“Kok pakai tato, Mas?” tanya Viza.
“Ini tidak permanen. Bisa dihapus," jawab Vikram. “Oh.” “Jadi kamu beneran tidak mau cerita nih? Biasanya, perempuan itu akan merasa lega saat bebannya diceritakan. Hatinya akan plong. Benar begitu kan?” sambung Vikram. “Aku nggak tahu.” “Berarti kamu tidak pernah punya teman curhat ya? Semua beban dipikul sendiri. Nanti cepat tua loh.” Vikram tersenyum. Tampan sekali. Viza pun tersenyum tipis. Inilah pertama kalinya Vikram melihat senyum di wajah cantik Viza setelah seharian wanita itu terlihat datar tanpa ekspresi. “Aku mau siapin makan malam dulu, Mas,” pamit Viza. “Bukankah ada Runa dan ibu? Mereka bisa siapkan. Kamu pengantin baru, setidaknya istirahat untuk malam ini.” Viza memutar mata canggung. “Aku ke dapur dulu, Mas.” Ia bergegas meninggalkan Vikram. Begitu cekatan tangannya mempersiapkan makan malam di meja makan. Menuangkan lauk pauk dan sayur dari kuali ke mangkuk, lalu menyajikannya ke meja. Tak lupa menyiapkan buah pencuci mulut. “Viza, ikan bakarnya sudah disiapin belum?” Mulan muncul dan langsung mengecek meja makan. “Sudah.” Viza datar saja. “Jangan lupa jus buat ibu dan Runa dibikin. Terus pencuci mulutnya disiapin juga. Mangkuk kobokannya juga harus ada di meja. Kerupuknya udah. Siapin semua. Sebentar lagi ibu dan Runa mau makan!” titah Mulan kemudian berlalu pergi. Viza berjibaku dengan meja makan. Ia lalu tersenyum ketika melihat Vikram menyusul ke dapur. “Mas Vikram mau makan sekarang?” tanya Viza. “Belum lapar.” “Memangnya makan apa kok belum lapar?” “Makan angin.” Viza tersenyum lagi. Sudah dua kali Vikram berhasil membuat Viza tersenyum. Pria itu dengan cekatan membantu menyiapkan makan di meja, dia memindahkan ikan bakar dari pemanggangnya ke piring lalu ditaruh ke meja. “Terima kasih, Mas.” Viza merasa terbantu. Ia kemudian membuat teh hangat dan jus jeruk hangat. “Mas Vikram mau dibuatin minum apa? Jus, kopi, teh, susu atau apa?” “Itu kamu sudah bikin teh, lalu kenapa bikin lagi?” “Ini untuk Runa dan ibu. Runa biasanya setiap malam minum tomat, kalau ibu minum jus jeruk hangat,” jawab Viza. “Aku tidak perlu dibuatkan jus.” Vikram memperhatikan gerakan tangan Viza yang cekatan demi melayani ibu dan adiknya. Dia terlihat sudah biasa melakukannya. “Viza, cepat bawakan makan malam dua piring ke depan, jusnya sekalian. Ibu dan Runa mau makan di depan!” titah Mulan yang tiba-tiba muncul di pintu. “Ibu sama Runa makan di depan saja, depan TV.” Viza hanya menatap sekilas saja ke arah Mulan. Dia lalu mengmbil dua piring dan mengisi dengan nasi dan lauk. “Tidak usah!” Vikram memegang punggung tangan Viza, menahannya saat akan mengangkat dua piring itu ke nampan. “Loh loh… kok Viza dilarang menuruti perintah ibu?” sinis Mulan. “Viza sekarang sudah menjadi istriku. Semua pindah padaku. Bukan ibu lagi yang mengaturnya, tapi aku,” tegas Vikram. Dia bicara dengan sangat mendominasi. Namun tetap tenang. Muka Mulan memerah. “Kamu boleh bilang begitu kalau kamu bisa kasih uang seratus juta. Tapi yang kamu kasih ke aku sebagai ibunya Viza saja cuma angin. Bagaimana bisa kamu menganggap kepatuhan Viza pindah ke kamu? Aku yang mengandung, melahirkan dan bahkan membesarkan Viza. Lantas sudah besar begini kamu ambil dia hanya dengan gratis. Enak saja.” Vikram menaruh dua piring berisi nasi dan dua gelas jus, lalu mengangkat nampan itu. “Ini mau dibawa kemana?” tanyanya bersiap mengangkat nampan. “Ke depan, ruang tamu.” Mulan melengos pergi. “Mas!” Viza menatap Vikram tak enak hati. Malah jadi Vikram