Hari berikutnya masalah tidak kunjung selesai. Belum ada pelanggan satu pun. Kami jadi banyak waktu luang. Kuinstruksikan Supri bekerja di toko dua dulu, sedangkan Anton tetap stand by meski tidak ada pelanggan. Aku terus memutar otak mencari solusi.Hal mencengangkan terjadi lagi. Komentar testimoni dari para pelanggan sudah hilang. Mereka menghapus semuanya.Sekarang aku lebih tenang menyikapinya, masalah seperti ini tidak dapat diselesaikan secara terburu-buru. Biarkan semua terjadi apa adanya dulu, sambil kucari terus solusi yang tepat. Semoga nanti ada jalan terbaik.Banyak waktu luang karena tidak ada pekerjaan. Sehari dua hari tidak ada perubahan. Masih sama, sepi. Teringat beban bayaran yang harus kutanggung, upah karyawan, listrik, bahkan kontrakan tempat ini yang sebentar lagi harus diperpanjang, sementara uang simpanan sudah keluar. Kubuang kembali pikiran yang memberatkan kepala itu. Membiarkan otak relaks tanpa pikiran jelek.Aku menelepon Mamak, satu orang yang doanya se
Part 17. Kejutan Untuk DaryataAku tidur sampai matahari naik. Semalaman tak tidur membuat kantuk luar biasa. Denting ponsel menyala berkali-kali. Namun, aku seperti tak punya kekuatan untuk bangun.Anton menepuk pundak. “Mas ada telepon dari tadi.” Pria yang terlihat sudah segar itu memberikan benda pipih.Aku merih ponsel, memaksa bangun meskipun terpaksa. “Ya!” seruku pada seseorang dibalik telepon sana yang entah siapa. Irisku masih tak mampu beradaptasi dengan layar yang menyala.“PRASETIO! Kamu retas medsosku, HA?” Suara tinggi dari sama memekakkan telinga, siapa lagi kalau bukan Daryata, sepertinya dia sudah melihat kejutan dariku pagi ini.“Ya,” jawabku sekenanya.“Brengsek! Kurang ajar kamu! Pencuri! Beraninya main belakang! ... ” Daryata memaki.Seketika aku membuka mata. Tak tahu lagi umpatan apa yang dia lontarkan. Aku sudah menjauhkan ponsel dari telinga. Kantuk tiba-tiba hilang.Membayangkan bagaimana kalang kabutnya dia saat ini membuatku merasa lucu. Aku jadi tertawa.
Doa Mamak agar aku melejit lebih tinggi lagi dikabulkan Tuhan. Pelanggan berdatangan lebih banyak dari sebelumnya. Pengalaman bekerja dengan Tomi kumanfaatkan juga. Aku mendatangi sekolah-sekolah menawarkan kerja sama. Sehari dua hari, penolakanlah yang kudapatkan. Setelah seminggu baru ada yang mau bekerja sama.Pun Pak Andre. Belum genap sebulan ia sudah memberikan pembayaran, dan melakukan orderan ke dua. Ruko sibuk kembali. Jauh lebih sibuk dari sebelumnya. Anton dan Supri seolah tidak ada istirahatnya."Ri, coba lu belajar gantiin Anton di depan. Biar Anton fokus di reparasi. Tidak usah servis, instal ini itu. Cukup layani pelanggan, hafalkan jenis-jenis barang. Sekalian bantu Mas buat dokumen, dari pada lamar sana-sini gak keterima. Mendingan lu kerja di sini aja."Riri menyambut dengan mata berbinar. Cepat gadis itu memeluk lenganku."Benar Mas, Riri boleh kerja di sini." Wanita berambut lurus sepinggang ini berkedip lima kali."Gak usah kayak kucing juga kali." Aku mendorong w
Part 18. Rahasia di Balik Sikap RiriTerkadang kita perlu mundur untuk meloncat lebih jauh. Ada kalanya kita perlu melepas pedal gas untuk berganti gigi, dan mempercepat laju kendaraan. Acap kali kita harus diam untuk memulihkan tenaga. Semua fase dalam hidup ini tidak ada yang percuma. Semuanya membawa kebaikan. Pun saat dihina orang lain. Bisa menjadi cambuk dan memaksa kita berlari melewati batasan-batasan.Pernah dililit masalah, sampai merasa benar-benar pasrah. Mencoba segala hal sebagai jalan keluar. Saat itu terasa percuma karena tidak lantas berdampak apa-apa. Tapi sekarang semua ikhtiar yang kujalani malah menjadi sumber rezeki baru.Saat toko sedang sepi karena ulah Daryata, aku mempelajari banyak hal. Yang awalnya tidak pernah bergelut dengan dunia maya, terpaksa harus ikut berkecimpung di sana, satu benteng otakku terbuka, ternyata medsos bisa dijadikan ladang usaha. Aku jadi mengenal FB, IG, tokopedia. Ketika tidak ada pekerjaan sama sekali, aku terpaksa bekerja pada Tom
