“Ooh… itu. Kemarin pas keluar dari kampus, aku tuh nggak sengaja nyerempet si Vikram. Terus, ponsel miliknya jatuh dan retak. Aku kabur. Padahal aku udah ngebut, kupikir dia nggak bakalan bisa mengejarku. Nggak nyangka dia malah mengejarku sampai rumah. Dan yang lebih aneh lagi, dia bisa tahu namaku. Misterius banget tuh orang.” Runa tampak berpikir.
“Sudah! Jangan kelamaan. Ayo cepat keluar!” Mulan menarik lengan Viza keluar kamar. “Jangan lupa, kasih tau nama lengkapmu ke Vikram supaya dia bisa menyebutkan namamu di ijab qabul! Viza Shanum Azalia binti Johan Al Kahfi.” “Johan Al Kahfi? Bukankah nama bapak Johan Ambarawa?” “Sudah, jangan kebanyakan protes. Johan Ambarawa itu cuma nama ganti saja, aslinya Johan Al Kahfi.” Viza malas berdebat. Ibunya tentu jauh lebih mengerti. Wajah Viza menunduk sepanjang berjalan menuju ruang tamu. Hampir tak ada ekspresi, bahkan kesedihan pun tak tampak lagi, air mata juga tak ada, lebih seperti sudah jengah dan kebal atas semua lelah yang menimbun. Yang lebih menyakitkan, kedua orang tuanya rela menumbalkan dirinya demi Runa supaya tidak diseret ke penjara oleh Vikram. Sejak dulu, dia terbiasa diperlakukan dengan tidak adil. Adiknya dibiayai oleh kedua orang tuanya sekolah ke perguruan tinggi, sedangkan Viza masih harus bekerja untuk memenuhi biaya kuliahnya, untung saja dia cerdas hingga terbantu oleh bea siswa. Runa sekolah di kampus swasta elit yang menelan biaya tak sedikit, sedangkan Viza sekolah di kampus negeri. Pulang kuliah, ia masih harus bekerja di warung makan bersmaa beberapa orang pelayan lainnya. Tepat saat itu, Vikram yang baru datang pun melangkah masuk, sendirian saja tanpa siapa pun mendampinginya. Tatapannya langsung tertuju ke wajah Viza yang menunduk. Gadis itu cantik sekali. Meski tanpa sentuhan make up, kecantikannya yang natural justru mengalahkan semua orang yang ada di sana, termasuk Runa. Keluarganya Viza sengaja tidak mengundang siapa pun termasuk tetangga karena tak mau mengeluarkan sepeser pun uang. Tak ada kenduri atau sejenisnya, Mulan hanya mengundang pak kades dan dua orang untuk saksi. Irit biaya. Namun, di luar prediksi, para tetangga justru bermunculan, memenuhi setiap sudut rumah. Bahkan di luar pun mereka berjubel. Intinya, mereka sangat penasaran dengan pernikahan si jagoan yang kemarin sempat menghebohkan kompleks. Bahkan mulut para ibu-ibu komplek seharian kemarin asik membicarakan Vikram. Perilakunya yang terlihat berandalan, namun kehebatannya malah dikagumi dan namanya menjadi topik hangat yang terus dibicarakan. Vikram menyusul duduk di sisi Viza yang sudah lebih dulu duduk. Ia kembali menoleh pada Viza. Gadis itu bergeming. Sedikit pun tak terlukis senyuman di wajah itu. Viza seperti sudah lupa bagaimana caranya tersenyum, terlalu banyak timbunan luka dan kesedihan. “Terima kasih sudah mau menjadi istriku!” bisik Vikram. Suara itu sangat lembut. Viza langsung menoleh untuk memastikan apakah yang sedang duduk di sisinya ini benar Vikram, pria yang disebut berandal dan jagoan kemarin? Pandangan Viza bertemu dengan sepasang mata gelap. Benar, ini adalah Vikram. Tapi kenapa lembut sekali? Tidak ada kegarangan, tidak ada kekasaran, tidak ada amarah. Wajah itu sangat teduh. Tatapannya pun hangat. Kok Viza jadi nyaman ya? “Jangan takut! Aku akan menjagamu!” sambung Vikram seolah sedang menenangkan Viza yang gundah. Bagaimana Viza tidak gundah saat tiba-tiba diajak nikah oleh berandal tak jelas begini? Namun, pandangan tentang berandal tak jelas perlahan berubah. Sikap Vikram berbanding terbalik dari berandalan, justru malah sopan dan memuliakan