yang melayani ibu dan adiknya. “Tidak apa-apa,” sahut Vikram dengan senyum. Dia paham maksud panggilan Viza. “Aku bawa ke depan dulu.” Vikram membawa nampan ke ruang tamu. Viza mengikuti di belakang. Namun ia hanya berdiri di ambang pintu saja, tepat di perbatasan antara ruang tamu dan ruang tengah. Mulan dan Runa duduk di sofa. Ada Mones duduk di lantai sambil memijiti kaki Runa. Cari muka dan cari perhatian. Rumah itu tidak luas, sederhana saja. Kecil tapi layak. Hanya ada tiga kamar. Dua kamar berukuran sedang dan satu kamar kecil yang dihuni oleh Viza. Vikram meletakkan nampan ke meja. “Eh, pelayan kita udah ganti ya? Emang mbak Viza kemana?” tanya Runa dengan dagu terangkat. “Mulai sekarang, dia istriku. Tidak ada yang bisa mengaturnya kecuali aku. Tanggung jawab Viza pindah ke aku, ketaatannya juga pindah ke aku,” tegas Vikram. “Dih! Ini sudah menjadi kebiasaan kami,” ketus Runa. “Sudah kubilang, kamu itu mengambil Viza dariku tanpa sepeser uang. Bagaimana kamu bisa main ambil dia begitu saja?” sahut Mulan sambil mengambil piring, lalu menyantap isinya.“Rejeki itu Allah hadirkan nggak hanya melalui tangan Vikram saja, ada banyak cara untuk kamu bisa bertahan hidup tanpa melibatkan Vikram maupun Viza,” sahut Fairuz. “Aku hanya tidak ingin berurusan dengan keluarga Bu Mulan lagi. Hubungan yang tidak baik maka lebih baik disudahi atau dijauhi, ini sama dengan menjauhi mudharat. Jadi inilah keputusanku!” Vikram lalu melenggang pergi. “Mbak Viza, kamu nggak kasian sama Bapak? Bapak lagi sakit. Ibu dan bapak nggak punya rumah hingga menumpang di rumahnya Mas Leo. Kami bahkan sekarang nggak punya penghasilan. Aku pun sedang hamil. Tolong bantu kami!” Runa memohon pada Viza, takut hidupnya akana sengsara jika tanpa pendapatan. “Mbak Viza diam-diam bisa kirimin aku uang, tolonglah Mbak. Bantu bapak berobat juga.” “Aku taat sama suamiku. Aku nggak berani berkhianat di belakangnya,” sahut Viza. “Mbak, tapi keadaan kami benar-benar down.” Wajah Runa memelas. “Kamu punya suami yang sempurna secara fisik, dia juga sehat walafiat. Insyaa
Viza ikutan membaca tulisan itu. (Teruntuk Viza tersayang, Saat kamu membaca tulisan ini, mungkin aku sudah tiada. Atau mungkin aku telah celaka dan dalam keadaan kritis. Atau bisa saja baik-baik saja. Kemungkinan buruk itu bisa saja terjadi padaku saat aku menabrak suamimu, biarkan dia m4ti. Aku pun tak masalah jka harus meregang nyaw4 untuk kematirn Vikram. Jika bukan aku yang memilikimu, maka orang lain pun tidak boleh. Sudah sangat lama aku rencanakan kematiannya, biarlah aku ikut m4ti jika memang dikehendaki m4ti. Viza, aku sudah sangat lama memendam rasa cintaku kepadamu. Bagaimana mungkin aku merelakanmu dimiliki lelaki lain? Hidupmu hanyalah untukku. Itulah cita-citaku selama ini. Surat kaleng itu kiriman dariku. Tujuanku hanya satu, memberikan kebahagiaan untukmu. Leo telah memberikan informasi akurat untukku bisa menuliskan surat itu. Tentu saja dengan bertukar keuntungan. Aku ijinkan Leo menikahi wanita yang diam-diam dia cintai, yaitu Runa. Aku pun mendapatkan keuntun
