Lalu, dengan mulut berisi penuh makanan, Mulan melanjutkan perkataannya, “Ibu sudah mengurus Viza dari bayi sampai sekarang loh. Enak saja kamu mau main ambil begitu saja. setidaknya ada etika. Setelah kamu kasih ibu uang, baru kamu bisa bicara begitu. Modal dengkul saja, mana bisa berkuasa atas diri Viza.”
Vikram menatap tajam pada Runa dan Mulan. Napasnya tersengal akibat emosi, namun ia tampak sedang berusaha menahan amarah supaya tidak meluap. “Viza bukan barang yang bisa dibeli,” sahut Vikram. “Bukan barang, tapi rongsokan. Hi hiii…” Mones menyahuti kemudian cekikikan. “Diam kau! di sini kau tidak ada hak bicara! Kau cuma pelayan warung kan?” tegas Vikram membuat Mones membungkam. “Kamu balik ke warung sana! Sudah malam. Tempat tidurmu di sana. Tugasmu jaga warung. Awas jangan sampai ada maling!” titah Mulan. “Iya siap, Bu. Lagian warung makan juga sudah ditutup, Bu. Ini juga belum larut. Saya Cuma mau nonton TV saja loh tadinya.” Meski menyahuti, Mones tetap bangkit dan meninggalkan ruangan. Dia melewati Viza dan berbisik, “Besok pagi bangun cepat, langsung bantuin aku masak loh!” Viza tidak menyahuti. “Ibu mau uang berapa? Seratus juta?” tanya Vikram. “Sudahlah. Jangan tanya-tanya soal itu. toh kamu juga nggak bakalan bisa kasih.” “Kalau aku sanggup memberikan ke ibu, artinya Viza sudah lepas dari ibu. Jangan perlakukan dia sebagai pelayan di rumahnya sendiri!” pinta Vikram dengan nada mendominasi. “Ha ha haaa… Lelucon macam apa ini? Kamu pikir aku percaya kalau kamu bisa kasih uang jumlahnya segitu kepadaku? Mustahil!” Mulan mengibaskan tangan ke depan wajah, mencemeeh. “Eh, ini jusnya tumben kurang manis!” Runa menaruh gelas jus ke meja. “Mbak Viza, tambahin gula nih!” Runa berteriak. Vikram menoleh pada Viza yang berjalan memasuki ruangan. “Jangan, Viza!” Viza pun berhenti di belakang badan gagah Vikram. Entah kenapa ia merasa terlindungi di balik badan itu. “Kau bisa menambahkan gula sendiri ke dapur!” Vikram menunjuk arah dapur. “Kamu belum punya jasa apa pun ke ibu sebagai ganti dari jasa ibu yang sudah membesarkan Mbak Viza, kok sudah melarang Mbak Viza melayani aku?” bantah Runa. “Lebih baik kamu jenguk bapakmu yang katanya sedang sakit itu. Bukankah bapakmu sedang cedera parah sampai tidak bisa hadir di menikahkan kami? Lantas kenapa kamu terlihat sesantai ini di rumah?” ucap Vikram membuat Runa seketika membungkam. Runa melirik ibunya. Yang dilirik menyahuti, “Suamiku sudah dijaga bidan. Jadi aman.” “Sebutkan dimana puskesmasnya. Aku akan jenguk ke sana bersama dengan Viza.” Perkataan Vikram membuat Mulan membelalak kaget, bola matanya berputar. “Mm… suamiku pasti nggak mau dijenguk orang asing. Kalian tidur saja sana. Ini kan malam pertama kalian, kenapa malah sibuk mengurus hal lain?” Mulan tampak agak kebingungan. “Viza bukan orang asing. Dia yang akan menemui bapaknya,” sahut Vikram. “Baiklah, kalau tidak mau menyebutkan puskesmasnya, biar aku langsung antar Viza ke sana. Viza pasti tahu puskesmas terdekat.” “Hei, ngeyel kamu ini! Aku sudah mendapat telepon dari puskesmas kalau suamiku sudah baikan, nanti juga pulang.” Mulan kesal. “Kenapa ibu tidak suka kalau Viza menjenguk bapaknya? Atau jangan-jangan bapaknya Viza tidak sedang sakit?” Vikram melengos pergi tanpa menunggu jawaban. Mulan tampak gusar sembari memutar mata. “Ayo, Viza!” Vikram berhenti saat menoleh dan mendapati Viza yang masih mematung. Tak mau banyak bicara, Viza menghambur menyusul Vikram keluar. Berada di sisi Vikram terasa jaih lebih nyaman dan damai dari pada harus berada di dekat Mulan dan Runa. Vikram mengeluarkan motor bebek milik Mones dari garasi, lalu