“Jadi elu dibalik semua ini?” ucapku dengan napas memburu. Lelah, marah, kecewa, semua bertumpuk jadi satu.Sari menengok ke belakang, melihatku enggan. Matanya masih dipenuhi kaca-kaca. Sementara pria yang ada di hadapannya menyeringai.Doni mengangkat pundak, tak peduli. “Gue ke sini karena dia yang minta. Mana gue tahu urusan kalian.” Pria yang mengenakan sweter itu tersenyum miring.“Benar kamu yang minta?”“Iya, Sari minta Mas Doni ke sini. Kenapa memangnya?”“Kamu tidak tahu siapa dia.”“Sari juga tidak tahu siapa kamu, Mas. Berbulan-bulan tinggal serumah dengan perempuan, apa namanya?”“Mas tidak melakukan apa-apa!”“Terus saja bilang begitu, siapa yang mau percaya.”Perdebatan kami terhenti karena Doni tertawa, lalu dia tepuk tangan seperti orang gila. “Gua gak nyangka kalau lu kayak gitu, Pras. Munafik juga kamu ternyata.”“Heh, jangan ribut di sini!” timpal pemilik warung bakso.Aku memelankan perkataan, sebisanya meredam marah. “Jangan begini, De. Ayo pulang dulu, besok Mas
Part 24. Datang dan PergiPaginya. Beberapa tas sudah siap teronggok di sudut lantai dua. Ada juga oleh-oleh yang sengaja kubeli pagi ini. Pekerjaanku cukup sibuk karena sudah diabaikan beberapa hari. Jadi tidak dapat mengantar Mamak dan Sari pulang. Akhirnya kereta api jadi pilihan.Mata Sari bengkak, karena semalam terlalu banyak menangis. Berkali ia mengalihkan pandangan ketika berpapasan. Ekspresinya masih marah seperti kemarin.Aku berdiri di hadapan Sari. Menghadang jalannya yang mengarah ke tangga. Berharap apa yang akan kulakukan bisa meredam kemarahannya.Kurogoh cincin dari katung celana, lalu menunjukkan benda kuning terang ini.“Dek, sebenarnya Mas kemarin beli ini buat kamu. Mas mau melamar kamu. Tapi ternyata gagal.Mas belum bisa mengantarkan kamu. Belum bisa ketemu orang tua kamu. Tapi tolong terima cincin ini. Sebagai tanda Mas serius sama kamu.”Kupindai wajah itu. Wajah yang belakangan ini membuatku tergila-gila.Wanita yang tingginya tak melebihi hidungku ini terdi
Hari ini pekerjaanku sesibuk biasanya. Sering tak sempat sebatas membuka ponsel. Ketika waktu senggang kuotak-atik benda pipih itu. Ada satu pesan dari Sari. Ya, selama seharian hanya ada satu pesan. Bahkan beberapa hari belakangan tidak pernah ada.[Mas, Sari minta, mulai sekarang Mas tidak perlu menghubungi Sari lagi.]Mataku menyipit. Barang kali aku salah baca. Atau mimpi karena terlewat ngantuk. Kueja lagi huruf-huruf itu. Sedangkan dalam hati bertanya, apa yang menjadi kekuranganku.[Maksudnya bagaimana? Kamu mau kita putus?]Lama tak ada balasan. Aku menunggu. Teringat kembali ketika dulu saat baik-baik saja, barang lima menit aku telat membalas, dia uring-uringan. Sifat kekanak-kanakannya itu kenapa sangat kurindukan?Setelah setengah jam berlalu baru titik tiga berjalan.[Sepertinya kita tidak cocok, Mas.]Aku menutup chat, berganti dengan telepon.Detik panggilan sudah berjalan, tapi tidak ada suara.“Dek?” ucapku memastikan ada orang di sana.“Ya,” serunya pendek.“Apa ada
Part 25. Kejutan untuk Mamak---Orang yang terlalu menunjukkan kebaikan biasanya orang yang sedang menutupi kesalahan.---“Oh, iya, kalian pasti belum melihat berita. Kalau di sinilah sekarang dia tinggal.” Aku menunjukkan gambar. Sari dan ibunya menutup mulut.“Ke, kenapa di sana?” timpal mamaknya. Melihat gambar Doni yang ada di kantor polisi.Beberapa hari belakangan aku mengikutinya. Doni pergi ke klub malam. Di sana mereka bermain barang haram. Kuberitahu polisi saat itu juga. Razia segera dilakukan. Doni dan beberapa orang lain terciduk sedang menggunakan narkotika.Aku tak menjawab pertanyaan ibunya, hingga kalimat itu menggantung di udara lantas hilang diterpa waktu. Cukup biar aku saja yang tahu.“Sudah kuperingatkan berkali-kali kalau dia berbahaya,” peringatku pada Gadis yang sedang menangis itu.Berdasarkan informasi yang kudengar. Doni berlibur ke Gunungkidul selama sepekan. Dia pulang karena aku menyuruh Desi agar meminta kakaknya cepat kembali. Selama seminggu itu, en
“Punya, uang?” Ia menatapku seperti menantang.“Ada.”“Bagus. Buat yang bagus biar tidak merusak pemandangan.”Pria tua itu kembali mengayunkan kaki. Berjalan kembali ke rumahnya. Sudah tua bukannya tobat. Masih saja begitu.***Aku pulang ke Gunungkidul menggunakan pesawat bukan untuk gaya-gayaan, tapi karena alasan waktu. Biar bisa pulang-pergi dengan cepat. Mengingat begitu banyak pekerjaan di toko. Ke sini pun aku sengaja menyelesaikan masalah Sari. Kasihan kalau dia dibohongi terlalu lama.Rencananya sore ini langsung pulang lagi. Tetapi karena ditahan Mamak jadinya aku menginap, semalam saja. Paginya aku sudah bergegas untuk pergi lagi.Aku tak membawa banyak bawaan. Hanya satu tas kecil. Jam tujuh pagi aku sudah siap. Cucunya Pakde Karyo sudah ada di depan rumah, mau mengantarkanku ke bandara.Baru dua langkah aku ke luar dari rumah, seseorang datang dengan ontelnya. Mamaknya Sari.“Loh, Pras. Mau ke mana?” tanya wanita ber-daster itu.Kami salaman. “Mau berangkat lagi, Bulik.”