“Mas Vikram!” Viza menghambur dan memeluk erat suaminya. Tangisnya kembali pecah.Tubuhnya gemetar hebat dalam pelukan sang suami. Ia tak menyangka masih bisa bertemu dengan Vikram setelah mengira sang suami tak akan pernah kembali lagi.Dan kini, Viza bahkan masih bisa memegang suaminya, memeluk pria itu dengan erat.Tak lama Viza merasakan elusan di punggungnya. Deraian air mata Viza semakin deras merasakan elusan lembut itu. Artinya sang suami masih mau menerimanya dengan baik.“Mas, kupikir kita nggak akan ketemu lagi. Kupikir kamu pergi meninggalkan aku. Kamu udah janji mau menjagaku. Aku nggak mau kamu pergi. Kamu harus tepati janjiku.” Viza sesenggukan.“Tidak. Aku tidak pergi. Aku di sini,” lembut Vikram.Hati Viza basah mendengar suara lembut itu.“Mas Vikram masih sayang sama aku kan?” tanya Viza.Tak menjawab, Vikram malah mengerang. “Aaargggkh….”Viza mengernyit. Ia melepas pelukan dan memundurkan wajah, menatap sang suami bingung. “Sakit? Mana yang sakit?”“Punggung dan
Viza memegang kepalanya, jantungnya berdetak sangat kencang. Takut sekali. Kemungkinan buruk itu sudah bertengger di kepala Viza. Tangannya gemetar saat menggeser tombol hijau. “Ha haloo…” Suara Viza lirih. “Nyonya, sebaiknya Anda segera ke rumah sakit sekarang. Maaf, kami sudah melakukan yang terbaik, tapi….” Mendengar kalimat yang diucapkan dokter, Viza sudah tahu sambungannya. Dia menjauhkan hp dari telinga. Menurunkan benda pipih itu ke bawah. Ia tak perlu mendengar sambungan kalimat dari dokter. Dengan langkah gemetar, Viza menuju ke kamar yang dituju. Tubuhnya mendadak terasa dingin. Ia menerobos masuk ke kamar sesaat setelah mendorong pintu. Suster menutup bagian wajah pasien dengan kain. Dokter melepas handscoon dan bersiap hendak keluar kamar. Dokter menunjuk Viza dan berkata, “Anda…” “Istri korban,” lirih Viza menatap sayu. “Maaf, kami sudah melakukan semaksimal mungkin, tapi sudah terlalu jauh dari kata selamat. Nyawa suami Anda tidak bisa diselamatkan. Tuhan b
“Semua kesalahan masih bisa dimaafkan.” Fairuz berusaha menenangkan putrinya. “Vikram memang kecewa berat sama kamu, tapi pasti dia akan kembali kepadamu. Jangan khawatir ya. Ibu tahu kok bagaimana Vikram. Dia anak yang baik.” “Bagaimana kalau Mas Vikram membatalkan pesta pernikahan kami? Dia pasti nggak peduli meskipun uang milyaran yang dia gunakan untuk pesta pernikahan terbuang sia-sia.” “Nanti bisa kamu bicarakan baik-baik dengannya. Kalau hati Vikram sudah lega, dia pasti bisa diajak bicara secara dewasa kok. Ini hanya karena dia lagi emosi aja.” Viza menghela napas. “Sebenarnya, yang paling aku takutkan itu satu hal, bagaimana kalau rasa sayangnya ke aku jadi hilang gara-gara ini?” “Nggak semudah itu.” Fairuz mengusap punggung tangan putrinya dengan senyum. Perkataan Fairuz berhasil mengurangi sedikit kecemasan Viza. Meski itu hanyalah kata-kata sekedar menghibur saja, atau memang sungguhan pendapat Fairuz benar, yang jelas Viza merasa mendapat support. Brrrt brrrrt…
Cekrek cekrek. Kilatan kamera memotret wajahnya dari berbagai sisi dan berbagai gaya pula. Bibir dibikin manyun, dibikin tersenyum, jari membingkai wajah, dan berbagai macam gaya. Viza memilih beberapa gambar dan mengirimkannya ke nomer Vikram. Tak mengapa nakal sedikit sama suami. Halal. Tidak ada yang salah dengan hal itu. Caption di gambar juga dibikin nakal. ‘Mas gk pingin ketemu nih?’ ‘Aku salah, tapi aku kangen. Gimana dong?’ ‘Maafin aku ya, sayang. Pulang dong. Mau peluk.’ ‘Kalau Mas Vikram di sini, aku lepas semuanya deh.’ Pesan terkirim. Centang dua. Tapi tidak dilihat juga. Lama menunggu, bolak balik mengecek, tetap saja tidak dibaca. Duh, kok jadi cemas ya? *** Viza menggeliat di atas kasur empuk. Kasur ini memang nyaman sekali. Bikin betah berguling bebas di sini. Eh, tunggu dulu. Kok Viza sudah berada di atas kasur? Seingatnya, tadi malam ia ketiduran di kursi dekat jendela. Lalu siapa yang mengangkat badannya ke kasur dan bahkan menyelimuti dengan bed co