Part 13. Bisnis yang Menggiurkan Tak tahu lah apa yang terjadi dengan anak itu. Pagi-pagi sudah uring-uringan tidak jelas. Beres-beres ruko pakai teknik perang. Geser sana-geser sini, sapu ini-sapu itu. Gedebak-gedebuk terus. Bisa-bisa pecah semua barang-barangku. “PMS lu, Ri?” tanyaku pada gadis yang sedang menggeser etalase, lalu menyapu bersih bawahnya. Bagus, jadi bersih, tapi caranya itu membuat kami bergidik. Ah, bukan kami! Hanya aku dan Anton yang keheranan. Supri sepertinya sudah biasa, jadi dia tidak berkomentar. “Bukan, Om. Lagi kesel!” Gadis bermata bulat itu melirik menunjukkan muka kecut. “Om? Kemarin-kemarin bilang Aa, sekarang, Om.” “Hiih! Udah tua juga pengen dipanggil Aa. Ngaca mangkanya ... Om.” Dia memberikan penekanan saat menyebut kata ‘Om’. “Ampun dah, bocah!” Dari pada ngurusin keanehan Riri, lebih baik aku masuk ruang reparasi. Dan mulai memperbaiki barang-barang yang ada di sana. Tidak ada kopi panas hari ini. Anak itu disuruh beli sarapan pun ketus.
Setiap pagi kusempatkan untuk menelepon Sari, hari ini rasanya aku ingin melihatnya. Setelah menatap layar cukup lama akhirnya kutekan panggilan video call. Sebentar merapikan rambut, berkaca di layar yang sudah terhubung. Memastikan kalau rambut tidak dalam keadaan kacau.Dering telepon keluar terdengar cukup lama. Layar memperlihatkan notifikasi menunggu. Padahal kalau telepon biasa cepat sekali anak itu mengangkat.“Assalamualaikum.” Wajah dari sana terlihat, suara ucapan salamnya masih putus-putus karena sinyal yang belum stabil.“Waalaikumsallam. Sedang apa?” Lagi-lagi aku merapikan rambut.“Biasa, baru bangun,” jawab pemilik wajah tanpa riasan itu, meski natural dia terlihat cantik. Mirip artis Angelina Mahameru. Tahu tidak? Tahu? Tidak? Ah sudahlah, aku pun tak tahu.“Emmm ....” Kaku, aku tidak dapat melanjutkan perkataan. VC dengan panggilan suara ternyata berbeda.“Hari ini mau ke mana?” Kulontarkan pertanyaan yang terasa bodoh.“Tidak ke mana-mana di rumah saja, Mas. Itu Mas
Part 14. Tawaran Lain “Korupsi.” Aku mengangguk seraya tersenyum miris. “Tidak! Bukan! Ini bukan korupsi Pras. Alokasi dana itu memang diperuntukkan pengadaan barang. Jika tidak diambil maka akan dipertanyakan. Intinya uang itu memang harus diserap,” kilah Daryata. Sungguh miris, orang yang punya idealis, berkarakter paling nasionalis, karena uang berubah jadi iblis. Apa matanya sudah buram. Masih berkilah kalau bukan korupsi padahal sudah jelas. “Terserah kata, Mas. Tapi mengambil uang diluar fungsinya itu jelas korupsi. Di luar sana banyak warga miskin jangankan melihat uang ratusan juta bahkan ada yang dua puluh rubu saja tidak punya. Kenapa pemerintah mengalokasikan dana lebih dari kebutuhan. Seharusnya alokasi dana dari pemerintah juga sudah jelas tujuannya. Atau bagaimana sistemnya? Apa pemerintah menghambur-hamburkan uang begitu saja?” “Pras!” Daryata menyebut namaku seperti sedang memberi peringatan agar aku menghentikan ucapan. “Atau mungkin pengajuannya yang sengaja d
Setiap minggu aku keliling Mangga Dua untuk belanja memenuhi kebutuhan toko. Hari ini Bu Anggi—salah satu pemilik toko memberi tahu kalau barang yang aku minta untuk memperbaiki laptop milik laki-laki berkumis tebal itu sudah ada.Kubawa tas dan list barang-barang yang akan kubeli.“Supri, gue belanja dulu. Lu stand by di sini jangan ke toko dua,” titahku pada laki-laki yang bersila di ruang reparasi itu. Riri ada di sampingnya menyaksikan kakaknya membongkar barang-barang. Entah sedang belajar atau sedang mengganggu.“Siap, Mas!” timpal Supri.Aku berjalan ke depan, menuju mobil di parkiran.“Riri boleh ikut enggak?” Gadis itu nongol di pintu kaca, terlihat kesulitan menahan pintu yang menutup otomatis itu.“Ngerepotin enggak?”“Enggak. Riri mah pengen jalan-jalan ajah, bosen di sini terus.”“Dandan dulu enggak? Sekarang nih berangkatnya!”“Enggak. Ambil jaket ajah, suer.” Dia menunjukkan dua jari ‘V’.“Yaudah cepetan!”Gadis berambut panjang itu berlari ke lantai dua, menit berikutn