dengan entengnya menungganginya. “Ini motor Mones, Mas,” ucap Viza enggan menaiki motor orang lain tanpa ijin. “Biarkan saja. Kita pakai hanya sebentar.” “Dia pasti akan mengomel kalau motornya dipinjam tanpa ijin.” “Dia suka ngomel ya sama kamu?” Viza menghela napas. Bukan hanya sekedar suka ngomel, tapi juga nyinyir, suka cari muka sama majikan, dan suka menindas Viza saat di hadapan Mulan supaya dia terlihat ada di pihak Mulan. “Dia itu pelayan baru di warung, tapi ibu menyukainya karena dia itu…” Viza tak mau melanjutkan kalimatnya. “Kamu tenang saja, aku yang akan bertanggung jawab kalau Mones mengamuk.” Mendengar jawaban Vikram, Viza merasa terlindungi, ketakutan dan keresahan akan sikap orang-orang yang menindasnya pun seketika memudar. Dia membonceng di belakang. Tak ada pembatas diantara punggung dan permukaan depan badan Viza, sesekali mereka bersentuhan di atas motor yang melaju. Tangan Viza enggan berpegangan pada badan Vikram. Dia letakkan saja tangannya ke pahanya sendiri. Hingga beberapa kali badannya terhuyung maju mundur saat motor melalui jalan berlubang. "Eh?" Viza terkejut saat tangannya dipegang oleh Vikram dan ditarik pelan ke depan, dituntun untuk memegang pinggang pria itu. “Nanti jatuh. Pegangan ya!” ucap Vikram lembut. Viza mengulum senyum.“Rejeki itu Allah hadirkan nggak hanya melalui tangan Vikram saja, ada banyak cara untuk kamu bisa bertahan hidup tanpa melibatkan Vikram maupun Viza,” sahut Fairuz. “Aku hanya tidak ingin berurusan dengan keluarga Bu Mulan lagi. Hubungan yang tidak baik maka lebih baik disudahi atau dijauhi, ini sama dengan menjauhi mudharat. Jadi inilah keputusanku!” Vikram lalu melenggang pergi. “Mbak Viza, kamu nggak kasian sama Bapak? Bapak lagi sakit. Ibu dan bapak nggak punya rumah hingga menumpang di rumahnya Mas Leo. Kami bahkan sekarang nggak punya penghasilan. Aku pun sedang hamil. Tolong bantu kami!” Runa memohon pada Viza, takut hidupnya akana sengsara jika tanpa pendapatan. “Mbak Viza diam-diam bisa kirimin aku uang, tolonglah Mbak. Bantu bapak berobat juga.” “Aku taat sama suamiku. Aku nggak berani berkhianat di belakangnya,” sahut Viza. “Mbak, tapi keadaan kami benar-benar down.” Wajah Runa memelas. “Kamu punya suami yang sempurna secara fisik, dia juga sehat walafiat. Insyaa
Viza ikutan membaca tulisan itu. (Teruntuk Viza tersayang, Saat kamu membaca tulisan ini, mungkin aku sudah tiada. Atau mungkin aku telah celaka dan dalam keadaan kritis. Atau bisa saja baik-baik saja. Kemungkinan buruk itu bisa saja terjadi padaku saat aku menabrak suamimu, biarkan dia m4ti. Aku pun tak masalah jka harus meregang nyaw4 untuk kematirn Vikram. Jika bukan aku yang memilikimu, maka orang lain pun tidak boleh. Sudah sangat lama aku rencanakan kematiannya, biarlah aku ikut m4ti jika memang dikehendaki m4ti. Viza, aku sudah sangat lama memendam rasa cintaku kepadamu. Bagaimana mungkin aku merelakanmu dimiliki lelaki lain? Hidupmu hanyalah untukku. Itulah cita-citaku selama ini. Surat kaleng itu kiriman dariku. Tujuanku hanya satu, memberikan kebahagiaan untukmu. Leo telah memberikan informasi akurat untukku bisa menuliskan surat itu. Tentu saja dengan bertukar keuntungan. Aku ijinkan Leo menikahi wanita yang diam-diam dia cintai, yaitu Runa. Aku pun mendapatkan keuntun