Karena pendapatan terbilang besar aku mengajak semua karyawan makan-makan. Malam ini toko tutup lebih sore. Kami memilih salah satu restoran jepang. Di sana terkenal dengan dagingnya yang enak. Karena dibakar mendadak. Begitu kurang lebih yang kutahu.Semua menyambut senang. Kami mengisi satu meja panjang hidangan daging sapi mentah dan dua pembakaran disediakan. Mengobrol ini-itu sambil membakar daging bersama-sama, baunya membuat perut berontak. Kami makan dengan lahap.Anton dan Yan-yan, dua pemuda yang senang melucu di sini. Mereka melontakan anekdot-anekdot mengocok perut.“Gini, tahu kan kalau link URL itu ada www-nya.” Anton melontarkan lelucon. Kami mengangguk penasaran, anekdot apa yang akan dia lontarkan kali ini?“Ada seorang anak yang bertanya pada temannya 'kenapa buka FB harus pake www', katanya.” Anton menjeda.“Dijawab sama temannya, www itu singkatan, kalau kita mau berkunjung ke rumah orang kan harus pake salam, jadi www itu singkatan dari Wassalamu’alaikum Warahmatu
Part 19. UndanganAku mengambil amplop yang tergeletak di atas meja. Mengira-ngira apa isinya. Tak ingin berlama-lama segera aku bergegas ke atap hendak membukanya.Amplop putih berisi selembar surat dengan jejak tinta hitam dua paragraf saja. Untaian kata itu tidak kurang mengatakan kalau Riri menyukaiku sejak pertama kali bertemu, dan dia merasa sakit hati tiap kali aku berbicara dengan Sari.Aku menarik napas panjang, membuangnya perlahan. Melihat pemandangan di sana yang merupakan jajaran gedung-gedung. Teringat pertama kali bertemu dengan Riri, saat tidak sengaja berpapasan di pintu kamar, juga tingkahnya yang kadang lucu, kadang membuat geram.Kupikir dia suka sama Anton. Ternyata suka padaku. Suka padaku? Apa tidak salah? Perbedaan usia kami dua belas tahun. Apa tidak bisa dia mencari pria yang lebih muda? Seperti Anton, atau Yan-yan. Mereka lebih muda, juga tampan.Ini tidak bisa dibiarkan. Karena akan mengganggu kinerja. Cepat kupanggil anak itu, lewat pesan WA pada kakaknya.
Jujur, sebenarnya tak tega. Melihat anak itu menenteng ransel hendak pergi dari rumah ini. Riri menutup pintu kamar, pelan. Irisnya tampak berkaca.“Ri, benar kamu mau pindah? Kalau masih betah di sini tidak perlu pergi.” Aku menghampiri Riri yang masih ada di depan kamar.Supri yang berdiri tidak jauh dari adiknya melihatku. “Tidak apa-apa, Mas. Pindah juga dekat ke belakang. Aku, kan, sudah janji kalau sudah punya uang mau ngontrak, di sini pria semua tidak baik bagi dia.” Supri memasang ransel Riri di pundaknya. Aku tahu ucapannya itu hanya basa-basi. Kalau masalahnya uang, sudah dari gajian pertama Riri pindah.Kalau kakaknya sudah bilang begitu aku bisa apa. “Yasudah, di mana kosannya?”“Di rumah bedeng belakang. Deket, kok, di situ.” Supri menunjuk arah dinding. Di belakang ruko, memang banyak rumah penduduk yang punya kos-kosan.“Oke, lah, kalau dekat. Jangan gara-gara pindah kamu jadi kesiangan.” Aku mengacak rambut Riri. Dia menepis tanganku seperti kesal. Lalu mereka pergi.
Part 20. Bertemu Calon IstriMalas. Kalau harus bertemu dengan keluarga bapak. Undangan Bulik mungkin bisa kutolak tapi kalau undangan Desi rasanya aku tidak enak. Kulihat lagi undangan warna hitam bertinta gold itu. Sepertinya calon suami Desi dari kalangan berada juga, terlihat dari foto prewedding-nya. Juga tempat akad yang dilaksanakan di salah satu gedung.Kalau seperti ini berarti mereka tidak membutuhkan tenaga keluarga, pastinya semua pekerjaan dibebankan pada WO. Pertanyaannya apakah Mamak diundang?Kumainkan ponsel, melakukan panggilan ke luar. Sedikit basa-basi dengan Mamak. Tidak kubicarakan tentang undangan itu. Tapi Mamak mendadak loncat topik.“Desi mau menikah, Pras,” seru Mamak memberi tahu. Sejenak aku merasa lega. Benar ternyata Bulik Retno juga mengundang Mamak. “Iya, Mak. Mamak tahu dari mana? Apa Bulik Retno mengundang?” Aku memastikan.“Tidak. Mamak tahu dari Bulik Hasma. Mereka sedang siap-siap buat olahan mau pergi ke Jakarta,” jelas Mamak seriang biasanya. S