wanita. Casing boleh sangar, namun isinya jauh berbeda. Meski demikian, tetap saja Viza merasa takut pada lelaki asing ini. Bagaimana bisa ia akan menghabiskan waktu pada lelaki asing yang kelihatan urakan ini? Mau dibawa kemana hidupnya nanti? “Bagaimana, Nak Vikram? Sudah siap?” Wali hakim membuyarkan bayangan Viza. “Sudah,” jawab Vikram penuh semangat. Ya ampun, sesemangat itu lelaki ini akan menikah. Sedangkan Viza? “Saya wali hakim yang akan menikahkanmu. Kalau begitu kita bisa mulai.” Pandangan Vikram sekilas mengedar ke sekitar. Ia tidak mendapati wajah Johan. “Kenapa bukan bapaknya Viza yang menikahkanku?” “Beliau sedang di puskesmas karena sakit. Makanya Bu Mulan meminta supaya saya yang menjadi wali hakim untuk menikahkan kalian,” sahut sang wali hakim. “Suamiku tidak sadarkan diri, semalam jatuh dari tangga. Sudah, lanjutkan saja! Jangan kelamaan!” sergah Mulan sinis. Jatuh dari tangga? Kenapa Viza tidak tahu apa-apa soal itu? Jika ayahnya cedera hebat bahkan sampai tak sadarkan diri, seharusnya seisi rumah heboh. Mulan pun pasti tak henti menangis. Tapi situasi seperti biasa saja. Bahkan tak seorang pun yang menjaga Johan di rumah sakit. Semuanya berkumpul di rumah. Ini janggal sekali. Bersambung“Rejeki itu Allah hadirkan nggak hanya melalui tangan Vikram saja, ada banyak cara untuk kamu bisa bertahan hidup tanpa melibatkan Vikram maupun Viza,” sahut Fairuz. “Aku hanya tidak ingin berurusan dengan keluarga Bu Mulan lagi. Hubungan yang tidak baik maka lebih baik disudahi atau dijauhi, ini sama dengan menjauhi mudharat. Jadi inilah keputusanku!” Vikram lalu melenggang pergi. “Mbak Viza, kamu nggak kasian sama Bapak? Bapak lagi sakit. Ibu dan bapak nggak punya rumah hingga menumpang di rumahnya Mas Leo. Kami bahkan sekarang nggak punya penghasilan. Aku pun sedang hamil. Tolong bantu kami!” Runa memohon pada Viza, takut hidupnya akana sengsara jika tanpa pendapatan. “Mbak Viza diam-diam bisa kirimin aku uang, tolonglah Mbak. Bantu bapak berobat juga.” “Aku taat sama suamiku. Aku nggak berani berkhianat di belakangnya,” sahut Viza. “Mbak, tapi keadaan kami benar-benar down.” Wajah Runa memelas. “Kamu punya suami yang sempurna secara fisik, dia juga sehat walafiat. Insyaa
Viza ikutan membaca tulisan itu. (Teruntuk Viza tersayang, Saat kamu membaca tulisan ini, mungkin aku sudah tiada. Atau mungkin aku telah celaka dan dalam keadaan kritis. Atau bisa saja baik-baik saja. Kemungkinan buruk itu bisa saja terjadi padaku saat aku menabrak suamimu, biarkan dia m4ti. Aku pun tak masalah jka harus meregang nyaw4 untuk kematirn Vikram. Jika bukan aku yang memilikimu, maka orang lain pun tidak boleh. Sudah sangat lama aku rencanakan kematiannya, biarlah aku ikut m4ti jika memang dikehendaki m4ti. Viza, aku sudah sangat lama memendam rasa cintaku kepadamu. Bagaimana mungkin aku merelakanmu dimiliki lelaki lain? Hidupmu hanyalah untukku. Itulah cita-citaku selama ini. Surat kaleng itu kiriman dariku. Tujuanku hanya satu, memberikan kebahagiaan untukmu. Leo telah memberikan informasi akurat untukku bisa menuliskan surat itu. Tentu saja dengan bertukar keuntungan. Aku ijinkan Leo menikahi wanita yang diam-diam dia cintai, yaitu Runa. Aku pun mendapatkan keuntun
