan diri pada gairah yang membara. Tanganku mencengkeram sprei dengan erat, tubuhku melengkung saat Devan memberikan ciuman yang lebih dalam dan intens."Oh, Devan."Aku mendesah lirih dengan suara nyaris hilang di antara deru napas yang semakin cepat, saat Devan memainkan kedua gunung kembarku, mengecupnya satu per satu, lalu memainkan lidah kasarnya dengan begitu bergairah."Di situ, jangan berhenti di situ. Enak banget."Devan mengangkat wajahnya, menatapku dengan mata yang berkilat penuh hasrat. "Aku tahu apa yang kamu inginkan, Sayang," bisiknya serak, lalu kembali menciumiku, memberikan perhatian khusus pada titik-titik yang membuat tubuhku berget
"Hah? Nginep di sini?"“Udah malam, hujan juga masih turun. Kamu capek, kaki kamu juga masih sakit."Nada suaranya lembut, tapi ada ketegasan yang sulit kutolak. Lebih tepatnya, bagiku ini adalah kesempatan.“Baiklah," jawabku."Aku siapin kamarnya, ya."Tanpa menunggu jawabanku, Devan pun masuk ke dalam kamar. Tak berapa, tepatnya setelah Devan membereskan kamar, suara bel apartemen berbunyi.Devan berjalan ke pintu, dan seorang kurir berdiri di sana, membawa dua kantong paper bag besar.“Ini pesanan Anda, Pak,” katanya singkat.Devan menerima kantong itu, menutup pintu, lalu meletakkannya di atas meja makan.“Apa ini?” tanyaku, sedikit heran.“Cuma beberapa barang biar kamu nyaman di sini,” jawabnya tenang.Dia mengeluarkan isinya satu per satu, setelan tidur berbahan halus, cardigan hangat, pakaian santai, dan juga casual."Ini buat kamu, tadi saat baru turun dari mobil, aku sempet telepon temenku yang punya butik buat kirim beberapa pakaian cewek. Kebetulan, ukuran badannya sama k