Part 15. Ada yang Menebar Fitnah.Aku menatap kartu nama itu. Masih mempertimbangkan apa kesempatan ini perlu di ambil atau tidak. Bu Anggi berdiri di hadapan, etalase menjadi pembatas antara kami. Riri yang sedari tadi mengikuti diam saja di sampingku, memperhatikan."Ambil saja, Pak, kalau ada uang. Selama perusahaannya masih berdiri, bapak aman," jelas Bu Anggi tampak mengerti kekhawatiranku."Saya belum berpengalaman yang begini, takut berisiko," seruku jujur. Beginilah kalau pengusaha kecil, berani ambil risiko untuk hal-hal kecil saja. Kalau berbicara nominal besar harus berpikir seribu kali. Uangku mungkin ada seratus juta di bank. Kalau diinvestasikan semua itu berarti kandas, jika tertipu sudah pasti aku akan bangkrut. Jika masih sendiri, aku berani main hantam. Sekarang ada karyawan yang bergantung, jadi banyak pertimbangan."Kalau tidak bapak tanya saja sama Ko Acong. Pembayaran mereka selama ini bagaimana. Kalau toko kami memang tidak memberikan tempo." Bu Anggi menyebut n
Setelah berbicara dengan Ko Acong, kubuka internet. Melakukan pencarian kabar tentang PT. Persada, ternyata perusahaan itu benar adanya. Dan masih berproduksi. Setelah menelaah aku semakin yakin untuk memenuhi kebutuhan komputer di sana.Keesokan harinya kuberi kabar Pak Andre, kalau tokoku siap memenuhi kebutuhan perusahaannya. Dia pun memberikan list pesanan yang harus dipenuhi bulan ini.[Nanti Bapak kirimkan penawarannya. Biar saya ajukan ke atasan.] Pesan dari sana membuatku tidak mengerti.[Penawaran seperti apa?][Nanti saya kirim contohnya lewat email.]Saat kubuka Email pesan dari Pak Andre sudah masuk. Alamat emailnya pun bukan dari @yahoo atau @gmail, tapi nama perusahaannya AndreIT@persada.com, ini alasan ketiga yang membuatku semakin yakin.Kubuka Attachment yang dia kirimkan, ternyata penawaran yang dia maksud berisi nama barang, deskripsi, quantity dan harga. Ada banyak barang yang tidak ada di tokoku. Itu artinya aku harus mematok kisaran harganya. Tak apa, aku punya b
Part 16. Solusi tak Terduga“Lihat akunnya, Mas!” Anton mengarahkan layar laptop. Netraku menyipit melihat foto-foto si pemilik akun. Ternyata seorang pejabat daerah, pantas saja status yang dia buat viral dengan mudah, pengikutnya saja puluhan ribu.Ada beberapa foto yang memperlihatkan si pemilik akun sedang bersama Daryata. Apa mungkin orang pengadaan barang yang mau bersekongkol dengan Daryata?Kurogoh ponsel dan mencari nomor di grup keluarga. Daryata. Sekarang biar kubicara dengannya.“Hallo Prasetio! Baru telepon sekarang kamu. Bagaimana pelajaran dari saya? Mengejutkan bukan!”“Jadi Anda sengaja melakukannya?” Darahku mendidih sampai ke ubun-ubun.“Oh, ya. Ini pelajaran agar kamu bisa bijak saat berbicara. Mudah bagi saya menumbangkan usahamu.” Daryata terbahak puas.“Pelajaran ini tidak akan menutup mulut saya. Kalau Anda bisa memfitnah saya juga bisa membuka kebusukan kalian!”“Silakan Prasetio! Tapi sebelum kamu melakukannya. Pikirkan dulu dengan siapa kamu berhadapan. Kura
Hari berikutnya masalah tidak kunjung selesai. Belum ada pelanggan satu pun. Kami jadi banyak waktu luang. Kuinstruksikan Supri bekerja di toko dua dulu, sedangkan Anton tetap stand by meski tidak ada pelanggan. Aku terus memutar otak mencari solusi.Hal mencengangkan terjadi lagi. Komentar testimoni dari para pelanggan sudah hilang. Mereka menghapus semuanya.Sekarang aku lebih tenang menyikapinya, masalah seperti ini tidak dapat diselesaikan secara terburu-buru. Biarkan semua terjadi apa adanya dulu, sambil kucari terus solusi yang tepat. Semoga nanti ada jalan terbaik.Banyak waktu luang karena tidak ada pekerjaan. Sehari dua hari tidak ada perubahan. Masih sama, sepi. Teringat beban bayaran yang harus kutanggung, upah karyawan, listrik, bahkan kontrakan tempat ini yang sebentar lagi harus diperpanjang, sementara uang simpanan sudah keluar. Kubuang kembali pikiran yang memberatkan kepala itu. Membiarkan otak relaks tanpa pikiran jelek.Aku menelepon Mamak, satu orang yang doanya se