“Mas Vikram!” Viza menghambur dan memeluk erat suaminya. Tangisnya kembali pecah.Tubuhnya gemetar hebat dalam pelukan sang suami. Ia tak menyangka masih bisa bertemu dengan Vikram setelah mengira sang suami tak akan pernah kembali lagi.Dan kini, Viza bahkan masih bisa memegang suaminya, memeluk pria itu dengan erat.Tak lama Viza merasakan elusan di punggungnya. Deraian air mata Viza semakin deras merasakan elusan lembut itu. Artinya sang suami masih mau menerimanya dengan baik.“Mas, kupikir kita nggak akan ketemu lagi. Kupikir kamu pergi meninggalkan aku. Kamu udah janji mau menjagaku. Aku nggak mau kamu pergi. Kamu harus tepati janjiku.” Viza sesenggukan.“Tidak. Aku tidak pergi. Aku di sini,” lembut Vikram.Hati Viza basah mendengar suara lembut itu.“Mas Vikram masih sayang sama aku kan?” tanya Viza.Tak menjawab, Vikram malah mengerang. “Aaargggkh….”Viza mengernyit. Ia melepas pelukan dan memundurkan wajah, menatap sang suami bingung. “Sakit? Mana yang sakit?”“Punggung dan
Viza memegang kepalanya, jantungnya berdetak sangat kencang. Takut sekali. Kemungkinan buruk itu sudah bertengger di kepala Viza. Tangannya gemetar saat menggeser tombol hijau. “Ha haloo…” Suara Viza lirih. “Nyonya, sebaiknya Anda segera ke rumah sakit sekarang. Maaf, kami sudah melakukan yang terbaik, tapi….” Mendengar kalimat yang diucapkan dokter, Viza sudah tahu sambungannya. Dia menjauhkan hp dari telinga. Menurunkan benda pipih itu ke bawah. Ia tak perlu mendengar sambungan kalimat dari dokter. Dengan langkah gemetar, Viza menuju ke kamar yang dituju. Tubuhnya mendadak terasa dingin. Ia menerobos masuk ke kamar sesaat setelah mendorong pintu. Suster menutup bagian wajah pasien dengan kain. Dokter melepas handscoon dan bersiap hendak keluar kamar. Dokter menunjuk Viza dan berkata, “Anda…” “Istri korban,” lirih Viza menatap sayu. “Maaf, kami sudah melakukan semaksimal mungkin, tapi sudah terlalu jauh dari kata selamat. Nyawa suami Anda tidak bisa diselamatkan. Tuhan b
“Semua kesalahan masih bisa dimaafkan.” Fairuz berusaha menenangkan putrinya. “Vikram memang kecewa berat sama kamu, tapi pasti dia akan kembali kepadamu. Jangan khawatir ya. Ibu tahu kok bagaimana Vikram. Dia anak yang baik.” “Bagaimana kalau Mas Vikram membatalkan pesta pernikahan kami? Dia pasti nggak peduli meskipun uang milyaran yang dia gunakan untuk pesta pernikahan terbuang sia-sia.” “Nanti bisa kamu bicarakan baik-baik dengannya. Kalau hati Vikram sudah lega, dia pasti bisa diajak bicara secara dewasa kok. Ini hanya karena dia lagi emosi aja.” Viza menghela napas. “Sebenarnya, yang paling aku takutkan itu satu hal, bagaimana kalau rasa sayangnya ke aku jadi hilang gara-gara ini?” “Nggak semudah itu.” Fairuz mengusap punggung tangan putrinya dengan senyum. Perkataan Fairuz berhasil mengurangi sedikit kecemasan Viza. Meski itu hanyalah kata-kata sekedar menghibur saja, atau memang sungguhan pendapat Fairuz benar, yang jelas Viza merasa mendapat support. Brrrt brrrrt…
Cekrek cekrek. Kilatan kamera memotret wajahnya dari berbagai sisi dan berbagai gaya pula. Bibir dibikin manyun, dibikin tersenyum, jari membingkai wajah, dan berbagai macam gaya. Viza memilih beberapa gambar dan mengirimkannya ke nomer Vikram. Tak mengapa nakal sedikit sama suami. Halal. Tidak ada yang salah dengan hal itu. Caption di gambar juga dibikin nakal. ‘Mas gk pingin ketemu nih?’ ‘Aku salah, tapi aku kangen. Gimana dong?’ ‘Maafin aku ya, sayang. Pulang dong. Mau peluk.’ ‘Kalau Mas Vikram di sini, aku lepas semuanya deh.’ Pesan terkirim. Centang dua. Tapi tidak dilihat juga. Lama menunggu, bolak balik mengecek, tetap saja tidak dibaca. Duh, kok jadi cemas ya? *** Viza menggeliat di atas kasur empuk. Kasur ini memang nyaman sekali. Bikin betah berguling bebas di sini. Eh, tunggu dulu. Kok Viza sudah berada di atas kasur? Seingatnya, tadi malam ia ketiduran di kursi dekat jendela. Lalu siapa yang mengangkat badannya ke kasur dan bahkan menyelimuti dengan bed co