“Mas Vikram!” Viza menghambur dan memeluk erat suaminya. Tangisnya kembali pecah.Tubuhnya gemetar hebat dalam pelukan sang suami. Ia tak menyangka masih bisa bertemu dengan Vikram setelah mengira sang suami tak akan pernah kembali lagi.Dan kini, Viza bahkan masih bisa memegang suaminya, memeluk pria itu dengan erat.Tak lama Viza merasakan elusan di punggungnya. Deraian air mata Viza semakin deras merasakan elusan lembut itu. Artinya sang suami masih mau menerimanya dengan baik.“Mas, kupikir kita nggak akan ketemu lagi. Kupikir kamu pergi meninggalkan aku. Kamu udah janji mau menjagaku. Aku nggak mau kamu pergi. Kamu harus tepati janjiku.” Viza sesenggukan.“Tidak. Aku tidak pergi. Aku di sini,” lembut Vikram.Hati Viza basah mendengar suara lembut itu.“Mas Vikram masih sayang sama aku kan?” tanya Viza.Tak menjawab, Vikram malah mengerang. “Aaargggkh….”Viza mengernyit. Ia melepas pelukan dan memundurkan wajah, menatap sang suami bingung. “Sakit? Mana yang sakit?”“Punggung dan
Viza memegang kepalanya, jantungnya berdetak sangat kencang. Takut sekali. Kemungkinan buruk itu sudah bertengger di kepala Viza. Tangannya gemetar saat menggeser tombol hijau. “Ha haloo…” Suara Viza lirih. “Nyonya, sebaiknya Anda segera ke rumah sakit sekarang. Maaf, kami sudah melakukan yang terbaik, tapi….” Mendengar kalimat yang diucapkan dokter, Viza sudah tahu sambungannya. Dia menjauhkan hp dari telinga. Menurunkan benda pipih itu ke bawah. Ia tak perlu mendengar sambungan kalimat dari dokter. Dengan langkah gemetar, Viza menuju ke kamar yang dituju. Tubuhnya mendadak terasa dingin. Ia menerobos masuk ke kamar sesaat setelah mendorong pintu. Suster menutup bagian wajah pasien dengan kain. Dokter melepas handscoon dan bersiap hendak keluar kamar. Dokter menunjuk Viza dan berkata, “Anda…” “Istri korban,” lirih Viza menatap sayu. “Maaf, kami sudah melakukan semaksimal mungkin, tapi sudah terlalu jauh dari kata selamat. Nyawa suami Anda tidak bisa diselamatkan. Tuhan b
“Semua kesalahan masih bisa dimaafkan.” Fairuz berusaha menenangkan putrinya. “Vikram memang kecewa berat sama kamu, tapi pasti dia akan kembali kepadamu. Jangan khawatir ya. Ibu tahu kok bagaimana Vikram. Dia anak yang baik.” “Bagaimana kalau Mas Vikram membatalkan pesta pernikahan kami? Dia pasti nggak peduli meskipun uang milyaran yang dia gunakan untuk pesta pernikahan terbuang sia-sia.” “Nanti bisa kamu bicarakan baik-baik dengannya. Kalau hati Vikram sudah lega, dia pasti bisa diajak bicara secara dewasa kok. Ini hanya karena dia lagi emosi aja.” Viza menghela napas. “Sebenarnya, yang paling aku takutkan itu satu hal, bagaimana kalau rasa sayangnya ke aku jadi hilang gara-gara ini?” “Nggak semudah itu.” Fairuz mengusap punggung tangan putrinya dengan senyum. Perkataan Fairuz berhasil mengurangi sedikit kecemasan Viza. Meski itu hanyalah kata-kata sekedar menghibur saja, atau memang sungguhan pendapat Fairuz benar, yang jelas Viza merasa mendapat support. Brrrt brrrrt…
Cekrek cekrek. Kilatan kamera memotret wajahnya dari berbagai sisi dan berbagai gaya pula. Bibir dibikin manyun, dibikin tersenyum, jari membingkai wajah, dan berbagai macam gaya. Viza memilih beberapa gambar dan mengirimkannya ke nomer Vikram. Tak mengapa nakal sedikit sama suami. Halal. Tidak ada yang salah dengan hal itu. Caption di gambar juga dibikin nakal. ‘Mas gk pingin ketemu nih?’ ‘Aku salah, tapi aku kangen. Gimana dong?’ ‘Maafin aku ya, sayang. Pulang dong. Mau peluk.’ ‘Kalau Mas Vikram di sini, aku lepas semuanya deh.’ Pesan terkirim. Centang dua. Tapi tidak dilihat juga. Lama menunggu, bolak balik mengecek, tetap saja tidak dibaca. Duh, kok jadi cemas ya? *** Viza menggeliat di atas kasur empuk. Kasur ini memang nyaman sekali. Bikin betah berguling bebas di sini. Eh, tunggu dulu. Kok Viza sudah berada di atas kasur? Seingatnya, tadi malam ia ketiduran di kursi dekat jendela. Lalu siapa yang mengangkat badannya ke kasur dan bahkan menyelimuti dengan bed co