Part 26. Lupa Pakai Celana❤❤❤Selalu ada hal yang terasa bersangkutan. Aku menggelontorkan uang banyak untuk pembangunan rumah Mamak. Dan Tuhan ganti dengan yang lebih besar. Besarnya bahkan tidak pernah kubayangkan.❤❤❤Aku berbaring. Sebelah tangan berada di antara bantal dan kepala, sedangkan tangan yang lain memainkan ponsel.Foto-foto wanita cantik ini masih memenuhi galeri ponselku. Senyumnya, manjanya, kekanak-kanakannya, polosnya, dan malu-malunya. Karakter itu yang sekarang kurindukan. Dan kini semua itu hilang.Kugeser foto satu demi satu. Memutarkan angan kembali pada kenangan. Membawa rasa manis yang dibalut kepahitan.Aku masih mencintainya. Sulit mematikan rasa yang sedang tumbuh. Tiba-tiba, dipaksa kandas. Aku menghela napas, lalu membuang napas, berlama-lama berenang dalam kenangan.Masih teringat jelas, bagaimana cara kami bercanda, tiap hari teleponan, candaan garing, dan semua kenangan itu. Lalu bayangan saat dia menangisi Doni, membuatku merasa terjatuh ke dasar b
Lagi-lagi aku disibukkan dengan pekerjaan baru. Usaha melejit lebih tinggi. Kesibukanku berubah, sekarang bukan mengurusi barang-barang rusak. Tapi mengontrol semuanya agar berjalan sesuai rencana.Ruko bahkan sudah tidak sanggup menampung peralatan CCTV yang datang dan pergi.Tentu saja ini tak mudah. Harus mempercayai orang-orang baru. Mengelola banyak uang. Mengatur pekerja. Setiap hari masalah pasti ada. Tapi sejauh ini semuanya bisa diselesaikan.Selalu ada hal yang terasa bersangkutan. Aku menggelontorkan uang banyak untuk pembangunan rumah Mamak. Dan Tuhan ganti dengan yang lebih besar. Besarnya bahkan tidak pernah kubayangkan.***Jam delapan malam, saat aku mendengar suara perempuan yang kurang enak di telinga. Ia seperti sedang marah-marah di lantai satu. Biasanya kalau seperti ini ada pelanggan yang komplain. Suaranya serak, berat dan nyaring. Sampai terdengar ke kamar mandi--tempat aku berada sekarang.Aku mengambil handuk, melilitkannya cepat di pinggang. Lalu menarik kau
Part 27. Si Gadis Miris❤❤❤Pasang rasa percaya diri level tak tahu diri.❤❤❤Anjir. Parah. Gue lupa pake celana.Langsung balik badan. Baru sadar ternyata orang-orang yang ada di jembatan penyebrangan semua memperhatikan dengan tatapan aneh, antara benci dan ingin tertawa. Dikiranya aku pasangan mesum yang baru nganu-nganu.Kalau sudah begini, pasang sikap percaya diri level tak tahu diri. Kugulung handuk agar lebih ketat. Lalu berjalan melewati mereka, cuek.“Abis nganu-nganu langsung ngejar ceweknya itu.”“Dasar gak tahu diri.”“Pede aja lagi.”“Astarghfirullah, anak muda sekarang.”Kuhiraukan semua perkataan itu, berjalan cepat ke ruko. Dalam hati bersyukur, untung handuknya ketat, kalau tidak. Entah bagaimana nasib barangku.Padahal aku mengambil langkah lebar-lebar, kenapa bisa tidak terasa? Apa mungkin otakku sudah bergeser gara-gara belakangan terus diforsir? Sepertinya memang sudah beralih fungsi, hanya menampung yang penting-penting saja.Aku menggeleng, menghempaskan pikira